Mendengar nama Chlora, Ramiel berpikir sejenak, mengerutkan dahinya. "Chlora bukanlah nama ibu kandungku," ucapnya pelan. "Dia sudah meninggal, bahkan sebelum aku ditemukan." gumaman Ramiel semakin pelan saat pikirannya berputar dalam kebingungan.
"Yang lebih membingungkan, dari mana makhluk ini tahu mengenai ibuku," bisiknya dalam hati, mencoba mencari jawaban di antara ingatan yang samar.
Ekspresi wajah Gorrum berubah lembut, seolah mengerti isi hati Ramiel setelah mendengar penuturannya. "Aku kenal dengannya," ia mengucapkan dengan nada penuh keyakinan. "Chlora Wyron."
"Manusia pertama yang kutemui di sini," kata Gorrum dengan suara lirih, "adalah Wyron. Saat itu aku persis seperti Romund, membenci manusia."
Gorrum berhenti sejenak, tatapannya menerawang jauh ke masa lalu."Wyron yang kukenal bersifat hangat. Dia selalu memberikan penawar sekalipun untuk makhluk jelek sepertiku." Ramiel mendengarkannya dengan seksama, kini ada rasa penasaran yang mulai tumbuh di hatinya.
"Aku selalu menolaknya, meskipun tubuhku sakit," kata Gorrum, nada suaranya berubah lebih dalam. "Ia berpikir untuk tetap menemuiku, walaupun harus jatuh bangun di lubang rawa ini."
Makhluk itu menatap Ramiel dalam-dalam. "Gorrum yang ia kenal, bersikap seperti hewan liar terhadapnya."
"Dia pintar, pandai membuat obat-obatan herbal, masuk ke dalam hutan ini demi memenuhi kegemarannya," Gorrum melanjutkan, suaranya beriringan dengan emosi.
"Terakhir kali aku bertemu dengannya, dia memberiku sari buah untuk sebuah perpisahan," ujar Gorrum.
"Aku sadar bahwa ini adalah yang terakhir, jadi kuputuskan untuk menyusulnya." lalu Gorrum tersenyum dan berkata, "hari itu, aku melihat wajahnya yang berseri-seri seperti sedang jatuh cinta."
Makhluk itu terdiam sejenak, menundukkan kepalanya. Dengan ekspresi wajah yang berubah, menunjukkan penyesalan. Ramiel mendengar hal itu, semakin ingin tahu tentang ibu angkatnya, Chlora. "Lalu kenapa kau berpikir aku?" tanya Ramiel dengan bahasa tubuh yang jelas. Matanya menatap tajam Gorrum untuk mencari jawaban.
"Wealton, Chlora selalu menulis dan menyebut namanya."
✦✦✦
Mengetahui hal tersebut, Ramiel lanjut bertanya dengan nada penuh harap. "Ed.. Kau juga bertemu dengan Edwart? Dia selalu ke hutan Edenfell untuk berburu, dia adalah saudaraku, jadi tolong tuntun lah aku menuju jalan pulang."
Namun, Gorrum sontak membalas, "Sayangnya, ia tidak pernah masuk ataupun berada di Edenfell."
Ramiel mengangkat alis wajahnya, kebingungan jelas terlihat di matanya.
"Apa maksudmu? Dia telah berkali-kali berburu di Edenfell."
Gorrum menggelengkan kepalanya.
"Manusia mengetahui nama Edenfell, namun tidak dengan kebenarannya." lanjut Gorrum, "disini adalah tempat yang berbeda dari bayangan manusia,"
Ramiel lanjut bertanya, "Menurutmu, mengapa anak sepertiku? Terpilih untuk... Apapun itu."
Gorrum tersenyum tipis. "Itu sesuatu yang hanya bisa dipahami olehmu, Ramiel, sebagai yang terpilih."
Ramiel menarik nafas dalam-dalam, menenangkan pikirannya yang kacau.
"Menurutmu, ada hal lain yang harus aku ketahui?"
Gorrum mengangguk, menatapnya tajam.
"Dahulu, seorang raja bernama Nazdeath yang membuat sebuah perjanjian kepada para tetua untuk hutan yang kuno ini. Ia menjamin bahwa manusia akan berada jauh dalam jangkauan Edenfell."
"Terlalu banyak konflik terjadi di antara kami dan manusia, namun ia pria yang adil. Terkadang aku berpikir, ia tak pantas untuk dunia ini," Gorrum melanjutkan, suaranya menggema. "Hingga setelah perjanjian tersebut dibuat, akhirnya Edenfell mempunyai daratannya sendiri."
Ramiel tampak berpikir keras. "Nazdeath... maksudmu kisah tentang Pembawa Obor pada Malam Abadi?" tanyanya perlahan, mengingat cerita-cerita lama yang pernah didengarnya. Gorrum, sang makhluk rawa, tampak bingung sejenak.
"Ya, beliau masih dikenal oleh para rakyatnya," kata Ramiel dengan pelan. "Nazdeath, anak dari Raja Malvorn, dikenal sebagai Kuda Perak Jantan."
