Langit di atas Edenfell mulai cerah ketika suara langkah kaki yang berat dan berirama terdengar di antara pepohonan lebat. disertai suara napas yang terengah-engah. Centaur, makhluk yang terkenal dengan kekuatan dan kebijaksanaannya Di antara pepohonan yang rapat, siluet sang Centaur tampak jelas.
Dengan tubuh setengah manusia, setengah kuda, ia berlari dengan kecepatan luar biasa menuju rawa. Makhluk itu berhenti di tepi rawa, menyapu pandangan ke sekelilingnya. Rawa itu dipenuhi oleh kabut yang tebal, dan suasana seolah menyatu dengan ketegangan yang dibawa olehnya.
"Dimana kau?" gumamnya pelan, namun suaranya beresonansi di antara pepohonan.
"Apa yang membawamu kemari, Jaruson?" Dari dalam kabut yang semakin pekat, terdengar suara geraman rendah. Tubuhnya besar, ditutupi oleh lumut tebal. Mata Gorrum yang merah menyala menembus kegelapan.
"Tak perlu menunjukkan wujud besarmu itu, teman." ujar Jaruson sambil mengangkat tangannya perlahan, seolah meminta Gorrum untuk menurunkan kewaspadaannya. "Aku datang bukan untuk berselisih, ada beberapa kabar yang penting." lanjutnya.
"Kabar penting? Kau tahu aku tidak suka gangguan di waktu seperti ini." sahut Gorrum.
"Aku tahu," jawab Jaruson, suaranya terdengar lebih serius sekarang.
"Para Guardian harus berkumpul, dan penghakiman harus segera dilakukan."
Gorrum terdiam sesaat, "siapa yang telah melakukan dosa besar di tanah ini?"
Jaruson pun mengangguk pelan, kemudian ia berkata, "jiwa kurcaci telah berpulang, hari ini." keheningan menemani mereka berdua untuk sesaat, hati Gorrum seakan tak percaya, terlebih setelah ia menemuinya tak lama sebelum berita ini sampai.
"Apakah yang lain sudah berkumpul?" tanya Gorrum.
"Belum semuanya," Jaruson menarik napas dalam, pandangannya mengarah ke kedalaman rawa yang gelap. "Aku telah mengirim pesan ke Guardian yang tersisa, namun jarak dan waktu menjadi tantanganku." lanjut sang Centaur, suaranya sarat dengan beban tanggung jawab.
Gorrum tak punya pilihan, selain harus menghadiri pertemuan penting ini. Para "Guardian" dibentuk bahkan jauh sebelum perjanjian Edenfell dengan Nazdeath. Untuk menjaga serta menghormati para tetua.
✦✦✦
"Kurcaci bodoh itu? Mati?" ucapnya, berdiri sesosok makhluk bergigi tajam serta mempunyai telinga yang panjang. Mereka adalah "Finged" hidup di dalam pohon besar dan berongga, memiliki kawanan yang suka berburu madu serta telur setiap musim. Nenek moyang mereka berasal dari mutasi bangsa Elf.
"Memang sudah saatnya Milory dijaga oleh makhluk yang lebih kuat dari Elberon." ujar Codric, ia merupakan Finged berkuku panjang dan tajam. Baginya, para Guardian telah lalai dalam tugas mereka, Milory adalah tempat roh para pendahulu serta dibangunnya altar waktu, hingga layak untuk diagungkan.
Di tengah ramai kawanan mereka, salah satu yang tertua berucap, "Elberon punya pengetahuan yang lebih luas dari kita semua, namun kesalahannya menjaga tempat sakral itu sendirian." Finged lainnya mengangguk, beberapa dari mereka merasa khawatir karena Edenfell sudah lama tidak membawa kabar buruk kepada para penghuninya.
"Manusia itu yang membawa petaka." bisik salah satu kawanan, mengundang bisikan-bisikan lain untuk menanggapi.
"Bukankah dewa yang mengirimnya?"
sahut yang lain, memecah pendapat mereka. Codric mengangkat tangannya, mengisyaratkan agar semua makhluk kecil itu diam. "Cukup!" serunya dengan suara yang memotong kegaduhan.
Salah satu Finged yang lebih muda, dengan suara yang sedikit bergetar, bertanya,"apa yang akan kita lakukan sekarang, Codric?"
Codric menatapnya dengan dingin. "Kita akan menunggu. Para Guardian pasti akan mengadakan pertemuan, jika keputusan mereka cenderung lemah, kita sendiri yang akan menghakimi manusia itu." keheningan melingkupi mereka untuk sesaat, hanya suara gemerisik dedaunan yang terdengar di luar.
