Ramiel merasakan keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya, bercampur dengan rasa sakit yang menggigit perutnya. Setiap napas yang dihirup terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang mengikis tenaga dari dalam.
Di depannya, Elara tergeletak dalam keadaan mengerikan. Darah segar mengalir deras dari tenggorokannya, wajahnya tampak tercekik, seakan hidupnya hampir habis.
Theron, yang berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar berusaha menutup luka di tenggorokan Elara. Namun, darah terus mengalir meski dia berusaha keras. Wajah Theron penuh dengan kepanikan. Suaranya parau, penuh kemarahan dan rasa bersalah yang mendalam.
"Demi dewa, bertahanlah, Elara!" seru Theron dengan darah segar yang mengalir di antara jari-jari besar miliknya. "Elara, maafkan aku."
Ramiel menatap ke arah mereka, tubuhnya berguncang. Rasa sakit di perut semakin parah, dan meski setiap otot tubuhnya terasa ingin jatuh, pandangannya tetap terfokus pada Theron. Tak lama setelah itu, sesuatu yang mengerikan terjadi.
Rambut tebal mulai tumbuh di sekujur tubuh Theron, menutupi kulitnya dengan lapisan bulu yang kasar dan gelap. Theron, yang sebelumnya tampak seperti manusia, kini perlahan berubah menjadi makhluk yang sama seperti yang sebelumnya ia lihat pada tirai gubuk. Theron bukan lagi manusia. Kini dia berubah menjadi makhluk pemangsa.
Waktu terasa berhenti bagi Ramiel. Setiap detik terasa berlalu begitu lambat, menghancurkan harapan dan kekuatan dalam dirinya. Terperangkap dalam rasa sakit yang luar biasa, Ramiel tahu ia harus bergerak. Meskipun tubuhnya ingin runtuh, ia tahu bahwa jika ia tetap diam, tak ada yang akan tersisa.
Ramiel menggenggam erat pedangnya. Tangannya bergetar, tapi tekadnya tak goyah. Ini satu-satunya cara untuk melindungi dirinya dan memastikan keselamatannya. Elara-yang tampaknya tidak akan bertahan lebih lama-menjadi alasan terakhir yang mendorongnya untuk bergerak.
Dia tidak bisa membiarkan ini berakhir tanpa melakukan apa-apa. Perlahan, dengan tubuh yang kesakitan, Ramiel maju. Kemudian tak lama, Theron mendongakkan kepalanya. Sepersekian waktu berjalan, Ia melihat jelas bahwa Ramiel kini telah mengayunkan bilah tajam kearahnya.
Yang berhasil mengenai punggung Theron dengan suara keras. Seketika mengiris otot dan memutuskan tulangnya. Theron menjerit kesakitan, suaranya menggema di dalam gubuk yang sempit. Darah memercik dari luka tebasan, memberi ingatan yang mengerikan pada malam itu.
Meskipun tebasan Ramiel tidak tepat, namun hal itu cukup untuk memberi waktu baginya untuk melarikan diri. Dengan langkah yang terpincang-pincang, Ramiel keluar dari gubuk yang kini terasa seperti penjara yang penuh kenangan buruk. Kegelapan malam menyambutnya, hutan yang lebat seakan menggulungnya dalam ketakutan.
Pepohonan tinggi dan semak-semak yang lebat memberikan sedikit perlindungan, namun rasa sakit di perutnya semakin parah, membuatnya hampir tak bisa bertahan. "Apa yang telah kuperbuat?" bisiknya, bibirnya bergetar. Rasa bersalah yang menghimpitnya hampir membuatnya tak bisa bernapas.
✦✦✦
Pandangannya semakin kabur. Namun jika berhenti sekarang, ia akan berakhir didalam perut sang pemangsa. Langkah-langkah berat mulai terdengar dari belakang. Theron telah bangkit, dan sepertinya mulai melacak keberadaannya.
Dengan cepat, Ramiel berlari ke arah sebuah pohon besar, bersembunyi di balik batangnya yang tebal. Di tempat persembunyiannya, ia dapat melihat Theron, yang kini tampak semakin mengerikan.
Tubuhnya membesar, bulu-bulu gelap tumbuh semakin lebat, dan taringnya semakin menonjol. Theron mengendus udara dan tanah di sekitarnya, seperti anjing yang tengah melacak mangsanya. Ramiel bisa mendengar suara nafas berat binatang buas itu, dengan uap yang keluar dari taringnya.
Jantung Ramiel berdegup kencang, rasa takut membekukan seluruh tubuhnya. Menghadapi Theron yang kini benar-benar menjadi makhluk buas rasanya mustahil. Namun, seketika suara ranting patah mengalihkan perhatian Theron.
