Chereads / Lucylle / Chapter 19 - 19 - Death

Chapter 19 - 19 - Death

   Malam itu, di bawah langit yang gelap dan dipenuhi kabut, Theron menemukan sebuah pakaian lusuh tergeletak di bawah pohon besar. Kain-kain yang sudah koyak dan tercabik itu, tercium bau darah yang menempel.

   Kemudian jejak-jejak darah yang mengarah ke sungai mengundang naluri Theron untuk mengikuti. Dengan langkah dan suara geraman rendah yang keluar dari tenggorokannya, Theron mengikuti jejak darah itu. Bulu-bulu halus yang tumbuh di wajahnya semakin mengeras, menandakan kemarahannya yang memuncak.

   Setiap langkah yang ia ambil, aroma darah itu semakin kuat, dan amarahnya semakin membara. "Penciumanku telah melemah, aku dikelabui oleh kain sialan ini sekarang," geram Theron, suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.

   Tetesan darah yang memudar di sepanjang jalan membawa Theron menuju aliran sungai yang berkilauan di bawah cahaya bulan yang samar. Air sungai yang dingin terasa menyegarkan di kaki, namun insting berburu miliknya tetap tidak memudar sedikit pun.

   Ia terus melangkah dengan hati-hati, berharap menemukan petunjuk lainnya. Ketika ia berhenti sejenak dan mengendus udara, Theron merasakan getaran samar lada tanah di bawahnya, seolah ada sesuatu yang bergerak tak jauh dari tempatnya berdiri.

   Matanya menajam, dan ia menatap sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Di kejauhan, di balik bayang-bayang pepohonan, ada sesuatu yang tampak seperti mulut sebuah goa kecil yang tersembunyi di antara semak belukar.

   Jejak darah yang semakin samar mengarah ke sana. Theron mendekati goa itu dengan hati-hati, langkahnya semakin ringan namun cepat. Ia tahu, sesuatu yang penting menunggunya di sana. Di dalam goa, udara terasa lebih lembap dan dingin.

   Cahaya bulan yang menyusup melalui celah batu memantulkan bayangan yang menari di dinding goa. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit goa itu seperti menjadi musik pengiring yang semakin menguatkan suasana penuh ketegangan.

   Theron terus maju, berusaha menyesuaikan pandangannya dengan gelapnya goa itu. Saat matanya mulai terbiasa dengan kegelapan, ia melihat sesuatu tergeletak di sudut goa. Tubuh yang terbaring di sana membuat jantungnya berdebar kencang.

   Tubuh Ramiel-yang terbaring tanpa busana, dengan darah mengalir dari luka di perutnya yang terlilit kain. Wajahnya pucat, mata tertutup, dan detak jantungnya tak terdengar lagi. Theron mendekati tubuh Ramiel dengan hati-hati. Tangannya terulur dan menyentuh bahu Ramiel, seolah memastikan bahwa yang dilihatnya itu nyata.

   Sisa-sisa kehidupan yang ada padanya terasa tipis, hampir tak ada harapan.

"Apakah dia masih bernafas?" pikirnya, namun sebelum ia sempat bertindak lebih lanjut, suara langkah ringan terdengar dari belakangnya.

   

✦✦✦

    

   Theron berbalik dengan cepat, hanya untuk melihat Elara muncul dari kegelapan, matanya berkilat tajam, memancarkan kekuatan. Dengan jaringan tubuh yang terus beregenerasi, daging pada lehernya kini perlahan mulai menyatu, Elara terlihat berbeda dari sebelumnya.

   "Terkutuk lah kita, aku tak sengaja telah membunuhnya," ucap Theron, dengan nada penuh penyesalan yang tidak sepenuhnya ia rasakan.

   "Kau mengeluarkan reaksi yang berlebihan, seolah aku tak bisa menyembuhkan diriku sendiri," balas Elara dengan nada tenang, meski ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. Ia mendekat ke tempat Ramiel terbaring, memeriksa tubuhnya dengan penuh perhatian.

   "Aku terkejut dia berbuat sejauh itu, kau tahu aku mencintaimu, Elara." Theron melihat Elara dengan wajah penuh keputusasaan, suaranya semakin tenggelam dalam kebingungannya. Kata-kata itu keluar dari hatinya yang sedang hancur.

   Elara berdiri, menatapnya dengan tegas. "Persetan dengan cinta, apa yang akan kau katakan padanya?" ujar Elara dengan nada yang lebih dingin. "Kita ditugaskan untuk membawanya hidup-hidup."

   Theron mengelak, tetap pada pendiriannya. "Aku akan buat seakan-akan ini adalah kecelakaan," jawabnya. "Walau aku sedikit menyesal karena tidak bisa memakan bagian tubuhnya," meskipun kata-katanya terdengar bodoh, ada keinginan yang lebih dalam untuk menyembunyikan rasa kecewa.

   Elara menarik napas dalam-dalam, kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Ramiel yang sudah kaku. Ia menangis. Suara isaknya pelan, namun penuh dengan rasa kehilangan.