✦✦✦
Di sudut lain Edenfell, dalam kegelapan gua yang diterangi cahaya dari permata merah, sekelompok makhluk lainnya berkumpul. Mereka adalah "Velgoth", makhluk penghisap darah yang bersembunyi di bawah permukaan tanah.
"Jadi, sang Kurcaci Cahaya akhirnya berpulang," suaranya bergema di dinding gua yang dingin. "Satu elemen lagi telah lenyap." dialah Lorash, berdiri di atas takhta batu yang dingin. Di sekelilingnya, para pengikut berlutut dengan pasrah, mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari mulutnya.
Para Velgoth dewasa memiliki ciri tanduk kokoh melingkar kebelakang, hingga tubuh mereka yang berbalut kulit kasar dan tebal, namun sebagian mereka tanduknya dipotong karena hukuman.
"Ia sangat membenci tuntunan Volkor, kemungkinan besar Norven lah yang membunuhnya." ucap salah satu pengikut yang berdiri disamping Lorash.
"Tunggu, Orwen." sahut Lorash, "Norven bukanlah makhluk yang berasal dari Edenfell, dia takkan berani melewati batasannya." Orwen, Velgoth yang berdiri di samping takhta, perlahan menundukkan kepalanya.
"Gorrum, makhluk licik itu," gumam Lorash, kedatangan manusia sekali lagi ke Edenfell pasti akan menimbulkan perpecahan, cepat atau lambat. Namun tak disangka pembunuhan akan terjadi pada tempat yang terhormat, hingga kecurigaan Lorash kepada para Guardian juga menguat.
✦✦✦
Tragedi menemukan jalannya. sekarang harus ada seseorang yang menggantikan Elberon, menjaga altar dimensi. Sementara itu, Dalam keremangan cahaya lilin, sosok seorang wanita tua berdiri membelakangi ruangan, tubuhnya bungkuk dengan rambut perak yang tergerai kusut.
Jubah lusuh yang dikenakannya jatuh longgar, berkibar pelan setiap kali ia bergerak. Di tangannya yang kurus dan penuh keriput, tergenggam erat sebuah liontin hitam, Carlen Clad.
"Jadi, mimpi burukmu akan terwujud ya?" bisiknya lirih, "akhir dari dunia."
"Apakah ini... memang takdir yang tak bisa dihindari?" bisiknya lagi, sebelum keheningan kembali merayapi ruangan itu.
Di waktu yang sama, Wealton terbangun dari tidur panjang. Ia perlahan membuka mata, merasakan cahaya hangat yang menyentuh, kemudian langkah lembut terdengar di sampingnya. Wealton menoleh dan melihat Dorothy yang berdiri di dekat ranjang, membawa sebuah nampan dengan sepotong daging dan cangkir darah angsa.
Dorothy, dengan ekspresi datar yang khas, meletakkan nampan di meja samping ranjang Wealton. "Kau terlelap selama dua hari, berturut-turut." ujar Dorothy sambil memotong kecil hidangan daging itu.
"Ayah mengkhawatirkanmu, dia sedang keluar untuk menyampaikan surat." lanjutnya.
Wealton mengangguk, mencoba mengumpulkan tenaga untuk duduk dengan lebih tegak. Ia mengambil potongan daging dan mencicipinya. Terasa lezat dan manis, memberikan sensasi kehangatan di tubuhnya.
"Minumlah, ini akan menyucikan darahmu." Dorothy mengulurkan secangkir darah angsa yang menyengat memenuhi ruangan. Wealton menerima cangkir itu dan mengangkatnya ke bibirnya. Darah angsa itu terasa dingin dan licin, memberikan rasa yang kuat.
"Terima kasih, masakanmu memang selalu terasa lezat." Wealton mengalihkan pandangannya dari hidangan ke arah Dorothy.
"Dimana saudara kita yang lain? Kakak laki-lakiku?" ia bertanya tanpa memandang Dorothy, melanjutkan makan malamnya dengan daging merah itu.
Dorothy berhenti sejenak, memandang Wealton sekaligus berpikir. "Kakak laki-lakimu," katanya, dalam benak Dorothy, ia sadar bahwa Wealton mungkin tak sepenuhnya lupa ingatan. Hubungan mereka yang kuat, membuat Ramiel menjaga kenangan itu dalam hatinya.
"Ia pergi jauh meninggalkan kita, mungkin untuk mengejar mimpinya." jawab Dorothy kemudian, serta menaruh senyum yang lebar di atas permukaan wajahnya.
✦━━━✦