Sepanjang jalan setelah memasuki tol, mobil melaju dengan kecepatan sedang. Zoya sudah berpesan kepada Pak Sopir bahwa dia ingin tidur dengan tenang. Jangan ngebut. Begitu pesan Zoya.
Lansekap dan kontur tol Bocimi sangat cantik karena membelah perbukitan dan melewati jembatan-jembatan tinggi dengan ngarai indah di bawahnya. Sayangnya pembangunan tol belum juga sampai ke pusat Kota Sukabumi. Jika tol itu sudah selesai dibangun, kemacetan yang selama ini menjadi momok para pengguna jalan poros Bogor-Sukabumi, akan akan bisa dikurangi secara signifikan.
Zoya tertidur lelap. Fatimah dan Anisa terkantuk-kantuk tapi tidak bisa tidur. Perut mereka berbunyi terus. Belum ada rest area di ruas tol ini. Jadi mereka harus sabar sebentar sebelum bisa menemukan warung makan.
Pukul 14.00, mobil memasuki kota Bogor. Zoya dan teman-temannya sangat bersyukur tidak terjebak kemacetan yang lebih parah saat tadi berada di Cibadak. Butuh waktu sekitar 5 jam untuk sampai ke sini. Perut mereka lapar sekali. Fatimah mengajak mereka makan dulu sebelum lanjut ke Dramaga. Anisa dan Zoya setuju.
Mobil berhenti di sebuah warung padang dekat Terminal Baranangsiang. Mereka mengajak juga Pak Sopir untuk ikut makan. Sopir itu memilih memisahkan diri di meja lain karena pasti kikuk jika harus makan bersama tiga orang gadis cantik yang menyewa mobilnya.
Sambil menunggu semua lauk siap dihidangkan, Zoya menatap layar hapenya. Bagaimana caranya memberitahu Faris? Dia malu! Duh, dia tidak berani telepon langsung Faris. Lebih malu lagi! Zoya mencomot perkedel. Sambil mengunyah mata Zoya memperhatikan Fatimah dan Anisa yang sibuk meletakkan masing-masing 2 lauk di piring mereka. Teringat akan sesuatu, Zoya memajukan tubuhnya. Berkata setengah berbisik.
"Kalian bisa atur pertemuan dengan Faris? Kita adakan pertemuan segi empat. Bagaimana?"
Fatimah dan Anisa berhenti mengunyah. Pertemuan segi empat? Ada juga pertemuan empat mata atau pertemuan meja bundar atau pertemuan segitiga. Sejak kapan ada pertemuan segi empat? Kedua gadis itu menggelengkan kepala bersama-sama. Zoya setengah terkejut melihat reaksi dua sahabatnya. Mukanya menunduk sedih.
"Becanda! Becanda! Hihihi." Fatimah dan Anisa tertawa tergelak-gelak sampai pengunjung lain menoleh ke arah meja mereka. Berisik.
Zoya cemberut.
"Bercanda kalian keterlaluan! Sudahlah aku terima saja pinangan Mbah Yai Badar! Lebih gampang urusannya." Zoya berlagak putus asa. Dia melangkah tergesa-gesa ke toilet. Dari tadi dia menahan buang air kecil.
Fatimah dan Anisa kaget. Mereka mengira Zoya benar-benar putus harapan dan marah kepada mereka berdua. Anisa hendak bangkit mengejar Zoya. Fatimah memegang lengannya.
"Kamu mau apa? Mengejarnya ke toilet? Zoya lagi kebelet tauk." Anisa duduk lagi. Terlonjak kaget saat seseorang menyapa dari belakang.
"Boleh aku duduk di sini? Akupun lapar sekali." Faris menunjuk kursi kosong di seberang Anisa. Kontan Fatimah dan Anisa tertegun bukan main. Faris tiba-tiba sudah ada di sini. Anisa menggeleng-gelengkan kepala lalu menunjuk kursinya. Dia sendiri pindah sambil membawa piringnya yang penuh dengan makanan. Kursi yang ditunjuk Faris tadi adalah kursi di sebelah Zoya.
"Aku mengikuti mobil kalian sejak kalian keluar tol di Ciawi. Aku sengaja menunggu. Aku harus menuntaskan misiku menjadi voorijder bagi kalian." Faris duduk di sebelah Fatimah dan meminta piring kepada pelayan. Pemuda itu menimbun nasi dan lauk pauk di piringnya. Wajahnya berkeringat dan memerah. Mungkin karena kepanasan di jalan. Faris memandang ke kanan dan kiri seperti mencari sesuatu.
