Dengan cepat, ksatria muda itu berbalik untuk mencari sumber suara tersebut. Dari di ujung lorong, muncul bayangan seorang pria berzirah lainnya dengan postur tegap dan wajah yang muram. Mata tajamnya tertuju pada mereka, penuh dengan kemarahan.
"Tak perlu banyak bicara, Jade," jawab ksatria itu dengan tenang. "Aku hanya ingin keluar dengan selamat bersama anak ini." namun ketegangan jelas terpancar dari sorot mata mereka berdua.
Setelah mendengarnya, pria yang ia sebut dengan nama Jade itu tertawa dengan keras, menggelegar di lorong yang sunyi tersebut. "Rekan kita yang lain mungkin akan menjadikan anak itu seorang pelacur," ucapnya. "Namun orang sepertimu, bahkan kulihat kau tak tertarik pada wanita."
Jade melangkah maju, menyingkirkan tubuh-tubuh yang tergeletak di lantai dengan sepatu besinya. "Kau adalah penyembah setia kehormatan, sekarang semuanya kau buktikan dengan melawan perintah rajamu?"
Ksatria muda itu tersenyum kecil sambil mengangkat pedang panjang miliknya, "Namun, bisakah kau menghentikanku sekarang?" balasnya dengan tatapan yang tak lepas.
Pria besar itu mendengus lalu berjalan lebih dekat, hingga jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa langkah. "Jangan lupakan apa yang keluarganya perbuat pada negeri ini, jutaan manusia telah gugur."
Sang Ksatria terlihat menahan nafas sejenak, mencoba mengendalikan dirinya.
ia menggenggam tangan Dorothy dengan lembut, kemudian berlutut menatap mata gadis kecil itu dengan penuh ketenangan. "Tolong, mundurlah ke tempat yang lebih aman." katanya dengan suara lembut, menunjuk ke arah Jade, "aku akan berbicara sebentar dengan paman yang cerewet itu."
Dorothy mengangguk, meskipun masih terlihat ketakutan. Ia mundur beberapa langkah, memberikan jarak antara dirinya dan kedua pria yang saling berselisih pandang. Tak lama, sang ksatria bangkit kembali serta berbalik menghadapi Jade. Tangannya menggenggam erat senjatanya dengan ekspresi yang tenang.
"Komandan.." katanya, sambil menghunuskan pedang ke wajah Jade. "Bolehkah aku membunuhmu, hanya karena ayahmu seorang pemabuk yang suka memukuli istrinya?" lanjut sang ksatria menyeringai. "Aku tidak melihat seorang anak melalui dosa yang orang tua mereka perbuat."
Jade tersentak mendengar itu, ia merasa tersinggung hingga menaruh senyum lebar di wajahnya. "Sampai jumpa, pecundang." Dengan gerakan cepat, keduanya mengayunkan pedang ke arah satu sama lain. Ksatria muda itu menghindar dengan gesit, dan Jade selalu membalas serangan dengan kekuatan yang mengejutkan.
✦✦✦
Kedua pedang mereka beradu dengan suara nyaring, percikan api kecil muncul dari benturan logam yang keras.
Dorothy yang menyaksikan itu, dipenuhi oleh rasa bimbang. Tebasan demi tebasan, pukulan demi pukulan, menanamkan ketakutan dalam benak Dorothy.
Setelah pertarungan yang berangsur-angsur, salah satu dari ratusan serangan akhirnya terkena telak, Jade berhasil melucuti senjata ksatria itu dan menekannya ke lantai. Pedang Jade mengarah ke leher sang ksatria, siap mengakhiri hidupnya. Namun, sebelum Jade bisa menyelesaikan serangan penutup.
Ksatria itu menendang kakinya dan melemparkan tubuh Jade ke dinding. Dengan cepat, Sang ksatria bangkit dan menyerang kembali komandannya dengan kepalan tangan. Pertarungan berubah menjadi adu fisik, keduanya bergulat di lantai, mencoba saling menjatuhkan.
Insting Dorothy melihat ada kesempatan untuknya pergi dari situasi ini. Walaupun ragu, ia telah memutuskannya. Seketika Dorothy memutar tubuhnya dan berlari keluar dari lorong. Kakinya berderap di lantai marmer yang dingin. Sang ksatria yang sedang beradu pukulan melihat sekilas Dorothy yang lari meninggalkannya.
"Tidak! Tolong kembalilah!!" ia berteriak agar gadis kecil itu tidak keluar tanpanya, namun suara itu hanya menjadi latar belakang bagi Dorothy yang terus maju tanpa menoleh ke belakang.
Langkahnya terasa berat, setiap hentakan kakinya membawa rasa sakit dan kekhawatiran. Pikirannya hanya tertuju pada pintu keluar yang semakin mendekat, tempat yang bisa memberinya keselamatan dari kengerian di dalam kastil. Nafasnya terengah-engah, namun dia tidak berhenti.
