POV : Calvin
Aku tidak pernah tahu seperti apa masa depanku.
Yah, aku tahu, masa depan adalah misteri yang tidak pernah bisa dipecahkan. Meskipun sudah banyak sekali teori konspirasi yang berhubungan dengan perjalanan waktu, sampai saat ini masih belum ditemukan bukti konkrit bahwa perjalanan menembus itu dapat dilakukan, jadi tidak ada yang bisa tahu dengan pasti masa depan akan seperti apa.
Aku juga tidak ingin mempercayai banyak peramal-peramal yang semakin lama semakin banyak saja. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya lucu juga. Saat aku masih kecil, semua peramal sangat misterius dan keberadaan mereka hanya dapat diketahui dari mulut ke mulut. Namun sekarang, mereka sudah tidak segan-segan lagi untuk menjajakan jasanya di media sosial seperti online shop. Perkembangan teknologi ternyata memang mengubah segalanya.
Ngomong-ngomong, maksudku dengan tidak tahu seperti apa masa depanku adalah aku tidak tahu hidupku akan seperti apa. Aku masih belum tahu apa rencana jangka panjangku, apakah aku akan tetap bekerja kantoran seperti ini, atau akan memulai usaha sendiri, atau bekerja di luar negeri saja. Aku pernah memiliki sudden wish yang agak-agak gila yaitu menempati salah satu dari ratusan pulau tidak berpenghuni yang ada di Indonesia, meninggalkan kehidupan yang ada di kota beserta isinya. Namun, tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa ide itu buruk sekali, apalagi setelah menonton film Cast Away yang dibintangi Tom Hanks. Kalaupun secara fisik aku dapat bertahan di pulau tidak berpenghuni sendirian, aku ragu mentalku akan tetap utuh.
Aku menatap layar laptopku yang menampilkan spreadsheet berupa laporan keuangan. Aku bekerja di bidang konsultan keuangan, jadi yang namanya laporan sudah merupakan makanan sehari-hari bagi kami. Saat ini aku dan teman-teman kerjaku sedang menikmati waktu senggang di kantor, berhubung kami sudah melewati masa-masa sibuk beberapa bulan yang lalu. Saat aku bilang sibuk, aku tidak berbohong. Kami bahkan tidak pulang ke rumah saking sibuknya.
Karena saat ini aku sedang tidak punya kerjaan, aku iseng-iseng membuka website pembelajaran bahasa. Yah, siapa tahu suatu saat akan berguna.
Saat aku sedang komat-kamit dengan bahasa Spanyol yang tampak asing bagiku, Lisa menghampirku dan duduk di atas meja dengan santai, seolah-olah itu mejanya sendiri. Di tangannya, terlihat sebuah botol yang berisi bubble tea. Lisa memang peminat bubble tea, saking minatnya dia sampai bisa meminumnya dua kali sehari.
"Lagi ngapain?" tanyanya kepo. "Bosan banget nih."
"Nggak ngapa-ngapain," jawabku, menutup website yang tadi. "Kalau emang bosan, coba tanyain aja klien-klienmu apakah ada yang bisa dibantu. Lumayan, buat ngabisin waktu."
"Udah kali, bro. Sayangnya, semuanya aman terkendali. Mungkin mereka sudah hebat lantaran udah diajarin sama gue yang sakti ini," katanya pongah dengan kepedean yang tidak disembunyikan.
"Jadi gimana semalem?" tanyanya.
Aku mengerutkan kening. "Semalem kenapa?"
"Kan ada yang nganterin cewek pulang," dia mengangkat alis dengan jail.
Aku juga mengangkat alis, tapi tidak dengan jail. "Cuma nganter pulang, bro. Gue udah nganter lo pulang berapa kali," kataku. "Lagian, gue juga nggak nganter sampai depan kosnya kok. Katanya pemilik kosnya agak sensi kalau ada cowok yang nganterin mereka pulang."
Lisa tampak tidak menduganya. "Serius? Ketat juga. Tapi lo nungguin sampai dia masuk, kan?"
"Nggak," aku menggeleng dengan muka polos. "Abisnya dia mesti belok lagi, dan nggak mungkin gue ngikutin dia. Bisa-bisa gue disangka penguntit."
Lisa menggeleng. "Gimana kalau dalam perjalanan dia dicegat sama penguntit beneran?"
