Saat ia melangkah keluar, matanya membulat melihat apa yang ada di depan api unggun. Di sana, Elara dan Theron tampak sangat terlibat dalam sebuah momen intim. Elara menggoyangkan pinggulnya di atas tubuh Theron, keduanya begitu larut dalam gairah.
Tubuh mereka bergerak dalam irama yang seirama dengan retakan kayu yang terbakar di perapian. Ramiel tercekat, tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Pemandangan itu berlangsung cukup lama sebelum secara tidak sengaja ia menginjak papan kayu di lantai, menghasilkan bunyi kecil yang cukup untuk menarik perhatian Theron.
Theron menoleh cepat, matanya membelalak saat melihat bayangan di ambang pintu, dan keheningan yang kental menyelimuti ruangan. Ramiel berusaha untuk tidak bergerak, berharap bayangan gelap malam dan kegelapan gubuk tua bisa menyembunyikannya dari pandangan Theron dan Elara.
Nalurinya mengatakan bahwa ia telah terlihat, dan ia tahu, jika tidak bertindak segera, konsekuensinya bisa berbahaya. "Sial, ini bukan saat yang tepat," gumamnya dalam hati, berusaha mempertahankan ketenangannya.
Dengan langkah hati-hati, Ramiel mundur perlahan menuju ranjangnya, berusaha memastikan pintu yang tadi terbuka sedikit tidak mencolok. Dalam pikirannya, ia berencana berpura-pura tidur jika Theron atau Elara memeriksa kamar.
Setiap gerakannya diperhitungkan, menghindari bunyi derit lantai kayu yang bisa mengkhianati keberadaannya. Napasnya pendek, berusaha tetap hening, meskipun jantungnya berdegup keras, seolah-olah siap untuk didengar oleh siapa pun di luar.
Setelah berhasil berbaring kembali di ranjang, Ramiel memposisikan tubuhnya menghadap dinding, mata terpejam rapat meski telinganya tetap siaga. Cahaya api perapian di luar kamar menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding gubuk, menambah suasana mencekam.
Dari kejauhan, erangan samar bercampur dengan suara derak kayu yang terbakar, membuat ketegangan di dadanya semakin kuat. Ramiel berusaha mengendalikan napasnya, membuat seolah ia benar-benar tertidur.
Tiba-tiba, pintu kamar berderit terbuka perlahan. Bayangan besar Theron tampak berdiri di ambang pintu. Ramiel menahan napas, tubuhnya tegang, berharap tidak ada yang memperhatikannya. Theron melangkah masuk, langkah kakinya berat dan penuh perhitungan, seolah mencari sesuatu.
Bayangan tubuhnya yang besar menyapu ruangan dengan cahaya remang dari api unggun. Ramiel merasakan keringat dingin membasahi punggungnya saat Theron berada hanya beberapa langkah dari tempat tidurnya. Suasana hening begitu mencekam.
✦✦✦
"Kawan... pintu ruanganmu terbuka," bisik Theron, nadanya nyaris seperti angin yang berhembus dingin di dekat telinga Ramiel.
Ramiel terlonjak dalam hati, nyaris kehilangan kendali atas detak jantungnya. Wajah Theron begitu dekat, hampir menempel pada telinganya, membuat seluruh bulu kuduk Ramiel berdiri.
Namun, Theron hanya berdiri di sana beberapa saat, seolah menilai sesuatu, sebelum perlahan menutup pintu kembali. Dengan derit halus, pintu kamar tertutup, meninggalkan Ramiel terbaring dengan napas tertahan dan jantung yang berdegup tak terkendali.
Setelah Theron pergi, Ramiel memutar tubuhnya sedikit, mencoba menemukan kenyamanan di atas ranjang sederhana itu. Pikirannya berputar, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Bagaimana bisa dua saudara melakukan hal yang menjijikkan itu?" pikirnya, masih merasa gelisah dan bingung.
Namun, suasana sunyi malam itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara lain dari luar jendela. "SRAKK... SRAAKKK..." Suara itu terdengar seperti sesuatu yang bergerak di antara semak-semak di luar. Ramiel kembali terjaga, kegelisahan dalam dirinya semakin menjadi.
Matanya terbuka perlahan, dan ia menyadari bahwa ruangan masih diselimuti kegelapan, hanya diterangi cahaya remang dari perapian. Kali ini, ia tidak bisa lagi duduk diam. Dia menggenggam pedangnya.
