"Wealton, apakah terdengar jelas untukmu?" ia akhirnya berdiri didepan sekumpulan makhluk asing. Namun, ia justru merasa lebih aman dibandingkan situasi yang ia hadapi sebelumnya.
Tentu saja Norven menjanjikan keamanan untuk Wealton selama berada di pihaknya. Namun Lorash merasa ada sesuatu yang salah dari "Sang Utusan." Terlepas dari usianya yang sangat muda, ia juga seperti tidak merasakan adanya darah yang mengalir di sekujur tubuh bocah itu.
"Kemarilah, nak." perintah Lorash padanya, membuat Wealton langsung mendekat tanpa keraguan. Bisikan diantara Velgoth mengisi kekosongan goa besar tersebut. "Apakah anak itu tak mengenal kematian?" setidaknya, seperti itulah perkataan yang Wealton dengar seraya melangkah.
Lorash menatap tajam bocah itu yang kini berdiri di hadapannya, begitu dekat hingga ia bisa merasakan udara dingin yang menyelubungi tubuh anak itu. "Beritahu aku, tentang emas dan darah."
Mendengar ucapan tersebut, kepala Wealton berputar untuk menemukan jawaban yang tepat. Namun ia menggelengkan kepala, "darah... adalah tanda kehidupan, kemudian emas lah yang akan memberimu kekuasaan." ucapnya.
"Sungguh pernyataan yang mendasar," Lorash beranjak dari tahtanya, lalu menunjuk tepat ke dada Wealton. Ia mengangkat kepalanya sebelum memulai, "jauh sebelum berdirinya 6 kerajaan manusia, diutus lah kedua malaikat yang bertugas untuk menuntun para manusia."
"Kedamaian adalah tujuan mereka, melahirkan keturunan, hingga membangun kehidupan mereka sendiri." lanjutnya. "Abad demi abad berlalu," suaranya semakin khidmat menjelaskan. "Mereka (manusia) selalu mencari kuasa serta kekayaan, tetapi lalai akan pedoman yang telah diajarkan."
Kemudian Lorash bergerak dengan anggun di atas bayangan cahaya redup. "Malaikat berzirah emas, selalu membantu mereka, meski sering kali dilupakan. Ia melihat manusia dengan harapan yang sungguh besar."
Lorash berhenti sejenak, mengamati wajah para Velgoth, sebelum melanjutkan kisahnya. "Tetapi malaikat pelukis darah, melihat hal yang jauh berbeda. Ia selalu menyaksikan dosa-dosa yang hendak dikerjakan mereka."
"Dalam pandangannya, manusia adalah makhluk yang suka melampaui batasan, mampu membenci serta menghancurkan, tidak pernah puas dengan apa yang telah diberikan kepada mereka." ia mengangkat tangan, seolah menunjukkan sebuah gambaran yang tidak terlihat. "Apa yang ingin dibuktikan oleh sang absolut? Ia bertanya pada dirinya sendiri, mengapa manusia yang memiliki potensi begitu besar, terus menerus dibiarkan berselisih?"
✦✦✦
"Hingga pada suatu ketika, kedua malaikat itu diperintahkan untuk pulang, tidak mencampuri urusan manusia lebih jauh." Lorash menundukkan kepalanya sejenak, menambah kesan pada kata-katanya. "Namun, malaikat pelukis darah, menolak perintah itu. Ia tidak akan membiarkan kehancuran menjadi masa depan dari mereka."
Wealton semakin merasakan emosi yang ditorehkan Lorash melalui kata-katanya, "menurutmu Wealton, apa hukuman yang pantas untuk para pendosa?"
Wealton kini merasakan berat di dalam hatinya yang mulai merayapi. Tatapannya tertuju ke tanah, seolah-olah mencoba mencari jawaban di antara kegelapan yang menyelimuti pikirannya. Dosa-dosa yang tak terhitung jumlahnya berkelebat dalam benaknya-mencuri, berdusta, membenci, menipu. Ia bukanlah orang yang bersih, dan ia tahu itu. Namun dalam hatinya, ia masih memegang keyakinan bahwa manusia pada dasarnya bukanlah makhluk tanpa harapan.
"Kita semua telah bersalah," jawab Wealton pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Siapa saja yang berbuat buruk... akhirnya, semua akan kembali pada dirinya sendiri."
Lorash tertawa keras setelah mendengar pernyataan tersebut, ia benar-benar melihat bocah ingusan telah ditakdirkan sebagai bidak yang berharga. "Lantas, katakan padaku, Wealton-mengapa aku berada di atas takhta?"
"Sedangkan aku telah membunuh banyak jiwa? Mengapa darah yang kusebarkan hanya membuatku semakin kuat, sementara kau kini berdiri di hadapanku dalam ketidakmampuan?"
Wealton tak menjawab dengan segera. Pertanyaan itu menusuknya, menyingkapkan keraguan yang selama ini ia sembunyikan.
Di balik keyakinannya, mengapa mereka yang berbuat semena-mena seolah merasakan kemenangan?
"Saat itulah malaikat pelukis darah mengatakan, tak ada yang layak menghuni dunia selain sang absolut dan para pengikutnya yang patuh." Velgoth lain kini mengelilingi Wealton, seakan membuat panggung untuknya dan Lorash. Lalu Lorash tersenyum, "Tentu saja pernyataan itu ditentang, itulah mengapa kau berada disini sekarang."