"Kenyataannya nggak," jawabku. "Gue mastiin ke Queenie setelah sampe rumah. Katanya, Lydia aman sampai tujuan."
Lisa mendesah dengan pasrah. "Dasar cowok nggak gentle. Pantesan sampe sekarang lo masih jomblo. Udah dikasih kesempatan, tapi malah dibuang gitu aja."
"Kesempatan darimana?" protesku, tapi tidak didengar oleh Lisa.
"Tapi Lidya tuh cakep banget, loh. Gue yakin, dalam waktu dekat, pasti bakal banyak cowok yang deketin dia," katanya menerawang. "Kalo lo nggak beraksi cepet, bisa-bisa lo keduluan orang lain."
Aku kembali mengerutkan kening. Kenapa kedengarannya seolah-olah aku berniat mengejar Lidya? "Gue nggak berniat deketin dia, kok."
"Kenapa nggak? Dia cocok sama lo, kali. Kalem-kalem gitu. Kan selera lo emang kayak yang begituan. Ditambah lagi, dia juga jago nyanyi. Kalo kalian jadian, kalian bisa bikin cover lagu romantis bareng-bareng. Dijamin deh, subscribermu pasti nambah banyak."
Aku tertawa kecil. "Gue nggak perlu pacaran buat nambah subscriber."
Lisa melambaikan tangannya. "Yah, intinya, gue rasa Lidya bakal cocok sama lo. Nggak gampang buat nemuin orang yang cocok dengan kita, kan?"
Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya. Yah, Lisa ada benarnya juga. Tapi jujur saja, aku sedang tidak berniat pacaran saat ini. Menurutku, urusan asmara hanya membuatku pusing, dan aku tipe orang yang sangat tidak ingin dipusingkan oleh segala hal.
Meski harus kuakui, aku merasakan sesuatu yang familiar dengan Lidya. Rasanya seperti kami pernah bertemu di alam mimpi atau semacamnya. Mungkin kami memang pernah bertemu dulu, sebelum aku mengalami amnesia, meskipun itu kemungkinan yang kecil sekali lantaran kami tinggal di dua kota berbeda. Kemungkinan besar adalah pikiranku yang sedang bermasalah yang sudah membuatku terbiasa. Aku sudah sering memimpikan beberapa hal yang tidak jelas, hal-hal yang tidak logis sama sekali. Berdasarkan dokter yang merawatku waktu itu, hal ini memang biasa terjadi bagi penderita amnesia.
Untung saja, amnesia ini tidak terlalu mengganggu hidupku. Maksudku, ya, aku harus mengejar ketertinggalan pelajaran untuk satu tahun, dan aku juga harus mengenal kembali tempat-tempat dan orang-orang dalam hidupku. Aku masih mengingat betapa kikuknya aku saat pertama kali aku melihat wajah Lisa yang tahu-tahu saja diperkenalkan sebagai salah satu sahabat terdekatku. Aku lebih kikuk lagi saat harus menghadapi teman-teman sekelasku yang tampaknya mengenalku dengan baik, tetapi aku tidak mengenali mereka sama sekali. Syukurlah, semuanya berlalu cepat. Aku dapat dengan mudah memulihkan keadaan di sekitarku. Dan berkat usaha yang rajin, aku tidak harus mengulang tahun pelajaranku.
Aku tahu kalian penasaran kenapa aku bisa mengalami amnesia. Yah, berdasarkan informasi dari semua orang, katanya aku mengalami kecelakaan tunggal yang cukup dahsyat. Kabarnya, dulu aku termasuk anak badung yang hobi menggunakan motor kemana-mana, tanpa SIM, dan tanpa helm pula. Sampai suatu hari, sepertinya takdir memutuskan untuk membuatku kapok dan mengakhiri kenakalanku dalam sebuah kecelakaan. Setelah aku siuman dan kembali ke rumah, orangtuaku melarang keras aku melakukan hal-hal berbahaya lagi, dan kalau memang aku dulu senakal itu, sepertinya aku sudah seharusnya bertobat.
Mungkin kalian akan berpikir, kenapa semenjak kecelakaan itu, kedua orangtuaku tidak menyuruh aku menggunakan mobil kemana-mana? Well, jawabannya adalah kami bukan keluarga seperti itu. Kami bukan keluarga yang cukup kaya untuk memiliki mobil spare yang dapat digunakan oleh bocah SMA yang belum punya SIM. Kami hanya memiliki satu mobil keluarga, yang hanya dipakai saat benar-benar diperlukan lantaran kami harus menghemat bensin. Intinya, aku berasal dari keluarga pas-pasan. Artinya, keluargaku tidak akan hidup melarat kalau aku tidak memberi mereka uang setiap bulan, tetapi, kalau aku ingin hidup enak, semuanya harus berasal dari usahaku sendiri.
