Matanya terbuka lebar lalu dahinya dipenuhi oleh keringat yang mengalir. Dengan cepat, Dorothy sadar bahwa ia telah mengalami mimpi buruk yang menghantuinya lagi setelah bertahun-tahun. Di hadapan Dorothy, Norven ternyata telah kembali.
Ia sedang berdiri menggenggam kantung kain yang meneteskan darah. Melihat itu, Dorothy mencoba mengumpulkan napasnya yang masih tersengal-sengal. Norven mengangkat alisnya serta mendekat sembari memperlihatkan senyum samar.
Ia mengangkat kantung kain tersebut sehingga Dorothy bisa melihat lebih jelas isi didalamnya. "Siapa yang mau janin kelinci?" ucap Norven sambil bersenda gurau.
Dorothy yang menatap isi kantung menjijikan itu, tidak terlalu tertarik pada apa yang dibawa Norven. Namun kini matanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan anak yang ia ikat di kursi sebelumnya.
"Aku mengikat seorang anak di ruangan ini, sebelum kau kembali." balas Dorothy,
"apakah tuan sudah melihatnya?"
"Terima kasih, aku menghargai ketulusanmu." Norven memandang Dorothy dengan tatapan yang seolah sedang tak sepenuhnya serius.
Norven kemudian melirik ke sudut ruangan. Sebuah peti kayu terbaring disana, menggantikan kursi ikatan sang anak. "Tak kusangka bahwa dia akan kemari tanpa petunjuk apapun."
lanjut Norven, ia melepas tudung jubah dan berkata, "ini pasti ulahnya."
Dorothy mengangguk tanpa kata, kemudian ia membuka peti tersebut untuk memeriksa keadaannya, Norven menggoyangkan bahu serta tangan anak itu. "Jiwa yang kembali dari kematian, dialah manusia yang Volkor janjikan." ucap Norven sekali lagi, ia memegang pundak Dorothy dengan bangga.
Akhirnya hasrat yang telah lama ia imajinasikan, sebentar lagi akan terwujud. Dengan menggunakan darah anak itu, Norven dapat memecah batasan antara Edenfell dengan dunia manusia. Dorothy menghela napas, lalu memandang Norven yang sedang sibuk menyalakan lilin-lilin di meja besar di sudut ruangan.
Cahayanya yang redup menyebar lembut, memberikan kesan keintiman. "Tuan Norven," ia mulai, suaranya lembut namun tegas, "ada yang ingin kupastikan."
Norven yang tampak tertarik dengan pertanyaan tersebut, "tentu, apa yang ingin kau ketahui?" ia kembali bertanya.
Dorothy menarik napasnya dalam-dalam lalu berkata, "mengapa kau sangat membenci mereka?"
Norven menatap Dorothy. Dia sadar jawabannya akan mempengaruhi sudut pandang yang wanita itu miliki. Namun Dorothy siap menerima apapun jawaban dari Norven, meskipun wajahnya kali ini mulai menunjukkan keraguan.
Kemudian Norven menggelengkan kepalanya seolah sedang merasa kecewa, "Aku ingin menciptakan tempat, dan kehidupan yang lebih pantas untuk mereka, mereka semua."
Dorothy mengambil salah satu buku pada lemari dan berkata, "lalu, mengapa malam itu kau memutuskan untuk membawaku? Bukankah aku adalah seorang manusia?"
Kemudian Norven melangkah untuk menaruh lilin-lilin di sekitar peti, ia tersenyum samar. "Saksi." Norven berhenti bergerak, "kini kau berdiri bukan lagi sebagai manusia, Rendle."
✦✦✦
Setelah menunggu sepanjang hari, suara batuk kecil terdengar dari dalam peti. "Ugh..." sesegera mungkin Dorothy dan Norven menoleh. Anak itu mengerang pelan, matanya kesulitan untuk terbuka. Perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya, pandangannya terlihat lemah, suaranya parau dan serak.
Dengan senyuman lembut, Norven berjongkok di samping peti serta membalas, "apa kau ingat siapa namamu nak?" namun sang anak tak kunjung menjawabnya.
Di tengah keheningan itu, air mata sang anak mengalir, menetes di pipinya yang berwarna pucat. Suaranya mulai bergetar saat ia mencoba berbicara. "Aku tak dapat menyelamatkanmu." katanya dengan isak tangis.
Lalu sang anak menatap Norven dengan mata penuh harapan dan kepasrahan.
"Tolonglah, jika ada cara untuk menyelamatkannya. Kumohon lakukanlah, aku tidak akan mau mati dengan rasa bersalah ini."
Norven terdiam, namun tak disangka ia bergerak langsung melayangkan tangannya tepat ke arah perut anak itu. Dampak pukulannya yang keras membuat sang anak terhuyung, belum sempat Dorothy mengerti apa yang terjadi, Norven sudah mengulangi pukulan yang sama, kali ini sangat keras hingga menembus kulit dan dagingnya.
