POV : Calvin
Untuk kesekian kalinya, aku merasa beruntung hanya menggunakan motor kemana-mana.
Bagaimana tidak? Tinggal di kota industri yang selalu sibuk ini membuat segala jenis kendaraan beroda empat atau lebih terjebak dalam kemacetan. Meskipun pemerintah kota sudah membuat pelebaran jalan besar-besaran, tetap saja, setiap kali saat jam pergi atau pulang kerja, macet tetap tidak dihindari. Semua orang menjadi kesal dan berlomba-lomba memencet klakson, membuatku merasa sedang berada di kompetisi terompet saja.
Untung saja, dengan kendaraan roda duaku yang sederhana ini, aku tidak sering terkena macet. Aku sering menemui macet, namun dengan mudah aku menyelinap ke kiri dan ke kanan untuk mencari jalan yang lebih mulus.
Sebenarnya aku bisa saja tidak terlibat dalam kemacetan ini hari ini, kalau saja aku mengambil liburan kuliah seperti mahasiswa-mahasiswi di kampusku yang lain dan tidak mengambil kelas semester pendek. Apa daya, teman-temanku mengajakku untuk mengikuti semester pendek supaya kami dapat menghemat waktu dan menyelesaikan skripsi lebih dulu saat semester enam nanti. Yah, kupikir itu mungkin ide yang bagus, daripada aku hanya bermalas-malasan di rumah tidak ada kerjaan.
Namaku Calvin, dan tidak ada yang menarik dari hidupku. Semuanya biasa-biasa saja. Oke, mungkin aku pernah hilang ingatan, yang mana merupakan sesuatu yang tidak terjadi pada semua orang. Tapi, selain itu, tidak ada lagi yang menarik. Tampangku biasa saja, keluargaku tidak kaya dan tidak miskin. Aku tidak pintar-pintar banget, tapi syukurnya tidak pernah remedial dalam sama sekali. Aku tidak punya pacar, ataupun pernah punya pacar. Lingkungan pertemananku juga tidak terlepas dari circle-ku yang hanya terdiri dari lima orang saja. Selain dari itu, aku tidak berteman dekat dengan orang lain, palingan hanya sesekali menyapa mereka saja.
Yah, intinya adalah, hidupku biasa-biasa saja.
Bahkan kendaraan yang kutunggangi pun biasa-biasa saja. Aku selalu menggunakan motor bebekku kemana-mana, yang omong-omong, usianya mungkin sudah mencapai sepuluh tahun. Melihat sebagian besar mahasiswa-mahasiswi yang datang ke kampus menggunakan mobil, harus kuakui, kadang membuatku iri. Namun rasa iri itu sering kali menguap tanpa sisa saat melihat orang-orang itu terjebak macet parah sedangkan aku tidak.
Kurasa selalu ada dua sisi dalam setiap hal.
Saat aku tiba di kampus, semuanya terasa sepi. Tidak heran, karena memang sekarang sedang saatnya liburan. Hanya sebagian kecil orang, seperti aku dan teman-temanku, yang terpikir untuk mengambil semester pendek. Seperti biasa, begitu aku tiba di lingkungan kampus, aku selalu mengenakan kedua earphone di telingaku. Aku juga mengenakan masker dan topi, yang membuat orang-orang mungkin akan kesulitan mengenaliku dari jauh. Teman-temanku sering mengejekku mengikuti tren airport artis Korea, tapi bukan itu niatku. Aku tidak mengenal satu artis Koreapun dan aku berpakaian seperti ini karena nyaman.
Kejadian berikutnya mungkin merupakan kesalahanku. Saat itu aku sedang memutar musik di earphone, jadi aku mungkin tidak bisa mendengar sekitarku dengan baik. Parahnya, aku juga sedang sibuk dengan ponselku sendiri untuk mengecek dimana ruang kelasku nanti dan apakah teman-temanku sudah sampai. Alhasil, aku tidak memperhatikan sekitarku dan menabrak seseorang.
Yang kutabrak ternyata adalah seorang cewek, dan aku cukup yakin cewek itu mengerang sedikit saat bahu kami bertabrakan. Untungnya, dia tidak terjatuh. Yang jatuh hanya buku-bukunya yang masih tampak baru. Sial, aku jadi merasa bersalah.
"Sorry, sorry. Aku nggak sengaja. Kamu nggak pa-pa?" Aku langsung meminta maaf.
Cewek itu tampak sedikit kaget, namun hanya menggeleng. "Aku nggak pa-pa."Â
Aku buru-buru membereskan kekacauan yang kubuat, dan saat aku melirik, aku melihat cewek itu juga sedang melakukan hal yang sama.Â
"Maaf sekali lagi," ucapku saat menyerahkan buku-buku yang kuambil kepadanya.Â
"It's okay," jawab cewek itu. "Thank you."
Setelah berkata begitu, cewek itu pergi seolah sedang terburu-buru.
Aku sendiri juga melanjutkan perjalananku yang sebenarnya menuju ke kantin. Aku tidak tahu kelas hari ini akan selesai jam berapa, dan aku tidak ingin kelaparan. Untung bagi kami semua, meskipun kampus sedang sepi karena libur, ibu-ibu penguasa kantin tetap menjajakan dagangannya untuk anak-anak rajin seperti kami.Â
"Satu ya, bu," kataku pada ibu penjual mi ayam itu. Saking seringnya aku membeli dagangannya, ibu itu sudah tahu apa yang mau kupesan.
