Ramiel meraih gagang pintu yang dingin. Ada gelombang kecemasan yang tak terjelaskan, seolah sesuatu dari dalam kegelapan menantinya. Perlahan, ia memutar gagang pintu itu, suara engsel yang berderit mengisi udara di sekelilingnya.
Pintu terbuka, dan yang menyambutnya adalah ruangan gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari beberapa lilin yang tersebar di sudut-sudutnya. Di tengah kegelapan itu, Ramiel melihat barang-barang berserakan di lantai-keranjang kosong, lembaran kain kusut, dan sebuah buku tua yang tertutup rapat di sudut ruangan.
Di udara, ada aroma debu bercampur dengan wangi lilin yang membakar.
Tiba-tiba, sebuah gelas kaca jatuh dari lemari buku, menghantam lantai dengan suara yang pecah. Sebelum Ramiel sempat bereaksi, seorang wanita tua melompat dengan kecepatan yang mengejutkan, langsung menerjang ke arahnya.
Teriakan Ramiel tertahan saat wanita itu meraih kepalanya dengan kekuatan yang ganas, giginya yang tajam mencengkeram tengkorak Ramiel. Rasa sakit luar biasa menjalar melalui tubuhnya, seolah tulang tengkoraknya dihancurkan perlahan. Dalam hitungan detik, pandangan Ramiel memudar.
Kesadarannya lenyap ditelan kegelapan. Tapi sebelum semuanya hilang sepenuhnya, Ramiel merasakan sentakan kuat di tubuhnya, dan ia tersadar, terbaring di lantai, napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengalir di dahinya saat ia berusaha menenangkan diri. Gorrum, yang telah mengawasi dari jauh, segera berlari mendekatinya.
"Aku... aku tidak bisa lagi, Gorrum," kata Ramiel dengan suara bergetar, penuh keputusasaan. "Aku harus segera menemukan keluargaku."
"Bisikan itu, mereka selalu menggangguku..." Ramiel terdiam, masih terguncang oleh mimpi buruk yang baru saja dialaminya.
Gorrum menatap Ramiel dengan penuh perhatian. "Tenanglah, Ramiel. Mungkin ada cara lain untuk menemukan apa yang kau cari. Jangan terburu-buru."
Ramiel, yang masih setengah sadar, bergegas menuju pintu keluar, keinginan kuat untuk pergi dari tempat itu membuatnya bertindak terburu-buru. Namun, tepat sebelum ia sempat meraih pintu, pintu besar katedral tiba-tiba terdorong dengan pelan. Sosok seorang lelaki tua kerdil masuk ke dalam ruangan. Janggut putihnya panjang menjuntai, mengenakan jubah kusam berwarna biru.
Matanya yang tajam menatap Ramiel dan Gorrum. Pria tua itu tersenyum lembut ketika berjalan mendekati mereka.
"Gorrum, sahabat lamaku. Sudah lama sekali tak melihatmu di tempat ini. Apa yang membawamu kemari?" ucap pria kerdil itu dengan suara ramah.
"Elberon, sungguh lama kita tak bersua," jawab Gorrum, suaranya dipenuhi kehangatan yang jarang terdengar dari dirinya.
✦✦✦
Elberon melirik ke arah Ramiel. "Kau berteman dengan manusia lagi, rupanya. Siapakah pemuda ini?" tanyanya sambil memandang Ramiel dengan penuh rasa ingin tahu.
"Dia memasuki wilayah Edenfell tanpa menggunakan sihir," bisik Gorrum kepada Elberon, memastikan Ramiel tak mendengar pembicaraan mereka.
Mata Elberon tertuju pada Ramiel, lalu ia berkata, "sepertinya ada sesuatu yang salah di sini," gumamnya sambil terus tersenyum. "Semenjak Nona Wyron, tak ada satu pun manusia yang bisa memasuki Edenfell tanpa mempraktikkan sihir."
"Untuk membuka gerbang Edenfell, penyihir biasanya harus mengorbankan darah seorang bangsawan atau bahkan, ratusan nyawa," lanjut Elberon, kali ini lebih serius.
Ramiel hanya mendengarkan dengan bingung. Istilah seperti 'mantra' dan 'sihir' terdengar asing baginya. Bahkan hingga kini, ia tidak sepenuhnya mengerti bagaimana ia bisa masuk ke dunia Edenfell, selain karena liontin misterius yang ada di sakunya.
Elberon menyadari kebingungan Ramiel dan mencoba memberikan penjelasan yang lebih lembut. "Kau tak perlu khawatir. Mari, kuantarkan kau ke ruanganku. Kau tampaknya kelelahan, dan pasti belum makan sesuatu yang layak selama beberapa hari."