   "Kau ingat yang dijanjikannya? Dia menjamin anakmu setelah lahir," kata Elara, suaranya bergetar, air mata mulai mengalir di pipinya, namun ia berusaha keras untuk tidak terisak. "Ratusan kali aku mengandung, kau selalu kecewa karena mereka lahir dengan abnormal."

   Imbalan yang diberikan oleh sang tuan, janji yang mungkin menjadi harapan terakhir mereka, kini terasa kosong setelah kematian Ramiel. Kehilangan ini membuat mereka semakin jauh dari harapan.

   "Sudahlah, berhenti menangis," sahut Theron, namun kata-katanya terdengar datar, seolah ia sudah lelah dengan perasaan yang tidak berujung ini.

   "Jika ia tahu aku yang membunuh bocah ini, mungkin saat itu mayatku yang perlu kau kubur," tambah Theron dengan nada dingin. Ia menatap Elara dengan tajam, meski kata-katanya terdengar kasar.

     

✦✦✦

     

   Elara menggelengkan kepalanya, merasa hancur oleh kata-kata Theron. "Kau berbicara seolah-olah itu mudah. Kau tidak merasakan apa yang aku rasakan, setiap kali aku melihat anakku mati."

   Theron menghela napas berat, lalu berkata dengan suara yang lebih lembut, "Untuk saat ini, kita harus kembali tanpa menimbulkan kecurigaan, aku akan membuat ia percaya pada kecelakaan."

   "Aku akan menusukkan batu ke perut anak ini, anggap dia mati tertimpa di goa, itu cukup untuk meyakinkannya," lanjut Theron dengan perencanaan yang matang. "Seharusnya aman, para kelelawar belum terlihat mengawasi tempat ini."

   Elara mengangguk, meski hatinya masih diliputi oleh ketidakpastian. Mereka bertindak cepat, mempersiapkan tubuh Ramiel agar terlihat seolah-olah ia telah mati karena hal konyol. Theron mengambil batu besar dan menusuk kuat ke dalam perut Ramiel, memastikan luka itu tampak alami dan meyakinkan.

   Elara memeriksa tubuh Ramiel untuk terakhir kalinya, matanya menangkap sesuatu yang aneh. Di sekitar luka perut, dagingnya melembung besar. Namun, mereka tidak cukup memperhatikannya, fokus mereka pada tugas yang lebih besar.

   Tak ingin menghabiskan banyak waktu, mereka meninggalkan goa itu dengan langkah cepat dan hati-hati, namun setelah beberapa saat berjalan, Elara merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia menoleh ke belakang dan melihat bayangan yang bergerak cepat di antara pepohonan.

   "Theron, ada sesuatu di sana," bisiknya dengan nada cemas.

   "Tenang Elara, teruskan langkahmu," jawab Theron, dengan nada yang seolah meremehkan ancaman di sekitarnya.

    

✦✦✦

     

   Pagi itu, kabut tipis menyelimuti hutan, dan matahari perlahan-lahan mulai menembus celah dedaunan. Suara kelelawar terdengar nyaring di udara, melayang dengan sayap-sayap hitam pekat yang membawa pertanda buruk.

   Mereka terbang menyusuri hutan, mengikuti jalur yang berkelok-kelok menuju sebuah menara tinggi yang menjulang di tengah pepohonan. Menara itu adalah bagian dari perpustakaan, Skellsith. Sebuah bangunan tua yang dipenuhi dengan buku-buku kuno hingga catatan sejarah.

   Di dekat jendela besar menara itu, seorang pria berdiri, matanya menatap kelelawar-kelelawar yang hinggap di sekelilingnya. Pria itu tampak tenang, meskipun ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Hari demi hari, aku merasa semakin dekat denganmu," gumamnya pelan, berbicara kepada dirinya sendiri dan kenangan masa lalu.

   "Kedua lycan tua itu belum mengirimkan pesan apapun, bagaimana menurutmu Rendle?" tanyanya.

   Pria itu menutup sebuah buku usang dengan hentakan keras, lalu berjalan menuju jendela. Matanya tajam, Ia mengamati pemandangan hutan diluar dengan cermat, Dibelakangnya, berdiri seorang wanita berperawakan layaknya boneka, Berambut pirang dengan gerak tubuh yang kaku, serta memiliki mata kecoklatan.

   "Aku tidak menaruh harap pada mereka, tuan sendiri tahu mereka makhluk yang keji dan bodoh." jawab wanita tersebut.

   Pria itu tertawa hingga suaranya menggema di seluruh ruangan. Ia berbalik, menatap wanita itu dengan kegembiraan.

"Sungguh menyedihkan, aku memang bertaruh Theron dan Elara mungkin akan membunuhnya." ujar pria itu. "Namun sang utusan akan tetap kembali, itulah jalan takdir."

   Wanita yang ia panggil dengan nama Dorothy mengangguk, ekspresinya tetap datar. "Apa langkah kita selanjutnya, tuan? Apakah kita akan menunggu kabar dari Theron, atau kita harus mengambil tindakan segera?"

   Pria berambut panjang itu berjalan ke tengah ruang sembari menyambut burung gagak yang masuk melalui jendela menara,

lalu ia menaruh buku diatas meja besar.

"Akan kutemui mereka sendiri."

   

✦━━━✦