Saat aku baru akan menyantap makananku, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Sial, nyaris saja aku tersedak.
"Hei, bro!" ucap cowok dengan rambut nyaris botak plontos. Namanya Kei. Aku selalu penasaran apakah dia diberi nama itu karena dia memiliki darah Jepang. Menurut pengakuan Kei sih tidak ada. Kurasa dia memang benar, karena wajahnya tidak ada Jepang-Jepangnya sama sekali.
"Kalau gue mati tersedak, elo terduga utamanya," kataku kesal sambil mempelototinya.Â
"Hehe, sori. Maklum, udah lama banget nggak ketemu kalian," Kei hanya menyeringai. Kei memang hobi tertawa, baik terhadap hal yang lucu maupun tidak lucu, yang jelas maupun tidak jelas. Dia orang yang ramah, membuatnya menjadi salah satu dari kami yang paling mudah bersosialisasi. Tingginya hampir sama denganku, sekitar 170cm, tinggi rata-rata untuk cowok di Indonesia. Wajahnya selalu berseri dan memperlihatkan moodnya yang tampak selalu bagus.Â
Kei tipe orang yang tidak bisa tinggal diam. Dia selalu bergerak ke sana ke mari, ataupun mencoba mengajak orang lain berbicara saat sedang sepi. Saking tidak bisa diamnya, dia hobi traveling. Katanya, dia akan segera tua, jadi dia harus menikmati masa mudanya sebaik mungkin dengan mengelilingi dunia. Ya, aku memang setuju dengan kata-katanya. Namun, tidak semua orang seberuntung dirinya, punya waktu dan uang untuk melakukan apa yang dia mau. Sebagai salah satu dari banyaknya generasi kedua dari keluarga kaya raya yang menempuh pendidikan di sini, liburan ke luar negeri sama sekali bukan hal yang sulit. Hong Kong, Jepang, Turki, bahkan Kei pernah ke Norwegia. Mungkin baginya, kuliah itu hanya kegiatan sampingan saat dia sedang berada di Indonesia dan tidak kemana-mana. Namun, begitu dana tunjangannya sudah cair, atau destinasi wisatanya sedang mengalami musim yang dia tunggu, dia langsung ngacir tanpa jejak.
Karena itulah dia mengikuti kami mengambil semester pendek ini. Meskipun sudah pesimis dia tidak bisa lulus tepat waktu karena terlalu sering absen, dia tetap datang di hari-hari seperti ini. Seperti yang kubilang, mungkin dia sedang tidak ada kerjaan saja.
"Yah, gue aja heran lo masih tahu jalan ke kampus ini." kataku. "Udah nyaris setengah tahun lo nggak menampakkan diri di kampus."
"Makanya itu gue ikut semester pendek ini. Siapa tahu, dengan tambahan mujizat sana sini, gue tetep bisa lulus tepat waktu. By the way, gue laper nih. Bagi mi ayamnya dikit dong," pinta Kei. Terkadang aku merasa heran. Meskipun Kei termasuk kaya, dia selalu meminta atau meminjam barang orang lain. Aku yakin itu dilakukannya bukan karena dia tidak mampu membeli barang-barang itu, hanya saja memang dia tidak bisa tinggal diam dan hobi mengajak orang lain berinteraksi dengannya.
"Enak aja. Gue belom makan sejak siang tadi lantaran sibuk meeting. Bisa-bisa gue pingsan kalau ini dicomot. Pesen aja sana sendiri." Aku buru-buru menyelamatkan makananku.
"Iya, iya. Dasar pekerja keras," gerutu Kei.
Aku hanya mengangkat bahu. Sebenarnya aku tidak merasa aku sendiri seorang pekerja keras. Ya, aku memang bekerja di siang hari dan kuliah di malam hari. Mungkin bagi orang-orang yang tinggal di kota lain, itu bukan sesuatu hal yang wajar. Namun, di sini sudah biasa seperti itu. Setiap anak muda yang berkuliah, kurang lebih delapan puluh persen akan memilih kelas malam supaya dapat bekerja di pagi harinya. Mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang memilih untuk fokus kuliah dan tidak bekerja, namun jarang sekali. Biasanya hanya kaum borju yang tergolong ke kategori kecil itu, seperti temanku Kei.
Tidak lama kemudian, sepasang cowok dan cewek datang mendekati meja kami. Kalau dari jauh, mungkin mereka akan terlihat sebagai sepasang kekasih. Tapi, kalau dilihat dari dekat, apalagi oleh orang yang sudah mengenali mereka, orang-orang akan tahu bahwa mereka adalah sepasang kakak-beradik. Mereka adalah King dan Queenie, yang sudah menjadi teman kami semenjak setahun yang lalu. Katanya sih mereka kembar, tapi aku tidak melihat ciri-ciri persaudaraan kembar dari mereka. Yang paling mencolok mungkin hanya hidung mereka yang sama mancungnya. Sisanya sih tidak terlalu mirip.