Norven terkejut melihat ke dalam rongga kosong pada perut anak itu. Tiada organ tubuh didalamnya, bahkan setetes darah pun tak Norven temukan, serta terdapat lapisan lumpur kotor yang memenuhi tubuh anak itu. "Mereka telah mengirim kotoran ini padaku?" suaranya bergetar karena kemarahan.
Dorothy yang melihat kekacauan di depan matanya, mencoba meredakan suasana dengan perspektif yang ia punya, "tuan Norven," Dorothy berkata lembut, "aku ragu dengan kesaksian sang kurcaci, sama seperti dua pasangan bersaudara itu."
Anak itu masih hidup, terbaring di dalam peti kayu dengan lumpur yang menggantikan isi perutnya. Ia mengerutkan kening, bingung dan lemah.
"Ayah.. kakak.." ucap anak tersebut.
✦✦✦
Sementara Norven dan Dorothy berbicara, anak itu memejamkan matanya, mengingat kembali darimana ia berasal. Udara bertiup kencang, langit bersinar cerah dan tanaman yang tumbuh dengan subur. "Wealton, namaku Wealton.." ujarnya lirih.
Sontak mereka berdua menlirik ke arahnya dengan ekspresi terkejut. Norven, tanpa ragu, langsung mendekati Wealton. Dia merendahkan tubuhnya dan memeluk anak itu dengan erat. "Wealton, apakah kau ingat pada ayahmu?" tanya Norven dengan suara lembut namun penuh harap.
Wealton, yang masih merasa lemah dan kebingungan, hanya bisa menggelengkan terdiam. sementara yang Norven lakukan adalah memandangnya dengan penuh pertimbangan, hingga suatu ide muncul di benaknya. "Wealton," kata Norven dengan suara lembut, "aku adalah ayahmu."
Wealton yang masih bingung dan ketakutan, menatap Norven dengan mata lebar dan penuh ketidakpercayaan. "Ayahku?" tanyanya pelan, suaranya bergetar.
"Kami sudah lama mencarimu, khawatir tentang keselamatanmu." sahut Dorothy, suaranya lembut serta meyakinkan.
Wealton menatap keduanya dengan keheranan. "Tapi... Kenapa aku masih tidak mengingat apapun?" benaknya masih dipenuhi oleh keraguan.
"Ketakutan yang kau alami, nak," jawab Norven dengan cepat. "Sesuatu yang buruk membuatmu kehilangan banyak hal, tapi sekarang kami berjanji akan menjagamu." Meskipun Wealton masih diliputi kebingungan, ia mengangguk pelan serta merasa sedikit lega dengan ucapan mereka berdua.
Akhirnya Norven dan Dorothy memeluk anak itu seakan menyambut kedatangan takdir yang baik. Serta mereka menyadari satu hal, luka yang Wealton alami sedikit demi sedikit mulai pulih, lubang di perutnya yang tadi berukuran sebesar tangan manusia, kini mulai tumbuh oleh lumpur yang menggeliat seakan telah hidup.
✦✦✦
Malam itu, Wealton duduk dihadapan meja besar yang diterangi cahaya lilin. Diatasnya, piring-piring berisi daging domba disajikan dengan aroma yang menggoda. Norven duduk di sisi lain meja, memandangnya dengan penuh perhatian.
"Apakah makanan itu cukup enak? Aku berharap masakan ini bisa sedikit menghibur, mengingat... keadaanmu." Norven memecah keheningan pertama kali dengan suara yang lemah lembut.
Wealton mengunyah makanannya,
"Ini... enak," serta mengangguk pelan.
Kemudian Norven mengangkat cangkir teh yang ada di tangannya, "Mungkin dagingnya sedikit alot, karena usia domba itu sudah lumayan tua." Dorothy yang mendengar itu pun ikut menyentuh cangkir tehnya untuk mengisi suasana.
Meski Wealton tetap diam, kepalanya sedang mencari, hatinya tetaplah gelisah.
Setelah makan malam selesai, Dorothy bertugas untuk mengantarkan Wealton ke salah satu ruangan untuk beristirahat. Setelah menuntunnya, Dorothy bergerak cepat ke sudut ruang makan yang lebih gelap.
"Jika ia tak memiliki darah, bagaimana cara kita mematahkan sihirnya yang agung?" bisik Dorothy dengan intonasi yang rendah.
Norven mengangguk. "Rendle, hanya masalah waktu, sampai aku menemukan pengacaunya"
Ia memandang Dorothy dengan penuh percaya diri, "dia adalah satu-satunya harapanku." lanjutnya. "Bahkan tanpa tetes darahnya yang berharga, dia tetaplah utusan surga."
✦━━━✦