"Zoya? Dia lagi ke toilet." Anisa menukas ringan. Faris mengangguk lega. Dia sudah siap-siap kecewa.
Zoya yang berniat melanjutkan akting dan hendak mengerjai dua sahabatnya keluar dari toilet. Langkahnya terhenti. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Faris ada di sana! Duduk di sebelah Fatimah dan sedang makan dengan lahap seperti pengungsi Rohingya.
Zoya melangkah pelan. Duh! Bagaimana ini? Wajah Zoya benar-benar mirip Sang Saka. Gadis itu duduk dengan wajah tertunduk setelah melambai ringan ke arah Faris yang mengangguk kepadanya dengan mulut penuh.
Suasana di meja makan itu hening. Semua sedang sibuk. Faris sibuk menggerogoti tulang ayam. Fatimah sibuk menyendok kuah sup. Anisa sibuk mengupas petai. Zoya sibuk memberi kuah pada krupuk kulit di depannya. Makanan Jangek yang sangat disukainya. Kesibukan Zoya kebablasan. Saking paniknya tiba-tiba bertemu dengan Faris di sini, gadis itu memberi kuah kebanyakan pada Jangeknya. Krupuk kulit sepiring tenggelam dalam kuah berlimpah yang nyaris tumpah.
Fatimah dan Anisa menutup mulut menahan tawa yang bisa kapan saja meledak. Faris hanya ternganga tapi kemudian sibuk lagi dengan ayamnya. Zoya sadar setelah melihat arah tatapan dua sahabatnya. Buru-buru dituangnya kuah Jangek itu ke tempat semula. Tentu saja krupuk kulit yang berada di dalamnya makin meleyot tak berbentuk lagi.
Faris berhenti mengunyah dan menatap Zoya.
"Kamu tidak apa-apa, Zoya?" Faris mengira Zoya sakit karena mukanya terlihat sangat pucat.
Zoya menggeleng keras. Sambil menata hatinya yang kacau, Zoya berusaha keras bertingkah normal. Dia mengambil nasi ke piringnya yang sudah penuh dengan nasi! Alhasil nasi di piringnya menumpuk tinggi. Zoya makin panik. Ya ampuunn!
Faris mengambil sendok nasi lalu mengangkat piringnya. Pemuda itu menatap Zoya dan memberi isyarat, boleh? Sambil menunjuk nasi di piring Zoya yang sudah menyerupai ketinggian Gunung Salak. Zoya hanya mengangguk. Mukanya sangat memerah. Faris meredakan situasi dengan pura-pura tidak melihat. Aneh! Zoya bertingkah sangat aneh! Biasanya gadis itu sangat cool dan cuek terhadapnya. Mungkin ini gara-gara air mineral dan sekantung jeruk tadi di Cibadak. Faris membatin.
Anisa memasang muka serius. Dipegangnya lengan Zoya di bawah meja dengan hangat.
"Faris, kami ingin bicara denganmu." Faris mengangkat kepalanya. Mengangguk dan memandang heran. Kami?
"Ya. Kami harus bicara denganmu. Pertemuan segi empat. Penting!" Faris tambah heran. Pemuda itu mengangguk lagi.
"Boleh. Ayuk silahkan!" Faris mengiyakan sambil menyambar potongan ayam kedua.
Anisa menjadi kesal.
"Faris! Ini serius! Segi empat. Tapi tidak di sini. Tidak di tempat seramai ini. Nanti malam. Jam delapan. Di warung Yunani." Faris mengangguk mengerti.
"Oke. Oke. Aku boleh mengejak teman? Atau harus sendiri?"
Anisa makin kesal.
"Tentu saja sendiri! Namanya kan segi empat. Kalo nambah orang bisa jadi segi lima atau segi enam dan seterusnya!" Faris tersenyum lebar. Kali ini pemuda itu memasang wajah serius yang sama dengan Anisa. Zoya mendengarkan dengan muka yang makin memerah. Ingin rasanya dia memeluk Anisa saking berterimakasihnya telah mengendalikan situasi. Tapi kedua tangannya berlepotan kuah Jangek.
"Oke. Oke. Aku datang sendiri. Yunani jam delapan malam."
Anisa lega. Gadis itu menjulingkan matanya ke arah Fatimah dan Zoya.
--*********