Chereads / Lucylle / Chapter 9 - 9 - Epiphany

Chapter 9 - 9 - Epiphany

   Hari itu terasa berat di peternakan keluarga Wealton. Angin pagi yang sejuk menyapu lahan luas yang dipenuhi gandum, namun hati Wenna terasa berat. Ia berdiri di depan jendela rumah mereka, memandang keluar dengan mata sayu, bahkan keindahan alami seakan tidak mampu menghiburnya. 

   Di dalam rumah, suasana cemas sedang menyelimuti hati sang ayah, Jorren Wealton. Ia sedang sibuk mempersiapkan pencariannya ke kota, Jorren mengumpulkan perlengkapan dan bahan-bahan untuk perjalanan di pagi buta. 

   Di satu sisi, Wenna yang melihat ayahnya juga merasakan kepedihan dan keputusasaan yang mendalam. Sudah tiga hari berlalu sejak Ramiel dan Edwart menghilang. Wenna mengerti betapa khawatirnya sang ayah terhadap anak-anaknya. 

   Jorren selalu menjadi sosok yang tegas dan adil, namun kehilangan kedua anak membuatnya tampak lelah dan cemas. 

Wenna ingat betul bagaimana ayahnya dengan penuh ketekunan mencari mereka hingga ke hutan, menjelajahi pasar kota, hingga bertanya pada penduduk desa setempat. Namun belum ada hasil yang memuaskan. 

   Dengan hati-hati, Wenna mendekati meja makan tempat sang ayah sedang sibuk menyusun barang-barangnya. Sarapan sederhana-sepotong roti gandum dan segelas susu-tersaji di meja, namun belum tersentuh. Wenna melihat betapa tangan ayahnya tampak gemetar saat ia membungkus perbekalan. 

   "Ayah, makanlah dulu sarapanmu, tidak perlu terburu-buru," ujar Wenna dengan nada lembut. "Kita perlu tenaga untuk melanjutkan ini." 

   Namun didalam hati Jorren terdapat rasa bersalah yang amat besar, tanggung jawab yang dia ambil setelah kepergian istrinya kini dia lalaikan. "Biarkan aku membawa roti-roti ini nak, mereka mungkin ingin makan setelah pulang," dia mengambil sepotong roti, lalu membungkusnya dengan hati-hati sembari tersenyum, seakan memberi tahu putrinya bahwa semua akan baik-baik saja. 

   "Ingatlah Wenna, jangan membukakan pintu untuk siapapun, kecuali ayah telah pulang." ucap Jorren pada putrinya, "aku takut jika penduduk desa setempat menagih hutang untuk beberapa domba yang belum bisa kita penuhi." lanjutnya. 

   Sembari menjahit kain dengan penuh perhatian, Wenna mengangguk pada perkataan ayahnya. Ia terbenam dalam keheningan. Setiap tusukan jarum pada kain hanyalah sebuah bentuk pengalihan dari rasa cemasnya yang mendalam. Air mata yang mengalir di pipinya menandakan betapa pedulinya dia terhadap keluarganya. 

   Wenna menatap dengan mata yang buram, berusaha keras untuk menahan tangis. Wajah ayahnya yang kini sudah pergi untuk mencari Ramiel dan Edwart tidak bisa dia lihat tanpa dibanjiri oleh air mata. Suara derap kuda yang semakin menjauh, menandakan bahwa sang ayah telah meninggalkan rumah yang kini terasa kosong. 

   Sesaat, Wenna mengingat saat-saat bersama ibunya, momen kecil yang penuh dengan kehangatan. Sang ibu telah mengajarinya banyak hal-dari menjahit, mencuci, hingga memanah-semua dilakukan dengan penuh kasih dan dedikasi. Kehadiran ibunya seakan terpatri dalam setiap gerakan jarinya. 

   Setiap benang yang dijahit, seolah dia masih merasakan sentuhan lembut dan bimbingan ibunya meskipun fisiknya telah tiada. Jorren, sang ayah, selalu percaya bahwa bakat dan kejeniusan sang ibu mengalir pada Wenna. Namun, di balik kecerdasannya, Wenna sering kali merasa hatinya yang lembut adalah kelemahan yang membuatnya sangat rentan. 

✦✦✦

  

   Di tengah perjalanan cepatnya dengan kuda, Jorren teringat kejadian pada tiga hari yang lalu. Hari dimana Ramiel dan Edwart pergi, serta suara ketukan misterius dibalik pintu rumahnya. "Bayangannya memang sebesar beruang." gumam Jorren dalam benaknya. 

   Pada hari itu, Jorren membuka gagang pintu dengan cepat. Kemudian ia melihat jelas sekelebat tubuh yang kemudian menghilang, hanya dalam waktu singkat. Reaksi manusia pada umumnya setelah kejadian itu mungkin akan merinding ataupun terkejut. 

   Namun Jorren, yang adalah seorang ayah, ketakutan terbesar hanyalah bahaya untuk anak-anaknya. Hutang domba hanyalah alasan Jorren agar perintahnya tidak membuat Wenna khawatir. Beberapa hari berikutnya masih serupa, setiap dini hari, Jorren selalu mendengar ketukan pintu di depan rumahnya. Sehingga membuat Jorren tetap terjaga meskipun kekurangan waktu istirahat. 

