Ramiel dan Gorrum melangkah dengan hati-hati di antara dedaunan lebat yang menutupi jalur setapak, kanopi tebal Edenfell menciptakan bayangan bercahaya di bawah kaki mereka. Suara hutan hidup di sekeliling mereka-kicauan burung, desiran angin, dan bisikan pepohonan
Gorrum melirik ke arah Ramiel, mata hitamnya menyiratkan sesuatu yang dalam. "Chapel Milory," ujar Gorrum dengan suara rendah dan khidmat, "Di sana, suara hati lebih mudah terdengar oleh para dewa."
Ramiel mengerutkan kening, mencoba memahami maksud dari kata-kata Gorrum. "Setelah itu, apakah kita akan langsung mencari sang penyihir tua?" tanyanya, keingintahuan mulai mengusik pikirannya.
Gorrum menghentikan langkahnya dan menoleh tajam ke arah Ramiel. "Kita tidak tahu apa pun tentangnya. Kau tak berniat bunuh diri, bukan?" ujar Gorrum, suaranya menenangkan dan memperingatkan Ramiel agar tidak bertindak gegabah.
Perjalanan mereka berlanjut, membawa mereka melewati sungai kecil yang gemericik di antara batu-batu yang berkilau dan hamparan bunga liar dengan warna cerah. Setiap langkah semakin membawa mereka mendekati tujuan yang terasa semakin misterius bagi Ramiel.
Dia memetik beberapa buah beri segar yang ditemuinya di sepanjang jalan, berharap itu akan menjadi perbekalan yang cukup untuk perjalanan yang mungkin akan semakin panjang. "Kita hampir sampai," ucap Gorrum tiba-tiba, menunjuk ke arah cahaya yang menerobos melalui celah-celah di antara pepohonan.
Ramiel merasakan getaran aneh di udara, seolah-olah mereka mendekati pusat berputarnya angin. Langkah mereka semakin cepat, diiringi oleh detak jantung Ramiel yang mulai berdetak lebih kencang. Dan akhirnya, di hadapan mereka, berdirilah "Chapel Milory." Bangunan itu megah, meskipun terletak jauh di dalam hutan.
Pepohonan menjulang tinggi di sekitarnya, cabang mereka menjalar seperti jari-jari raksasa yang melindungi bangunan tua tersebut. Dinding batu katedral dipenuhi oleh tanaman merambat dan lumut, seolah struktur kuno itu telah menjadi bagian dari alam, tumbuh dari tanah yang melingkupinya.
Cahaya matahari yang menembus pepohonan menciptakan kilauan lembut di dinding yang putih kusam. Meskipun bangunan itu sudah sangat tua dan terlihat seperti reruntuhan, Ramiel merasakan ketenangan luar biasa ketika memandangnya. Tempat ini, meski asing, terasa suci dan penuh misteri.
"Kita masuk," kata Gorrum sambil melangkah menuju pintu besar chapel yang terbuat dari kayu tua yang mulai lapuk.
✦✦✦
Tiang-tiang batu besar menopang atap yang tinggi, membuat suara langkah mereka bergema di dalam ruang yang sunyi. Meskipun telah dipenuhi tanaman merambat, bangunan ini masih mempertahankan kemegahannya. Di tengah ruangan yang luas, altar utama tampak berdiri di bawah sinar matahari yang menembus celah-celah atap yang runtuh.
Altar itu terbuat dari batu giok, meski kini warna hijaunya tersamarkan oleh lumut dan usia. Di sekeliling altar, berdiri patung-patung para tetua Edenfell, para sosok kuno yang memandang ke bawah seolah mengawasi setiap langkah pengunjungnya.
"Berdoalah, Ramiel." ujar Gorrum sembari memejamkan matanya, "yang kau butuhkan bukan hanya petunjuk, tetapi juga keselamatan."
Ramiel mengambil napas dalam-dalam dan melangkah maju ke depan altar. Di sana, dia berdiri, membungkukkan kepala, dan berbisik pelan, suaranya dipenuhi oleh rasa rindu yang mendalam. "Maafkan aku telah banyak merepotkan, aku merindukan kalian," katanya, mencoba merasakan damai di tengah kesunyian.
Tiba-tiba, keheningan itu pecah oleh suara bisikan samar yang merayap di telinganya. "Herish Atyo Qihim Gonath," suara itu berbisik lagi dan lagi, nyaris seperti angin yang lembut. Ramiel membuka matanya perlahan, dan apa yang dia lihat membuatnya terdiam.
Di hadapannya, puluhan pasukan berzirah lengkap berlutut, kepala mereka tertunduk dalam sikap penuh hormat. Zirah mereka memantulkan cahaya dari altar, membuat mereka tampak berkilauan seperti perak. Ramiel menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Gorrum di antara barisan pasukan.
"Gorrum?" panggilnya, suaranya bergetar, namun tak ada jawaban.
