Chereads / Lucylle / Chapter 12 - 12 - Sinister Dream

Chapter 12 - 12 - Sinister Dream

   Ramiel menatap tajam pada Elberon, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan olehnya. Suara berat sang kurcaci menggema di ruangan, seolah memantul dari setiap dinding batu tua yang dingin.

   "Semua yang berada di dunia manusia tidak bisa dijangkau oleh makhluk Edenfell, menggunakan fisik, sihir, maupun energi spiritual," ujar Elberon dengan nada tegas.

   Ramiel menunduk, kecurigaan yang selama ini mengganggunya kembali menjadi keraguan. Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia abaikan-penglihatan di ruang altar. Itu bukan sekadar halusinasi, pikirnya. Sesuatu yang besar, sesuatu yang tidak ia pahami, telah menariknya ke dalam hutan ini.

   "Aku tak mengingat apa pun," kata Ramiel, suaranya bergetar. "Bahkan tentang liontin itu. Aku hanya mengingat diriku berjalan di hutan ini, menemui altar kemudian sang penyihir. Setelah itu, semuanya terasa kabur, seperti diselimuti kabut."

   Elberon menatapnya dengan tatapan lembut namun serius. "Itu adalah petunjuk yang kau butuhkan." Sang kurcaci mengelus janggut putihnya yang panjang, meraba-raba sesuatu di benaknya.

   Ramiel mengangguk, namun rasa frustrasi merayap ke dalam suaranya. "Saat aku berjalan di hutan, waktu terasa berlalu begitu cepat, dan tak ada hal lain yang bisa aku ingat, seperti mimpi."

   Elberon mengangguk pelan, matanya terpejam sejenak. "Kutukan, atau mantra yang sangat kuat, sering kali disertai dengan hilangnya ingatan. Itu adalah tanda dari kekuatan besar."

   Ramiel melayang kembali ke masa lalu, mencoba mengingat sesuatu yang lebih dari sekadar kabut samar. Namun, setiap kali ia mencoba menggali lebih dalam, yang ia temukan hanyalah bayangan seseorang-tanpa wajah, tanpa bentuk.

   Semua kenangan itu tak lebih dari serpihan roti yang hilang di angin, tak beraturan, tanpa makna yang jelas. Melihat kebingungan di wajah Ramiel, Elberon tersenyum tipis, seolah memahami pergulatan batin yang dialami keponakannya.

   "Langkah pertama adalah menemukan lebih banyak tentang liontin itu," katanya lembut. "Skellsith, perpustakaan yang menyimpan hampir semua pengetahuan tentang sihir pada abad ini. Mungkin di sanalah petunjuk besar dapat kau temukan."

   Namun, Elberon melanjutkan dengan syarat yang lebih tegas. "Disana kau akan menemukan penjaga lainnya. Tetapi, aku tidak bisa pergi dengan anak laki-laki yang cengeng." Pandangannya menajam.

"Aku pun sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan."

         

✦✦✦

      

   Elberon mengelus kedua kakinya yang sudah lemah. Umurnya, seperti yang pernah dikatakan Gorrum kepada Ramiel, sudah mencapai tiga ratus tahun. Meskipun ucapan Elberon terdengar keras, Ramiel tahu itu bukan sekadar kata, tetapi kenyataan pahit yang harus ia terima.

   Tidak ada waktu untuk meratapi nasib. Jalan ke depan sudah jelas, meski sulit. Malam itu, Ramiel beristirahat di sebuah ruangan kosong. Paman Elberon telah menyiapkan tempat tidur sederhana di sudut ruangan, dengan selimut tebal serta bantal yang empuk.

   Meskipun sederhana, kehangatan tempat itu memberi sedikit kenyamanan bagi Ramiel yang lelah. Saat berbaring, pikirannya mulai melayang. Ia merenung, mencoba mengubah caranya berpikir, berhenti mengkhawatirkan hal-hal yang tak bisa ia kendalikan.

   "Apakah ayah sudah tertidur? Buku apa yang dibaca Wenna hari ini?" benak Ramiel kini dipenuhi oleh bayang-bayang keluarganya. "Edwart..." ia terdiam, tak ingin mengakui hal itu, namun jauh di dalam hatinya, Ramiel tahu bahwa Edwart adalah seorang yang lebih tangguh darinya.

   Ramiel berbaring di ranjang, tubuhnya lelah, namun pikirannya tak mau beristirahat. Kelopak matanya berat, perlahan terpejam, dan rasa kantuk yang ditunggu-tunggu mulai merayapi tubuhnya. Namun, tepat ketika ia hampir tenggelam dalam tidur, sesuatu mengusiknya.

   Bisikan halus, samar, terdengar di kejauhan. Awalnya, Ramiel berpikir itu hanyalah desiran angin yang menerobos celah pintu atau dinding, tapi semakin lama, semakin jelas, suara itu menyeruak ke dalam pikirannya.

   Bisikan itu berubah menjadi rangkaian kata yang tak ia mengerti. Kata-kata asing yang terdengar seperti mantra kuno. "Herish Atyo Qihim Gonath," berulang-ulang, bergema di dalam kepalanya.

   Ramiel menggeliat di ranjang, berusaha mengabaikan suara aneh itu, namun bisikan itu semakin keras, mendesak, memaksa dirinya untuk mendengarkan. Hawa cemas mulai merayapi tubuhnya. Detak jantungnya semakin kencang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.

