Minggu depan ada tanggal merah di kalender. Tepat di hari Jumat. Anisa dan Fatimah merencanakan perjalanan ke Jombang di waktu tersebut. Faris setuju. Zoya juga. Setelah pertemuan segi empat yang heboh itu, Zoya langsung menghubungi Ibunya. Suaranya terdengar riang saat berbicara dengan Bu Nyai.
"Assalamualaikum Ibuku yang cantik dan bijaksana." Zoya menyapa Ibunya dengan hangat.
Awalnya Bu Nyai menyangka Zoya akan menyampaikan keberatan dengan sekian banyak alasan mengenai rencana pinangan Salahuddin. Tapi suara putrinya ini sungguh ceria. Bu Nyai merasa lega.
"Walaikumsalam cah ayu. Gimana Nduk?"
"Zoya rencana pulang minggu depan pas tanggal merah Bu. Zoya akan datang bersama dengan lelaki yang Zoya cintai dan juga mencintai Zoya."
Bu Nyai sebetulnya kaget bukan main mendengarnya. Tapi meredam perasaan terkejutnya dengan berkata.
"Kamu serius Nduk? Datang untuk apa? Ini bukan alasanmu untuk membatalkan rencana pinangan Mbah Yai Badar, kan?" Bu Nyai bicara dengan nada lembut.
"Datang untuk memohon izin dong Bu. Mohon izin untuk Ta'aruf dengan Zoya tentu saja. Ibu jangan khawatir. Zoya tidak melakukan perjalanan berduaan. Fatimah dan Anisa akan menemani Zoya." Nada suara Zoya benar-benar bahagia. Bu Nyai menepis dugaan ini semua rekayasa.
"Baiklah Nduk. Pulanglah. Ibu juga ingin tahu seperti apa calon mantu Ibu. Apakah kamu pernah cerita sama Ibu dia siapa sebelumnya. Ibu kok lupa ya?"
"Ibu bukan lupa. Zoya memang belum pernah cerita apa-apa. Dia pemuda yang baik Bu Insya Allah. Cuma unik saja. Zoya bahkan dulu membencinya setengah mati."
Hah? Bu Nyai tidak mengerti. Jatuh cinta kepada seseorang yang dulu dibencinya? Tapi Ibu yang bijaksana itu tidak mau mendesak dengan banyak pertanyaan. Tugasnya setelah ini adalah memberi penjelasan kepada Pak Kyai dan menyusun rencana pergi ke Kediri untuk memberikan penjelasan secara langsung kepada Mbah Yai Badar bahwa rencana meminang Zoya mesti dibatalkan.
"Baiklah Nduk. Ibu mengerti meski sebenarnya tidak paham yang kau maksud. Nanti kamu cerita yang lengkap ya di rumah?" Bu Nyai rupanya penasaran juga dengan cerita putrinya.
"Tapi Ayah gimana Bu? Tidak apa-apa kan?"
"Tidak apa-apa Nduk. Selama kamu punya alasan yang kuat, Ayahmu pasti bisa mengerti. Niat pemuda itu untuk Ta'aruf juga telah menunjukkan keseriusannya. Jangan cemas, Nak. Ibu akan bicara dengan Ayahmu. Beliau juga sudah mulai sembuh. Ibu yakin, mendengar kabar ini pasti mempercepat juga kesembuhan Ayahmu."
Zoya mengucap syukur sambil tertawa senang.
"Tapi Nduk, ingat ya. Masa Ta'aruf itu tidak lama. Secukupnya dan seperlunya saja. Setelah kalian merasakan kecocokan, kalian harus segera menikah."
Zoya meringis.
"Iya Bu, Zoya paham. Jangan khawatir Bu. Zoya tetap mengikuti syariat. Insya Allah kami akan segera menikah begitu masa Ta'aruf selesai."
Percakapan Zoya dan Ibunya ditutup dengan salam dan rasa bahagia dari Ibu dan anak itu.
Zoya tersenyum geli bila mengingat kembali pertemuan segi empat yang aneh dan heboh itu. Fatimah dan Anisa sungguh sahabat sejatinya. Mereka sangat peduli dengan dirinya. Tahu bahwa Zoya punya prinsip untuk tidak pacaran, mereka melakukan interogasi terhadap Faris dengan cara mereka sendiri. Zoya membayangkan Fatimah dan Anisa nanti pasti punya banyak ide saat Ta'aruf dilaksanakan. Mereka berdua akan mendampingi Zoya dan Faris kemana-mana.
