Jauh dari Chapel Milory, di tengah belantara hutan purba, nyaris tersembunyi di antara pepohonan. Berdirilah sebuah gubuk kecil. Gubuk itu tua, seperti wanita yang tinggal didalamnya. Rambutnya berwarna perak, dipenuhi uban yang menandai waktu.
Di pangkuannya terletak sebuah buku yang terikat dengan kulit yang sudah menghitam, penuh dengan bekas jemari yang pernah membolak-balik halamannya. Saat ia membaca, bibirnya bergerak perlahan, menggumamkan kata yang diukir di halaman kuno itu.
Namun, ia seketika merasakan hawa dingin yang tiba-tiba masuk melalui celah di dinding gubuk. Lebih dingin dari biasanya. Membuat bulu kuduk berdiri, dan tanpa sadar, tangan keriputnya berhenti membalik halaman. Wanita tua itu perlahan bangkit.
Kakinya yang rapuh berderak saat ia berjalan menuju pintu, membawa serta buku yang masih terbuka di tangannya. Saat ia membuka pintu, dingin itu menyeruak masuk dengan ganas. Di tengah pepohonan kering pada halaman gubuknya, berdiri sebuah sosok yang begitu besar, membuat benda sekeliling tertutup oleh es.
"Kestu, maaf aku tak bisa menghadiri pemakamannya, tubuhku sudah mulai rapuh." ucap sang nenek menyeringai, suaranya serak.
Kestu tidak segera menjawab, matanya yang berkilauan seperti es menatap tajam.
"Aku tidak bodoh, Liatris, para Guardian sedang mencarinya saat ini." lanjutnya, "kau mulai percaya pada apa yang Norven perjuangkan?"
Kemudian nenek tua itu mendongakkan kepalanya, membalas pertanyaan sang Guardian. "Apa yang kau bicarakan?"
Kestu melangkah maju, mendekatkan dirinya kepada wanita itu, hingga embun beku mulai muncul di daun-daun yang menggantung di sekitar gubuk. "Serahkan liontin itu padaku." desaknya dengan perintah.
Lalu sang nenek merapatkan bibirnya, menahan napas sejenak. "Aku tidak menyimpan ini untuk Norven." jawabnya. "Di waktu yang tepat, manusia itu akan menjadi harapan, bukan budak dari keputusasaan."
Setelah bernegosiasi beberapa saat, wanita tua itu menutup buku yang ada di pangkuannya. Tanpa berkata lagi, Kestu memutar tubuhnya, entah kesepakatan apa yang mereka bicarakan, namun perlahan-lahan ia membaur kembali dengan bayangan hutan, meninggalkan Liatris yang masih berdiri di ambang pintu.
✦✦✦
Sementara itu, di dalam perpustakaan Skellsith, Dorothy dan Wealton telah memulai latihan mereka, mengasah kemampuan bertarung demi kelangsungan hidup. "Kau harus lebih dari sekadar siap," suara Dorothy memecah kesunyian dengan nada tegas. "Dalam pertempuran, setiap detik menentukan hidup dan mati."
Wealton mengangguk, menegakkan punggungnya dan berusaha meniru posisi siap Dorothy. "Aku mengerti," jawabnya, meski kegugupan tersirat dari sorot matanya. Meski awalnya berat bagi Wealton, ia tetap melanjutkan latihan. Dengan gerakan yang cepat dan presisi, Dorothy melangkah maju, pedangnya meluncur ke arah Wealton dalam satu ayunan tajam.
Wealton terkejut, tetapi berhasil mengangkat pedangnya untuk menangkis serangan itu. Denting logam yang keras terdengar ketika bilah-bilah pedang bertemu, dan getarannya menjalar ke seluruh tubuh Wealton.
"Kau lamban," ujar Dorothy tanpa belas kasih, menarik pedangnya kembali untuk menyerang dari sisi lain. "Lamban adalah kematian."
Wealton berusaha mengikuti, memutar pedangnya untuk menangkis serangan yang datang dari kiri. Ia berhasil, namun dengan langkah yang goyah. Dorothy bergerak seperti bayangan yang tak tersentuh, menyerang tanpa ampun dan menguji batas kemampuan Wealton.
"Kau tak bisa hanya mengandalkan kekuatan," lanjut Dorothy, serangannya tetap tanpa jeda.
Tiba-tiba, suara dentuman keras memecah latihan mereka, seolah-olah ledakan mengguncang seluruh dinding perpustakaan. Debu dan serpihan buku berhamburan di udara. Wealton hampir kehilangan keseimbangan, matanya melirik gugup ke arah Dorothy.
Dorothy, meski tampak tak terganggu, menghentikan serangannya dan memusatkan perhatian pada suara yang mengguncang ruangan. "Tinggallah di sini. Latih gerakanmu hingga matang sebelum aku kembali," perintahnya tegas.
Dorothy bergegas keluar, meninggalkan Wealton sendirian. Nalurinya tak tenang. Ia berlari menuju tepi menara dan memandang ke bawah melalui lubang di lantai. Matanya menyipit ketika melihat sosok besar berdiri di tengah reruntuhan.
