Chereads / Lucylle / Chapter 24 - 24 - A Year in Twilight

Chapter 24 - 24 - A Year in Twilight

   Malam itu, ia melarikan diri melalui pintu yang dilalui sebelumnya. Sementara Cavelin berbincang dengan kakak laki-lakinya, Edwart merasa ia lebih baik pergi melihat kota ini dengan bebas, begitu pikirnya. "Jalan pada lorong ini terlalu panjang, aku benci orang-orang yang berkuasa." ucapnya, sambil berjalan melewati jalan tersembunyi yang kumuh.

   "Jika Cavelin tidak kembali, mungkin aku harus mendobrak dan menyelinap masuk kesana." pikir Edwart, ia mendongakkan kepalanya sambil melihat menara kastil yang menjulang tinggi di udara.

   Edwart terngiang kembali tentang ingatan Cavelin yang ia lihat sebelumnya, Dahulu keluarga kerajaan menempa permata kuno untuk mengikat sumpah antara darah keturunan mereka, namun dengan syarat yang tidak masuk akal. "Bajingan itu, semuanya egois, untuk apa menggunakan sihir hanya untuk suatu ikatan?" gumamnya lagi.

   Edwart melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, meresapi setiap sudut kota yang gelap. Disaat ia tengah berbelok pada salah satu lorong yang sempit, ia mulai merasakan suasana menjadi semakin aneh. Cahaya remang dari obor di dinding memberikan bayangan yang bergerak-gerak.

   Di sepanjang dinding batu yang dingin dan lembab, terdapat deretan rantai terikat. Kemudian Edwart melihatnya dari dekat, ternyata berbagai makhluk aneh yang memiliki penampilan beragam, beberapa terlihat seperti manusia, sementara yang lain memiliki bentuk lebih unik dan menyeramkan.

   Salah satu yang paling mencolok adalah sosok tinggi dan kurus dengan kulit berwarna kelabu pucat. Matanya besar dan bulat berkilauan dalam kegelapan, serta mulut lebar yang penuh dengan taring. Ia terbelenggu oleh rantai besi yang melilit tubuhnya, serta tampak lemah dan kelelahan.

   Di sebelahnya, terdapat makhluk berbulu lebat dengan tanduk yang melengkung ke belakang. Tampak lebih agresif, terus berusaha melarikan diri dari rantai yang mengikatnya, meskipun setiap upayanya hanya menghasilkan suara gemeretak yang keras. Beberapa dari mereka mengeluarkan suara lirih, seperti rintihan kesakitan dan putus asa.

   Sementara yang lain hanya menatapnya dengan mata kosong, seperti sudah kehilangan harapan."Apa sebenarnya mereka ini?" batin Edwart.

   Kemudian setelah beberapa waktu ia melihat, tampak salah satu manusia dengan tubuh gemuk, berdiri sembari menahan rantai yang menjerat berbagai makhluk di sekitarnya. "Hei, kau!" panggil Edwart, mencoba untuk menarik perhatian pria itu. "Apa yang terjadi di sini? Kenapa mereka semua dirantai?"

    

✦✦✦

   

   Pria itu menoleh dengan ekspresi arogan, matanya menyipit seolah menilai Edwart.

"Kau tidak mungkin punya cukup emas untuk membeli mereka, mereka disini untuk dijual. Bangsawan memiliki selera tinggi dan siap membayar mahal untuk mereka yang berkemampuan hebat." lanjutnya.

   Edwart ragu dalam hatinya, "seumur hidup berburu, tak pernah kulihat makhluk yang seperti mereka."

   "Keunikan mereka digunakan untuk berbagai keperluan. Prajurit, penjaga, pelayan, bahkan sebagai pemuas nafsu."

Pria gemuk itu tersenyum sinis sambil menunjukkan gigi-gigi emasnya.

   Edwart kemudian menyentuh salah satu dari banyak rantai yang terikat, "bagaimana cara seorang manusia hingga dapat menangkap makhluk berbahaya seperti ini?"

   Sang pria tertawa, "untukku, ini hanya sebuah bisnis, para VeilHunters lah yang menangkap mereka serta menjualnya kepada khalayak ramai."

   Namun tak lama setelah perbincangan mereka berdua berlangsung, secara mengejutkan seseorang berteriak dibelakang tubuh Edwart. "Kemana saja kau?" ia menarik Edwart dengan cepat, membuatnya tersentak dan menoleh.

   Kemudian ia melihat Cavelin berdiri dengan wajah yang sangat muram dihadapannya. "Hey, nostalgia singkat dengan keluargamu berjalan lancar?" balas Edwart mencoba meredakan situasi.

   "Tidak banyak yang bisa kuceritakan sekarang, situasi sedang memburuk." Cavelin menghela napas panjang sambil menatap Edwart. "Aku harus kembali tinggal di istana." lanjut Cavelin.

   "Tunggu, tunggu, sekarang apalagi?"

Edwart keheranan melihat ekspresi Cavelin yang penuh cemas.

   Cavelin berpikir sejenak sebelum menjawab. "Ada rumah penduduk yang bisa kau tinggali sementara waktu."

lalu mereka berdua memutuskan untuk kembali bergerak, menghindari mata yang mungkin sedang mengawasi. Cavelin memimpin jalan dengan langkah pasti.

   Sesampainya mereka tiba di sebuah rumah yang Cavelin bicarakan, mereka mengetuk pintu dengan irama khusus. Tak lama kemudian, seorang wanita tua membuka pintu dengan hati-hati. "Nenek Elda," bisik Cavelin. "Bisakah kau membantu temanku?"