Bodi King termasuk besar. Dia lebih tinggi beberapa centimeter daripadaku dan Kei, dan badannya juga cukup berotot. Memang, King sudah berlatih bela diri dari kecil. Gosipnya, dia dulu pernah belajar silat dan mengikuti beberapa pertandingan, sebelum akhirnya dia fokus berlatih di Muay Thai dan MMA. Kulitnya agak gelap, karena, berbeda dengan yang orang lain, dia sering latihan sendiri di lapangan sambil telanjang dada. Aku tidak pernah mengerti alasannya kenapa harus latihan seperti itu, tetapi katanya lebih enak berlatih di tengah-tengah alam dibandingkan di dalam ruangan.
Adiknya, Queenie, juga termasuk tinggi untuk ukuran cewek. Tingginya sama denganku, dan dia juga pernah mempelajari sedikit bela diri. Tidak segiat kakaknya, namun cukup untuk melindungi dirinya dari preman yang hendak macam-macam dengannya. Queenie termasuk cewek yang mempedulikan penampilannya, terlihat dari cara berpakaiannya yang selalu fashionable. Entah sudah berapa kali King ngomel-ngomel kepada kami soal lamanya waktu yang diperlukan oleh Queenie hanya untuk memiliki pakaian yang akan dia kenakan ke kampus.
Yang aku tahu, King dan Queen bukan asli dari kota ini. Meskipun begitu, berhubung mereka sudah pindah ke sini semenjak SMP, mereka sudah lebih nyaman tinggal di sini dibandingkan kampung halaman mereka. Karena itulah, saat orangtua mereka memutuskan untuk pensiun dan pulang kampung, kedua anaknya memutuskan untuk tetap melanjutkan kuliah di sini. Bagaimanapun juga, kota tempat kami berada ini termasuk salah satu kota yang berkembang pesat di seluruh Indonesia. Baik pendidikan maupun peluang karir akan lebih terbuka di sini.
"Kalau dilihat-lihat, kampus ini rada horor juga kalau lagi sepi begini," komentar King begitu dia duduk di depanku, sementara adiknya pergi memesan es kopi dan Kei menyusulinya.
Aku mengangkat kepalaku. "Di mana-mana juga horor kali kalau sepi."
"Kalau gini caranya, bisa-bisa kita ketemu hantu beneran lagi. Biar gimanapun, inikan bulan hantu," tukasnya lagi seolah-olah tidak mendengarku sama sekali.
Aku mengangkat kepalaku sekali lagi. King dan Queenie memang memiliki darah Tionghoa yang mempercayai soal adanya bulan hantu. Aku sendiri tidak tahu apakah ada yang namanya bulan hantu atau tidak, tapi aku percaya hantu itu memang ada. King sendiri juga sangat percaya dengan keberadaan hantu, terbukti dari hobinya membicarakan hal-hal mistis dan misterius dari waktu ke waktu. Dan setiap kali dia melakukan itu, Queen selalu protes lantaran dia menjadi takut,
"Yah, doain aja semoga dosen yang ngajar kelas hari ini lagi mood baik dan cepat-cepat selesain kelasnya, biar kita semua bisa cepet pulang," kataku mengangkat bahu.
"Aku nggak tahu soal dosen untuk kelas kedua, tapi itu nggak mungkin terjadi untuk dosen kelas pertama." Aku mendengar Lisa, salah satu sobatku yang sudah berteman paling lama denganku. Dia menghempaskan dirinya ke atas kursi dan menyandar kepadaku seolah-olah aku ini bantal pribadinya.Â
"Aku barusan dapet info, dosen kelas pertama itu tipe orang yang ngelantur. Intinya, jangan ngarep kelas bisa selesai lebih cepat kalau dia yang ngajar."
Aku mengangkat alis. Lisa ini merupakan temanku sejak masih SMA. Well, menurut pengakuannya, sebenarnya kami berteman lebih lama daripada itu. Maklum, karena aku amnesia sejak SMA, aku tidak bisa mengingat apa-apa sebelum aku terbangun dari koma. Yang jelas, sepengetahuanku, aku dan Lisa sudah berteman sejak aku pertama kali melihatnya.
Di antara semua orang, Lisa yang selalu menjadi orang terdekatku. Kami berdua sudah tidak terpisahkan, baik dalam urusan pekerjaan maupun urusan kuliah. Ya, selain menjadi teman kuliahku, Lisa juga bekerja di tempat yang sama denganku. Bahkan aku yang merekomendasikan pekerjaan itu kepadanya. Mungkin karena kami sudah terlalu dekat, dia merasa tidak perlu terlalu jaim saat berada di dekatku. Aku sendiri juga tidak merasa keberatan dengan tingkahnya.
Sama seperti King dan Queenie, Lisa juga belajar bela diri. Dia memilih boxing sebagai bidangnya, dan dia sudah berlatih semenjak aku mengenalnya. Tidak hanya itu, dia juga menyeretku untuk berlatih boxing bersamanya. Katanya, untuk menjadi pacar yang baik di masa depan, kami cowok-cowok juga harus menjadi bodyguard yang baik. Meskipun belum punya pacar, argumen itu masuk akal, jadi aku mengikuti sarannya dan tahu-tahu saja setiap minggu aku sudah berada di ruangan gym.
"Siap-siap molor aja deh kalau gitu," King menggerutu.
Queen dan Kei sudah kembali dari hunting makanan dan bergabung dengan kami.
"Oh ya, Queen, kemarin kamu bilang hari ini ada teman kamu yang bakal gabung dengan kelas kita ya?" tanya Kei.
