Chereads / Lucylle / Chapter 15 - 15 - Splinter and Logs

Chapter 15 - 15 - Splinter and Logs

   Ramiel menelan ludah, berusaha meredakan ketegangan. Lalu ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku hanya perlu menemukan cara untuk kembali. Aku... telah dikutuk, itulah sebabnya aku terjebak di sini."

   Elara menyorot mata Ramiel mencoba menilai kebenaran di balik kata-katanya. "Kau adalah manusia ketujuh yang kami temui di Edenfell," jawabnya. "Namun, ini pertama kalinya ada manusia yang dikirim ke sini melalui sebuah mantra kutukan." lanjut Elara tanpa menunggu pertanyaan dari Ramiel.

  Theron, yang sejak tadi hanya mendengarkan percakapan itu, memotong dengan nada yang lebih serius, "Kami telah hidup lebih lama dari yang kau kira, Ramiel."

   "Manusia dan kami pernah sekali hidup berdampingan. Tetapi, ketamakan dan ketakutan mendorong manusia untuk memulai perang. Kami telah menyaksikan perjanjian yang dilakukan oleh raja Nazdeath." lanjut Theron. Nama itu, Nazdeath, seorang raja yang menandatangani perjanjian damai, tapi juga raja yang pada akhirnya mengasingkan Edenfell dari dunia manusia.

   "Dunia manusia penuh dengan kekacauan dan perang. Jika kau berpikir hutan ini berbahaya, sebaiknya renungkan kembali. Neraka pada dunia luar jauh lebih kejam dan tak kenal ampun." sembari mengupas kulit apel, pandangan Theron membeku menatap kekosongan.

   Namun Theron tampak menyadari perubahan di wajah Ramiel, kemudian melemparkan sebuah apel ke arahnya. "Makanlah terlebih dahulu, Ramiel. Kau membutuhkan energi agar tubuhmu pulih," ucapnya dengan nada yang lebih tenang.

   Ramiel mencoba bersandar pada sebuah pohon besar di dekatnya, tubuhnya masih terasa lemah dan pegal. "Terima kasih," ucapnya dengan senyuman lelah.

   Ia menggigit apel yang diberikan oleh Theron, merasakan rasa manis dan segar yang seolah menghidupkan kembali energinya yang terkuras. Namun, meski tubuhnya sedikit pulih, pikirannya terus berputar, mencari cara untuk keluar dari situasi ini dan melanjutkan pencariannya.

   Elara, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya angkat bicara dengan suara yang sedikit berbisik, "Ramiel, apa yang kau ketahui tentang kutukanmu?"

   Ramiel terdiam sejenak, menghela napas panjang sambil mencoba mengingat dengan jelas "Semuanya bermula ketika aku melihat sebuah altar," jawabnya.

   Dengan singkat, ia mulai menceritakan peristiwa demi peristiwa, sampai akhirnya bertemu dengan para makhluk rawa. Elara mendengarkan dengan seksama, dan setelah Ramiel selesai, ada perubahan halus di wajahnya-seperti ada simpati yang terpendam di balik tatapan tajamnya.

      

✦✦✦

      

   "Jadi, kau sempat bertemu dengan Gorrum?" tanya Elara, matanya menerawang sejenak. "Wilayah ini sudah tidak berada dalam pengawasannya lagi. Edenfell terlalu luas dan penuh bahaya, bahkan bagi Gorrum."

   Theron menimpali, suaranya dingin namun penuh perhatian, "Kau tahu, Ramiel, malam hari di wilayah terbuka sangat berbahaya. Ikutlah dengan kami. Bermalam secara berkelompok terdengar lebih aman."

   Ramiel menatap Theron, merasakan ketulusan dalam perkataannya. Tawaran itu membuatnya merasa hangat di tengah ketidakpastian yang menyelimutinya. Meskipun masih penuh pertanyaan dan keraguan, ia tahu bahwa menerima bantuan ini adalah langkah yang bijak, setidaknya untuk sementara.

   "Terima kasih, Theron," balas Ramiel dengan hati-hati. "Dengan senang hati aku menerima tawaran kalian, meski aku tidak punya apa pun untuk dibawa sebagai balasannya." Ia menggaruk belakang kepalanya, merasa sedikit canggung dalam situasi ini.