Rasa takut yang mendalam memberinya kekuatan untuk terus bergerak. Namun akhirnya, Dorothy mencapai pintu keluar dari lorong selatan, setelah berlarian kesana kemari. Dengan tangan yang gemetar, dia mendorong pintu besar itu serta melihat keluar kastil.
Seketika, Dorothy tertegun oleh pemandangan yang menghancurkan hatinya. Seluruh hal di luar kastil terbakar, menghanguskan setiap sudut bangunan serta menyebarkan asap tebal ke udara malam yang dingin. Jeritan dan suara pertempuran masih terdengar, menciptakan suasana yang penuh dengan ketakutan.
Dorothy berdiri terpaku, matanya terbuka lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Nafasnya terhenti, tubuhnya kaku, otaknya berusaha mencerna kekacauan yang begitu nyata.
Mereka bilang ini adalah kesalahan ayahnya, namun bagi Dorothy kecil, ia selalu mendapat kasih sayang dan tempat ternyaman di sisi sang ayah. Dalam perasaan bimbang dan keraguan itu, dia tidak menyadari seorang prajurit mendekatinya dari samping.
Meraih lengan Dorothy dengan kasar.
"Kau ikut denganku!" katanya dengan suara tinggi, menarik anak perempuan itu dengan paksa dari tempatnya berdiri.
Dorothy tidak dapat melawan; tangannya terjepit di genggaman sang prajurit, dan langkahnya terpaksa mengikuti gerakan keras yang menariknya menuju aula tengah kerajaan.
Selama perjalanan menuju aula, suasana semakin menekan, bau asap serta hangus yang sangat menyengat, dan setiap langkah terasa membunuh kesadarannya.
Aula tengah adalah ruang besar yang dahulu megah, namun kini diselimuti oleh ketegangan.
✦✦✦
Lantai yang dulunya bersih dan berkilau kini tertutup debu dan puing-puing.
Di tengah aula, sekelompok orang berkumpul dengan penuh perhatian.
Dorothy terpaksa berhenti, matanya terpejam dalam ketidakberdayaan.
Di hadapannya, terlihat beberapa prajurit berjaga di sekitar, sibuk memaksa orang-orang untuk berlutut.
Ketika ia membuka matanya, pandangannya seketika langsung tertuju pada sosok yang sangat ia kenal-sang ibu yang berdiri di tengah kerumunan, tampak jelas bahwa ia tidak patuh kepada para pasukan penyerbu. Napas Dorothy tercekat setelah menyaksikan para prajurit mulai melucuti pakaian sang ibu dengan kasar.
Mereka merobek jubah dan gaun yang dikenakan ibunya dengan cepat, mengungkap tubuhnya dalam keadaan terluka dan penuh dengan memar. Setiap kali sang ibu berusaha untuk melindungi dirinya, ia hanya mendapatkan pukulan dan tendangan yang semakin menambah penderitaannya.
"Ibu! Hentikan!!" teriak Dorothy dengan suara lantang, ia tak dapat lagi menahan emosinya.
Namun, teriakan Dorothy hanya dibalas dengan tawa kasar dari para prajurit.
Salah satu dari mereka, dengan wajah tertutup helm yang bersinar dalam cahaya api, mencibir dan berkata dengan sinis, "Inilah yang orang tuamu nikmati, semoga mereka berkuasa di neraka."
"Tolong maafkan, maafkan aku.."
sahut Dorothy kecil, dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar di hadapan situasi ini, namun air mata terus mengalir tanpa henti. Para prajurit akhirnya mengikat ibunya pada tiang eksekusi, tangannya direntangkan dan diikat dengan tali yang kuat.
Wajahnya tampak meringis kesakitan,
sementara kerumunan menyaksikan dengan penuh perhatian. Salah satu prajurit berjanggut lebat maju dengan sebuah pedang yang tajam di tangannya. Senjata itu tampak berat, dengan penuh kehati-hatian, ia membawa pedang menuju sebuah api besar yang menyala di sisi ruangan.
Ia memasukkan bilah pedang ke dalam api, membiarkannya menyala kemerahan.
Suara desisan dan letupan kecil dari api terdengar jelas di telinga Dorothy. Kemudian besi panas itu ditempelkan ke kepala sang ibu, seketika itu juga, sebuah jeritan nyaring terdengar dari mulut ibunya.
Rasa panas yang menyengat langsung membuatnya merasakan rasa sakit yang luar biasa. Bilah membara membakar kulitnya, menyebabkan bau daging terbakar yang menusuk hidung, prajurit itu kemudian menarik pedang dan menempelkannya kembali hingga membuat tengkorak sang ibu meleleh.
✦━━━✦