Dengan gerakan yang pasti, Dorothy melangkah menuju pintu perpustakaan yang besar dan berat, mencoba untuk tidak mengganggu suasana tenang di dalam ruangan. Ia meraih gagang serta berusaha membuka pintu perlahan-lahan.
Di luar, lorong perpustakaan tampak sepi, hanya diterangi oleh beberapa lentera dan lilin yang tergantung di dinding. Dorothy melangkah dengan hati-hati melintasi ruang perpustakaan yang sunyi, udara dingin dan berat memenuhi ruangan.
Ia memeriksa setiap sudut dengan ketelitian, setiap langkahnya membuat derapan debu halus di atas lantai marmer yang bersih. Di tengah-tengah perhatian penuh, Dorothy menemukan sesuatu yang tak biasa di lantai. Seekor kelelawar tergeletak di sana, rambut hitamnya pekat kontras dengan lantai marmer.
Bau busuk yang samar melayang di udara, menambah kesan aneh pada penemuan ini. Dengan hati-hati, ia menjatuhkan lututnya dan mendekat. Kelelawar itu tampak mengenaskan, sayapnya menganga dengan posisi kaku yang menandakan kematian yang mengejutkan. Pikirannya bergejolak, menyadari bahwa ini bukanlah kebetulan.
Hingga akhirnya, Dorothy merasakan sesuatu menghampirinya. Bayangan gelap muncul di hadapannya, menyelimuti tubuhnya serta membuatnya mendongak. Disanalah, berdiri seorang anak laki-laki yang berdiri telanjang dan tampak kotor, dengan warna putih yang memenuhi bola matanya.
Tanpa memberi kesempatan untuk berucap sepatah kata pun, anak itu melesat ke arah Dorothy. Ia menyerang Dorothy dengan kekuatan yang mengejutkan, mencengkeram lehernya dengan sangat erat hingga membuat suara teriakan yang memecah suasana.
Dorothy mencoba melepaskan tangan yang mencengkeram keras lehernya. Ia terus memegangi anak itu, sembari menusukkan pisau yang ada di kantungnya. Namun, sang anak tampaknya tidak mendengar atau bahkan peduli, hanya memperketat cengkeramannya lebih kuat lagi.
Dorothy sadar sesuatu telah membuatnya begitu marah dan penuh kebencian. Dalam upaya terakhir, ia menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong anak itu menjauh hingga terjatuh ke belakang. Menyebabkan cengkeramannya terlepas, Dorothy terjatuh ke lantai, terengah-engah, kemudian mencoba mengembalikan napasnya.
✦✦✦
Sementara sang anak sedang terkulai lemas di lantai, Dorothy dengan cepat menginjakan telapak kakinya di atas kepala anak itu. "Siapa yang mengirimmu?" tanya Dorothy dengan suara rendah.
Dorothy terdiam sejenak, mengamati ekspresi wajah dan ciri fisik anak itu. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun, namun tubuhnya terasa bergetar. Memaksanya untuk berdiri dengan menarik paksa tubuh kecil sang anak. Ia jelas tampak lemah, dan tak berdaya di hadapan Dorothy.
Mendorong anak itu ke kursi di sudut dinding, ia mengikatkan tubuh anak itu dengan tali yang tersimpan di dalam ruangan. Dorothy lalu mengambil air dari kendi yang terletak di sudut ruangan.
"Bicaralah dengan jelas." ucapnya sembari menuangkan air ke mulut anak yang tampak kelelahan itu, membantunya untuk minum.
Ia menunggu dengan sabar hingga anak itu selesai, sebelum dengan cepat mengangkat telapak tangannya.
Kemudian menampar pipi anak itu dengan keras, hingga suara nyaring memenuhi seisi ruangan. Dorothy mendekatkan telapak tangannya ke leher anak itu, hanya untuk mendapati detak jantung dan denyut nadi yang tidak bergerak.
Anak itu tidak menunjukkan rasa sakit dan hanya terdiam lemah dengan rahang terbuka. "Jika memang dia adalah manusia, entah mengapa jantungnya seperti tak berdegup." lalu ia menarik rambut anak itu layaknya rerumputan, "bahkan keberadaannya terlambat kusadari." lanjut Dorothy terheran.
Mendadak, sebuah senyum samar muncul di wajah anak itu, tetapi pandangannya kosong. "Ramiel...?" suaranya berbisik. Anak itu menggelengkan kepala perlahan. "Aku..akan menolongmu."
