Kereta tiba di Jombang menjelang Magrib. Rombongan muda-mudi itu keluar dari stasiun dengan wajah lelah. Risiko naik kereta ekonomi ada di punggung. Kursinya yang tegak lurus membuat otot dan persendian menjadi tegang.
Jemputan sudah menunggu. 2 mobil Innova standby di pelataran stasiun. Zoya dan teman-temannya naik dan mobil meluncur dengan halus di jalanan yang mulus dan agak lengang. Saat menjelang Magrib jalanan kota ini memang sepi. Hampir semua orang sibuk mempersiapkan diri pergi ke masjid.
Perjalanan ditempuh kurang lebih 1 jam. Iring-iringan 2 mobil itu memasuki gerbang pesantren. Zoya melihat Ayah dan Ibunya menunggu di teras rumah seperti biasa. Baru seminggu yang lalu dia di sini. Tapi rasa rindu tetap saja membuncah. Zoya setengah berlari menuju Ayah dan Ibunya. Cium tangan dan memeluk mereka dengan hangat. Zoya mengerti kenapa mata dan fokus Ayah dan Ibunya tidak tertuju kepadanya. Mungkin saat ini Ayah dan Ibunya sedang menebak-nebak siapa di antara 2 lelaki yang keluar dari mobil kedua itu yang merupakan pilihan hati Zoya.
Faris dan Jenglot berucap salam dan mencium tangan Pak Kyai serta menangkupkan kedua tangan di dada kepada Bu Nyai yang tersenyum ramah kepada mereka. Bu Nyai sudah bisa menebak mana pemuda yang telah menaklukkan hati putrinya. Pasti pemuda berambut agak panjang dengan sikap yang sangat sopan sekali. Namun Bu Nyai juga menyadari sorot mata Pak Kyai agak mendung. Alisnya juga sedikit berkerut. Bu Nyai menjadi berdebar-debar hatinya. Zoya juga tidak luput memperhatikan bagaimana ekspresi dari Pak Kyai. Diam-diam tubuh Zoya gemetar. Ini pertanda tidak bagus.
Semua dipersilahkan masuk lalu ditunjukkan kamar masing-masing. Rumah orang tua Zoya memang sangat besar dengan kamar yang juga berjumlah banyak. Zoya meminta Fatimah dan Anisa sekamar dengannya. Kamarnya lebih dari cukup kalau hanya untuk menampung 3 orang. Jenglot menempati kamar adik lelaki Zoya sedangkan Faris di kamar kakak lelaki Zoya. Fatimah dan Anisa sudah beberapa kali ke sini sehingga mereka sama sekali tidak rikuh ataupun malu-malu.
Setelah mandi, berganti baju dan Sholat Isya, Zoya dan kedua sahabatnya keluar kamar menuju ruang makan. Bu Nyai sudah duduk di sana. Pak Kyai memimpin Sholat Isya berjamaah di masjid pondok. Faris dan Jenglot belum kelihatan. Bu Nyai menyuruh salah satu asisten rumah tangga untuk mengetuk pintu kamar. Takutnya mereka berdua ketiduran. Tidak ada. ART yang lain mengatakan bahwa Faris dan Jenglot tadi bertanya di mana letak masjid. Kemungkinan mereka ikut Sholat Isya berjamaah di masjid pondok.
Sosok Pak Kyai masuk sambil mengucapkan salam. Tak lama kemudian Jenglot hadir setelah berganti sarung dengan celana panjang. Tapi Faris belum juga muncul. Zoya memberi isyarat kepada semua orang untuk diam. Telinganya mendengarkan lantunan ayat suci Al-quran yang sangat merdu dari deretan kamar di belakang. Ruang makan jadi hening karena semua orang mendengarkan dengan khidmat lantunan ayat suci yang sangat merdu dan menyentuh hati itu.
Pak Kyai sampai memiringkan kepalanya mendengarkan. Bu Nyai mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Fatimah dan Anisa tidak heran. Mereka sudah beberapa kali mendengarkan Faris saat memimpin sholat. Tapi tetap saja, merekapun tersihir dengan suara magis pemuda itu.
Zoya sudah hapal suara Faris. Suara yang membuatnya jatuh cinta. Suara yang selalu membuat dirinya melayang-layang bersama doa-doa yang terbang ke langit mencari Tuhannya. Gadis itu sampai memejamkan mata. Sangat khusuk mendengarkan dan meresapi.
Tak lama kemudian suasana sepi. Rupanya Faris sudah selesai membaca ayat suci Al-quran. Pemuda itu tergopoh-gopoh masuk ke ruang makan sambil membungkukkan tubuhnya berkali-kali seraya berkata.
"Maaf. Maaf. Mohon beribu maaf. Saya tidak bisa meninggalkan kebiasaan yang diajarkan Ayah saya sedari kecil apabila malam Jumat. Maaf." Faris terlihat rikuh dan kikuk. Semua orang menunggu dirinya untuk bersantap malam.