"Iya." Queen mengangguk. "Tapi di kelas kedua, yang jam delapan nanti."
Kami akhirnya buru-buru menyelesaikan makanan kami dan naik ke ruangan kelas kami yang berada di lantai empat. Sialnya, kampus kami, meskipun tergolong kampus elit di seluruh provinsi, belum memiliki lift ataupun eskalator sama sekali. Sebagai korbannya, kami mahasiswa-mahasiswi yang terjebak di kelas lantai empat terpaksa menempuh perjalanan yang cukup panjang yang membuat capek dan ngos-ngosan.Â
Informasi yang Lisa dapat nggak salah. Dosen bapak-bapak yang bernama Amir itu memang tipe dosen yang suka berbasa-basi dalam menjelaskan materi. Selain itu, cara dia berbicara juga selow banget, membuat semua orang menjadi ngantuk. Aku saja sempat menutup mataku beberapa kali karena saking ngantuknya.
Kelas pertama berakhir tepat waktu. Sebenarnya si dosen masih enggan melepaskan kami dan ingin melanjutkan celotehannya, tapi terpaksa mengakhiri kelas lantaran kami masih memiliki kelas lain untuk dikejar.
Ruangan kelas kedua kami masih berada di lantai empat, tidak jauh dari ruangan kami yang sekarang. Beberapa dari kami merasa sedikit lapar, tapi tidak ada yang ingin turun empat lantai ke bawah untuk membeli beberapa snacks hanya untuk mendaki gedung ini sampai ke puncaknya lagi. Mungkin seharusnya lain kali kami membeli beberapa snacks untuk persediaan.
Kelas kedua dimulai terlambat, bukan karena kami, melainkan karena dosennya sendiri yang datang terlambat. Aku yang sudah ngantuk karena kelas sebelumnya menjadi semakin ngantuk saja.Â
"Bangun, sis," tegur Lisa. "Udah mau dateng tuh dosen kita."
Aku membuka mataku dan mengangkat alis, hendak memprotes cara Lisa memanggilku. Namun, sebelum aku sempat bereaksi, aku melihat Queenie melambai-lambai pada seorang cewek yang memasuki ruangan kelas dengan beberapa buku besar di tangannya. Dunia yang sempit. Ternyata cewek yang kutabrak saat beberapa waktu yang lalu adalah teman Queenie yang dia bicarakan dari kemarin. Sepertinya dia mengingatku, karena dia mengangguk sedikit saat dia melihat ke arahku.
"Hi, Lidya." Queenie menyapa. "Kamu dari mana? Untung dosennya belum dateng."
Cewek yang bernama Lidya itu tersenyum. "Sorry, kelasku baru selesai. Mana ruangannya ada di gedung sebelah lagi."
"Halo." Kei menyapanya dengan bersemangat. "Namanya siapa?"
"Bukannya aku barusan nyebutin namanya?" timpal Queenie yang duduk di samping Kei.
"Oh iya."
Lidya hanya tersenyum melihat tingkah Kei.Â
"Lid, kenalin ini teman-temanku. Si aneh ini namanya Kei, yang ini Lisa, dan yang ini…" Tepat saat Queenie hendak menyebutkan namaku, dosen yang mengajar masuk ke ruangan kami.
Berbeda dengan dosen yang sebelumnya, dosen yang ini mengajari kami dengan pilihan kata-kata yang ringkas, jelas, dan padat. Kami tidak menemui banyak kesulitan untuk keep up, meskipun itu artinya kami harus fokus seratus persen dan mencatat sebisa kami. Namun, karena cara mengajar seperti itulah, kelas kami berakhir lebih cepat. Seharusnya kami selesai jam sepuluh, namun kami sudah bisa pulang di jam sembilan.
"Eh, masih pagi nih. Masa udah pada pulang aja?" Seperti biasa, Kei, manusia yang paling aktif, mengajak kami untuk keluar. Dia memang hobi hangout sampai malam-malam, namun untungnya, dia tidak pernah terlibat dalam hal yang tidak-tidak.Â
"Ini udah jam sembilan, bro. Kalau ditambah waktu yang dihabiskan buat sampai di rumah, plus mandi dan makan, minimal kita juga baru bisa istirahat jam sepuluh," timpal King. "Lagipula, ini bulan hantu. Nggak bagus kalau pulang malam-malam." Seperti biasa, dia sangat percaya takhayul.
"Jangan sebut-sebut hantu pas malam begini," Queen, sang adik, langsung protes. "Nanti hantunya kedengeran gimana?"
"Makanya itu kita harus cepet-cepet pulang," King tetap berargumen.
"Yaelah, man. Ini udah abad ke 21. Masih aja percaya yang begituan?" Lisa mendecak sekaligus menengahi kedua argumen yang berbeda. "Gini aja, gue yakin di antara kita masih ada yang laper meski tadi udah makan malam. Jadi, gimana kalau kita ke cafe milik Brandon aja, yang ada di samping kampus? Paling nggak itu tempat yang kita semua kenal, kan?"
"Lidya belum tahu," sahut Queen. Saat mendengar itu, barulah kami semua menoleh ke arah Lidya yang dari tadi hanya terdiam, membuat cewek itu hanya tersenyum kikuk.
