Chereads / Tak Kenal maka Taaruf / Chapter 28 - Bab 28-Kabar dari Jombang

Chapter 28 - Bab 28-Kabar dari Jombang

Zoya terbangun. Mobil mengalami kemacetan panjang sebelum masuk tol Bocimi. Dia menengok ke belakang untuk menyaksikan Fatimah dan Anisa sedang tertidur pulas. Zoya mencari-cari. Dia lupa bawa air minum! Padahal dia sedang sangat kehausan. Cuaca sedang panas-panasnya dan mereka terjebak tidak bisa bergerak. Zoya menelan air liurnya. Sebuah ketukan di jendela mobil mengagetkan Zoya. Zoya mengambil pecahan dua ribuan dari tasnya. Mungkin pengamen atau pengemis yang datang meminta derma.

Zoya menurunkan kaca setengahnya agar bisa memberikan uang. Sebuah tangan terjulur memberikan 4 botol air mineral dingin. Oh penjual minuman? Zoya mencari dua puluh ribuan. Ketemu. Gadis itu hendak mengangsurkan uang untuk membayar saat tangan itu terjulur lagi menyerahkan seplastik jeruk manis. Zoya menurunkan lagi kaca untuk bertanya berapa harganya. Wajah Faris nongol di sana dengan senyuman khasnya.

"Gratis. Sebagai ganti Barakuda." Zoya terpana. Kaget bukan main melihat penampakan Faris di samping mobil yang ditumpanginya. Zoya hendak bertanya lagi. Tapi Faris sudah menghilang. Zoya mencari-cari dengan ekor matanya kemana arah pergi Faris. Tidak ada tanda-tanda sama sekali. Lalu lalang motor ramai mencari celah jalan di kanan dan kiri mobil. Zoya sampai mengeluarkan kepalanya dari jendela untuk memastikan kemana Faris menghilang. Tidak nampak juga.

Zoya menghela nafas sambil tersenyum. Dia haus. Diminumnya air mineral dingin dari Faris. Segar sekali. Alhamdulillah, terimakasih Faris. Zoya memberikan 1 botol ke Pak Sopir dan mengangsurkan 2 botol ke belakang. Fatimah dan Anisa terbangun karena kesibukan Zoya buka tutup kaca mobil tadi.

Zoya merebahkan tubuhnya sedikit sambil mengupas jeruk. Aromanya langsung semerbak memenuhi mobil. Wangi dan segar. Fatimah dan Anisa berebut memajukan badan ke arah Zoya. Zoya memberikan plastik isi jeruk kepada mereka. Kalau tidak segera diberikan, bisa-bisa jeruk yang sudah terkupas di tangannya akan jadi sasaran.

"Beli di mana Zoy? Manis!" Anisa bertanya sambil terus menyuapkan gumpalan jeruk ke mulutnya. Zoya hanya menyahut pendek. Faris.

Tidak ada lagi pertanyaan dari belakang. Fatimah dan Anisa sibuk makan. Zoya tersenyum dan memejamkan mata. Dia tidak mau berpikir jauh kenapa tiba-tiba Faris berada di sini. Dia senang melihat wajah yang tersenyum itu membawakannya air minum. Plus jeruk lagi. Zoya terlelap lagi dalam keadaan bahagia. Berharap macet ini terus berlangsung lalu Faris tiba-tiba membawakannya sekotak moci. Hihi.

Saat terbangun lagi, Zoya melihat mobil sudah melaju kencang. Mereka telah lepas dari kemacetan dan masuk tol Bocimi. Hapenya bergetar. Zoya sangat berharap itu dari Faris. Bukan. Dari Bu Nyai.

"Assalamualaikum, Ibu. Ibu sehat?" Zoya menyapa riang.

"Walaikumsalam, Nduk. Sehat. Kamu sehat cah ayu?" Zoya menjawab sehat. Ibunya rutin menelepon saat malam karena siang harinya disibukkan dengan aktifitas mengajar. Tumben ini siang Ibunya menelepon.

"Nduk, ojo kaget yo? Ayahmu sakit. Sudah beberapa hari. Ibu sengaja tidak menghubungimu karena tidak mau mengganggu liburanmu. Tapi pesan dari Ayahmu minta untuk segera disampaikan." Zoya tersentak kaget. Ayahnya sakit dan ingin menyampaikan pesan?

"Begini, Nduk. Ayahmu dihubungi oleh Mbah Yai Badar minggu lalu. Mbah Yai minta segera dilakukan Ta'aruf antara dirimu dan Salahuddin. Mbah Yai merasa sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Beliau ingin putranya meneruskan mengasuh pondok. Karena itu beliau mendesak Ayahmu. Pengasuh pondok membutuhkan seorang istri untuk menyeimbangkan hidupnya. begitu kata Mbah Yai, Nduk."

"Kenapa harus Zoya, Bu? Kalau memang terburu-buru kan masih banyak gadis-gadis lain?" Zoya bertanya dengan pipi memerah. Bukan karena tersipu-sipu tapi karena mulai marah. Dia tidak suka dipaksa. Terdengar helaan nafas Bu Nyai.

"Itulah masalahnya, Nduk. Salahuddin tidak mau menikah cepat kecuali dengan dirimu. Dia jatuh cinta sejak bertemu denganmu tempo hari di rumah. Begitu kata Mbah Yai."

