Chereads / Lucylle / Chapter 20 - 20 - Fate's Beginning

Chapter 20 - 20 - Fate's Beginning

   Sebuah patung besar berdiri megah di tengah hamparan rumput, arca batu kokoh yang memancarkan cahaya lembut di bawah sinar matahari. Patung itu menggambarkan kerbau dengan tangan terangkat, seolah-olah memberkati tanah di sekitarnya.

   Di sekeliling patung, ukiran-ukiran halus dalam huruf kuno menceritakan kisah zaman dahulu yang sudah hampir terlupakan. Seorang pria berdiri di depan patung itu, dengan tangan yang terkatup, mengucapkan beberapa kata dengan penuh penghayatan.

   "Aku telah melayani engkau sejak dirimu masih diragukan, wahai Volkor. Aku tahu engkau di sana, mendengarku." suaranya bergetar dengan keyakinan yang dalam. Di sekelilingnya, flora hutan Edenfell berdiri diam, menjadi saksi bisu doa yang telah berlangsung bertahun-tahun.

   Tiba-tiba, langkah pelan terdengar mendekat. Seorang pria, Theron, muncul di sisi pria berjubah merah yang masih berdoa khusyuk. "Pagi yang cerah," suaranya rendah, seakan menyiratkan penyesalan yang mendalam.

   Norven, pria berjubah merah itu, berdiri dengan anggun, rambut hitam legamnya tergerai panjang hingga pinggang. Ia membuka matanya perlahan, menatap Theron dengan tatapan tajam. "Aku merindukan langit yang tak terbatas, ciptaan sang absolut." ujarnya.

   "Bagaimana kau bisa gagal? Kau ingin terus melahirkan makhluk cacat dari rahim saudarimu?" lanjut Norven, dengan nada yang menghina.

   Theron menundukkan kepalanya, terkejut bahwa Norven mengetahui maksud kedatangannya. Untuk sesaat, rasa amarahnya hampir meledak, tetapi ia memilih untuk tetap tenang. Ia menarik napas dalam-dalam.

   "Sangat disayangkan, aku kehilangan jejaknya pada malam hari." ucap Theron.

   Norven tetap diam, matanya masih menatap tajam ke arah Theron. "Benarkah?" tanya Norven dengan nada yang datar.

   Theron mengangguk cepat. "Aku tak menyangka dia akan bergerak menyelinap saat kami lengah," lanjut Theron sambil menunjukkan punggungnya, di mana dagingnya tampak menambal luka yang baru saja ia terima.

   Norven menghela napas. "Kesaksian yang lucu. Sebelum kau datang, aku telah menerima pesan yang lebih menarik dari ini," kemudian seekor kelelawar mendarat di pundak Norven, mengeluarkan suara parau di dekat mereka. Theron merasakan bulu kuduknya meremang saat Norven menyentuh patung yang ada di dekatnya.

   "Apakah janjiku masih kurang menguntungkan bagimu?" tanya Norven sembari mengusap ukiran di patung itu.

   "Fajar tadi, para kelelawar melihat anak yang sedang berjalan melintasi semak, tak begitu jauh dari rumah usangmu. Apa menurutmu binatang-binatang ini berbohong?" lanjut Norven, matanya seolah menatap isi hati Theron.

   "Kupikir tidak ada manusia lain di sekitar sini?" Norven tersenyum tipis, senyuman yang tidak mencapai matanya.

   Theron mencoba tetap tenang, tetapi pikirannya mulai berputar. "Kau yakin itu bukanlah makhluk lain? Para Finged?" gumamnya dengan suara nyaris berbisik.

   Norven mendekati Theron dengan langkah mantap. "Cobalah lebih keras, makhluk bodoh." teriaknya dengan keras.

   Theron menggertakkan giginya, merasa seolah-olah terperangkap. Ia terheran dengan kabar itu, setelah melihat tubuh Ramiel yang tak bernyawa dengan mata kepalanya sendiri. Kini ia kehilangan keyakinan dalam hatinya.

   "Haruskah kuangkat rahim Elara dari perutnya?" Norven menyeringai, matanya memancarkan kebencian.

   Kini pandangan Theron lurus ke depan, ia berdiri tegak dan wajahnya tidak dapat berdusta. "Jangan coba menguji kesabaranku keparat!" ujar Theron dengan suara yang tegas, sambil mengatur napasnya meskipun amarah telah memuncak.

   Norven tertawa sinis, menatapnya.

"Oh, ingat, perbuatanmu selanjutnya lah yang akan menentukan." ujarnya sambil melangkah mundur.

   Theron menatap Norven dengan tajam, lalu membalas dengan seringai. "Datanglah padaku, dan sebaiknya kau tiduri saja batu sialan itu," sontak Theron menunjuk patung dimana Norven berdoa sambil bergegas pergi. Ia meninggalkan Norven yang masih menatap dirinya dari kejauhan, namun mereka berdua tahu, hari itu salah satu dari mereka akan benar-benar menyesali perkataannya.