Rasa cemas mulai menjalar dalam dirinya, dan dia mundur beberapa langkah, matanya masih mencari-cari. Tiba-tiba, salah satu prajurit mengangkat kepalanya dan berteriak keras, suaranya bergema di seluruh ruangan.
"Kami bersumpah mati padamu!" Ramiel tersentak, terkejut oleh sumpah setia yang begitu kuat. Penjaga lainnya mengikuti, dan seruan mereka bergema dalam kesatuan yang mengerikan. "Kami bersumpah mati!"
Rasa tak percaya menyelimuti Ramiel, tetapi sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, dia melihat lebih banyak pasukan berzirah yang masuk, menyeret seorang pria yang tampak terluka parah. Ramiel menyipitkan matanya, berusaha memastikan apakah penglihatannya benar. "Ayah?" bisiknya tak percaya.
Pria itu, wajahnya dipenuhi luka, pakaiannya compang-camping, darah mengalir dari sudut mulutnya. Jantung Ramiel berdegup semakin kencang. Dia ingin berlari ke arah ayahnya, tetapi dua penjaga segera menghentikannya, memegangi lengannya dengan kuat.
"Tidak... tidak... hentikan kegilaan ini!" teriak Ramiel dengan suara pecah.
✦✦✦
Jorren, ayahnya, setengah sadar membuka matanya dan menatap Ramiel dengan lemah. "Mereka... maafkanlah aku," bisiknya dengan suara serak.
Sebelum Ramiel sempat bertindak lebih jauh, salah satu prajurit menyeret Jorren berlutut di depan altar. Dalam satu gerakan yang cepat dan tanpa ampun, pedang diayunkan, memisahkan kepala Jorren dari tubuhnya. Darah menyembur keluar, tubuh Jorren jatuh ke tanah, tak bernyawa di hadapan anaknya.
"Sialan! Terkutuklah kalian semua!" teriak Ramiel dengan suara penuh kepedihan.
Para penjaga berzirah memandangnya dengan tatapan datar, tidak menunjukkan emosi. "Kami bersumpah mati padamu," salah satu dari mereka mengulang sumpahnya dengan tenang, seolah-olah pembunuhan itu adalah bagian dari tugas mereka.
Tubuh Ramiel bergetar oleh amarah yang tak tertahankan. Meski air mata membanjiri pipinya, dia tak bisa berhenti memikirkan satu hal-balas dendam. Pada saat itu, dia bertekad untuk membunuh setiap makhluk di hadapannya. Dengan suara yang dipenuhi kemarahan dan kepedihan, Ramiel berteriak, "Kalian... akan kuseret ke neraka untuk ini. Aku tidak akan berhenti!"
Para penjaga mengangguk, "kami akan membantumu mencapainya." jawab salah satu penjaga dengan suara datar.
Ramiel merasa dirinya direndahkan, namun keputusasaan dan kebencian yang membara dalam dirinya membuatnya ingin memberontak. Dia mulai menyerang membabi buta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para penjaga.
Di tengah amarahnya, sebuah suara lembut berbisik dari bayang-bayang katedral. "Inikah yang manusia lakukan? Menikmati kebencian?"
Ramiel menoleh dengan cepat, terengah-engah, namun rasa putus asa telah menguasainya. "Kau binatang! Jangan berani menyebut apa pun tentang manusia!" bentaknya, matanya penuh dengan kebencian.
Namun sebelum dia bisa melakukan apa pun, dunia di sekelilingnya mulai kabur. Semua menjadi gelap, suara-suara mulai menjauh, dan Ramiel merasa dirinya ditarik ke dalam kegelapan yang tak berujung. Ketika dia terbangun, dia mendapati dirinya duduk di depan sebuah rumah tua dengan cahaya lentera yang redup.
Jantungnya masih berdetak kencang, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Pemandangan di sekelilingnya berkabut, dan dia merasakan ketakutan yang masih menghantui pikirannya. "Ini... Mimpi buruk... Kuharap tuhan berpihak padaku sekali lagi," gumam Ramiel, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdebar.
Dengan udara sekelilingnya yang sangat berkabut, ia merasa semakin tersesat.
Rumah tua itu tampak sunyi, dikelilingi oleh pepohonan dalam hutan yang lebat.
"Herish Atyo Qihim Gonath." Bisikan itu terdengar lagi, membuat Ramiel marah dan tersinggung. Ia merasa dipermainkan oleh suara lembut di telinganya.
Namun tak disangka, "Ramiel, kemana saja kau anak bodoh!" Ramiel terkejut mendengar suara saudaranya, Edwart, di dalam rumah itu. Ia merasakan dorongan kuat untuk menghampirinya. Ramiel mulai melangkah menuju sumber suara. Langkahnya terasa berat, tetapi dorongan batin yang kuat membuatnya terus bergerak.
✦━━━✦