"Nah, justru itu. Kita ke sana aja, sekaligus ajak dia lihat-lihat," Kei terdengar seperti mendapat lotre saat mendapat dukungan Lisa.
"Kamu mau ikut, Lidya?" tanya Lisa dengan nada yang lebih bersahabat, daripada Kei tampak terlalu bersemangat untuk sekedar nongkrong dan membuat Lidya tampak tidak tahu harus menjawab apa.
Kali ini, Lidya mengangguk. "Boleh," katanya.
"Lo gimana?" tanya Lisa sambil menepuk perutku. "Diam aja dari tadi."
"Gue ngikut suara terbanyak aja," aku mengangkat bahu.Â
"Oke, kalau begitu. Udah, King, nggak usah khawatir gitu. Pokoknya kami jamin selama di kafe, nggak ada hantu-hantu yang berani ngerepotin lo. Tapi setelah pulang dari cafe, beda ceritanya," kata Lisa bercanda.
King hanya bisa menggeleng-geleng kepala penuh protes.Â
Sekitar lima belas menit kemudian, kami semua sudah berada di cafe yang kami bicarakan tadi. Letaknya persis di samping belakang kampus. Memang dekat, namun cafe itu sedikit tertutupi oleh rimbun pohon. Berhubung keberadaan pohon itu sudah turun temurun, Brandon sebagai pemilik cafe ini tidak enak untuk meminta RT setempat untuk menebangnya. Lagipula, meskipun harus melalui sedikit semak-semak, cafe itu selalu ramai, baik siang maupun malam.
Bicara soal Brandon, dia adalah salah satu teman kami, meskipun usianya jauh lebih tua daripada kami. Mungkin sekitar belasan tahun lebih tua. Dia merupakan orang yang misterius. Maksudku, dia orang yang ramah, tetapi tidak banyak yang kami ketahui tentangnya. Satu-satunya yang kami ketahui adalah dia sudah menikah, dan gosipnya, sudah punya anak. Ada juga gosip bahwa Brandon ini diam-diam adalah seorang ahli bela diri, yang sudah berhasil menundukkan orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaannya dan membuat kekacauan di kota ini. Kami tidak pernah tahu gosip-gosip tersebut benar atau tidak, karena setiap kali ditanya, Brandon hanya tersenyum misterius. Lama-lama, kami pun tidak ingin mempermasalahkannya lagi. Yang jelas, selama ini Brandon selalu diandalkan setiap kami butuh bantuan, layaknya seorang kakak.
"Kalian nggak kuliah hari ini?" tanya Brandon yang sibuk membuat minuman di mini bar di caenya. Tangannya terlihat sibuk mengambil gelas dan botol-botolan di kiri-kanannya. Meskipun begitu, dia tetap menyadari kedatangan kami.
"Kuliah, dong. Makanya kami baru sempat ke sini jam sembilan malam," jawab Queenie.
Brandon melirik jam dinding di sebelah kanannya. "Oh, aku baru nyadar sekarang udah jam sembilan. Kirain masih sekitaran jam tujuh. Pantas aja dari tadi perutku udah keroncongan," katanya sambil menempatkan minuman yang dia ciptakan ke nampan yang segera dibawa pergi oleh salah satu staffnya. "Kalian cari tempat duduk dulu, gih. Nanti aku nyusul."
Kami semua mengangguk dan mencari tempat duduk yang cukup luas untuk menampung kami berenam. Bertujuh, kalau termasuk Brandon sendiri.Â
Aku sekali lagi memperhatikan cafe milik Brandon ini. Tempatnya benar-benar bagus. Estetik, tapi tidak berlebihan. Bagian dalamnya luas, bisa memuat sampai dua puluh lima meja, kalau kuperkirakan. Di bagian tengah-tengah cafe, terdapat sebuah pentas yang ukurannya cukup memadai untuk memuat sebuah band yang terdiri dari vokalis sampai dengan keyboardistnya sekalian. Sementara itu, di samping pintu utama, terdapat sebuah meja minibar yang memanjang sampai ke ujung restoran.
Terkadang aku heran harus memanggil cafe milik Brandon ini seperti apa. Kalau menurutku, sebutan yang cocok adalah cafe. Namun, biasanya cafe tidak memiliki mini bar, apalagi sampai ada bartendernya dan bisa direquest minuman seperti apa yang customer mau. Kalau disebut bar, juga tidak cocok, karena tempat ini tidak menyajikan alkohol sama sekali, apalagi musik dugem yang membuat orang sakit kepala itu. Tempat ini lebih tidak cocok lagi kalau disebut warteg atau warung kaki lima, meskipun harus kuakui, harganya cukup murah sampai menyaingi warteg atau warung kaki lima.
Karena alasan itu juga kami berlima cukup sering nongkrong di cafe ini. Kemana lagi kami bisa menemukan tempat makan yang murah, enak, dan nyaman? Hanya saja hari ini, kami kedatangan teman baru berupa cewek yang bernama Lidya ini. Aku tidak terlalu memperhatikannya, meskipun kami sempat bertemu duluan saat aku tidak sengaja menabraknya dan menjatuhkan buku-bukunya. Untung saja bukunya tidak lecet, dan lebih untung lagi, dia juga tidak lecet-lecet. Kalau tidak, bisa-bisa aku sudah menciptakan kesan buruk bagi anak baru di kampus kami ini.