       

✦✦✦

      

   Di tengah suara desiran angin yang menembus daun lembab, perpustakaan Skellsith tampak seperti sebuah dunia yang tak terlekang oleh waktu. Langit-langitnya dipenuhi cabang rimbun, sementara dinding batu yang diselimuti lumut memancarkan nuansa kuno.

   Di dalamnya, berbagai buku berjejer rapi, menggambarkan ilmu pengetahuan yang telah tersimpan selama berabad-abad. Di tengah ruang perpustakaan yang tenang itu, seorang wanita berdiri di dekat meja kayu besar yang terbuat dari batang pohon tua. Pakaian yang dikenakannya adalah gaun berwarna putih pucat dengan detail renda yang halus, seolah-olah dibuat dari serabut cahaya bulan.

   "Dorothy, kulihat wajahnya tampak begitu senang hari ini," ujar makhluk menyerupai tikus yang berdiri di hadapannya dengan sikap hati-hati.

   Rambut pirang dan telinganya yang besar bergerak-gerak dengan waspada. Dorothy mengalihkan pandangannya dari tumpukan buku yang sedang ia teliti.

"Tuan Norven? Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, Tilo?" tanyanya dengan lembut.

   "Apakah kau tidak merasa hal yang sama?" ucap Tilo, nada suaranya penuh rasa penasaran.

   Dorothy mengusap lembut lengan gaunnya yang berkibar. "Bagaimana tidak? Beliau akan menyaksikan takdir sekaligus ketakutan terbesar Nazdeath dalam mimpinya."

   Dorothy memandang jauh ke luar melalui jendela besar di perpustakaan. "Simfoni para pendusta," ia berkata sambil menatap kosong pemandangan itu.

   Suara Dorothy semakin dalam, "akan datang hari di mana tangisan bayi terdengar samar, langit cerah yang terasa buruk bagi para pembelot, benci dan cinta tak lagi jadi bagian dari manusia, terasa jelas akhir dari kehidupan mereka yang fana."

   Tilo menatapnya, kebingungan. "Apa maksudmu, Dorothy? Apa yang tuan Norven tunggu disana?"

   "Beliau akan berdiri di tengah lingkaran cahaya, dikelilingi oleh para pendusta yang keji," lanjut Dorothy.

   Meskipun tidak sepenuhnya mengerti, Tilo merasa cemas mendengar kata-kata itu. "Dan kau tidak khawatir akan hal ini?"

   

✦✦✦

      

   Dorothy hanya tersenyum datar, wajahnya yang cantik tak memperlihatkan emosi apapun. Namun tanpa aba-aba, Dorothy menangkap Tilo yang sedang terdiam. Dengan cepat, ia mengeluarkan pisau ukir dari balik pakaiannya, kemudian menusuk kepala makhluk itu hingga melubangi tengkoraknya.

   Dengan santai ia melempar tubuh Tilo keluar jendela, dan membersihkan pisaunya dengan kain. "Tidak perlu khawatir, Tilo, kau tak akan menyaksikannya," ucap Dorothy sambil berbalik dan melanjutkan fokusnya.

   Setiap kali makhluk seperti Tilo datang untuk berbicara dengannya, Dorothy berharap menemukan sesuatu yang berharga, sesuatu yang membuatnya merasa hidup meskipun hanya untuk sesaat. Namun, sering kali mereka gagal memenuhi harapannya dan berakhir menjadi bagian dari korban yang ia buang begitu saja.

   Dorothy kembali ke meja kayu besar, menulis sebuah surat dan ungkapan tentang cara pandangnya terhadap dunia, dengan tangan yang terampil. Namun, suara langkah kaki lembut terdengar, memenuhi ruang perpustakaan. Awalnya, ia mencoba mengabaikannya dan fokus pada surat yang sedang ditulis.

   Tetapi, konsentrasinya terganggu. Kata-kata yang awalnya mengalir kini terasa tersendat. Sebuah bayangan gelap kian muncul di langit-langit, bergerak seiring dengan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Dorothy berhenti menulis, matanya mengikuti gerakan bayangan itu.

   Perlahan, ia menyadari bahwa langkah kaki itu bukanlah ilusi. Seseorang memang berada di sana. Apakah tuan Norven telah kembali? Namun, ia tak mendengar bunyi hentakan alas kaki beliau. Dorothy menutup buku catatannya dan memasukkannya ke dalam laci meja.

   Menguncinya dengan kunci kecil yang selalu ia simpan di saku. Ia berdiri, merapikan gaunnya, dan melangkah menuju pintu perpustakaan dengan langkah yang mantap. Kali ini, ia tidak ingin ada yang menemukan apa yang baru saja ia tulis.

      

✦━━━✦