"Namun, aku tak melihat apapun tentangku dalam mantra sihirmu." Edwart mengerutkan kening, sang Nenek pun hanya bisa menyimak pembicaraan mereka.
"Jelas saja, aku bukanlah ahli magis, kemampuan itu hanya akan memperlihatkan beberapa ingatanku." Cavelin kembali merenungkan perkataannya.
"Kebanyakan manusia hanya mampu menguasai sihir sampai tingkatan ke III." lanjut Cavelin, "Sulit untuk mempelajari simbol Ascaryn, bahasa yang konon dipakai oleh para penduduk langit."
"Ascaryn?" Edwart mengambil gelas teh miliknya, serta menghirupnya perlahan, "Orang desa sepertiku, tak pernah sekalipun melihat sihir, aku hanya berpura-pura agar terlihat tidak terkesan." ucapnya sambil tertawa kecil.
Cavelin menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya. "Kau mudah ditebak, bodoh." dengan perlahan ia duduk disamping nenek Elda, "Untuk mempraktikkan kemampuan sihir, manusia harus punya cukup Lunic. Sebuah energi yang telah tertanam di tubuhmu semenjak kau lahir."
Nenek Elda kemudian menatap mereka berdua, "Setiap makhluk memiliki potensi. Lunic adalah energi yang sudah lama diwariskan, itu menjadikan segala sesuatu yang kita makan sebagai cara untuk memulihkannya."
Edwart menaikkan kedua bahunya menanggapi kata-kata tersebut, "Namun untuk menggunakannya, kita harus berbicara dengan bahasa Ascaryn?" tetapi, tak lama setelah ia bertanya, Edwart teringat kata-kata yang terlintas di telinganya saat memasuki bangunan tua.
"Seperti... He.. Rish Atyo.. Qi.. Him Gonath?"
Sontak ucapan Edwart membuat Cavelin dan sang nenek saling bertukar pandang, wajah mereka tertutup ketidakpercayaan. Lalu, Nenek Elda berdiri dengan tubuh tua yang bergetar, langkahnya terhuyung-huyung mendekati Edwart. "Ulangi kata-kata itu, Nak," ujarnya tegas.
Edwart, yang mulai merasa bingung, menegakkan tubuhnya dan menatap mereka berdua. "Apa maksudmu, nek? Apa yang aku katakan tadi?" Nenek Elda mendesak lagi, kali ini lebih keras, "Kata-kata yang kau ucapkan tadi... ulangi!"
Cavelin pun ikut mendekat, matanya menunjukkan kecemasan. "Edwart, apa yang kau katakan barusan... itu adalah Zarath-bahasa untuk para iblis."
"Zarath?" Edwart merasakan keringat dingin di tengkuknya. Dia mengambil gelas teh yang kini terasa dingin di tangannya, lalu menghirupnya perlahan, "aku hanya tidak sengaja mendengarnya pada malam itu, di altar itu."
✦✦✦
"Kau tidak mengatakan apapun kepadaku sebelumnya?" balas Cavelin.
Namun Edwart langsung menjawab, "kau tak pernah menanyakannya padaku." sang nenek yang sedari tadi menatap Edwart dengan tatapan tajam, menghela napas panjang. "Sudahlah, jauhkan ingatan tentang kata-kata itu dari hatimu."
"Tidak!" seru Cavelin, "tolong tulislah apapun yang kau dengar disini." ia mengeluarkan secarik kertas dari kantung jubahnya, kemudian berkata, "aku akan mempelajarinya. Itu mungkin merupakan petunjuk yang kau cari saat ini.
Edwart menatap kertas serta pena yang diulurkan Cavelin, segera mencatatnya. "Terima kasih, namun jangan buat dirimu dalam bahaya, Cavelin."
Nenek Elda tahu bahwa Cavelin tidak berbohong soal temannya yang berasal dari jauh, namun bagaimana ia bisa sangat mempercayai Edwart? Kota kini telah dipenuhi oleh rumor buruk, lelaki yang masuk usia remaja diwajibkan untuk ikut berlatih dengan pasukan berzirah.