Kemudian bergerak hati-hati mendekati jendela kecil yang ditutupi tirai tipis dan usang. Tirai itu tipis, cukup untuk membuatnya mengintip ke luar dengan cermat. Bayangan gelap di luar tampak bergerak di bawah cahaya bulan yang samar.
Dari balik tirai, Ramiel melihat sosok besar yang bergerak di balik pepohonan. Bayangan itu tampak berbulu, dan bergerak lincah di antara semak-semak. Bulu kuduk Ramiel berdiri, dan jantungnya berdegup semakin cepat. Dia mengamati makhluk besar yang kini terlihat lebih jelas. Tubuhnya tertutup rambut lebat, dan cakar tajamnya dengan mudah merobek daging, mencabik-cabik potongan tubuh kecil yang tak dikenali.
Sontak Ramiel merasa ngeri saat menyadari makhluk itu tengah mengunyah dengan rakus daging yang tampak seperti seekor tupai kecil tanpa kepala. Suara geraman rendah terdengar dari makhluk tersebut, seolah memberi peringatan bagi siapa pun yang mendekat.
✦✦✦
Rasa takut merayapi Ramiel, tapi dia tahu, ini bukan saatnya untuk terpaku. Kemudian, dengan sekejap terdengar langkah kaki mendekat dari luar pintu. Ramiel berusaha untuk tetap tenang, sementara suara langkah itu semakin mendekat. Jantungnya berdebar kencang saat pintu kamarnya terbuka pelan.
Sesaat sebelum ia menarik keluar senjatanya, Elara muncul di ambang pintu, menatap Ramiel dengan mata penuh kekhawatiran. "Ramiel, ada apa denganmu? Aku mendengar suara di luar," katanya dengan nada khawatir.
Ramiel, masih memegang erat genggaman pedangnya, menatap Elara dengan canggung. "Ah... tidak ada apa-apa. Hanya terpikir olehku, untuk segera melanjutkan perjalanan malam ini, dan itu selalu melintasi benakku." balasnya cepat.
Elara menatapnya, seolah berusaha menilai kebenaran dalam kata-katanya. Dia mendekat dengan langkah hati-hati. "Ramiel, kau tampak gelisah. Mungkin semua itu hanya mimpi buruk. Kau butuh istirahat, perjalanan ini jelas tidak mudah."
Ramiel mencoba menenangkan pikirannya, tapi semua yang baru saja dilihatnya masih berputar di kepalanya. Tangannya yang menggenggam belati mulai gemetar. Kecemasan dan ketidakpercayaan semakin menjadi-jadi.
"Ya, mungkin kau benar," jawab Ramiel, berusaha terdengar tenang meski hatinya masih kacau.
Elara, dengan senyum lembut namun dingin, meletakkan tangannya di bahu Ramiel. "Semua akan baik-baik saja. Kau aman di sini bersama kami."
Tetapi dalam hati, Ramiel tahu ia tidak bisa mempercayai kata-kata itu. Keputusan harus segera diambil. Dengan gerakan cepat dan tanpa peringatan, Ramiel mengayunkan pedangnya ke arah Elara. Tebasan itu mengenai lehernya dengan tepat, membuat darah segar mengucur deras dari luka yang menganga.
Elara terhuyung-huyung, terkejut dan tak mampu mengeluarkan suara. Tubuhnya terjatuh dengan bunyi yang mengerikan, sementara jeritannya yang tertahan menggema di dalam gubuk. Darahnya terciprat ke lantai kayu, seolah melukiskan jejak kematian.
Ramiel, terengah-engah, matanya melebar dalam kebingungan atas apa yang baru saja dilakukannya. Rasa bersalah berusaha menyelinap masuk, namun insting bertahan hidupnya mengambil alih. Ia tahu, waktunya sudah habis. Pintu gubuk terbuka keras, kemudian Theron muncul dengan fisik serta sorot mata yang berbeda.
"Elara!" teriaknya, suaranya memenuhi ruangan, seperti badai yang siap menerjang.
Ramiel mundur dengan langkah gemetar, pedangnya masih terangkat dalam posisi bertahan. "Theron... kau...?" ucapnya, suaranya bergetar dengan ketakutan. Theron, tanpa memberi waktu bagi Ramiel untuk menjelaskan, melompat dengan kecepatan luar biasa.
Cakarnya yang besar dan kuat menghantam perut Ramiel, rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. Membuat Ramiel terhuyung dan menyadari bahwa ia tak lagi bisa melawan makhluk besar yang dipenuhi rambut itu, Theron!
✦━━━✦