   Elara, yang biasanya bersikap lebih dingin, tiba-tiba tertawa ringan, nadanya penuh canda. "Lebih baik daripada sendirian, Ramiel. Lagipula, wajahku dan manusia sangat mirip, bahkan lebih rupawan dari mereka," ucapnya sambil menyeringai.

   Ramiel terkejut sejenak sebelum tertawa kecil. "Terima kasih banyak, namun, benarkah tidak apa-apa? aku benar-benar tidak punya apa pun yang bisa kuberikan sebagai imbalan."

   Theron tersenyum lebar, menepuk bahu Ramiel dengan hangat. "Jangan khawatir, mungkin, kau bisa membantu kami membawa sebagian dari kayu ini," sahutnya seolah memberi ucapan selamat datang.

   Ramiel balas tersenyum, merasa lega mendengar kata tersebut. "Tentu, aku bisa melakukan itu sepanjang hari," jawabnya.

   Theron mengangguk puas. "Kami tidak butuh banyak, hanya cukup untuk persiapan malam ini."

   Dengan hati-hati, Ramiel bangkit dari tempatnya bersandar, meskipun tubuhnya masih terasa sedikit lemah. Namun, ia tahu bahwa berkontribusi dan membantu mereka, akan memberinya rasa aman dan hubungan yang mulai tumbuh.

   

   Ia mulai merasakan suasana yang lebih hangat dan nyaman dibandingkan dengan ketakutan yang sempat menguasainya saat pertama kali tiba di hutan ini. Ramiel mulai membantu Theron dan Elara memotong kayu bakar.

   Mereka menggunakan kapak besar untuk menebang dan membelah batang kayu, sementara Ramiel dengan sigap mengumpulkannya, menyusunnya dalam tumpukan rapi. Setiap ayunan kapak yang mereka lakukan menghasilkan suara retakan tajam, menciptakan ritme yang tenang dan menenangkan di tengah pekerjaan berat itu.

   Di tengah-tengah kesibukan mereka, "Jadi, kalian ini... berteman?" Ramiel menyeka keringat di dahinya dan dengan santai bertanya.

   Theron dan Elara saling berpandangan, lalu meledak dalam tawa yang lepas. Elara menyeka keringat di dahinya, masih tersenyum lebar. "Tidak, tidak. Kami bukan sekadar teman," katanya sambil menggelengkan kepala. "Kami saudara sejak kecil, memangnya wajah kami tak terlihat mirip bagimu?"

   Ramiel tertawa kecil, sedikit malu atas kesalahannya. "Saudara, ya?" Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "aku juga punya kakak perempuan, dia lebih tua dariku."

   Senyum tipis muncul di wajah Ramiel saat ia melilit kayu-kayu itu menjadi satu ikatan, merasa ada ikatan emosional yang terbentuk antara dirinya dan dua saudara itu. Elara, yang sepertinya menikmati suasana ringan ini, menyambutnya dengan senyum jahil.

   "Benarkah?" tanyanya dengan mata berbinar. "Kenapa kau tak mengatakannya lebih awal? Apakah dia sangat cantik sepertiku?" godanya dengan canda.

   Ramiel tertawa, sembari melanjutkan pekerjaannya dengan sigap. "Tentu, aku juga punya seorang kakak laki-laki. Mungkin sekarang dia sedang membersihkan kandang ternak menggantikanku."

   Ia mengenang bagaimana kakaknya biasa bersikap, "Edwart selalu menolak membantuku membersihkan kandang. Tapi dia masih lebih baik dariku dalam hal-hal lain."

   Theron tersenyum lebar sambil melirik Elara. "Sayang sekali, Elara tidak pernah bisa mengurus ternak sejak kecil. Penduduk Edenfell memang tidak pernah terkenal dengan keahlian bertani maupun ternak."

   Elara memutar mata dan menimpali dengan tawa, "lebih baik begitu daripada jadi pria besar yang takut pada babi hutan!" katanya sambil menyenggol Theron dengan sikunya, yang membuat Ramiel tersenyum menyaksikannya.

   Mereka berdua saling ledek dengan keakraban yang hanya dimiliki saudara kandung, Ramiel merasa terhibur. Ia ingat betapa keluarganya juga penuh dengan canda tawa dan sindiran lembut seperti itu.