Hari yang mendebarkan itupun tiba. Zoya, Fatimah dan Anisa tidak banyak membawa bekal pakaian. Mereka hanya akan menginap di Jombang selama 2 hari. Jadwal perkuliahan sudah dimulai. Hari Minggu mereka sudah harus kembali ke Bogor.
Kelima muda-mudi itu, Jenglot yang sudah selesai penelitian memaksa untuk ikut karena ingin tahu Jombang sekalian menemani Faris agar tidak kikuk, telah memesan tiket kereta api. Mereka akan naik dari Pasar Senen menggunakan kereta api Bangunkarta. Kereta yang sering dinaiki Zoya apabila pulang kampung.
Dari Bogor mereka naik KRL. Lebih praktis dan tidak macet. KRL juga berhenti di stasiun Pasar Senen sehingga lebih memudahkan mereka. Kalau naik dari Gambir, mereka akan sedikit menemui kesulitan karena KRL tidak berhenti di Gambir. Harus transit dulu di Stasiun Juanda atau Gondangdia. Lagipula Zoya juga tidak mau naik kereta eksekutif. Hanya Fatimah yang ngomel-ngomel setelah melihat kursi mereka tegak lurus dan tidak bisa direclining. Bagusnya, kursi berkapasitas tiga orang sehingga Zoya, Fatimah dan Anisa bisa duduk sebangku. Jenglot dan Faris duduk berhadapan dengan mereka.
Faris membawa gitar. Zoya awalnya tidak paham dan agak sewot. Urusan sepenting ini kenapa harus bawa gitar segala. Tapi Fatimah menenangkan Zoya. Katanya mungkin Faris ingin bernyanyi-nyanyi untuk meredam stress karena akan bertemu dengan orang tua Zoya. Zoya mengalah. Hanya Jenglotlah yang paham kenapa Faris membawa gitar.
Keberangkatan Bangunkarta pukul 8 pagi. Mereka sudah siap sedia di Stasiun Senen sejak pukul 7. Tadi mereka menumpang KRL dari Bogor sekitar pukul 5.30. Berangkat dari kos setelah Sholat Subuh. Zoya, Fatimah, dan Anisa berangkat bersama dari kos Zoya. Sedangkan Faris dan Jenglot berangkat berdua dari asrama Faris. Sudah hampir seminggu Jenglot menginap di kamar Faris di asrama.
Mereka sarapan bersama di pelataran Stasiun Pasar Senen. Makan lontong sayur Betawi yang sangat lezat. Faris terlihat banyak melamun saat sarapan.
Beberapa hari sebelum keberangkatan dan setelah pertemuan segi empat, dihabiskan pemuda itu untuk mengenalkan Cleo dengan para ukhti di Masjid Al-Hurriyah. Faris meminta para ukhti yang dikenalnya dengan baik untuk mengajari Cleo mengaji. Cleo melakukannya dengan sangat gembira. Lebih menggembirakan lagi karena Juwita ternyata juga tertarik untuk ikut belajar mengaji bersamanya.
Kedua gadis itu dengan tekun mengikuti jadwal yang telah disepakati. Sore setelah Asar hingga sore menjelang Magrib. Setiap hari. Faris sempat menghubungi salah satu teman angkatannya yang menjadi guru mengaji Cleo dan bertanya apakah Cleo dan Juwita sungguh-sungguh belajar mengaji, jawabannya sangat mengejutkan. Cleo dan Juwita tidak hanya belajar mengaji Al-quran tapi juga ikut pengajian yang rutin diselenggarakan oleh Masjid Al-Hurriyah.
Faris merasa terharu mendengar berita itu. Cleo dan Juwita benar-benar membuktikan bahwa untuk bertaubat itu hanya perlu sedikit campur tangan Tuhan. Sisanya niat dan komitmen dari mereka sendiri.
"Heii! Ngelamun aja!" Anisa melambaikan tangan ke muka Faris yang terkaget-kaget dan buru-buru menghabiskan makanannya.
"Ayo cepat! Kereta Bangunkarta sudah disiapkan di peron 2. 20 menit lagi kita berangkat." Fatimah menambahkan sambil membayar makanan.
Kelima muda-mudi itu menaiki Kereta Bangunkarta dengan riang gembira. Bagi Jenglot, ini adalah perjalanan wisata gratis. Bagi Fatimah dan Anisa, ini adalah perjalanan kuliner yang menyenangkan dan mengenyangkan. Bagi Faris dan Zoya, ini adalah perjalanan religi mereka untuk mencapai ceruk bahagia yang sebagiannya masih berupa rahasia.
---*