Veridith, dengan postur raksasa, berdiri di sana, dikelilingi oleh aura yang menggetarkan. "Tenang... Aku hanya datang untuk menyapa," suara Veridith terdengar dalam dan bergema.
Dorothy menggigit bibirnya, Ia teringat kata-kata Norven sebelum pergi, jika salah satu Guardian datang, jangan sampai mereka menemukan Wealton. "Keberanianmu patut dihargai. Kau tetap di sana, bukan?" lanjut Veridith, matanya memandang lurus ke arah menara, seolah penglihatannya mampu menembus dinding.
Dorothy tetap tenang meskipun Guardian yang berada dihadapannya merupakan ancaman besar. Ia tahu Veridith tidak akan pergi tanpa alasan, "maafkan aku, tuan... Norven sedang tidak di sini," teriak Dorothy.
Veridith melangkah maju mendekati menara dengan gerakan lambat namun pasti, setiap langkahnya menggema di antara puing-puing yang berserakan.
"Aku tidak mencari Norven," ucapnya dengan nada rendah. "Tentu saja, dia harus menemui para Finged."
Dorothy mengernyit mendengar nama itu, meski wajahnya tetap tidak bergeming. "Namun, pernahkah kau melihat seorang manusia akhir-akhir ini? Atau mungkin berinteraksi dengan mereka?" Veridith bertanya sambil menyoroti menara dengan tatapan tajam.
Dorothy tahu bahwa Veridith mulai mencium sesuatu yang tak seharusnya ia ketahui. Guardian sepertinya sangat berbahaya jika dibuat curiga. Namun, ketenangan tetap harus ia jaga. "Manusia?" tanya Dorothy dengan nada terkejut yang dibuat-buat. "Aku tak pernah melihat mereka sejak, Chlora."
Veridith memandang bayangan Dorothy dengan dingin, tatapannya seolah ingin menembus setiap lapisan kebohongan. "Hmm, apakah obsesi Norven terhadap manusia mulai memudar?" gumamnya dengan suara berat.
"Jika ada yang bisa aku lakukan untuk membantu, silakan," kata Dorothy menawarkan, mencoba mencari celah untuk mengakhiri percakapan ini tanpa memberi terlalu banyak informasi. "Namun, kutegaskan sekali lagi, aku tak punya sesuatu yang sedang kau cari."
✦✦✦
Sementara itu, di ruangan dalam perpustakaan, Wealton mulai merasakan ketegangan yang makin terasa di udara. Kegelisahan yang ia rasakan membuatnya semakin tidak sabar. Ia mengintip keluar dari celah di dinding dan melihat bayangan Dorothy yang masih berdiri di tepi menara.
Tanpa memperhitungkan bahaya, Wealton melangkah menuju Dorothy, keingintahuan dan kekhawatiran menguasai dirinya. Namun, pada saat yang sama, Veridith dengan instingnya yang tajam menyadari gerakan kecil itu. Matanya bersinar, menyapu area menara dengan tajam.
Sayapnya yang besar terentang tiba-tiba, seperti tirai malam yang menjulang, menghasilkan angin kencang yang mengguncang bangunan tua itu. Veridith terbang melayang, naik ke puncak menara dengan anggun.
"Apa yang coba kau sembunyikan?" suaranya bergaung dan menggema.
Wealton terdiam, menahan napasnya. Tubuhnya menegang, dan setiap serat ototnya terasa kaku di bawah pengaruh Guardian yang mengerikan itu. Dorothy segera mengisyaratkan agar Wealton mundur perlahan. Ia tahu para Guardian memiliki kepekaan luar biasa terhadap segala gerakan.
Dorothy berpikir cepat, menyusun strategi dalam benaknya. Ia mulai mundur perlahan, mencoba mengalihkan perhatian Veridith dengan gerakan tangannya, melayangkan mantra isyarat yang nyaris tak terlihat. Ini adalah salah satu cara terakhir yang dimilikinya jika dalam bahaya besar-sebuah tanda yang terikat oleh perjanjian jiwa.
Sinyal itu pasti akan diterima. Hingga dari dasar menara, sekawanan kelelawar mulai berkerumun, terbang melingkari langit. Mereka bergerak dengan cepat, hingga mengalihkan perhatian Veridith. Tidak lama dari itu, debu dan serpihan abu mulai menghantam wajah Dorothy, tapi ini adalah momen yang ia tunggu, jawaban dari panggilannya.
"Kau buruk dalam memainkan peran, Veridith, menakuti temanku dari luar sana."
Sebuah suara terdengar dari belakang Dorothy, lantang dan kuat.
Keberadaan sosok pelindung yang akhirnya muncul, menggantikan posisi Wealton di sampingnya. Pria itu berbicara dengan ketenangan luar biasa, mencoba mengubah suasana yang tegang. Veridith tersenyum, ia mengenali suara dan kekuatan yang menyertai sosok itu. "Norven sang Suksesor."
✦━━━✦