Chereads / Lucylle / Chapter 13 - 13 - The Noble Library

Chapter 13 - 13 - The Noble Library

   Di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, Edwart dan Cavelin memasuki kota "Althorim" dengan langkah hati-hati. Setelah dua hari perjalanan tanpa henti, mereka akhirnya sampai di pusat aktivitas malam kota tersebut. Pasar malam yang ramai pengunjung.

   Tempat di mana segala macam barang dijajakan di bawah tenda yang memancarkan cahaya lampu lentera. Tenda-tenda ini berdiri tegak, dihiasi dengan berbagai kain beraneka ragam yang menarik perhatian. Aroma rempah, makanan panggang, dan ramuan eksotis menguar di udara, menggoda hidung siapa saja yang melintas.

   Para pedagang meneriakkan dagangan mereka dengan penuh semangat, berusaha menarik perhatian para pembeli yang berdesakan di antara kerumunan. Suara-suara itu menciptakan harmoni yang kacau, mencampuradukkan bahasa dan dialek dari berbagai penjuru negeri.

   Namun, tidak semuanya indah di balik kemeriahan pasar malam. Di sudut-sudut gelap, budak-budak diperjualbelikan, terikat dalam rantai yang menggelinding di atas tanah yang berdebu. Hewan unik dikurung dalam kandang-kandang sempit, dipertontonkan sebagai atraksi yang langka dan mahal.

   Edwart memperhatikan dengan seksama, matanya tajam mengamati setiap detail dengan penuh perhatian. "Kau yakin kita perlu mengambil buku itu? Jangan bercanda denganku," bisik Edwart pada Cavelin, matanya tidak pernah berhenti memindai kerumunan.

   "Sssssstt... bisa kau bicara pelan-pelan? Percaya saja padaku," balas Cavelin sambil memegangi ujung jubahnya dengan erat, matanya melirik tajam ke arahnya.

   "Kenapa harus diam-diam seperti ini? Kau ini kan tuan putri, perintahkan saja pesuruhmu untuk mengambilkannya,"

ledek Edwart, membuat Cavelin semakin sebal.

   Tanpa berkata lebih lanjut, Cavelin langsung menarik tangan Edwart dan membawanya ke jalur belakang kota, tempat ini ia yakini sebagai pintu masuk ke kawasan kastil yang paling aman dan tersembunyi. "Para penjaga pasti akan menangkapku, menurutmu untuk apa aku kabur dari kota ini?" balas Cavelin menegang.

   Cavelin adalah anak bungsu dari pemegang tahta kota itu, dan statusnya sebagai keluarga bangsawan memaksanya untuk selalu menutup diri serta waspada, keluarga kerajaan dapat sewaktu-waktu diculik bahkan dibunuh. Keduanya terus berjalan dengan waspada, memastikan mereka tidak menarik perhatian yang tidak diinginkan.

         

✦✦✦

         

   "Kau tahu, kau belum pernah memberitahuku kenapa buku itu begitu penting," ujar Edwart, mencoba meredakan ketegangan yang menyelimuti mereka.

   Suara bisikannya melayang di lorong gelap yang mereka lalui. Cavelin menoleh sejenak, wajahnya tetap serius. "Aku ingin memastikan sesuatu."

   Edwart mengangguk, memahami situasi. "Kuharap setidaknya bocah ingusan itu tidak menangis sendirian," gumamnya, merujuk pada Ramiel, sang adik. "Ayah pasti menghukumku membersihkan kandang kuda saat aku pulang nanti," lanjutnya.

   Rumah-rumah sempit di belakang kota cukup sepi dan tenang, memberikan mereka sedikit rasa aman dari keramaian pasar malam. Mereka melanjutkan perjalanan, menembus jalur sempit hingga tiba di dekat tembok kastil. Cavelin dengan perlahan, mengarahkan perhatian Edwart ke sebuah pintu kecil yang tersembunyi di balik semak tebal.

   "Inilah pintu masuk rahasia yang dulu sering kucoba lewati saat kecil, kita bisa masuk tanpa ketahuan," katanya dengan nada penuh harapan.

   Edwart memeriksa pintu kecil tersebut dengan skeptis. Kecil dan tersembunyi, pintu itu tampak seperti sesuatu yang mungkin telah tertutup lama. "Apa kau yakin, tuan putri?" tanyanya, sembari mengangkat alis.

   Cavelin menepuk pipi Edwart, wajahnya menunjukkan kepercayaan diri. "Tentu saja, aku menggunakan jalan ini setiap kali aku bosan belajar di di istana, salah satu trik lama." Dengan gerakan yang lembut namun penuh keyakinan, Cavelin membuka pintu kecil tersebut.

   Suara engsel berderit lembut saat pintu terbuka, mengungkap jalan sempit yang tampaknya mengarah ke area yang lebih tersembunyi di dalam kastil. Edwart mengamati dengan hati-hati, lalu mengangguk, siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.

   "Cepat masuk sebelum seseorang menyadari kehadiran kita," bisik Edwart.

Ia menundukkan kepalanya, kemudian melangkah ke dalam lorong gelap bersama Cavelin.

   Perlahan namun pasti, memastikan setiap langkah mereka tidak menimbulkan suara yang mencurigakan. Jalan tersebut dipenuhi dengan sarang laba-laba dan debu tebal, menandakan jarangnya orang yang melewati tempat ini. Langkah kaki mereka menggema di sepanjang lorong batu, menambah suasana mencekam.

   Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruang kecil yang diterangi oleh cahaya obor, Cavelin berbisik, "Kita hampir sampai, perpustakaan ada di ujung lorong ini."