       

✦✦✦

       

   "Kakakku sangat pintar," lanjut Ramiel. "Dia selalu membaca buku-buku tebal, menguasai banyak keahlian. Berbanding terbalik denganku."

   Ramiel tertawa kecil, terhibur oleh suasana yang hangat ini. "Tapi kalian benar-benar terlihat mirip dengan manusia," ucapnya dengan santai.

Ucapan itu membuat Theron dan Elara terdiam sejenak, menciptakan jeda canggung di antara mereka. Ramiel, menyadari perubahan suasana, segera menarik kembali kata-katanya. "Maksudku, aku bersyukur kalian tidak membuatku merasa takut. Terima kasih."

   Theron tersenyum tipis, suasana kembali rileks. "Tidak perlu khawatir, Ramiel. Kau aman bersama kami," katanya, memungut beberapa potong kayu yang telah terkumpul. "Kayu-kayu ini sudah cukup untuk malam ini."

   Elara membawa setengah dari kayu yang mereka kumpulkan, dan Ramiel mengikat setengah lainnya, siap membantu. "Tempat kami bermalam tidak jauh dari sini," ucap Theron sambil tersenyum. "Kau bisa istirahat dengan tenang di sana."

   "Baiklah, itu bukan masalah besar," jawab Ramiel dengan semangat, membawa kayu di pundaknya. Kemudian mereka mulai berjalan di bawah langit Edenfell yang sedang berubah warna, matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan tinggi. Cahaya jingga yang hangat memantulkan bayangan di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui.

   Udara malam mulai terasa sejuk, dan aroma hutan yang segar bercampur dengan bau kayu baru yang mereka potong, membuat Ramiel merasa sedikit lebih hidup. Hutan Edenfell, meskipun dipenuhi misteri, tampak damai di bawah cahaya senja. Suara gemerisik dedaunan dan katak yang bersahut-sahutan melengkapi suasana alam yang tenang.

   Namun, tiba-tiba, Theron berhenti di depan mereka, memutar badannya dengan santai. "Aku harus buang air kecil. Tunggulah di sini, aku akan segera kembali," katanya ringan sambil menyelip di antara semak-semak, menghilang dari pandangan.

   Ramiel merasa sedikit canggung, kini hanya berdua dengan Elara di tengah hutan. Ia mencoba menghindari tatapan Elara, merasa gugup dengan kehadirannya yang terlalu dekat.

   Elara melangkah lebih dekat ke arah Ramiel, senyumnya menggoda. "Kau tahu, Ramiel," ucapnya pelan, menyeka rambut yang terjatuh di wajahnya. "Kau memiliki sesuatu yang... istimewa."

   Ramiel merasakan wajahnya memanas. "Terima kasih, Elara," jawabnya dengan suara sedikit bergetar. "Aku hanya berusaha bertahan di tempat yang asing ini."

   Elara tersenyum lebih lebar, mendekat lebih dekat lagi hingga Ramiel bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

"Kau pasti punya banyak cerita menarik, Ramiel," lanjutnya dengan suara lembut. "Mungkin suatu saat kau bisa menceritakannya. Hanya kita berdua."

   Jantung Ramiel berdebar keras.

"Apa maksudmu?" tanyanya gugup.

   Elara terus mendekat, jarak di antara mereka semakin sempit. "Terkadang," bisiknya lembut, "hutan ini bisa terasa sangat sepi. Mungkin... kita bisa saling membantu untuk merasa lebih nyaman."

   Ramiel menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang. Elara kini sangat dekat, tatapannya penuh godaan. Tangannya yang halus menyentuh lengan Ramiel dengan sentuhan ringan, membuatnya semakin gugup.

   Elara perlahan menyingkap bagian atas pakaiannya, memperlihatkan bahu dan lehernya yang pucat di bawah sinar senja yang samar. "Ramiel," bisiknya lembut, "apa yang kau lihat?"

   Ramiel berdiri terpaku di tempatnya, tak mampu bergerak. "Elara, aku... aku tidak tahu harus berkata apa."

   Elara tertawa pelan, suaranya lembut seperti sutra yang meluncur halus di telinga. "Tidak perlu berkata apa-apa, Ramiel," ucapnya. "Kau hanya perlu melihat."

     

✦━━━✦