Omong-omong, cewek itu sepertinya dia orang yang pendiam. Dia tidak berbicara kalau tidak diajak bicara atau ditanyai. Mungkin dia tidak ingin disebut sok asik, atau mungkin dia hanya ingin mempelajari cara kami berlima bergaul.
"Sorry soal tadi ya." Aku kembali meminta maaf saat kami berenam sedang berjalan menuju cafe milik Brandon dari kampus tadi. Saat itu, kami, entah bagaimana caranya, berjalan bersebelahan. Karena tidak ingin terlalu canggung, akhirnya aku membuka mulut dan meminta maaf lagi, meskipun aku rasa dia juga sudah tidak mempermasalahkan hal itu.
"It's okay," jawabnya sambil tersenyum. "Aku juga salah kok tadi. Lagi buru-buru soalnya."
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum mendengarnya. Aku memang termasuk orang yang pelit kata dan tidak pandai berbicara. Maksudku, kalau sekarang Kei yang berada di posisiku, sudah pasti dia akan menanyakan, "Memangnya buru-buru kemana?"
Berbeda denganku yang hanya diam.
Meskipun begitu, itu tidak berarti aku orang yang dingin. Sebaliknya, aku rasa aku termasuk orang yang cukup bersimpatik. Seperti tadi, saat aku melihat cewek ini sedang membawa buku-buku yang beratnya minta ampun, untuk sejenak aku ingin menawarinya bantuan untuk menenteng benda-benda itu. Tetapi, saat kata-kata itu sudah berada di ujung mulutku, aku menelannya kembali, karena tidak ingin disebut sok gentlemen terhadap cewek yang baru kukenal.
Rupanya telinga Kei yang tajam menangkap percakapan kami.
"Kalian tadi ngomongin apa? Kok bisik-bisik?" tanyanya saat kami semua sudah duduk nyaman di cafe Brandon.
Aku dan Lidya saling bertatapan untuk sejenak. "Nggak apa-apa. Cuma kami udah sempat ketemu sebelum Lidya masuk kelas."
Mata Queenie yang sudah bulat dari sananya semakin membulat. "Oh ya? Kok bisa?"
Aku mengangkat bahu. "Aku nabrak dia saat kami berjalan berlawanan arah di aula A."
"Yang bener? Terus kamu luka nggak?" Queenie langsung memeriksa tangan dan kaki Lidya ibarat mereka adalah ibu dan anak.
"Aku nggak papa, kok. Jatuh aja nggak." Lidya tersenyum geli.
"Ah, gak bener lo, Cal. Masa orang baru masuk kampus udah ditabrak?" celetuk Lisa. "Untung Lidya kuat. Kalau nggak, dia pasti udah gepeng tuh ditabrak sama lo. Gini-gini lo kan berat juga."
Aku melirik Lisa dengan wajah penuh protes. Ya, aku akui dulu aku memang cukup… bulat. Tapi kondisi itu hanya berlangsung untuk beberapa bulan saat aku baru lulus SMA. Itu kan sudah lama, sekitar dua tahun yang lalu. Tapi Lisa selalu saja menggunakan fakta ini untuk meledekku setiap menemui kesempatan. Dasar kurang ajar.
"Tapi, kalau kayak gini ceritanya, kalian berjodoh, dong," timpal Kei. "Biasanya kayak gitu, kan?" Aku meliriknya dengan wajah penuh protes lagi. Seperti biasa, omongan Kei tidak pernah difilter dulu.
"Yang begituan itu namanya tidak sengaja, bukan jodoh. Otak kalian yang udah kecuci sama drama-drama Korea itu," jawabku.
"Eits, gue nggak nonton," kilah King. "Sorry, bukannya sok nggak level. Emang cuma gak minat aja." Memang benar. Di kelompok kami, semuanya merupakan penggemar drama Korea, kecuali aku dan King. King lebih tertarik pada film-film action, terutama yang memiliki unsur bela diri, terutama silat. Dia ngefans banget sama Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan aktor-aktor sejenisnya. Bahkan dia punya impian menjadi aktor bela diri, meskipun profesi itu sama sekali tidak nyambung dengan jurusan kuliah yang dia ambil sekarang ini.
Sedangkan aku sendiri, dibandingkan dengan film atau drama, aku lebih tertarik pada musik. Aku senang menonton pertunjukan-pertunjukan musik, baik konser maupun street performance. Aku memang memiliki passion di bidang musik. Suaraku tergolong tidak buruk, dan aku juga bisa memainkan alat musik, terutama gitar. Aku bahkan memiliki channel Youtube sendiri untuk minatku yang satu itu, namun tentu saja pengikutnya tidak ramai. Syukurlah, karena aku tidak ingin menarik perhatian banyak orang.
"Justru orang-orang yang skeptis kayak kalian begini nih yang mesti nonton drama Korea. Biar kalian bisa belajar gimana cara cowok-cowok Korea memperlakukan wanita. Siapa tahu setelah kalian nonton, kalian bisa dapat pacar," ucap Queenie.
"Denger tuh, yang nggak pernah pacaran seumur hidup. Nggak pengen punya keturunan apa?" Lisa langsung mendelik ke arahku.
"Ah, gue mending jadi diri sendiri daripada mesti niru-niru orang lain," aku melambaikan tangan. "Seharusnya tetep ada yang tertarik."
