Saat menyusun barang-barang di atas rak bagasi, Faris melihat gerbong kereta yang mereka naiki kosong. Mereka sengaja memajukan keberangkatan menjadi Kamis. Karena jika berangkat sesuai rencana di Hari Jumat, dia dan Jenglot akan kehilangan kesempatan untuk Sholat Jumat karena pasti masih berada di atas kereta saat waktu Jumatan tiba.
Hanya ada mereka berlima ditambah beberapa penumpang yang ada di bagian belakang gerbong. Tengah, kosong melompong. Faris menarik nafas lega. Pertunjukan kejutannya buat Zoya tidak akan mengganggu banyak orang. Alhamdulillah.
Jenglot pindah tempat ke sebelah. Lebih leluasa untuk tidur. Dia bisa selonjor dan ngorok dengan tenang. Jenglot ketawa dalam hati. Ngorok kok tenang.
Fatimah dan Anisa sibuk berbincang dan mengatur rencana mereka akan kuliner apa saja nanti setibanya di Jombang. Mereka bahkan mencatat tempat-tempat kuliner yang populer di youtube yang berada di sekitaran Jombang. Anisa juga sibuk merayu Zoya agar menghubungi Ibunya supaya memasak pecel tumpang. Anisa tergila-gila dengan makanan itu karena Zoya dulu pernah bawa saat kembali dari liburan.
Zoya yang duduk di pojok, hanya mematung seperti arca. Tapi matanya nampak berbinar-binar saat menyaksikan tiang-tiang telepon saling berkejaran dengan laju kereta. Sawah-sawah yang menghijau dan parit-parit irigasi sangat menarik perhatian Zoya. Apalagi saat hamparan sawah luas itu berada di kaki gunung yang berdiri gagah seperti raksasa penjaga bumi.
Faris berbaring berbantalkan tangan. Perawakannya cukup tinggi sehingga kakinya terpaksa menggantung di lengan kursi. Dia akan menunggu saat yang tepat untuk memulai pertunjukan. Mungkin nanti saat Zoya tidak lagi terpaku pada jendela kereta. Faris ingin mengajaknya ngobrol tapi gadis itu seperti sedang terjatuh ke lamunan yang dalam. Faris tidak tega. Jangan pernah mengganggu orang yang sedang melamun karena apabila lamunannya terputus, orang itu bisa berubah moodnya secara drastis.
Sambil mendengarkan celoteh Fatimah dan Anisa yang entah sudah berapa chapter karena tak habis-habis, Faris nyaris terlelap. Sebuah panggilan lembut membangunkan Faris.
"Faris, pakailah ini untuk bantal. Nanti lehermu bisa keseleo kalau tidur seperti itu." Zoya mengulurkan boneka marmutnya. Boneka itu memang selalu dibawa kemana-mana sebagai teman perjalanan. Boneka imut yang bisa dikempesin supaya mudah dibawa dan juga bisa ditiup agar menggembung lucu.
Faris tersenyum penuh terimakasih. Kepalanya nyaman sekali. Bukan karena marmut kecil itu, karena begitu ditindih kepala dan lehernya, si marmut langsung menciut menjadi sebesar hamster, tapi karena ini dari Zoya yang meminjamkannya dengan penuh rasa cinta. Faris terlelap dengan senyum yang masih mengembang di bibirnya.
Zoya geli melihat marmutnya menjadi kempes. Kasihan Faris. Zoya mencari-cari siapa tahu ada tas yang cukup empuk untuk dijadikan bantal. Tidak ada. Semua berupa tas ransel keras yang lebih cocok untuk dijadikan pijakan kaki daripada bantal kepala. Zoya berhenti mencari-cari. Dilihatnya Faris tidur dengan nyenyak di atas marmut. Nampak sangat nyaman sekali. Zoya membuka novel Robert Galbraith yang terbaru. Dia baru menyelesaikan setengah dari 500 halaman yang ada. Kesibukan dan kejadian akhir-akhir ini membuatnya tidak punya banyak kesempatan membaca novel kesukaannya.
Gerbong kereta yang hanya berisi beberapa gelintir penumpang itu hening. Hanya terdengar derit roda kereta yang menjerit-jerit saat bertemu dengan sambungan rel. Zoya tenggelam di buku bacaannya sampai tidak menyadari bahwa Faris sudah terbangun dan mengambil gitarnya.