Ramiel tersenyum tipis, senang bahwa pengetahuan sejarahnya masih terlukis di benaknya. "Aku ingat kisah itu, ayahku memberitahuku sejak kecil." kemudian ia lanjut bertanya, "tetapi, apakah aku benar-benar tak dapat keluar dari sini secepat mungkin?"
Namun sebelum Gorrum hendak menjawabnya, segerombolan kelelawar terbang rendah di atas mereka. Suara lengkingannya terdengar mengerikan, daun-daun kering berterbangan akibat hembusan dari kepakan sayap mereka.
✦✦✦
Ramiel terkejut serta merunduk, secara insting ia melindungi kepalanya. Di tengah hiruk-pikuk itu, tatapannya tertuju pada Gorrum yang tetap berdiri tegak, hanya memandang para kelelawar itu dengan tatapan waspada. Matanya yang tajam tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun.
"Binatang-binatang itu bukan pertanda yang baik," kata Gorrum dengan suara rendah. Ramiel berdiri kembali, serta menatap ke arah kawanan kelelawar yang semakin jauh.
"Apa yang mereka inginkan?" tanya Ramiel dengan cemas, matanya mengikuti kawanan tersebut yang mulai menghilang di balik pepohonan.
"Mereka biasanya bergerak sebagai mata-mata," jawab Gorrum.
Sekarang ia bertanya dengan nada lebih serius, matanya menatap lurus pada Ramiel. "Bisakah kau ingat, Ramiel? Apa yang membawamu ke sini? Mungkin itu bisa menjadi petunjuk untukmu keluar dari Edenfell."
Ramiel menunduk, "Cahaya itu menarikku menuju sebuah altar besar di tengah hutan, altar yang menarik liontin itu dari tanganku. Lalu disana, aku bertemu dengan seorang nenek tua."
Gorrum mendengarkan dengan penuh perhatian, mengangguk perlahan. "Kita telah mendapatkan petunjuk," katanya tenang.
Namun, hatinya terbelit rasa bimbang dan penyesalan. "Sangat disayangkan, aku lari dari nenek tua itu," ucap Ramiel sembari menggigit ujung jarinya. "Aku merasa terancam oleh gelagatnya yang mengerikan."
Gorrum menepuk bahu Ramiel dengan lembut, suaranya penuh pengertian. "Aku memperhatikanmu, Ramiel. Tetapi ada satu hal... Aku belum pernah melihat altar lain di Edenfell, kecuali altar surgawi pada Chapel Milory."
Ramiel menoleh dengan cepat, rasa penasaran menyelimuti wajahnya. "Chapel?" tanyanya dengan heran. "Altar yang kulihat bahkan tidak berada di dalam suatu bangunan."
Gorrum mengangguk perlahan, wajahnya penuh ketenangan. "Bangunan yang merupakan tempat suci, diciptakan untuk mengenang para tetua Edenfell."
Kemudian, Gorrum melanjutkan, nadanya lebih serius. "Di situlah Raja Nazdeath memberikan darahnya untuk sebuah perjanjian." Gorrum lalu berkata, "ikutlah denganku, Ramiel. Aku akan membawamu pada altar surgawi."
Ramiel, yang tidak punya rencana atau pilihan lain, mengangguk setuju. Walau hatinya masih dipenuhi keraguan, ia memutuskan untuk mengikuti apa yang disarankan oleh Gorrum. Meski makhluk itu tampak menakutkan, Ramiel tahu bahwa ini adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran.
Dalam perjalanan menuju Chapel Milory, Ramiel berjalan di belakang Gorrum, memperhatikan setiap langkahnya. Hutan di sekeliling mereka terasa begitu lebat dan hidup, suara gemerisik dedaunan bercampur dengan suara serangga yang berdengung di kejauhan.
Ia memutuskan untuk memecah kesunyian. "Kau tahu, Gorrum... menurutmu di mana penyihir biasa tinggal?" tanyanya dengan hati-hati, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik suaranya yang tenang.
Gorrum terdiam sesaat, tampak merenung dalam pikirannya, sebelum akhirnya menjawab, "Praktik sihir biasa terjadi di bagian timur hutan, di reruntuhan patung-patung tua. Tempat yang sunyi dan terlupakan."
Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Ramiel dengan tatapan penuh makna. "Wanita tua yang kau temui mungkin tampak seperti manusia, tetapi kita tidak pernah tahu wujud asli mereka," lanjutnya.
Kata-kata Gorrum membuat kekhawatiran Ramiel semakin besar. Ia tak bisa melupakan tatapan dingin yang masih tergambar jelas di pikirannya. Ramiel menghela napas panjang, lalu kembali memandang sekitar. Namun, Ramiel tidak bisa berhenti—ia tahu bahwa waktunya semakin menipis.
"Aku harus pulang... Ayah, Wenna... semoga aku bisa bertemu kalian kembali," bisiknya dalam hati, memantapkan tekadnya sekali lagi.
✦━━━✦