Kalian mungkin akan bertanya, kalau keluargaku pas-pasan seperti itu, kenapa aku harus kuliah di kampus terkenal? Yah, alasannya hampir sama dengan alasan King dan Queen. Karena kampus ini kampus terbaik di provinsi, dan dengan adanya gelar dari kampus ini, potensi karir akan lebih terbuka, walaupun hanya sedikit. Asal tahu saja, aku dapat berkuliah di sini berkat beasiswa juga. Namun, berhubung aku bukan murid jenius, beasiswa yang kudapat hanyalah tingkat kedua, dimana aku hanya cukup membayar setengah dari biaya SKS-ku. Bagiku, ini sudah cukup bagus.
Sial, kenapa aku jadi bercerita panjang lebar begini?
"Jangan bahas gue doang, dong," kataku. "Lo sendiri gimana? Sampai sekarang juga masih jomblo, tuh."
Lisa mengerling. "Heh, gue jomblo itu karena lo, tahu?"
Mataku membulat. "Lah, kok gue yang disalahin?"
Lisa tertawa kecil. "Kita terlalu sering jalan bareng, cuy. Makan bareng, ngantor bareng, ngampus bareng juga. Orang-orang pada ngirain lo tuh pacar gue."
Sial. Kalau dipikir-pikir, benar juga. "Yah, kalau gitu caranya, gue juga bisa bilang karena elo gue jomblo sampai sekarang."
"Makanya, supaya orang pada nggak salah paham, buruan lo cari pacar. Tuh, si Lidya udah ada di depan mata."
Yah, kembali lagi membahas soal dunia percintaanku. Kalau begini sih, sampai kapan juga tidak ada habisnya.
"Udah deh. Gue pesenin makanan aja," kataku pasrah.
"Lah, kok tiba-tiba pesen makan?"
"Biar mulut lo sibuk buat makan, bukan buat gosip soal gue," kataku ngasal.
Lisa tertawa kecil mendengarnya. "Kalau gitu tiap hari gue gosipin lo aja deh kerjaannya. Lumayan, biar dapat makan gratis."
****
Hari ini sebenarnya aku tidak punya jadwal kuliah. Maklum, jadwal kuliah semester pendek tidak sesibuk semester biasa. Kalau biasanya kami harus berkuliah dari Senin sampai Jumat, bahkan terkadang Sabtu dan Minggu, untuk semester pendek ini hanya beberapa hari dalam seminggu dimana kami harus datang ke kampus.
Namun, meskipun tidak punya kelas, hari ini aku tetap datang ke kampus. Awalnya aku tidak punya rencana ke sini, tetapi daripada aku tidak punya kerjaan di rumah, lebih baik aku nangkring di studio musik di kampus. Beberapa bulan ini aku memang sudah sering mengunjungi studio ini. Dulunya sih aku hanya suka bernyanyi saja, tetapi beberapa bulan terakhir ini, aku mulai tertarik untuk membuat lagu sendiri. Karena itulah aku mulai sering nangkring di studio ini saat sedang ada waktu seperti sekarang.
Saat aku tiba di studio musik, aku melihat dua wajah yang kukenal, yaitu Windy dan Tono. Mereka berdua setahuku memang pasangan kekasih dan saat ini menyandang status sebagai mahasiswa abadi lantaran tidak pernah menyelesaikan skripsinya sampai dengan saat ini. Dengar-dengar mereka memang sudah menyerah dengan gelar mereka dan tidak berniat menyelesaikan tugas akhir mereka lantaran mereka berencana untuk fokus di bidang musik. Karena itu juga setiap kali mereka datang ke kampus, tempat yang mereka datangi bukanlah kantor dosen atau ruang kelas, melainkan studio musik.
Aku melihat sekeliling dan mendapati ruangan itu seperti dialihfungsikan sebagai tempat piknik. Sampah dan kotak bekas makanan berseliweran dimana-mana. Untungnya, melihatku datang, mereka berdua dengan tahu diri membereskan semua kekacauan itu.