Dorothy mengerti bahwa anak ini tak dapat berpikir dengan jernih, pilihan yang tepat sekarang hanyalah menunggu pria yang dihormatinya datang untuk memastikan sendiri. Sempat terlintas di kepalanya tentang kaum yang dapat berubah wujud, namun yang ia ketahui, leluhur mereka menolak perjanjian raja Nazdeath.
Waktu perlahan mulai berlalu, Dorothy duduk di kursi berhadapan dengan anak itu, matanya tidak pernah lepas dari wajahnya yang pucat dan terasa hampa.
"Siapa namamu?" Dorothy bertanya lagi, berharap anak itu akan menjawab kali ini.
Namun, anak itu hanya menggelengkan kepala dengan lemah, seolah tak sadarkan diri hingga waktu terus berlalu. Cahaya di dinding mulai redup seiring dengan malam yang semakin larut. Ruangan itu hening, diisi oleh suara tik-tok jam tua yang berdetak pelan di ujung tembok.
Bayangan lentera yang bergoyang-goyang menciptakan pola aneh di dinding batu perpustakaan. Dorothy mulai merayap ke dalam pikirannya, dan seiring dengan waktu yang berjalan, memori tentang masa lalu muncul memenuhi kepalanya.
✦✦✦
Ia masih sangat muda, mungkin usianya tidak lebih dari delapan tahun.
Langit yang gelap dan dingin, terlihat pasukan berkuda berbondong-bondong mendekat dari balik bukit. Malam itu, Dorothy memeluk ibunda dengan sangat erat, hingga bisikan terakhir sang ibu selalu terngiang di telinganya.
"Tersenyumlah sayang, namun jangan pernah lupakan perbuatan mereka,"
bisik sang ibu menenangkan Dorothy yang sedang menangis di pelukannya.
Kastil yang mereka tinggali mulai bergetar hebat di setiap sudut ruangan, serta dinding-dinding batu yang kokoh mulai terkikis. Debu halus pun mulai turun dari celah bata yang sudah tua. Suara logam bertemu logam menciptakan dentingan yang keras, bersamaan dengan teriakan pejuang dari luar kastil.
Dentuman keras dari palu dan kapak pasukan penyerbu meluncur seperti gelombang yang terpecah. Dorothy bersembunyi di bawah ranjang, ia tak kuasa mendengar teriakan dan tangisan orang-orang yang ia kenal.
Dorothy kemudian menepi ke sudut ruangan yang lebih gelap, menahan napasnya untuk tidak membuat suara. Ia bergerak pelan menuju pintu kamar, yang retak akibat tekanan luar. Dari balik tirai, dia dapat melihat sebagian dari kekacauan yang terjadi di luar.
Pria-pria berzirah tebal berlarian dengan simbol burung elang di dada mereka, tubuh yang berkilau di bawah cahaya lampu, serta wajah yang tersembunyi di balik helm logam. Mereka menyerbu dan menikam para anggota kerajaan tanpa ampun, sesekali wajah mereka tampak menikmatinya.
Namun, salah satu dari mereka merasakan keberadaan Dorothy dan mulai melangkah menuju ruangan kamarnya, terlihat seorang pria berjalan dengan jubah berwarna hijau melapisi zirahnya. Dorothy berusaha keras menahan nafasnya, terjepit di balik tirai dengan tubuh yang kaku karena ketakutan.
Meskipun ia berusaha menghindar, ksatria itu masih bisa melihat sosoknya melalui celah-celah tirai. "Jangan takut," suaranya keluar samar, penuh dengan nada lembut. "Aku juga memiliki adik kecil, sepertimu." ia membuka penutup wajahnya agar Dorothy dapat melihat, rambutnya berwarna perak dengan rahang yang tegas.
"Ikutlah denganku, kita pergi ke tempat yang lebih aman." lanjut ksatria muda itu, suaranya tetap lembut dan penuh pengertian.
Ia mengulurkan tangannya agar Dorothy keluar dari tempat persembunyian yang gelap, menariknya dari balik tirai, Dorothy tak punya pilihan selain menerima ajakan pria itu. Kemudian mereka berdua berlari melalui lorong-lorong yang dipenuhi darah dan api.
Namun di tengah pelarian mereka, Dorothy tiba-tiba mendengar suara yang menggema dari ujung lorong, "Bunuh mereka atau terbakarlah!" membuat langkah mereka berdua terhenti.
✦━━━✦