Dengan penuh kelembutan, Elberon mengajak Ramiel menuju ruangannya. Mereka berjalan melewati koridor katedral yang dipenuhi tanaman merambat dan ornamen kuno. Suasana sunyi dan hanya suara langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang dinding batu.
Sementara itu, Gorrum berbicara dengan Elberon tentang apa yang dialami Ramiel. Gorrum memohon pertolongan kepada sang kurcaci untuk membantu anak laki-laki itu. Sesampainya mereka di ruangan Elberon, aroma roti dan mentega yang baru dipanggang memenuhi udara.
Ramiel, yang kini merasa sedikit lebih tenang, memandang ke arah Elberon dan bertanya dengan ragu, "Jadi, aku terkena sihir, paman?"
Elberon tersenyum bijak. "Sihir? Ah, sebutan itu terlalu ringan untuk apa yang terjadi padamu, nak. Kau terkena kutukan, lebih tepatnya melalui benda yang kau bawa."
Mereka masuk ke dalam ruangan yang nyaman, dipenuhi dengan aroma makanan lezat yang menggoda selera. "Namun kau cukup hebat, Ramiel. Mantra itu tidak bisa membunuhmu, dan takdirmu di Edenfell bukan untuk mati," kata Elberon sambil duduk di meja dan mulai menyantap makanannya.
✦✦✦
"Aku sebenarnya sedang menikmati makan siangku," lanjut Elberon sambil tersenyum, "tapi kemudian, aku terkejut mendengar teriakanmu di aula."
Ramiel, yang kini duduk dengan tenang, merasakan perutnya berbunyi. Bau makanan membuat mulutnya berair, dan tanpa berpikir panjang, dia mulai mengambil sepotong roti dan daging yang tersedia di meja.
Elberon memperhatikan Ramiel yang makan dengan lahap, lalu tertawa kecil.
"Makanlah, kau butuh kekuatan untuk perjalanan panjang ke depan."
Ramiel mengunyah makanannya dengan penuh semangat, senyum tipis mulai terlihat di wajahnya. Perut yang terisi mengubah suasana hatinya menjadi lebih cerah. "Bagaimana paman bisa mendapatkan makanan semewah ini di Edenfell?" tanya Ramiel, terkejut dengan kualitas hidangan di hadapannya.
Elberon tertawa lagi, "Hohoho... nak, di Edenfell, kami tak mengenal kemewahan. Semua makhluk di sini menikmati hasil alam, dan sebagai gantinya, kami menjaga tempat ini."
"Kawasan Edenfell tak hanya terbatas di hutan ini," lanjut Elberon, menghela napas dalam-dalam. "Tempat ini membentang luas, melintasi barat, laut, samudra, bahkan hingga ke gurun. Ini bukan hanya sekadar hutan, Ramiel. Kau berada di dunia yang berbeda."
Setelah mereka selesai makan, Ramiel merasa lebih tenang dan bersyukur.
"Terima kasih, paman Elberon. Aku merasa jauh lebih baik," ujar Ramiel sambil menyeka mulutnya.
Elberon mengangguk puas. "Baguslah. Kau butuh energi. Kini, mulailah memahami dirimu sendiri, nak."
Ramiel memandang Elberon dengan mata penuh harapan. "Menurutmu, paman, apakah seorang bocah sepertiku bisa bertahan melewati ini?"
Elberon menatap Ramiel dengan penuh keyakinan. "Bahkan ribuan penyihir tak bisa mengubah takdir, nak. Itu adalah hak sang absolut. Tugasmu adalah berjuang, bukan menebak-nebak takdirmu."
Mereka berbicara selama beberapa waktu, menikmati suasana yang hangat. Setelah Ramiel merasa siap, Elberon mengajaknya berjalan di sekitar kawasan tempat tinggal kurcaci. Mereka berjalan melewati gua-gua yang digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga, peninggalan dari masa lalu Edenfell.
"Bangsa kurcaci hanya menyisakan aku sendiri," ucap Elberon dengan penuh perasaan. "Kami membangun tempat ini bersama manusia, bertahun-tahun yang lalu."
Elberon kemudian berhenti sejenak, menatap Ramiel dengan serius. "Aku telah mendengar kisahmu dari Gorrum, tentang penyihir tua yang kau temui."
Ramiel mengangguk pelan, memikirkan kembali pertemuannya yang mengerikan. Penyihir itu memang tampak seperti manusia, tetapi jauh lebih menakutkan dari apa pun yang pernah ia bayangkan.
"Namun, nak..." Elberon melanjutkan dengan nada misterius, "Penyihir itu... dia bukanlah pelaku kutukan yang kau alami."
Ramiel terdiam, kebingungan. "Bagaimana mungkin?" pikirnya. "Jika bukan penyihir itu?"
✦━━━✦