   Edwart mengangguk dan mengikuti Cavelin dengan hati-hati. Keduanya terus melangkah dengan ringan, lorong tersebut akhirnya membawa mereka ke sebuah pintu besar dengan ukiran rumit. Kemudian, segera Cavelin mengeluarkan sebuah kunci kecil dari kantongnya, kemudian membuka pintu dengan perlahan.

     

✦✦✦

      

   Pintu terbuka tanpa suara, memperlihatkan sebuah ruangan yang dipenuhi buku dan catatan lama yang berharga. "Ahh..mengingatkanku pada masa lalu." ujar Cavelin, aroma kertas tua yang memenuhi udara, menciptakan suasana nostalgia.

   Mereka melangkah masuk, cahaya rembulan yang samar memantulkan bayangan dari deretan rak yang tinggi menjulang. Buku-buku berjajar rapi, beberapa sudah mulai menguning karena usia. Cavelin berjalan cepat menuju rak tertentu, matanya mencari dengan penuh ketelitian.

   "Ini dia," katanya, suaranya penuh kemenangan saat ia menarik sebuah buku besar berwarna coklat dari rak. Ukuran dan berat buku itu menunjukkan pentingnya isi yang terkandung di dalamnya, Edwart melihat buku tua itu dengan penuh minat dan langsung merebutnya dari tangan Cavelin.

   "Coba berikan padaku," katanya dengan nada penasaran. Di hadapannya kini ada sebuah buku berlapis kulit dengan kualitas kertas terbaik pada zamannya.

   "Sepertinya ini bisa membeli seluruh ladangku di rumah," gurau Edwart, meskipun dalam nada suaranya tersirat kekaguman terhadap buku tersebut.

   Cavelin tersenyum kecil, "kau pandai melucu ya." katanya. Kemudian perlahan Edwart membuka buku besar itu, di dalamnya terdapat gambar bentuk pulau ini dengan judul "Herdoria."

   Buku adalah hal yang ia pikir membosankan ternyata mampu menarik perhatian Edwart, setiap tulisan tangannya begitu jelas, buku itu tampak lebih seperti karya seni daripada sekadar peta biasa. Dengan antusias Edwart melanjutkan menyelidiki halaman-halaman berikutnya.

   Penuh dengan catatan tangan yang menunjukkan tempat tersembunyi dan beberapa sumber alam yang penting. "Eteris, aku selalu bermimpi ingin melihat laut itu." seru Edwart dengan nada takjub.

   "Ternyata kau memang tahu tentang, Eteris." Cavelin menoleh ke arah Edwart,

"memangnya darimana asalmu?"

   Edwart membalik lembar demi lembar, namun kini ia tampak kebingungan. "Cavelin, disini tidak tertulis apapun tentang tanah asalku, Lucylle." katanya.

   "Namun kau tahu tentang laut Eteris?" tanya Cavelin yang juga tak pernah mendengar apapun tentang "Lucylle."

   Kemudian gadis itu fokus memperhatikan peta yang ada di tangan Edwart, ia menyipitkan mata serta memeriksanya dengan seksama. "Laut itu, sangat besar bukan?" bisik Cavelin, "bagaimana jika, sang pembuat buku belum benar-benar mengelilingi dunia?"

   Berbeda dengan Edwart, ia malah melebarkan matanya serta berkata, "jadi aku berjalan hingga tiba di tempat yang sangat-sangat jauh, menyebrangi lautan??"

   Cavelin pun langsung menyahuti, "dengan permata itu, aku tak berpikir itu hal yang mustahil, Edwart."

   Sebelum mereka sempat membahasnya lebih jauh, langkah kaki terdengar mendekat. Tetapi, kali ini bukan hanya langkah biasa; suara hentakannya terdengar tegas dengan bunyi zirah yang menggema di sepanjang lorong.

   "Sial, siapa itu, Cavelin?" tanya Edwart dengan waspada, suaranya rendah namun penuh kecemasan.

   "Mana kutahu! Cepat, bersembunyi lah di sela-sela lemari buku," bisik Cavelin dengan nada panik.

   Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Edwart langsung bergerak cepat, bersembunyi di tempat yang Cavelin maksud. Cavelin seketika langsung menaruh buku geografi tersebut di meja perpustakaan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Pintu perpustakaan terbuka dengan keras.

   Seorang pria tinggi dengan rambut putih cerah serta jubah kerajaan masuk. Mata tajamnya menyapu ruangan dengan cepat, seolah-olah sedang mencari sesuatu-sambil menahan gagang belatinya. Cavelin mengenal sosok itu dengan baik; saudara laki-lakinya, Pangeran Pertama, berdiri di sana dengan ekspresi dingin dan penuh kecurigaan.

   "Cavelin," suaranya dalam serta tegas,

"apa yang sedang kau lakukan di sini? Setelah membuat ayah khawatir dengan menghilang begitu saja?" lanjutnya.

   Dengan canggung, Cavelin menjawab, "Ah... Kakak. Aku hanya sedang mencari sesuatu untuk dibaca." berusaha untuk terdengar santai, meskipun ketegangan jelas terlihat di wajahnya.

   Sang pangeran menatapnya. "Di tengah malam? Kau bukanlah orang yang gemar membaca, Cavelin, lagipula ini bukan tempat yang seharusnya kau kunjungi sendirian," katanya sambil melangkah mendekat, matanya tidak pernah lepas dari Cavelin.

   Cavelin mencoba mengalihkan perhatian saudaranya dan berkata, "Bisakah kita berbicara di luar saja?"

✦━━━✦