"Kok dari cara bicara lo, kedengarannya nggak yakin?" Kei menertawaiku, padahal setahuku dia juga tidak punya pacar.
"Karena nothing is promised except death," jawabku sok bijak.
"Hei, jangan ngomong soal begituan di waktu-waktu kayak begini dong. Bikin orang jadi parno aja," King protes.
"Parno apa?" tanya Brandon sambil membawakan nampan besar yang berisi makanan dan minuman pesanan kami. Brandon ini, meskipun merupakan pemilik tempat ini, tidak pernah ragu turun tangan untuk menyajikan atau melayani pelanggannya. Dia lalu menaruh piring demi piring di depan kami masing-masing dengan ahli seolah sudah melakukannya sejak lahir, kemudian menarik kursi terdekat dan bergabung dengan kami.
"Parno sama hantu," jawab Kei tanpa filter yang langsung dipelototi King lagi.
"Hantu? Ah, jangan bahas hantu-hantuan dong di tempat gue cari duit," Brandon langsung was-was.Â
"Emang lo percaya hantu, Brandon?" tanya Queenie penasaran.
"Yah, percaya-percaya aja sih. Biar bagaimanapun, hal-hal begituan udah dibicarakan sejak awal zaman di seluruh belahan dunia. Pasti ada alasannya, kan?" Brandon mengangkat bahu.
Sial, Kalau dipikir-pikir, Brandon benar juga.
"By the way, kalian kedatangan teman baru?" tanya Brandon saat melihat sosok si anak baru bernama Lidya yang sedari tadi diam saja.
"Iya." Queen mengangguk. "Kenalin. Ini Lidya. Temanku sejak SMA. Baru bergabung kuliah hari ini."
Brandon mengulurkan tangannya dan Lidya menyambutnya. "Halo. Aku Brandon, pemilik cafe ini."
Lidya hanya tersenyum manis. "Salam kenal, Brandon."
"Oh ya, sih Lidya ini jago nyanyi loh," tukas Queen. "Suaranya bagus banget."
"Serius?" Mata Kei membulat. "Wah, cocok dong denganmu, Vin. Kalian bisa duet kapan-kapan."
Nah, seperti yang sebelumnya sudah kubilang, aku memang tertarik pada musik. Saat kami berlima pertama kali menyantroni tempat ini, entah sedang kesambet apa, tiba-tiba aku menawarkan diri untuk membawakan sebuah lagu di live music di cafe ini. Tidak kusangka, respon yang kuterima cukup baik, dan sejak saat itu, Brandon selalu mengharapkan kedatangan kami dengan sepenuh hati. Mungkin dia senang karena aku bisa membawakan pelanggan yang lebih banyak dengan suaraku, padahal berdasarkan pengakuannya, Brandon sendiri juga tertarik pada musik.Â
Selama ini, dari kami berlima, hanya aku yang bisa bermusik. Sisanya, sama sekali tidak bisa. Kini, dengan adanya Lidya, sepertinya aku tidak sendiri lagi. Mungkin kami bisa bergaul.
"Serius kamu jago nyanyi?" tanyaku dengan wajah tertarik.
Lidya tertawa kecil. "Yah, sedikit-sedikit."
"Biasanya yang sedikit-sedikit ini yang jago," kata Lisa. "Nggak kayak Calvin. Kelihatannya jago tapi sebenarnya biasa aja."
Aku langsung mempelototinya. "Awas ya kalau nanti lo nebeng pulang nanti. Gue turunin di TPA."
"Eits, sorry gue nggak nebeng hari ini. Gue bawa motor kantor. Masa lo lupa sih?"
Oh iya, gara-gara sudah nyaris telat tadi, atasan kantor kami yang baik hati meminjamkan Lisa motor operasional kantor untuk dibawa.
"By the way, udah pada siap makan belom? Udah jam sepuluh nih. Barbie mulai ngantuk," ucap Queenie sambil menguap lebar, tidak repot-repot untuk menjaga image di depan kami semua.
Kami memandangi piring-piring di depan kami yang tampak kosong. Memang saat itu sudah cukup malam, mendekati jam sebelas. Aku tidak percaya takhayul seperti King, tetapi ada baiknya kami tidak pulang tengah malam.
Kami semua membawa kendaraan sendiri hari ini, kecuali Kei. Kendaraan yang kumaksud tentunya adalah motor, Di antara kami tidak ada satupun orang yang cukup kaya untuk pulang pergi kampus menggunakan kendaraan roda empat, tentu saja, sekali lagi, selain Kei. Namun, hari ini kabarnya mobil Kei sedang dibawa entah kemana oleh salah seorang keluarganya, jadi dia terpaksa naik taksi online untuk pulang.Â
"Lidya tinggal dimana?" tanya Kei.
"Jalan Kamboja. Agak jauh juga dari sini," jawab Lidya.Â
Aku tidak menduga jawabannya. Maksudku, sebagian besar anak-anak kampus akan memilih kos yang dekat dengan kampus supaya tidak perlu repot-repot, tetapi yang ini malah memilih yang jauh. Mungkin yang di dekat kampus semuanya sudah terisi sehingga Lidya sendiri juga tidak punya pilihan lain.
"Terus pulangnya naik apa?"
