Zoya menurunkan barang bawaannya. Dia yang paling pertama didrop. Setelah itu baru Anisa lalu Fatimah. Sambil menenteng tas, pikiran Zoya mengembara kemana-mana. Hatinya seperti dicubit-cubit oleh sesuatu yang tak nampak. Sesuatu yang bisa membahagiakan sekaligus juga bisa menyakitkan dan melukai.
Tidak ada siapapun yang bisa menebak hati seseorang. Begitupun dia. Meski terlihat dari sorot mata dan sikapnya bila bertemu dengannya, Zoya masih tidak yakin bahwa Faris menyukai atau bahkan jatuh cinta kepadanya. Zoya menghapus keringat yang menetes. Barang bawaannya tidak terlalu berat. Tapi pengembaraan hatinyalah yang terasa melelahkan.
Zoya merangkai peristiwa demi peristiwa yang akhirnya membuatnya terdampar di perempatan cinta seperti ini. Dia sama sekali tidak ragu lagi terhadap perasaannya kepada Faris. Dia hanya tidak yakin bahwa Faris memiliki perasaan yang setara. Apalagi dia tidak mengenal Faris secara dekat. Informasi tentang pemuda itupun sangat terbatas. Hanya berupa selentingan kabar yang dihimpun oleh Fatimah dan Anisa. Mahasiswa Teknologi Kelautan semester akhir yang sedang menyusun penelitian. Populer karena merupakan vokalis band Metal Tawakkal yang bergenre unik. Tampan. Baik hati. Itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.
Informasi Faris berasal darimana, orang tuanya siapa, berapa orang bersaudara, latar belakang semasa kecilnya seperti apa, sama sekali nol. Zoya tanpa sadar menjawab pertanyaannya sendiri. Di situlah pentingnya Ta'aruf. Mengenal lebih dekat seseorang dengan cara yang benar dan tidak berisiko. Mengenal kepribadiannya, wataknya, keluarganya, latar belakangnya, dan juga keinginan-keinginannya.
Zoya menyapu air wudhu di mukanya. Sebentar lagi Magrib. Ingin rasanya pergi ke Masjid Al-Hurriyah untuk Sholat Magrib berjamaah di sana. Tapi tempatnya jauh dari kos. Dia tidak punya motor. Ayah dan Ibunya sering menawari untuk membelikannya motor tapi Zoya selalu menolak. Terakhir malah kakak kandungnya yang sudah memiliki posisi bagus di PLN, mau membelikannya mobil. Zoya dengan tegas menolak. Untuk apa? Tidak ada urgensinya dia bawa motor atau mobil di kampus. Dia tidak pernah kemana-mana kecuali kampus, kos dan perpustakaan. Apalagi kampus menyediakan bus listrik yang selalu keliling kampus setiap 30 menit sekali.
Adzan Magrib mulai terdengar bersahut-sahutan. Zoya langsung teringat pada Faris. Suara pemuda itu saat mengumandangkan adzan jauh lebih merdu dibanding saat dia menyanyi slow rock. Zoya tersenyum tersipu. Suara itu jugalah yang membuatnya pertama kali menjatuhkan hatinya kepada Faris. Meski ditentangnya sendiri berkali-kali karena mengira Faris adalah anak band begajulan yang suka gonta-ganti cewek.
Setelah sholat, Zoya untuk pertama kalinya mematut dirinya berlama-lama di depan cermin. Dia harus berpenampilan terbaik dan terlihat cantik. Zoya nyaris menampar pipinya sendiri. Pikiran tidak benar!
Zoya merasa sudah cukup. Jarak Warung Yunani dari kosnya tidak terlalu jauh. Berjalan kaki mungkin hanya 10 menit. Fatimah dan Anisa yang agak jauh karena mereka berdua kos di pinggir jalan raya dekat gerbang kampus.
Pukul 19.30. Zoya menjadi begitu gugup. Gadis itu berjalan mondar-mandir di kamarnya. Beberapa kali menengok cermin tanpa maksud apa-apa. Dia tampil seperti biasa. Sederhana. Namun wajahnya yang mirip Kim Jisoo itu memang jauh lebih cantik jika alami tanpa banyak polesan make up.
Zoya berteriak pelan sambil mengepalkan tangan. Mengeraskan hati dan berjalan menuju Warung Yunani. Fatimah dan Anisa baru saja mengabari bahwa mereka sudah ada di tekape. Faris juga baru saja tiba. Zoya melirik jam tangannya. Pukul 19.45.
Warung Yunani di atas jam tujuh malam sudah lumayan sepi. Warung itu telah direnovasi sehingga memiliki banyak meja dan kursi yang ditata rapi dan apik. Zoya masuk ke warung. Fatimah dan Anisa melambaikan tangan. Mereka mengambil posisi meja di pojok. Tempat paling privasi. Zoya kembali berteriak banzai dalam hati. Berjalan mendekat dan mengambil tempat duduk di sebelah Anisa. Faris tepat di seberangnya dengan Fatimah duduk di sebelahnya.
