"Dia pergi jauh untuk mengejar sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehidupan di sini," lanjut Dorothy dengan tenang.
"Mungkin, yang tak bisa ia wujudkan disamping kita."
Namun Wealton dengan mata yang sayu menjawab sang kakak, "aku seharusnya mengingat lebih banyak tentang Edwart," ia seolah merasakan kehilangan yang samar.
Setelah mendengar jawaban itu, Dorothy memanggilnya dengan suara tegas. "Hentikan makanmu sejenak dan tolong dengarkanlah aku, Wealton."
Wealton mendongak penuh kebingungan. Dorothy menatapnya tajam, "Perpecahan akan segera datang, saudaraku. Ayah telah memperingati kita. Kita sedang menghadapi hari ini, bukan hanya tentang kenangan masa lalu." Ia mengeluarkan pisau kecil dan menunjukkannya pada Wealton. "Aku berjanji akan mengasah pisaumu," katanya, sebelum melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Wealton dalam keheningan.
✦✦✦
Sementara itu di hutan, Norven berjalan dengan tenang, mengenakan jubah merah mencolok yang berkibar di antara pepohonan. Ia membawa setangkai bunga putih, lalu menanamnya di tanah dengan lembut. Pandangannya menyapu sekeliling, seolah menunggu sesuatu yang tak terlihat.
"Bunga ini adalah kenangan," bisiknya pada diri sendiri. "Kau mungkin telah pergi ke sisinya sekarang, menjadi cahaya bagi mereka yang menghormatimu."
Setelah itu, ia berbalik dan meninggalkan bunga itu berdiri sendiri, tertinggal di tengah kehampaan hutan. Norven tahu bahwa pembunuhan di Edenfell telah mengguncang keseimbangan. Ia sadar bahwa dirinya akan menjadi satu dari banyaknya makhluk yang hadir pada penghakiman para Guardian.
✦✦✦
Pagi hari yang sama pada Chapel Milory, para Guardian telah berkumpul-Veridith, Kestu, dan Nesper-masing-masing membawa kehadiran yang kuat. Mereka menyaksikan penghormatan terakhir untuk Elberon, kurcaci bijaksana yang telah meninggalkan dunia.
Asap membumbung dari tubuh Elberon yang terbakar di bawah sinar matahari perlahan menghilang di langit, membawa sisa-sisa abu sang kurcaci ke alam baka. Para Guardian berdiri dengan hening, menyaksikan api yang mulai meredup.
"Kestu", penjaga Daratan Es, memecah keheningan dengan suara berat yang seolah menggema dari dalam kristal yang menyusun tubuhnya, "Tak ada manusia yang menghadiri upacara ini, seperti yang diinginkan oleh Elberon. Keinginan terakhirnya telah terpenuhi."
Di samping Kestu, berdiri "Veridith", Guardian yang mengawasi langit serta pegunungan. "Betapa memalukan, yang datang setelah kematiannya, ketika kita seharusnya menjaganya." Matanya berwarna biru pucat bersinar samar di bawah cahaya matahari.
Veridith mengucapkan kata-kata itu dengan penyesalan mendalam, seolah menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada sahabat lamanya. Kemudian "Morgar", Guardian penjaga malam dari kuil "Enronn", dengan tenang menanggapi, "Takdir telah menemukan jalannya, Veridith. Kita bukanlah dewa, bahkan Guardian tak dapat melawan waktu."
Saat api memudar, "Gorrum" menatap keempat Guardian lainnya dengan tatapan penuh pertimbangan. Ia akhirnya berbicara, "Jaruson, bagaimana kabar ini sampai kepadamu? Siapa yang pertama kali mendapati tubuh Elberon?"
"Jaruson", sang penjaga lembah yang mempunyai kemampuan berbicara dengan para hewan, menundukkan kepalanya sedikit. "Kawanan tikus dari dalam bangunan mencium bau darah. Mereka memberitahuku melalui seekor burung hantu. Aku segera bergegas, dan ketika sampai, tubuh Elberon sudah tergeletak tak bernyawa. Tangan kanannya terputus, dan kedua bola matanya hancur."
Keheningan menyelimuti mereka. Gorrum, yang mengenal Elberon lebih baik dari yang lain, tampak terguncang, meski ia menyembunyikan perasaannya. "Hewan-hewan di sekitar tidak melihat siapa pun yang mencoba masuk pada malam itu," lanjut Jaruson, matanya menyipit seolah mencurigai sesuatu. Tatapannya beralih pada Morgar.
Morgar, sang penjaga malam, yang terkenal memiliki kemampuan untuk menjadi tak terlihat, hanya menatap dingin tanpa menunjukkan reaksi. Meski kecurigaan mulai timbul di hati para Guardian, mereka tahu tuduhan tanpa bukti bisa menghancurkan kepercayaan di antara mereka.
