Ramiel merasakan kelegaan luar biasa ketika suara Theron memecah keheningan yang tegang. "Elara! Ramiel! Aku kembali," suara Theron bergema, mendekat di antara pepohonan.
Elara menarik diri dengan cepat, menata kembali pakaiannya dengan tenang, seolah tak ada yang terjadi. "Theron sudah kembali," katanya riang, senyumnya tanpa beban.
Suasana yang semula tegang berubah seketika, menjadi ringan dan biasa, seolah momen sebelumnya hanyalah imajinasi. Ramiel menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar keras. Saat Theron muncul dari balik pepohonan, Ramiel berusaha menyembunyikan kebingungannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Theron dengan santai, tidak menyadari ketegangan yang sempat membekap mereka.
"Tak ada apa-apa," jawab Elara dengan senyum yang sama seperti sebelumnya, mencoba menghapus jejak canggung di antara mereka. "Kami hanya berbicara sambil menunggu."
Theron mengangguk, tampak tak terlalu peduli. "Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan. Semakin cepat kita sampai, semakin cepat kita bisa beristirahat."
Sepanjang perjalanan melewati hutan Edenfell, Ramiel tak bisa mengalihkan pandangannya dari Theron dan Elara. Keduanya bergerak dengan mudah melewati berbagai medan-tanah berbatu, hutan lebat, hingga jalan setapak yang nyaris hilang ditelan pepohonan.
Theron, dengan tubuh tegap dan berotot, tampak kokoh seperti batu karang. Bahu lebar dan lengan kekar memperlihatkan kekuatan fisiknya. Rambut hitam terurai melalui telinganya, bergoyang setiap kali ia melangkah. Terdapat luka di sekitar matanya yang berwarna kemerahan. Kemudian ia mengenakan pakaian berwarna coklat yang dijahit dengan wol.
Elara, di sisi lain, bergerak dengan langkah yang lembut. Rambut panjangnya berwarna hitam legam, kontras dengan kulitnya yang pucat. Matanya merah cerah, memancarkan kecantikan. Jubah dan pakaiannya lebih halus, dihiasi dengan motif alami yang menyiratkan. Meski tampak rapuh, ia tampak menyimpan hal di dalam dirinya.
Setelah perjalanan singkat, mereka bertiga akhirnya tiba di sebuah pondok kayu sederhana, tempat perlindungan yang tampak nyaman meski usang. Namun Ramiel menyadari aroma busuk yang mengganggu indera penciumannya, ia tidak dapat mengenali bau itu, terasa asing dan tidak wajar.
Theron membuka pintu kayu berat dan mempersilakan Ramiel masuk. "Selamat datang, kawan," ucapnya dengan ramah. "Rumah ini sudah tua, tapi cukup aman untuk bermalam. Buatlah dirimu nyaman."
Ramiel melangkah masuk, merasa lebih hangat oleh cahaya api yang baru dinyalakan Elara pada sudut ruangan. Gubuk itu sederhana, dindingnya dilapisi lumut dengan ornamen-ornamen hutan yang menghiasi sekelilingnya. Bau kayu bakar dan getah pohon memenuhi udara, hingga sedikit menenangkan pikirannya.
"Aku sangat berterima kasih atas bantuan kalian," ucap Ramiel tulus, menatap Theron dan Elara. "Tanpa kalian, aku mungkin tersesat di hutan ini."
Theron hanya tersenyum. "Istirahatlah setelah makan malam, kau butuh waktu untuk memulihkan tenaga."
Elara menghampiri Ramiel dengan secangkir minuman hangat yang baru diraciknya, aromanya lembut dan menenangkan. "Minumlah ini," katanya lembut, menyerahkan air yang tercium seperti ramuan herbal itu kepada Ramiel. "Ini akan membuatmu merasa lebih baik."
✦✦✦
Ramiel menerima cangkir itu dengan rasa syukur, lalu menyesap isinya. Kehangatan menyebar dari kerongkongannya, melonggarkan kekakuan di tubuhnya. Ia duduk di kursi kayu yang empuk, merasa nyaman dalam damai yang ditawarkan tempat itu.
Kemudian Theron dan Elara terlihat sibuk menyiapkan sesuatu, pot besar untuk memasak sup. "Kita akan memasak sup kentang dan daging kelinci malam ini," kata Elara sambil membuka kantung kulit yang diselipkan di pinggangnya.
Ia mengeluarkan beberapa kentang besar, bawang, dan rempah-rempah liar yang mereka kumpulkan sepanjang perjalanan. Di tangan lainnya, ia membawa sepotong daging kelinci segar, hasil perburuannya siang tadi.