Zoya semakin melorot dari tempat duduknya. Dia terdiam tak sanggup berkata-kata. Hatinya mengatakan tidak mau. Kalau Salahuddin mengatakan dia telah jatuh cinta kepadanya, dia juga boleh dong mengatakan hal yang sama bahwa dia juga telah jatuh cinta dengan seseorang. Dia tidak mau dipaksa! Zoya nyaris meneteskan airmata saking terdesaknya. Ibunya kembali berkata lembut dari ujung sana. Sepertinya paham apa yang dirasakan oleh anak gadisnya.

"Ayahmu meminta Ibu menyampaikan pesan kepadamu. Kamu diminta pulang agar saat keluarga Mbah Yai datang, kamu ada di rumah. Minta izin dulu ke fakultasmu bahwa kamu punya urusan penting dan harus segera pulang, ya?"

Zoya menggeleng-gelengkan kepala. Matanya berkaca-kaca. Dia tidak tega membantah Ibunya. Namun isi hatinya memberontak keras.

"Ibu, Zoya mengerti situasinya mendesak. Tapi apa Zoya tidak punya kesempatan untuk mengatakan tidak?"

"Ayahmu merasa kamu sudah cukup usia, Nduk. Kamu masih bisa menyelesaikan kuliah. Setelah menikah, Salahuddin akan mendampingimu di Bogor sampai kamu selesai dan menjadi dokter."

Zoya terdiam. Dia berada dalam tekanan hebat. Ibunya melanjutkan.

"Kecuali memang kamu telah mempunyai pilihan pemuda yang lain dan bersedia melakukan Ta'aruf dengan pilihanmu, Ayah dan Ibu tidak akan melanjutkan proses ini, Nduk. Kalau tidak ada, Ibu minta dengan sangat kamu segera pulang. Ayahmu sakit keras Nduk. Sekarang hanya terbaring saja di tempat tidur. Ayahmu hanya ingin memastikan bahwa kamu berada di tangan yang tepat untuk melanjutkan hidup." Kali ini terdengar isak halus di suara Bu Nyai.

Zoya termangu. Pilihan lain? Matanya mulai bercahaya kembali. Masih ada kesempatan.

"Iya Bu. Zoya sudah punya pilihan hati. Zoya tidak mau menikah dengan orang yang bukan pilihan hati Zoya." Zoya menjawab dengan suara keras dan nada tegas. Fatimah dan Anisa yang sedari tadi mencuri dengar dengan tekun, saling pandang. Lalu terjadi saling cubit di antara mereka. Zoya sudah punya pilihan hati!

"Baiklah. Kalau begitu ajak pilihan hatimu untuk pulang ke Jombang. Suruh dia meminangmu dan jika belum mau menikah sekarang, kalian punya waktu Ta'aruf. Ingat Nduk, tidak ada pacar-pacaran."

Zoya menegakkan tubuhnya. Lega bukan main. Salahuddin memang memang pria baik dan mapan. Tapi hatinya tidak bisa dipaksa untuk suka atau bahkan cinta. Orang tuanya memang menghargai kebebasan memilih. Dia diberikan kesempatan tidak menerima pinangan Mbah Yai Badar tapi harus segera melakukan Ta'aruf dengan pemuda pilihan hatinya. Zoya tahu. Jika dia tidak melakukannya, maka dia tidak punya pilihan lain selain menerima pinangan Salahuddin.

Pilihan hati? Zoya memejamkan mata. Muncul raut wajah seseorang di pelupuk matanya. Zoya coba mengusirnya kuat-kuat! Barangkali dia selama ini salah. Wajah itu tetap ada dan tidak mau pergi. Zoya mencoba membayangkan wajah Doktor Wira dan beberapa kawan kuliahnya yang pernah menyatakan menyukainya. Wajah itu tetap ada. Bahkan kali ini tersenyum manis kepadanya.

Zoya lalu berbuat sebaliknya agar wajah itu menghilang dari benak dan pelupuk matanya. Zoya menggali ingatan rasa kesal dan benci yang hebat karena suara raungan cempreng RX King. Zoya juga berusaha keras mengingat betapa wajah itu menghabiskan waktu beberapa hari dengan Cleo. Melakukan CPR kepada Cleo. Tapi wajah itu bahkan semakin tegas menjelma. Zoya memutuskan bahwa hatinya memang sudah mantap menentukan pilihannya.

Tapi bagaimana cara mengajak bicara Faris mengenai hal ini ya? Zoya kebingungan. Eh! tunggu dulu! Apa iya Faris mau berta'aruf dengannya? Jangan-jangan pemuda itu hanya ingin bermain-main saja? Kalimat demi kalimat itu kembali terngiang di telinga Zoya;

Kekasih? Sampai saat ini aku masih sendirian. Belum pernah punya kekasih. Dan kalaupun ingin, aku bukan mencari kekasih. Tapi calon istri. Itupun tidak pakai pacar-pacaran. Aku maunya ta'aruf.

Zoya membuka matanya. Menoleh ke belakang. Melihat kedua wajah temannya terpana menatapnya lalu dengan berbarengan berkata keras. Anisa bahkan setengah menjerit.

"Kami akan menemanimu dan Faris pulang ke Jombang! Kapan?"

Zoya memerah mukanya. Kali ini bukan karena marah. Tapi disebabkan oleh rasa bahagia yang menjalar cepat dari hati ke wajahnya.

--********