"Yo, Calvin. Nggak ada kelas hari ini?" Tono menyapaku ramah.
Aku menggeleng dan tersenyum. "Nggak. Lagi butuh healing aja ke sini."
Windy tertawa. "Ya ampun. Gayanya udah kayak musisi sejati. Kayaknya kita punya saingan nih," katanya pada pacarnya.
Aku tertawa kecil. "Jangan khawatir. Kalau gue ketemu kalian sebagai rival gue nantinya, pastinya gue bakal ngibrit duluan."
"Kok gitu?"
"Yah, takutnya disuruh beresin snack-snack kalian begini."
Tono langsung nyengir. "Maap-maap. Udah terlalu nyaman di sini soalnya. Feels like home."
Aku hanya tertawa kecil dan membantu membereskan beberapa sampah kering mereka. Setelah itu, mereka berdua pamit berhubung hendak pulang ke kos masing-masing, menyisakan aku sendirian di tempat ini.
Memang lebih bagus seperti ini. Aku lebih suka sendirian. Bermain musik sendirian, membuat lagu sendirian, mencari inspirasi sendirian. Aku mengambil gitar terdekat dan mengambil selembar kertas yang berisi nada dan lirik yang sudah kutulis sendiri.
Di saat aku sedang sibuk mencoba menyanyikan lagu buatanku sendiri, menyetel gitar dan semacamnya, aku tersentak kaget saat mendengar seseorang bertepuk tangan dari belakangku. Spontan aku menoleh ke belakang.
"Sorry," ucap sang pelaku itu dengan malu. "Nggak berniat ngagetin."
Ternyata orang yang membuatku kaget setengah mati adalah Lidya, teman baru kami.
Aku menggeleng tipis. "It's okay. Aku yang terlalu fokus. Udah berapa lama kamu ada di sini?"
Dia tersenyum. "Cukup lama untuk tahu ternyata kamu beneran bisa nyanyi. Bisa bikin lagu sendiri, malah."
Aku juga tersenyum malu. "Thanks. Tapi cuma iseng-iseng kok. Belum benar-benar jadi."
"Belum jadi aja udah bagus. Nggak kebayang dong, kalau udah jadi nanti."
Aku menyunggingkan bibirku. "Kamu juga katanya jago nyanyi?"
Giliran Lidya yang tersenyum malu. "Cuma sedikit sedikit. Nggak sejago kamu."
"Jago atau nggak, biar pendengar yang memutuskan," kataku. "Mau coba sekarang?"
Lidya membulatkan matanya. "Serius?"
"Iya," aku mengangguk. "Kamu bisa sendiri, ataupun kita bisa cari lagu duet, kalau kamu mau."
"Sebenarnya, aku lebih tertarik nyanyiin lagu kamu, sih."
Aku tertawa. "Sayangnya, sekarang belum siap. Setengahnya saja belum. Nanti deh, kalau sudah jadi."
"Oke. Janji, ya."
Aku mengangguk lagi. Sial, kenapa tahu-tahu aku sudah berhutang janji pada cewek yang baru kukenal kemarin?
Lidya lalu mengambil gitar terdekat dan mulai menyanyikan salah satu lagu paling terkenal di zaman kami, 2002 oleh Anne-Marie. Tentu saja, sesekali aku juga mengiringinya berhubung aku tidak ingin seperti orang goblok yang tidak melakukan apa-apa selama lebih dari tiga menit. Suara Lidya memang bagus, agak-agak mirip dengan Anne-Marie tadi. Kalau aku, berdasarkan pengakuan teman-temanku, katanya suaraku mirip-mirip Ed Sheeran. Berhubung aku fans berat dengan Ed, pujian itu kutanggapi dengan traktiran kepada mereka semua.
"Nice," pujiku saat dia selesai.
Wajah Lidya memerah. "Makasih."
"Nanti kalau aku dipaksa perform, kamu ikutan ya."
Matanya membulat. "Emang kamu sering perform?"
Aku menimbang-nimbang. "Nggak juga sih. Paling sering juga di cafe-nya Brandon. Di kampus ini cuma beberapa kali, kalau lagi ada acara, gitu."
Lidya tampak berpikir sebentar. "Oke, kalau memungkinkan, aku bakal ikutan. Asal kamu jangan lupa janji kamu."
Ok, rupanya cewek ini bawel juga. "Iya, iya. Nggak bakal lupa kok."