Zoya menajam konsentrasi pendengarannya dengan mata masih terpaku pada buku. Sebuah gitar dimainkan dengan lembut dalam intro yang sama sekali tidak dikenalnya. Enak didengar. Halus mengayun-ayun. Zoya sampai memejamkan mata agar lebih bisa fokus menikmati. Dia tahu Faris sedang bermain gitar. Tapi lagu apa itu ya? Bagus sekali!
Setelah intro selesai terdengarlah suara Faris yang serak basah menyenandungkan syair-syair lagu yang sangat menyentuh hati. Zoya betul-betul tenggelam dalam alunan merdu suara Faris. Zoya mengenal baik lirik lagu yang sedang dinyanyikan. Aku Merindukanmu, Ibu. Itu adalah judul puisi yang pernah dimintanya untuk dijadikan lagu kepada Faris.
Denting gitar yang halus dan lembut, mengiringi suara merdu Faris hingga seluruh bait selesai dinyanyikan. Tanpa terasa airmata mengaliri pipi Zoya saking syahdunya lagu itu disenandungkan Faris. Lagu yang memang menyentuh karena berkisah tentang kerinduan seorang anak kepada Ibunya. Zoya menyusut airmata dengan tisu.
Gadis itu menoleh ke samping karena Fatimah dan Anisa kembali gaduh. Kali ini gaduh mencari tisu. Rupanya mereka juga mendengarkan meski dalam keadaan setengah tertidur. Fatimah dan Anisa juga tersentuh dan terharu mendengar syair lagu yang dinyanyikan Faris. Pipi mereka basah oleh airmata.
Faris menyelesaikan lagunya dengan manis. Memangku gitarnya lalu menatap Zoya. Menunggu tanggapan gadis yang masih menutupi mukanya dengan tisu.
"Bagaimana Zoya? Apakah aransemen sederhana lagu Ibu ini cukup menarik?" Faris akhirnya bertanya karena Zoya belum berkomentar apa-apa. Masih sibuk mencabuti tisu untuk menyusut airmata dan ingusnya.
Zoya memandang dengan mata yang masih berlinang. Suaranya terdengar sengau dan aneh.
"Luar biasa Faris. Itu luar biasa! Terimakasih ya."
Faris tersenyum senang. Sudah selesai tugasnya barter aransemen lagu dengan Barakuda. Faris penasaran dan ingin mengetes tanggapan Zoya.
"Sama-sama Zoya. Berarti kita impas ya? Aransemen lagu Ibu dengan Ikan Barakuda." Faris bekata sambil nyengir. Tanpa disangka Zoya menggeleng-gelengkan kepala.
"Tugasmu tentang Barakuda belum selesai Faris. Kamu nanti harus berterus terang dan menyampaikan kepada Cleo mengenai semua ini. Aku tidak mau gadis yang sudah hijrah total itu patah hati karena cintanya kandas di tengah jalan dan kemudian berubah lagi."
Zoya melanjutkan dengan kalimat tegas dan penuh tekad.
"Aku bahkan rela mengorbankan cinta kita untuk itu. Aku bersungguh-sungguh."
Faris menjadi pucat seketika mendengar perkataan Zoya.
"Maksudnya gimana Zoy?" Faris bertanya lemah.
"Maksudku, aku rela mengalah demi seseorang yang berhijrah. Aku tidak boleh mematahkan hatinya dan menghalangi proses kecintaannya kepada Allah."
Bukan hanya Faris yang terbengong-bengong mendengar perkataan Zoya. Fatimah dan Anisa juga ternganga mulutnya. Hanya Jenglot saja yang tetap tidur dengan nyenyak. Fatimah mendekatkan mukanya ke wajah Zoya. Memeriksa apakah Zoya sedang mengigau.
"Kamu serius Zoy? Merelakan cintamu demi gadis clubbing yang sekarang rajin mengaji itu?"
Zoya tersenyum tulus. Mencubit kecil pipi Fatimah.
"Fat, kamu harus tahu bahwa cinta tertinggi itu adalah cinta Gusti Allah. Berikutnya adalah cinta Rasulullah. Berikutnya lagi cinta orang tua. Berikutnya lagi cinta pada kemanusiaan. Pada hitungan kesekian, barulah cinta antara pria dan wanita. Cleo sedang memanjatkan cintanya kepada Rasulullah dan Gusti Allah. Tentu saja kita harus memberikan bantuan berupa anak-anak tangga yang diperlukan agar dia tidak tergelincir."
Untuk kedua kalinya Faris, Fatimah dan Anisa kompak ternganga-nganga. Jenglot juga ternganga. Tapi bukan karena mendengar perkataan Zoya. Jenglot ternganga saking nyenyaknya.
---**