Bahan makanan yang dikirim dari luar wilayah untuk sementara dibatasi, hingga banyak sekali pedagang yang kehilangan penghasilannya. Kabar bahwa komandan pasukan "Sayap Mahkota." telah mati karena racun mematikan, berhasil memecah kota dari dalam. Sir Egwyn yang tewas saat makan malamnya, akhirnya digantikan oleh pejuang yang berusia lebih muda.
"Edwart, tinggal lah disini sementara, kau mungkin tak akan menemukan pentunjuk dalam waktu dekat." Cavelin akhirnya membuat keputusan, ia melihat wajah sang nenek dengan penuh harap.
Edwart mengangguk pelan, sinyal bahwa ia tidak masalah dengan itu, selama ia selalu mendapatkan informasi disini. Nenek Elda pun ikut tersenyum, ia telah membantu dalam banyak hal sejak Cavelin kecil.
"Aku tak pernah menyangka akan melakukan semacam permainan rahasia dengan anak bangsawan..." Edwart menekankan kata-katanya dengan sindiran halus. "Jaga dirimu, Cavey, beritahu padaku tentang kabar baiknya." lanjut Edwart.
Malam itu Cavelin meninggalkan mereka berdua untuk kembali ke kastil, mereka membuat kesepakatan untuk bertemu setiap fajar terbit. Namun Edwart, kini ia harus membantu nenek Elda dengan melakukan pekerjaan rumah, hal yang paling ia hindari. Tetapi ia tak punya tempat lain untuk dituju.
✦✦✦
Akhirnya, dengan berat hati, ia mencoba untuk tidak mengeluh dan patuh. "Jadi menurut nenek, tinggal bersama dengan padatnya kota ini membuatmu nyaman?" tanya Edwart yang sedang membuat api untuk melewati dinginnya malam.
"Bukan kota ini yang menentukannya nak, dirikulah." jawab nenek Elda dengan tenang.
Edwart menatap api yang mulai berkobar, merenungi kata-kata itu. "Mungkin kau tak salah, aku selalu meyakini jika berburu membuatku benar-benar merasa...hidup."
Edwart menggerakan kayu-kayu yang terbakar. "Saudara dan ayahku, menurutku mereka sangat membosankan." lanjutnya. "Membersihkan kotoran ternak, menumbuk biji-bijian, menidurkan para domba. Lucunya, mereka tetap terlihat lebih bahagia dariku."
Meskipun terlihat sedang memejamkan matanya, sang nenek tetap memberi nasihat pada Edwart dengan berkata, "Kau tak bisa memberi sehelai benang ke para nelayan, begitu sebaliknya, kau tak bisa memberi jala ke para perajut," kata nenek itu. "Jangan ragu pada caramu bertahan hidup, sifatmu saja yang seperti berandalan, bersikaplah lebih berani."
Edwart tersenyum, perkataan sang nenek membuatnya kini merasa lebih baik. Setelah itu, malam berlalu dengan percakapan ringan di antara mereka, api perapian menghangatkan ruangan kecil itu sepanjang hari yang dingin dan gelap. Keesokannya, fajar menyingsing dengan perlahan.
Edwart bangun lebih awal, berusaha untuk tidak membangunkan nenek Elda. Dia melangkah keluar rumah, menikmati udara pagi yang segar, dan berjalan menuju tempat pertemuan yang telah disepakati dengan Cavelin. Di sudut kota yang masih sepi, Cavelin tampak sudah menunggu dari kejauhan, "Apakah kau memperlakukan nenek dengan baik?" sapanya.
Edwart tersenyum dan berkata, "Dia lebih pintar dari yang kukira, lalu bagaimana makan malammu di istana?"
Cavelin menghela napas panjang, jemarinya bermain dengan ujung selendangnya. "Mereka semua dalam keadaan yang tidak baik, tak sepatah kata pun terucap diatas meja makan."