Seluruh makhluk mengingat sejarah lama ini sebagai kisah "Bulan merah yang Terjatuh." dengan diturunkannya sang malaikat merah, Volkor, karena tidak yakin akan keputusan surgawi. Jutaan tahun lalu setelah turunnya Volkor dari akhirat, ia kemudian hidup sebagai makhluk fana.
Berabad-abad lamanya ia tinggal, menyaksikan perang serta kejahatan pada wanita dan anak-anak. Ia pernah berpikir jika selama ini mungkin dirinya lah yang salah menilai. Namun kenyataan tidaklah berubah, mereka (manusia) bahkan dapat membunuh seorang anak didepan ibunya, jika itu untuk sebuah ambisi.
✦✦✦
Sedikit demi sedikit, Volkor mulai melangkah untuk mewujudkan tujuannya. Ia membuat sekutu besar hingga menggunakan kembali kekuatan surgawi yang tersisa dari dirinya. Pada masa itulah sebagian leluhur dari kaum yang lemah menerima belas kasihannya, termasuk para Velgoth dan kawanan Lycan.
Meskipun ditentang oleh banyak manusia, Volkor tetap menerima para budak dan anak yatim yang tersingkir dari mereka. Suatu malam, Volkor yang sedang menyendiri di hutan kedatangan sebuah siluet cahaya dari langit yang hendak melaju.
Volkor melihat sesuatu yang tidak pernah ia sangka akan muncul lagi. Dari dalam cahaya itu muncul siluet yang begitu ia kenali, meskipun sudah ribuan tahun sejak terakhir kali ia melihatnya. Sang malaikat berzirah emas, Enronn, saudara Volkor pada masa lalu, salah satu dari malaikat yang tertinggi.
Enronn mengaku ingin kembali bersama menjaga tanah surgawi, ia berjanji pula akan mengajukan pertimbangan kepada penduduk langit, jika Volkor hendak berubah pikiran. Tapi tentu saja tawaran murah hati itu tidak melunakkan hati Volkor, ia takkan pergi tanpa mengutarakan isi hatinya pada dunia.
Enronn tak mampu menghentikan keyakinan kuat saudaranya, hasrat yang menuntun Volkor untuk mendapatkan sumber kekuatan agung, yang dapat memanipulasi dimensi, serta kontrol penuh atas berjalannya waktu. Meski membutuhkan syarat tertentu, nyatanya Edenfell telah berada di tempat yang berbeda, berkat kekuatan yang ditemukan Volkor lalu ditempa oleh para ahli sihir.
Setelah penolakan tersebut, ekspresi wajah Enronn berubah, ia seketika melesat, mencoba menebas saudaranya dengan kecepatan cahaya. Volkor yang menerima serangan itu terkejut, bahkan bersumpah jika Enronn tak akan berbuat seeperti ini, namun tidak untuk para petinggi surga, Volkor tahu.
Mereka takkan membiarkannya setelah membangkang, hingga di perintahkanlah Enronn untuk membunuhnya. Sebagian berkata jika Enronn memohon selama dua puluh dekade agar saudaranya diampuni, namun permintaan tersebut tetap sia-sia. Malam itu menjadi peristiwa yang paling banyak dicatat dalam sejarah.
Dua malaikat surgawi, kini berdiri berseberangan-satu dengan tombak yang menggambarkan kejatuhannya, dan yang lain dengan sayap emas, melambangkan kesucian surga yang abadi. Kilatan cahaya pedang Enronn memancar, menyinari hutan yang sebelumnya dibalut kegelapan.
Bagi siapa pun yang menyaksikannya, itu akan tampak seperti kemenangan yang cepat dan pasti. Tetapi Volkor, meskipun terluka, tidak runtuh. Mereka bertarung hebat hingga menghasilkan cahaya yang lebih terang dari bintang-bintang. Setelah serangan bertubi-tubi diterima Volkor, ia menggunakan satu hal yang tidak dimiliki Enronn.
"Desperasi" akhirnya kelebihan itu dapat menguasai Volkor, membuatnya mampu memutus kedua sayap emas di akhir pertarungan panjang mereka. Namun kini hatinya hampa, setelah ia melihat tubuh Enronn yang tak bernyawa. Hukuman mutlak dari penduduk langit pun tak dapat ia hindari sekarang.
Volkor menatap ke langit, sebelum jiwanya dikirim ke "Faclen," ia melepaskan sebagian kemampuan surgawi yang tersisa di dalam tubuhnya. Dengan itu, Volkor menghilang ke dalam gelapnya malam, ditarik kembali oleh ketiadaan untuk menerima ganjaran untuk jiwanya.
Cahaya redup dari obor di dinding goa memantulkan siluet Lorash, kemudian ia mengakhiri kisahnya dengan kembali bertanya pada Wealton, "Mengapa Volkor diberi pilihan? Hanya untuk dihukum setelahnya? Layaknya manusia."
Kata-kata itu berhasil memaku benak Wealton sekali lagi. Malaikat itu diberi ilusi pilihan, namun kenyataannya... mereka sudah memutuskan nasibnya sejak awal.
Wealton, meskipun hatinya masih bergejolak, ia sontak berkata, "mungkin pilihannya lah yang membuktikan sesuatu? Bahwa ia masih belum bisa menebus kesalahannya."
Lorash menyipitkan matanya, seolah menimbang ucapan Wealton, namun kemudian ia tersenyum dingin. "Suatu saat kau akan melihatnya."
✦━━━✦