Lidya tertawa mendengar reaksiku. "Kamu kok bisa di kampus hari ini? Hari ini kalian nggak ada kelas, kan?"
Aku mengangkat bahu. "Iya, hari ini nggak ada kelas. Emang sengaja mau ke sini."
Lidya tampak tidak menduga. "Seriusan?"
Aku mengangguk. "Kalau kamu? Nggak ada kelas?"
Lidya nyengir. "Ada. Kelas jam delapan, tapi aku salah jadwal dan ngirain kelasnya jam enam."
Oh. Pantas saja dia sudah ada di sini. "Terus mau ngapain dong selama dua jam-an?"
Lidya menggeleng. "Nggak tahu."
Mendengar jawabannya yang polos itu, daripada dia seperti anak ayam yang kehilangan induknya, aku menyuruhnya tetap berada di ruang musik itu. Kami mencoba membawakan beberapa lagu, mulai lagu asli yang hak miliknya sudah dipatenkan, maupun lagu yang tidak asli alias lagu buatanku sendiri yang tidak jelas asal usulnya. Lidya memberiku beberapa masukan ide untuk laguku itu, dan bahkan mencarikan nada yang cocok. Akhirnya, aku berhasil menambahkan sebagian porsi dari keseluruhan lirik yang kurencanakan.
Hmm, ternyata kerja bareng itu nggak seburuk yang kuduga.
"Jadi, kok kamu bisa kuliah di sini?" tanyaku saat kami berdua sedang makan di kantin kampus, setelah selesai di ruang musik.
Lidya terdiam sebentar, lalu mengangkat bahu. "Yah, sama seperti kebanyakan orang-orang dari luar kota yang ngampus di sini. Kualitas pendidikan yang lebih bagus, juga peluang karir yang lebih oke."
Aku mengangguk-angguk. Ya, memang itu jawaban dari sebagian besar orang yang berkuliah di sini, termasuk aku. Selain orang-orang seperti kami, ada juga keluarga-keluarga konglomerat yang sengaja menguliahkan anaknya di sini hanya untuk memperluas koneksi.
"Aku asumsikan kamu sudah dapat kerja buat ngisi waktu di siang hari?"
Lidya mengangguk. "Yup. Udah ketemu, kok. Kayaknya aku cukup hoki, nggak butuh waktu terlalu lama buat ketemu."
Aku tertawa kecil. "Kaget nggak pas tahu anak-anak di sini rata-rata kerja sambil kuliah?"
Lidya terkekeh. "Sejujurnya, sedikit. Kok bisa kalian bekerja sekeras itu ya? Nggak perlu istirahat, apa?"
Aku menghela nafas. "Bisa karena terbiasa. Lama-lama kamu juga bakal tahu sendiri."
Lidya mengangguk-angguk. "Apa ada saran untuk pemula seperti aku?"
Aku mengangkat bahu, menimbang-nimbang jawaban yang cocok. "Yah, yang penting tetap semangat. Akan tiba saatnya kamu merasa capek banget dan pengen give up, tapi di saat itu terjadi, ingat aja bahwa kamu nggak sendirian. Selalu ada orang yang bisa kamu cari untuk minta bantuan."
Sudut bibir Lidya terangkat. "Petuah yang bijak dari orang yang lebih tua."
Aku langsung mengangkat sebelah alis dengan wajah bercanda. "Lebih tua?"
"Sori. Maksudnya, lebih dewasa." Lidya tertawa kecil. "Kelasku bentar lagi udah mau mulai nih. Kamu belum mau pulang?"
Aku melihat jam tanganku. Yah, mungkin ada baiknya aku pulang daripada nongkrong sendirian. "Iya, ini udah mau pulang, kok."
Kami beranjak dari kursi kantin dan aku menemani Lidya berjalan sampai gedung B.
"Thanks udah ditemenin, Calvin," ucap Lidya saat kami hendak berpisah.
Aku mengangguk dan tersenyum. "You're welcome."
Setelah Lidya melangkah pergi, aku juga meninggalkan lingkungan kampus. Jujur saja, sedikit mengherankan bagiku untuk berbicara panjang lebar dengan orang yang baru aku kenal. Biasanya aku tidak pernah seperti ini. Mungkin karena kami sama-sama berminat di bidang musik, jadi kami mudah dekat. Ya, mungkin hanya itu.
Meskipun begitu, aku tidak dapat menghilangkan perasaan familiar yang kurasakan darinya.