"Jika Guardian pun tidak lepas dari kecurigaan," Kestu berbicara dengan nada rendah, "Dimana kau saat itu, Gorrum?"
Gorrum tersinggung oleh tuduhan itu.
"Aku berada di tempatku seharusnya, Kestu. Mungkin kau yang perlu memikirkan kembali siapa yang tidak berpikir jernih di sini."
Veridith, yang diam sejak awal, melangkah maju, "Cukup," katanya dengan nada tegas namun tenang. Cahaya keemasan dari zirahnya memantul di lantai yang retak, bayangannya bergerak seolah gelombang.
✦✦✦
"Apakah menuduh satu sama lain akan menyelesaikan masalah kita? Inikah yang terjadi setelah kita berpisah sekian lama?" tanyanya dengan lembut namun penuh otoritas. Meski Veridith berbicara dengan kebijaksanaan, ketidakpercayaan telah tumbuh di antara mereka.
Tiba-tiba, Morgar mengangkat wajahnya, mata kegelapannya kini berkilat-kilat. "Kau benar, Kestu. Aku bisa saja melakukan ini. Aku memang punya kendali atas itu. Namun, bagaimana kalian bisa yakin bahwa aku yang melakukannya?" tanya Morgar dengan nada yang menggema di ruangan tua itu.
Para Guardian yang lain terdiam, terjebak antara rasa saling curiga dan pengetahuan bahwa masing-masing dari mereka punya potensi untuk melakukan hal yang sama.
Jaruson menggertakkan giginya. "Dengan semua kelalaian yang terjadi di sini, satu-satunya yang bisa membawa bukti adalah penglihatan."
Semua Guardian kini memiliki pemikiran yang sama. Chapel Milory adalah tempat suci, tempat dimana penglihatan masa depan dan masa lalu bisa didapatkan bagi mereka yang ditakdirkan. Namun, Kestu yang selalu berhati-hati, berbicara dengan keraguan. "Tak ada satupun makhluk di Edenfell yang mendapat penglihatan di katedral ini selain Nazdeath dan para kurcaci."
Ekspresi wajah Gorrum berubah drastis. Ia menyadari satu hal yang tidak diketahui oleh Guardian lainnya-sesuatu yang bisa membawa mereka ke sebuah keputusan yang salah. Ramiel, manusia yang ia temui sebelumnya, telah mendapatkan karunia penglihatan di aula Milory.
Jika para Guardian mengetahui hal itu, mereka akan segera mengejar Ramiel tanpa ragu. Keheningan yang tegang akhirnya terputus ketika Morgar angkat bicara. "Manusia itu," katanya, "aku akan membawanya ke sini."
Perkataan Morgar membuat Gorrum merasa khawatir. Penglihatan bukanlah hal yang mudah dihadapi, apalagi untuk seorang manusia. Tidak ada batasan yang jelas antara masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam penglihatan. Ia bisa memakan jiwa seseorang dan membuatnya terjebak dalam kegelapan selamanya.
Kemudian Kestu memandang Gorrum lagi, matanya berkilat dingin, dan bertanya, "Bukankah kau selalu bertemu dengan mereka, Gorrum?"
Gorrum terdiam, berusaha keras menyembunyikan kekhawatiran. "Tentu saja," jawabnya dengan tenang, "dia melewati rawa tanah yang kujaga, kulihat anak ingusan itu tak bisa melakukan apapun."
Morgar memutar tubuhnya dengan santai dan berkata, "Manusia selalu membawa petaka di mana pun mereka berada. Kita harus memusnahkan mereka segera setelah mereka menjejakkan kaki di Edenfell."
Jaruson, yang dari tadi menahan amarahnya, akhirnya meledak. "Kita seharusnya tidak memberi mereka kesempatan untuk bertahan di sini!"
Namun, Veridith, dengan lembut mendekat dan berbicara dengan suara yang penuh ketenangan, "Kita adalah pelindung, bukan penghancur. Ingatlah, manusia tidak memasuki Edenfell kecuali takdir yang membawanya ke sini."
Veridith menatap rekan-rekan satu persatu, ia berusaha menekankan pendapatnya. "Aku akan mencarinya sendiri, meminta kemurahan hati manusia itu, bukan untuk menyingkirkannya."
Tak ada perdebatan setelah itu. Para Guardian tahu bahwa Veridith bukanlah sosok yang ingin mereka musuhi. Tanpa kata-kata lebih lanjut, Veridith melangkah menuju pintu besar. Dengan sekali hentakan yang kuat, ia membuka sayap emasnya yang megah dan bersinar.
Sayapnya mengepak dengan lembut, namun cukup kuat untuk mengangkat tubuhnya ke langit. Kemudian ia melambung tinggi dengan waktu yang singkat serta menembus langit Edenfell, sementara para Guardian lainnya tetap berdiri di bawah, saling memandang satu sama lain dengan penuh ketegangan.
✦━━━✦