   Namun wanita tua itu memandang Edwart terlebih dahulu dengan tajam, sebelum akhirnya mengangguk. "Masuklah, cepat sebelum ada seseorang yang melihat."

  bSetelah mereka berdua masuk kedalam, nenek tua itu bertanya, "Cavey, apakah itu benar?" suaranya terdengar emosional.

   Cavelin hanya mengangguk pelan, menegaskan tanpa kata. Jawaban sederhana itu cukup untuk nenek Elda menundukkan kepalanya sejenak. "Aku turut berduka cita," ucap nenek itu dengan lembut.

     

✦✦✦

    

   Edwart mengerutkan keningnya dan bertanya, "ada apa lagi ini?" ia memandang Cavelin dan Nenek Elda dengan tatapan tajam. Suaranya terdengar datar namun tegas. "Kenapa aku harus menerka-nerka, apa yang sebenarnya terjadi?"

    Sang nenek menepuk lengan Edwart,

"apakah keluarga itu penting bagimu?" bisiknya. Edwart hanya terdiam sejenak dan tidak mengatakan sepatah katapun, ia menatap mata nenek itu dengan penuh tanda tanya. "Cavey telah kehilangan adik-adiknya." bisik nenek Elda melalui telinga Edwart.

   Edwart melihat air mata Cavelin hampir menetes di sudut matanya, lalu ia hanya duduk diam disana. "Maafkan ketidaksabaran ku, Cavelin." ujarnya dengan hati-hati, belakangan ini Edwart pun bersikap terlalu keras pada dirinya sendiri.

   Ia selalu memikirkan keluarganya, perasaan itu membuat Edwart terpukul karena tak bisa melihat mereka saat ini.

"Sudahlah, beri waktu untuknya." ucap sang nenek, "Alih-alih, bagaimana kau bisa datang bersama dengan Cavelin? dia tak pandai dalam berteman."

   Keduanya, nenek dan Edwart kini meninggalkan Cavelin yang sedang berduka. Mereka berjalan menuju ruang penyimpanan makanan, "itu rumit, aku hanya pernah membantunya sekali." balas Edwart, kemudian ia juga menceritakan rangkaian peristiwa yang dialaminya kepada sang nenek untuk menanyakan sebuah petunjuk.

   "Bagaimana? Apakah nenek pernah mendengar sesuatu tentang Lucylle?" tanya Edwart.

   Nenek Elda terdiam sejenak, "usiaku tak lagi muda, namun tentu. Tak banyak orang tahu tentang tanah itu, mereka berpikir tempat tersebut telah lenyap." sahutnya, "Semenjak peperangan lima ratus tahun yang lalu."

   Dengan penuh perhatian, sang nenek menuangkan teh ke dalam gelas-gelas kecil. Suara gemericik air yang mengalir membawa kehangatan pada malam yang dingin. "Jadi benar... Perang besar yang mengerikan itu." suara Edwart terdengar serak.

   Nenek Elda hanya terdiam dan mengangguk, kisah lama tentang "Bulan Kegelapan." menghantui penjuru negeri, hingga daratan Lucylle ditinggalkan oleh sebagian besar umat manusia. "Namun kita semua akan selalu mengingat namanya, Nazdeath." lanjut sang nenek.

   Bagaimanapun, Ashgate adalah satu-satunya kota yang berdiri disana. Edwart pernah sekali mendengar bahwa Lucylle merupakan tempat yang sangat luas, bahkan untuk lima kerajaan sekalipun. "Aku hanya perlu menemukan catatan tua dan peta untuk pulang." sontak Edwart memecah ratapannya.

   "Itu akan menjadi perjalanan sulit, nak. Hanya sedikit dari mereka yang tahu jalan menuju tanah tersebut." balas nenek Elda dengan senyuman.

   Kemudian sang nenek menawarkan mereka teh hangat yang sebelumnya ia tuang, "Minumlah dulu, buat diri kalian nyaman." ia membawa gelas-gelas kecil itu ke hadapan Cavelin yang tengah duduk terpaku.

   Sementara Edwart, memandang ke luar jendela, menatap kegelapan malam yang menyelimuti. "Nenek," suaranya tegas, "Sejauh apa? Sejauh apa aku harus mencarinya?"

   Nenek Elda menyesap teh hangatnya perlahan, sebelum menatap Edwart dengan tatapan yang berat. "Pergi ke ujung Herdoria, menyebrangi lautan, tak cukup jauh untuk tempat yang kau sebut rumah."

   Cavelin duduk di sudut ruangan, masih terbungkam dalam duka, namun kini terlihat ia lebih tertarik dengan percakapan yang berlangsung. "Aku kenal seseorang. Tidak, beberapa orang." sontaknya, "Mereka yang mahir dalam perjalanan panjang, pelaut yang ulung, hingga petarung yang hebat."

   Nenek Elda menurunkan cangkir teh dari bibirnya, matanya menyipit sejenak memandang Edwart. "Tapi kedatanganmu kesini nak, apa kau berpikir itu adalah sebuah kebetulan?"

   Cavelin yang melihat mereka berdua, terpaku sejenak. Ekspresi wajahnya kini seolah menyadari sesuatu, sebelum ia kembali berkata, "Benar, mungkin kehadiranmu disini akan mengubah takdir yang telah ditetapkan, atau untukmu mempertahankannya."

    

✦━━━✦