Mata Cavelin kini beralih ke bebatuan di kakinya yang ia tendang pelan. "Aku membaca berbagai buku semalam, namun arti dari kata itu.. Jiwa yang Terbelenggu oleh Bayangan."
Edwart mengangguk kemudian melihat sekitarnya, "Baiklah, sekarang semuanya menjadi semakin rumit,"
Cavelin tersenyum samar, berjalan perlahan sambil sesekali menendang batu-batu kecil di jalannya. "Rumit bukan berarti tak terpecahkan, jagalah terus liontin itu di tanganmu."
Edwart mengangkat liontin merah dari kantung kulitnya, kemudian tersenyum sambil memperhatikan ukirannya di bawah sinar matahari yang mulai terbit dari ufuk timur. "Sekarang, aku harus mulai mencari emas untuk mata uang, mungkin saja aku akan mencari jalan pulang selamanya."
Cavelin melihat wajah Edwart yang baru saja bersikap sentimen, ikut termenung, "Pertemuanmu denganku adalah kutukan... Lalu, apa kau membenciku?"
"Di situasi seperti ini, bahkan jika aku membencimu, tak ada yang tahu bagaimana keluargaku akan berkumpul kembali." Edwart kembali menatap Cavelin, "Ramiel, Wenna.." saat ini ia merasa bahwa emosinya tidaklah penting.
"Kalau begitu, mendekatlah padaku," seketika ucapan Cavelin membuat Edwart mengerutkan alisnya dan bertanya-tanya.
"Bergabunglah dengan para Sayap Mahkota, maka aku akan memilihmu sebagai bakat seorang ksatria." lanjutnya, "Mereka dekat dengan keluarga kerajaan, mengawal para bangsawan yang cerdas, kau bisa mencari tahu banyak disampingku."
"Mungkin jika orang sepertimu bisa memasak, akan lebih mudah untuk masuk kesana." ujar Cavelin, dia mengarahkan jari telunjuknya ke bangunan megah tempat sang raja tinggal.
Edwart menatap bangunan megah itu dengan skeptis. "Kau merekrut sang pemburu terhebat sebagai pasukanmu sekarang, menarik."
"Katakan padaku, apa yang kuperlukan untuk menjadi pahlawan di negeri ini sekarang?" balas Edwart tertawa kecil.
Cavelin menepuk pinggang Edwart dengan sengaja, "Datanglah ke istana lewat pintu depan pada tengah hari, mereka mungkin akan langsung menghajarmu." ia melangkah meninggalkan Edwart dibelakangnya.
Dari kejauhan, Cavelin menoleh ke belakang sekali lagi dan berkata,
"Kecuali kau pandai bertarung, bukan hanya memburu kelinci hutan yang tak berdaya." Edwart yang juga menjauh mulai tersenyum karena merasa tertantang oleh seorang wanita.
Kini ia berhasrat untuk membuktikan pada Cavelin, bahwa kemampuannya bukanlah omong kosong."Dasar rambut perak, setidaknya belikan aku pedang yang mahal untuk menaklukkan seluruh kerajaanmu." gumamnya pelan. Dengan sesuatu yang mengganjal di hatinya, Edwart terus maju melangkah.
Jika ini jalan yang harus ia tempuh demi keluarganya, dia akan memperjuangkan itu hingga akhir. Kemudian di sisi lain kota, beberapa penduduk juga telah mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang ksatria kerajaan.
Beberapa dari mereka melakukannya demi kehormatan, beberapa melakukannya untuk mengubah hidup keluarga mereka, dan beberapa menyukai pertumpahan darah dengan pedang. Mereka menyebut itu suci.
"Jeslen!! Kau melupakan sarung senjatamu!" teriak seorang wanita dari dalam lorong utara, ia terlihat sedang bicara pada sosok pria berperawakan tinggi, bermata keunguan dengan rambut pirang terikat. "Biar darah mereka yang melapisi logam pedangku." ujarnya.
✦━━━✦