   Sesampainya di kota, Jorren langsung menemui sejumlah penjaga berzirah yang sedang bertugas. Mereka sudah familiar dengan wajahnya selama tiga hari ini. Setiap kali melihat Jorren mendekat, mereka menggelengkan kepala, tanda bahwa tidak ada kabar tentang anak-anaknya. 

   Dengan rasa putus asa Jorren berpikir, "Tidak ada gunanya lagi bergantung pada mereka." ia memutuskan untuk menyusuri setiap sudut kota dan pasar, mencoba memperkirakan jalan mana yang mungkin dilalui Ramiel setelah memasuki kota. 

   Memasuki pasar, dirinya disambut oleh keramaian, suara pedagang, dan hiruk-pikuk penduduk yang berlalu lalang, mengingatkan Jorren pada masa kecilnya. 

Dia tumbuh besar di sini, di kota yang dulu dipenuhi dengan kekejian. Perdagangan manusia adalah pemandangan umum saat itu, banyak orang menderita di bawah kekuasaan raja Roland. 

   Namun puji syukur, segalanya mulai berubah ketika anak Raja Roland, Varrus, naik takhta. Beliau memegang kekuasaan dan menduduki tahta kerajaan selama dua puluh tahun, membawa reformasi yang dapat menghapus praktik tercela itu. 

   Jorren masih mengenal tempat ini dengan baik, pasar yang ramai ini adalah tempat dimana ia mencuri roti sewaktu kecil. Berlari di antara kerumunan dengan perut kosong, bahkan rumor masih tetap terdengar di telinganya setelah ia pergi dari kota. Kabar tentang wabah yang menyerang kota Ashgate. 

✦✦✦

  

   Matahari mulai naik, dan siang hari yang terik menerjang ladang gandum Wealton. Wenna yang selesai dengan jahitannya memutuskan untuk mengeringkan pakaian di luar rumah. Udara panas membuat keringat menetes di dahinya, namun tugas rumah tangga harus tetap dilakukan. 

   Sebelum berjalan keluar, Wenna melihat kantung yang terdapat di bawah meja jahitnya. Ia mengambil kantung tersebut dan membuka isinya, terpajang sebuah kalung yang memiliki permata oval, tertutup dengan permukaan halus berwarna biru laut, memancarkan kilauan lembut. 

   Permata ini bukanlah barang biasa; itu adalah peninggalan yang sangat berarti baginya. Dengan hati-hati, Wenna membuka liontin tersebut. Di dalamnya terdapat lukisan kecil seorang wanita muda, dengan rambut panjang, mata yang sayu, dan tertulis "Wyron". 

   Lukisan itu sangatlah menakjubkan, menunjukkan keahlian tinggi sang pelukis. Setiap goresan kuas menangkap esensi dari wanita tersebut. Mengingat itu merupakan peninggalan dari ibunya, Wenna erat menggenggam kalung tersebut. Mengingat dia dahulu mendapat pelukan setiap kali ia merasa sedih di samping ibunya. 

   Lalu, Wenna akan mendengar dongeng hingga tertidur di pangkuan sang ibu. Namun sudah cukup mengenang masa itu, ia beranjak mengumpulkan pakaian kotor untuk dikeringkan pada sebuah keranjang. 

Dengan semangat ia mengangkat keranjang itu, kemudian berjalan menuju sudut ruangan. 

   Saat tangannya hampir menyentuh gagang, ia mendengar suara ketukan yang perlahan namun tegas di pintu depan. Wenna berhenti sejenak, alisnya mengernyit karena merasa firasat yang tidak enak. Mencoba mengabaikan rasa khawatirnya, ia mendekati pintu dengan langkah hati-hati. 

   Wenna menahan napasnya lalu mulai menempelkan telinga ke permukaan pintu kayu tersebut, mendengarkan dengan seksama. Ketukan itu terdengar lagi, jantung Wenna berdegup lebih cepat, rasa was-was mulai merayap di hatinya. Ia mengintip melalui celah kecil di jendela, namun yang ia lihat hanyalah cahaya matahari yang menyilaukan. 

   Tidak ada bayangan atau tanda-tanda keberadaan orang dari luar, suasana di sekitarnya begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan dan kicauan burung di kejauhan. Wenna menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar. 

   Namun setelah beberapa saat ia berdiri diam, "nak, tolong buka pintunya! Ayah melupakan sesuatu." teriak seseorang dari balik pintu. 

   Suara itu, suaranya persis seperti sang ayah. Kemudian Wenna bernapas lega serta memutar gagang pintu dengan perlahan, membuka pintu sedikit demi sedikit. Ditengah gerakan tangannya tersebut, kedua lututnya melemah karena menyadari sesuatu. 

   Akhirnya, sinar matahari langsung terpancar ke dalam rumah, membuat dirinya menyipitkan mata. Dengan sekejap, Wenna terbelalak melihat sosok tinggi yang menatapnya, badannya lemas serta tidak dapat bergerak sesuai perintahnya, sekarang ia hanya bisa berharap jika yang ada dihadapannya bukanlah sang iblis.

✦━━━✦