Tanpa ragu, ia berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Ramiel yang sedang menahan napasnya, mencoba meredakan kepanikan yang hampir membuatnya terjatuh.
"Pssst... pssst..." Suara bisikan itu datang, semakin jelas. Ramiel merasa kantuk mulai menyerangnya, tubuhnya lelah. Namun, dalam kekelaman hutan itu, sosok anak muncul dari balik rerumputan. Wajahnya samar dalam cahaya bulan, namun ada sesuatu yang aneh tentangnya.
Anak itu tampak tergesa-gesa, namun ada ketenangan dalam caranya bersikap.
"Kenapa kau hanya berbaring di sini?" tanyanya dengan nada yang agak terkejut. "Ada bahaya yang sedang mengejarmu."
Ramiel mencoba berbicara, namun suaranya tersangkut di tenggorokan. Anak itu tidak menghiraukan kebingungannya dan segera mendekat, matanya tajam memandang Ramiel.
"Kita harus cepat pergi," ujarnya dengan tegas. Anak itu menarik Ramiel untuk bangkit, Meski terlihat muda, anak itu memiliki kekuatan yang mengejutkan, cukup untuk membangkitkan harapan dalam diri Ramiel.
"Siapa kau?" tanya Ramiel dengan suara serak.
"Apakah itu penting sekarang?" jawab anak itu singkat, seakan tak ingin membuang waktu untuk menjelaskan dirinya.
Ramiel tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut. Anak itu bergerak dengan langkahnya yang sigap dan pasti. "Lepaskan pakaianmu," perintahnya tegas.
"Pakaianku?" Ramiel kebingungan, mencoba memahami maksudnya.
"Dia dapat mencium bau darah, walaupun hanya samar-samar," jawab anak itu. Dalam sekejap, ia merobek pakaian Ramiel menggunakan senjata miliknya. Ramiel ragu, namun rasa takut dan adrenalin memaksanya untuk mengikuti perintah itu.
Dengan susah payah, ia melepaskan pakaian yang sudah berlumuran darah dan keringat. Anak itu kemudian mencari dedaunan dan ranting di sekitar, lalu menggosokkannya ke kulit Ramiel.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ramiel yang masih keheranan.
"Kita harus menutupi bau darahmu," jawab anak itu singkat, tanpa memandangnya. "Sekarang kita harus bergerak cepat," katanya, menarik Ramiel bangkit dan terus melanjutkan perjalanan.
✦✦✦
Ramiel akhirnya mengikuti anak itu, berjalan melalui hutan yang gelap. Setiap langkah terasa sakit, sampai mereka berhenti di sebuah sungai kecil. Kemudian anak itu meminta Ramiel agar membersihkan dirinya dari darah dan lumpur yang menempel.
Air yang dingin membuat tubuh Ramiel menggigil, namun itu sedikit mengurangi rasa sakit yang menyiksa. "Theron tidak akan berhenti sampai dia menemukanmu," kata anak itu, memberi peringatan. "Namun aku melihat sebuah tempat bersembunyi tak jauh dari sini."
Setelah beberapa langkah berat, mereka menemukan sebuah goa kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Anak itu masuk terlebih dahulu, memastikan tempat itu aman. Setelah itu, Ramiel mengikuti, merasakan sedikit kelegaan begitu berada di dalam goa yang gelap dan aman. Suasana hening itu memberi sedikit ketenangan, namun tubuh Ramiel semakin terasa dingin.
"Theron adalah makhluk buas," ujarnya seolah menegaskan. "Jika aku bertemu dengannya, aku pun akan berpikir untuk membunuhnya untuk melindungi diri," ucapnya sambil tersenyum kecil.
"Tenanglah." sang anak tetaplah memandang wajah Ramiel dan berkata,
"Kita akan selalu menghadapi bahaya, namun kematian? Itu sesuatu yang hanya bisa kau terima."
Ramiel merasakan setiap tarikan napas yang terasa berat, serta rasa sakit di perutnya semakin parah. Meski ia berusaha menahan, sepertinya apa yang dikatakan anak itu benar adanya. Tidak perlu takut sekarang, biarkan lah pikiranku beristirahat, begitu pikirnya.
Kemudian di kesunyian itu, Ramiel tersadar jika ia menyesali banyak hal dalam hidupnya. Dan kini Ramiel berharap dapat mengucapkan sebuah permintaan maaf yang tulus untuk mereka, "maafkan aku, ayah. Maafkan aku, Elara."
✦━━━✦