   Tak tahan lagi, ia terduduk di atas ranjang, napasnya tersengal, matanya menyapu sekeliling kamar, mencari sumber suara. Bayangan di dinding tampak bergerak, seakan hidup, bermain-main dengan sisa cahaya dari luar. Tiba-tiba, suara benda jatuh terdengar keras di sudut ruangan.

 

   "Brakk..." Ramiel tersentak, menoleh cepat ke arah asal suara. Di lantai, tergeletak sebuah buku tua dengan halaman yang terbuka lebar. Perlahan, dengan hati-hati, ia turun dari ranjang dan menghampiri buku itu.

           

✦✦✦

               

   Saat ia meraihnya, seketika pandangannya kabur. Rasa pusing menghantamnya dengan keras, membuat ruangan di sekitarnya berputar liar. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Ketika matanya kembali terbuka, sebuah sosok muncul, berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke Ramiel.

   Sosok itu menatap keluar jendela dengan tatapan yang dalam, penuh misteri. Ramiel merasa tubuhnya menggigil hebat. Ia mengenali sosok itu-paman Elberon, tapi ada sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang salah. Suara bisikan itu muncul lagi, kali ini berasal dari sosok di dekat jendela.

   "Herish Atyo Qihim Gonath..." gumamnya, berulang-ulang, sama persis dengan mantra yang tadi memenuhi kepala Ramiel.

   Lalu, paman Elberon melakukan sesuatu yang tak terduga. Dengan gerakan yang tak wajar, ia mengeluarkan sebuah benda kecil berkilauan dari tenggorokannya. Mata Elberon terfokus pada benda itu, menatapnya dengan penuh rasa kagum. Tawa pelan keluar dari mulutnya-tawa yang tidak seperti biasanya.

   Tawa itu terdengar aneh, menyeramkan, membuat bulu kuduknya berdiri. Ramiel menatap dengan penuh ketakutan, jantungnya berdetak lebih cepat. Naluri ingin tahu menggerayangi pikirannya, namun ada sesuatu yang mengatakan padanya untuk kembali ke tempat tidur, untuk mengabaikan semua yang baru saja ia lihat.

   "Ini hanya mimpi," ia berusaha meyakinkan dirinya. Namun, di dalam hati kecilnya, Ramiel tahu bahwa apa yang ia saksikan lebih dari sekadar mimpi buruk.

   Malam itu berlalu dengan cepat, namun kejadian-kejadian aneh tersebut terus menghantuinya. Saat fajar datang, Ramiel bangun dengan perasaan gelisah yang masih menggantung. Paman Elberon, kini tampak seperti biasa, menyiapkan sarapan sederhana untuk mereka berdua.

   Tak ada kata-kata yang diucapkan selama mereka makan. Hening, seperti ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Setelah sarapan, paman kurcaci menyerahkan pakaian perjalanan berwarna hijau gelap, dengan perlengkapan yang Ramiel butuhkan.

   "Ini untukmu. Kau akan membutuhkannya di luar sana," katanya dengan nada datar. Kantong yang diserahkannya berisi obat-obatan, makanan ringan, serta sebuah pedang besi kecil yang terasa berat di tangan Ramiel.

        

✦✦✦

        

    "Sebelum kau pergi," lanjut Elberon dengan tatapan serius, "ingatlah untuk selalu waspada. Hutan ini penuh dengan kejanggalan. Jangan pernah abaikan instingmu."

   Ramiel mengangguk, merasa gugup namun juga bersemangat. Ia segera mengucapkan terima kasih, lalu meninggalkan Chapel Milory menuju hutan, membawa serta semua bekal dan peringatan itu. Saat ia melangkah, pikirannya masih terganggu oleh kejadian semalam.

   "Pasti hanyalah mimpi buruk," ia berkata pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa semuanya hanyalah ilusi.

   Setelah beberapa saat ia berjalan jauh ke dalam hutan, Ramiel menemukan sebuah sungai kecil yang indah. Kemudian ia berlutut, meraih air dengan tangannya. Namun sesuatu yang berkilau di dasar sungai menarik perhatiannya.

   Sebuah batu kecil yang memancarkan cahaya kebiruan. Disaat ia tengah mencoba meraihnya, suara lembut terdengar, lalu dengan sigap makhluk-makhluk kecil melompat dari air, mengitari batu tersebut. Mereka tampak aneh namun mempesona, berbeda dengan apapun yang pernah dilihat Ramiel sebelumnya.

   Tanpa merasa takut, ia berbicara pada mereka. "Apakah kalian bisa berbicara?" tanyanya lembut, meski tak yakin akan mendapat jawaban.

  Makhluk-makhluk itu menatapnya, lalu mulai mengeluarkan suara seperti gemerisik angin, seolah-olah mencoba berkomunikasi dengan caranya sendiri. Ramiel tersenyum. Ia mengeluarkan sepotong roti dan keju dari tasnya, memberikannya pada makhluk-makhluk itu sebagai tanda persahabatan.

   Perlahan, salah satu dari mereka mendekat dan mulai memakan roti itu. Ramiel merasa lega, senyumnya mengembang, dan hatinya hangat. Pertemuan dengan makhluk-makhluk kecil ini adalah pertanda baik, pikirnya. Siapa tahu, di hutan ini, ia akan menemukan lebih dari sekadar perjalanan pulang-ia mungkin menemukan bagian dari takdirnya.

✦━━━✦