Theron menghela napas puas setelah api menyala dengan sempurna. "Aku menangkap kelinci yang paling besar tadi, Elara. Kita akan kenyang malam ini," katanya sambil tersenyum lebar, menatap adiknya yang sedang menyiapkan bahan-bahan makanan.
Mereka berdua mengolah makanan itu bersama dengan Ramiel yang turut membantu. Menuangkan air kedalam pot besar, serta memasukkan potongan daging dan kentang yang telah dikupas ke dalam pot, diikuti oleh beberapa bawang liar yang ia temukan di hutan.
Aroma harum daging kelinci yang dimasak perlahan-lahan menyebar ke seluruh ruangan. Beberapa waktu kemudian, Elara memeriksa supnya. "Sudah siap," katanya dengan riang. Ia mengambil sendok kayu besar dan mengaduknya perlahan, memastikan daging dan kentang telah empuk serta kaldu telah meresap dengan sempurna.
Theron mengambil tiga mangkuk kayu dari tempat penyimpanan di dinding dan menyerahkannya kepada Elara, yang dengan cekatan mulai menuangkan sup kental itu ke masing-masing mangkuk. Aroma gurih yang pekat langsung menyeruak, membuat perut Ramiel semakin lapar.
"Ini dia, Ramiel," ujar Theron sambil menyodorkan mangkuk sup hangat kepada Ramiel. "Selamat menikmati. Di hutan ini, makanan sederhana bisa terasa seperti pesta besar."
Ramiel tersenyum, menerima mangkuk itu dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih," ucapnya.
Mereka bertiga duduk mengelilingi meja, menikmati makan malam yang dipenuhi obrolan ringan di antara suapan mereka.
Cahaya api unggun menciptakan suasana hangat yang menyelimuti mereka bertiga.
Theron, yang baru selesai menyantap supnya, pergi sebentar untuk menyimpan kayu bakar.
Setelah jeda singkat, Theron menghampiri Ramiel di sudut ruangan dan bertanya, "Ramiel, apakah kau sempat bertemu dengan manusia tua kerdil dengan rambut putih?"
Ramiel menatap Theron sejenak, bingung menanggapi pertanyaan itu, lalu entah mengapa ia memutuskan untuk berbohong dengan menjawab, "Aku hanya bertemu Gorrum, sang makhluk rawa, lalu entah bagaimana kami terpisah."
✦✦✦
Theron mengangguk, sorot matanya yang tampak gelap mungkin membuat Ramiel memilih untuk tidak berkata jujur. Lalu pandangan Theron tertuju pada api yang berkelip di perapian. "Elberon,"
"Dia keturunan terakhir dari rasnya, ia terlibat dalam perang besar antara tiga kerajaan. Jangan sampai tertipu orang tua itu. Dia telah membunuh lebih banyak manusia dari yang kau kira." lanjutnya.
Ramiel terdiam, merenungkan kata-kata Theron. Elberon, kurcaci yang sebelumnya dianggapnya sebagai sosok penolong, kini tampak jauh lebih misterius. Peringatan itu membekas dalam benaknya. "Baiklah," gumam Ramiel, "sepertinya menjadi orang asing di hutan ini memanglah sangat sulit."
Theron mengangguk dan tersenyum, lalu mempersilakannya beristirahat di ruang kosong di dalam pondok. "Ikuti aku." katanya, menuntun Ramiel menuju kamar yang kecil dan sederhana. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang redup.
Kamar kecil itu dilengkapi tempat tidur kayu yang keras, dengan selimut tipis dan bantal jerami. Ramiel merebahkan diri, tubuhnya lelah setelah hari yang panjang. Ia memandang jendela kecil yang hampir tertutup oleh tirai usang, memperlihatkan pemandangan hutan gelap di luar.
Angin berhembus lembut, membuat daun-daun berdesir di antara pepohonan, menciptakan suasana tenang yang akhirnya menenangkannya. Namun, saat ia hampir terlelap, bau busuk itu kembali tercium, samar tapi menyengat.
Ramiel membuka matanya, mendengarkan dengan seksama. Erangan dan bisikan halus terdengar samar, bercampur dengan suara ranting dan daun kering yang bergerak di luar jendela. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Ramiel segera duduk, mencoba memusatkan inderanya pada suara yang mengganggu tidurnya. Dengan hati-hati, ia meraih belatinya dari bawah tempat tidur, lalu berdiri dan mendekati jendela. Saat ia mengintip melalui celah tirai, bayangan pepohonan tampak bergerak-gerak di bawah sinar bulan yang samar.
Tapi suara yang ia dengar tidak berasal dari luar jendela-melainkan dari dalam pondok. Tepat di luar pintu kamarnya. Ramiel menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sangat hati-hati membuka pintu kamarnya. Cahaya dari perapian yang masih menyala menciptakan bayangan di dinding.
✦━━━✦