Pak Kyailah yang menyahut.
"Tidak apa-apa Nak Faris. Duduklah di sini dekat Bapak. Bapak juga punya kebiasaan yang sama. Cuma malam ini Bapak sangat lapar jadinya malah lupa. Hehehe."
Bu Nyai dan Zoya saling pandang. Pak Kyai tertawa dan bercanda! Dengan seseorang yang baru dikenalnya! Bu Nyai menghela nafas lega. Zoya menghirup udara dalam-dalam dengan rongga dada yang terasa begitu lapang. Ini pertanda bagus! Zoya tersenyum sendiri tanpa disadarinya.
Makan malam berlangsung dengan meriah. Fatimah dan Anisa seperti pasukan tempur yang baru keluar dari hutan belantara sehingga berbulan-bulan tidak merasakan kelezatan makanan. Kedua gadis itu sama sekali tidak merasa malu. Bu Nyai dan Pak Kyai juga sudah hapal dengan tabiat Fatimah dan Anisa kalau makan masakan Bu Nyai. Kedua gadis itu mengambil nasi hanya sebagai syarat saja. Di pojokan piring. Sisa ruang dalam piring itu ditempati oleh ayam gulai, bebek goreng dan gurame bakar. Belum lagi di piring satu lagi, penuh dengan kuah lodeh yang berisi berbagai macam sayuran.
Jenglot tidak mau kalah. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa tujuannya ikut Faris kesini adalah wisata gratis. Termasuk wisata kuliner tentu saja. Jenglot bahkan lebih kalap dibanding Fatimah dan Anisa. Porsi yang diambil setara dengan porsi Fatimah ditambah Anisa lalu dikalikan dua!
Faris yang biasanya juga pelahap makanan kali ini agak menahan diri. Nasi sedikit, lauk sedikit, sayur sedikit. Zoya yang sudah tahu seperti apa Faris makan, menjadi gemas. Zoya berdiri menyendok sayur, mengambil ayam, bebek dan ikan ke dalam piring kosong kemudian disodorkannya ke hadapan Faris yang langsung meringis malu.
Pak Kyai dan Bu Nyai tertawa terkekeh-kekeh melihat bagaimana anak-anak kos itu makan. Bu Nyai tentu saja senang sekali saat melihat masakannya nyaris tak bersisa. Tidak sia-sia masak sesiangan. Pada akhir acara makan, kelima muda-mudi itu, kecuali Zoya yang memang makannya sedikit, menggelosoh di kursi nyaris tak mampu bergerak. Sekali lagi Pak Kyai dan Bu Nyai tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata.
Setelah menenangkan perut sesaat, sambil menyalakan rokok, Pak Kyai mulai berbicara serius.
"Nduk Fatimah, Anisa dan Nak Jenglot, terimakasih banyak ya sudah menemani dan menjaga Zoya hingga sampai ke rumah."
Fatimah, Anisa dan Jenglot menganggukkan kepala dengan sopan. Pak Kyai melanjutkan. Kali ini tatapannya berpindah kepada Faris.
"Nak Faris, kami tahu maksud kedatanganmu ke sini. Tapi kami minta agar Nak Faris menyampaikan niat dan segala hal secara detail besok setelah Jumatan ya?"
Bu Nyai dan Zoya tidak mengerti. Kenapa mesti menunggu besok ya? Tapi keduanya menghormati apapun yang diputuskan Pak Kyai. Pak Kyai kembali meneruskan. Kali ini berupa pertanyaan.
"Nak Faris pernah jadi Khotib Sholat Jumat?"
Faris mengangguk tegas.
"Injih Pak Kyai. Beberapa kali saya menjadi khotib di masjid kampus dan juga di kampung kalau sedang pulang kampung halaman."
Pak Kyai mengangguk.
"Besok tolong jadi Khotib Sholat Jumat di masjid pondok ya, Nak Faris. Bapak dan para jamaah ingin mendengarkan kotbah yang tidak biasanya ada di sini."
Faris tetap mengangguk dengan percaya diri. Zoya sampai merinding melihat keteguhan dan tekad Faris.
"Baik Pak Kyai. Mangestoaken dhawuh."
Pak Kyai manggut-manggut.
"Yo wes kalau begitu silahkan beristirahat. Kalian pasti lelah perjalanan jauh."
Semua orang beranjak dari tempat duduk. Hendak kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Kenyang membuat kantuk ganas menyerang. Tiba-tiba Pak Kyai nyeletuk lagi. Semua menahan langkah.
"Nak Faris besok sekalian jadi Imam ya? Ngajimu indah sekali. Para santri harus mendengar suara seindah yang kami dengar tadi. Kalau tidak, mereka yang rugi."
Faris mengangguk sopan mengiyakan. Zoya hanya saling pandang dengan Bu Nyai.
---***