Lidya mengangkat bahu dan tersenyum ramah. "Biasa aku naik ojek online, sih."
"Ojek online?" Lisa langsung protes. "Jangan dong. Naik ojek online sendirian cukup aman kalau siang atau sore. Tapi kalau udah malam-malam begini sih, mending jangan deh. Bahaya," katanya. "Oi, Vin, Antar dia pulang dong." Lisa menepuk lenganku tiba-tiba.Â
"Lah," aku juga protes. "Kenapa nggak kamu aja?"
"Kamu kan tahu skillku pas-pasan. Kalau ngebonceng orang malam-malam begini, pastinya antara orangnya yang nggak selamat, atau motornya yang nggak selamat. Lo mau gue digantung sama bos besok?" ucapnya pongah. "King dan Queen kan udah sepaket, jadi nggak bisa nganter. Si Kei ini aja mesti naik taksi, mana bisa diharapkan."
"Waduh, Lis, kejam bener kata-katanya. Jadi sedih gue." Kei langsung pura-pura sedih dengan gaya berlebihan.
"Maksud gue, di antara kita semua, yang bisa nganter Lidya pulang cuma si Calvin," ucap Lisa, memperjelas maksudnya.
Lidya, orang yang dari tadi dibicarakan hanya menatapku dengan ragu. "Nggak pa-pa, deh, seriusan. Aku bisa pulang sendiri, kok." Dari raut wajahnya, dia seperti tidak ingin merepotkan. Padahal aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Perjalanan ke kosnya kebetulan searah dengan rumahku.
"Aku bisa nganter kok, kalau kamu mau," jawabku. "Kebetulan searah sama rumahku."
Cewek itu diam selama beberapa saat. "Bener?"
Aku mengangguk tanpa berbicara apa-apa.Â
"Oke deh, kalo gitu. Makasih ya."
Setelah itu, kami beranjak dari tempat duduk kami dan pulang. Untungnya aku selalu membawa helm spare yang kusimpan di motorku, jadi kalaupun aku mendapat penumpang dadakan seperti ini, tidak masalah bagiku.
Sepanjang perjalanan, baik aku maupun Lidya tidak banyak bicara. Yah, memangnya kami bisa bicara apa? Mencoba berbicara di saat motor sedang berjalan itu usaha yang sia-sia. Orang yang diajak bicara tidak akan bisa mendengar apa-apa dan hanya bisa mengangguk-angguk dengan bingung.
Saat akhirnya aku sudah tiba di lingkungan kosnya, dia tiba-tiba menepuk bahuku dan memintaku untuk menurunkannya di persimpangan komplek.
"Ada apa? Kok turun di sini?" tanyaku bingung.
Lidya tersenyum kikuk. "Sorry, tapi sepertinya pemilik kosku agak-agak sensi kalau ada cowok yang nganter penghuni cewek pulang," katanya. "Mungkin ingin menjaga peraturan di sini."Â
"Oh," aku mengangguk paham. Memang wajar saja kalau pemilik kos menetapkan peraturan seperti itu. "Oke, kalau gitu. Kamu hati-hati, ya."
Lidya mengangguk. "Thanks udah dianterin."
"Sama-sama."
Dia lalu mengembalikan helm yang dia pakai kepadaku dan melangkah pergi. Aku sebenarnya memastikan dia sampai ke kosnya dengan selamat terlebih dahulu sebelum pergi. Bukannya aku sok gentlemen ataupun paranoid, tapi bagaimana kalau dalam perjalanan itu dia menemui orang-orang yang kelewat usil? Bukannya tidak mungkin, kan?Â
Namun, dengan peraturan kos yang seperti itu, sepertinya aku tidak bisa memastikannya sampai di kos dengan selamat, apalagi sepertinya untuk sampai di kosnya dia masih harus berjalan agak jauh. Aku tidak mungkin mengikutinya diam-diam dari belakang hanya untuk memastikan dia bebas dari orang-orang jahat. Bisa-bisa jadi aku yang diciduk warga sebagai orang jahatnya.
Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya aku pulang ke rumah. Begitu sudah tiba, aku langsung chat Queenie.
'Temen lo udah sampe di kos belum? Tadi gue nggak anterin sampe depan. Dilarang pemilik kos, katanya.'
Tidak butuh waktu lama buat Queenie untuk membalas, 'Aman. Udah selamat sampai tujuan. Dia bilang thank you. Btw, masa tadi kalian belum tukeran nomor meskipun udah pedekate?'
Aku langsung mengerutkan dahi, meskipun jelas-jelas Queenie nggak mungkin melihat ekspresiku. 'Kapan kami pedekate?'
'Tadi kalian jalan berdampingan.'
Aku menghela nafas. 'Seperti yang lo bilang, kami cuma jalan berdampingan. Nggak usah mikir yang macem-macem.'
Aku bisa membayangkan Queenie sedang nyengir. 'Jangan ngambek dong. Entar cepet tua.'Â
Aku membalas dengan sesuatu yang aku tahu akan membungkamnya. 'Udah malem. Cepat tidur. Inikan bulan hantu. Jangan sampe diajak nongkrong bareng.'
'Ih! Udah ah. Gue tidur dulu. Bye!'
Tuh kan, taktikku berhasil. Queenie langsung minggat begitu aku menyebutkan kata hantu.Â