Zoya nyaris mencurigai kedua sahabatnya telah membocorkan tujuan pertemuan segi empat itu. Karena dia melihat kedua sahabatnya senyum-senyum gak jelas. Sementara Faris hanya terpana memandangnya sedari tadi.
Anisa memesan minuman dan cemilan. Meminta kepada pelayan agar lama saat membuat pesanannya. Pelayan itu hanya nyengir mendengar gurauan Anisa yang sebenarnya tidak bermaksud bercanda. Mereka perlu waktu yang leluasa untuk memulai pertemuan segi empat yang menegangkan ini.
"Faris terimakasih sudah mau datang ya. Pertemuan segi empat ini sengaja kami adakan untuk melakukan interogasi."
"Investigasi!" Fatimah menyahut cepat. Anisa terlalu terburu-buru sehingga salah memilih kata.
"Ya investigasi dan klarifikasi." Anisa berusaha membetulkan kalimatnya.
"Konfirmasi!" Fatimah menyahut lebih cepat dari sebelumnya. Anisa mendelik tapi membetulkan juga ucapannya.
"Ya konfirmasi. Begini Faris. Aku tidak mau berbelit-belit dan pertanyaanku akan to the point. Aku harap jawabanmu jangan melingkar-lingkar seperti ular lidi."
"Ular Tikar!" Fatimah setengah menjerit membetulkan lagi. Anisa mencibir. Zoya menutupi mulutnya sambil terus menunduk mendengarkan. Dia tidak berani memandang wajah Faris.
"Ya ular tikar. Aku punya 5 pertanyaan yang harus kau jawab. Tegas dan ringkas."
Faris yang sedari tadi menahan tawa mengangguk tegas. Dia sudah mulai menduga ini arahnya kemana. Mereka pasti akan menanyakan keseriusannya terhadap Zoya.
Anisa;
"Apakah kau masih single?"
Faris;
"Iya masih single. Belum double."
Anisa mendelik. Menyampaikan pesan jangan bercanda di sorot matanya;
"Apakah kau mau dan berniat untuk pacaran jika bertemu dengan orang yang kau jatuh cinta kepadanya?"
Faris;
"Tidak!"
Anisa menatap bingung;
"Tidak apa?"
Faris menjawab lugas;
"Aku tidak mau pacaran. Aku mau gadis yang aku cintai menjadi calon istri."
Anisa;
"Lah kalau tidak pacaran bagaimana kau bisa mengenalnya dengan baik?"
Faris;
"Aku punya cara terbaik. Ta'aruf."
Anisa mengangguk puas;
"Pertanyaan keempat, apakah kau menyukai Zoya?"
Suasana menjadi hening. Fatimah dan Anisa menatap penasaran. Zoya semakin menunduk. Ingin rasanya dia menyembunyikan kepalanya ke dalam sepatu.
Faris;
"Tidak."
Jawaban Faris seperti petir menyambar Warung Yunani. Zoya yang masih tertunduk tanpa terasa meneteskan airmata. Sedih dan terpukul. Fatimah dan Anisa bengong. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka.
Faris melanjutkan;
"Tidak! Aku tidak hanya menyukainya. Aku mencintainya!"
Petir kedua dari ucapan Faris menyadarkan Zoya. Airmata yang menetes semakin deras menjatuhi sepatunya. Tapi kali ini airmata bahagia.
Fatimah menyambar segenggam kacang dan melemparkan ke tubuh Faris yang cengengesan. Faris bukannya sengaja bermain-main. Itu semua untuk menghilangkan kegugupannya. Dia tidak menyangka pertemuan segi empat ternyata sangat serius.
Anisa melanjutkan;
"Pertanyaan terakhir, Kalau kau mencintai Zoya, apakah berarti kau serius hendak menjadikannya istrimu?"
Faris tidak lagi gugup;
"Iya! Sangat! Pasti!"
Fatimah dan Anisa bernafas lega. Zoya yang merasakan beban berat terangkat dari hatinya takut dia akan kehabisan airmata. Pipinya basah kuyup. Gadis itu tetap menunduk sehingga siapapun tidak menyadari bahwa Zoya sedang menangis.
Fatimah ganti berbicara.
"Interogasi sudah selesai. Ini saatnya klarifikasi. Aku yang akan menyampaikan. Tatap aku Faris."
"Konfirmasi!" Anisa setengah menjerit membetulkan kalimat Fatimah. Fatimah nyengir.
"Kau sudah menyatakan mencintai Zoya dan berniat serta sanggup menjadikannya istrimu. Kapan kau berangkat ke Jombang untuk mohon izin memulai proses Ta'aruf kepada kedua orang tua Zoya?"
Faris menatap Fatimah, Anisa dan Zoya yang masih menunduk bergantian. Jawabannya begitu tegas tanpa keraguan sedikitpun.
"Kapanpun kalian siap mengantarkan aku dan Zoya untuk menemui kedua orang tuanya."
---