Chereads / Kembalinya Masa Lalu / Chapter 3 - Chapter 3

Chapter 3 - Chapter 3

POV : Lidya

Seandainya aku hanya seorang mahasiswi biasa.

Aku ingin sekali menjalani hidup normal seperti orang-orang biasa. Memiliki keluarga yang lengkap, teman-teman yang baik, pergaulan yang suportif. Aku tidak peduli apakah aku hidup dalam kekurangan atau serba berkecukupan. Bagiku, yang terpenting adalah semua orang yang aku kasihi selamat dan bahagia.

Namun sayangnya, kenyataan tidak seperti itu. Mendekati pun tidak. Ibuku tewas saat melahirkanku. Saat itu, terjadi sebuah tragedi yang berakhir pada kecelakaan yang terjadi pada ibuku yang sedang hamil besar. Aku yang berada di dalam kandungan ibuku selamat, namun ibuku tidak. Kami tidak punya kesempatan untuk saling mengenal sama sekali. Satu-satunya yang kumiliki dari ibuku adalah foto yang sudah lama dan usang, dimana wajahnya bahkan sudah nyaris tidak terlihat lagi. Meskipun begitu, aku selalu menyayangi ibuku, dan berharap dapat menemuinya secepat mungkin di alam lainnya.

Sejak lahir, aku tinggal di panti asuhan bersama kakakku. Aku tidak terlalu mengingat masa kecilku, tetapi aku ingat sejak aku mulai bisa berbicara, aku sering merewel kepada kakakku, bertanya dimana Ayah dan Ibu. Kakakku orang yang dingin dan tidak suka memperlihatkan perasaannya, dan dia hanya menjawab bahwa Ayah sedang bekerja dan Ibu sedang bersama Ayah. Aku tidak tahu dia berbohong pada awalnya. Di saat umurku empat atau lima tahun, aku baru tahu bahwa ibu kami sudah tidak ada dan Ayahku sebenarnya sedang mendekam di penjara.

Di saat umurku mencapai delapan tahun, Ayahku akhirnya bebas. Awalnya aku sudah mengharapkan hidup bertiga dengan kakak dan Ayahku. Meskipun Ibu tidak bersama kami, tidak apa-apa. Dia akan selalu berada di hati kami, dan kami bertiga hidup akan dengan baik, sesuatu yang aku yakini merupakan harapan terbesarnya.

Namun, impianku melenceng jauh. Alih-alih hidup dengan damai, begitu bebas, Ayahku melatih kami berdua dengan keras setiap hari. Latihan-latihan yang tidak seharusnya dijalani oleh anak berumur delapan dan dua belas tahun. Aku mengingat menangis setiap hari saking sakitnya badanku akibat latihan-latihan itu, tetapi kakakku tidak pernah berkomentar apa-apa dan menganggap latihannya dengan serius. 

Aku selalu mempertanyakan alasan kenapa kami harus berlatih seperti ini. Ayahku tidak pernah menjawab, jadi aku hanya bisa berasumsi bahwa dia hanya melatih kami menjadi anak-anak yang kuat dan mampu menjaga diri. Namun, aku mulai merasa ada yang salah saat aku tidak pernah lagi melihat senyum di wajah Ayah maupun kakakku. Bertahun-tahun kemudian, barulah aku diberitahu apa yang sebenarnya terjadi pada keluargaku, mulai dari bagaimana Ibu bisa kecelakaan, Ayahku yang dipenjara, dan kami harus menjalani kehidupan layaknya neraka seperti ini.

Saat mengetahuinya, aku merasa bingung. Terlalu banyak hal yang aku ketahui dalam saat yang bersamaan. Di satu sisi, aku mulai mengerti perasaan Ayahku, kenapa dia menjadi pribadi yang begitu muram, kenapa dia melatih kami dengan begitu kejam dan tanpa perasaan. Namun, di sisi lainnya, aku merasa bahwa kami tidak perlu melakukan sesuatu atas hal yang sudah terjadi belasan tahun yang lalu. Tidak akan ada yang berubah. Ibuku tidak akan hidup kembali, masa hukuman Ayahku tidak bisa dibatalkan, dan aku dan kakakku juga tidak bisa mendapatkan masa kecil yang sempurna lagi. Untuk apa melakukan sesuatu yang hanya akan berakhir pada sesuatu yang mungkin saja lebih buruk lagi?

Namun, tidak ada yang mendengarkanku, baik Ayah maupun kakakku. Awalnya aku berharap kakakku bersedia membujuk Ayahku untuk melepaskan semuanya dan memulai hidup yang baru, tetapi alih-alih mendengarkanku, dia malah bergabung dengan rencana Ayahku. Rencana yang gagal, omong-omong, berhubung berakhir dengan tewasnya Ayahku empat tahun yang lalu.

Aku menangisi kepergian Ayahku, tentu saja. Meskipun aku sudah menduga rencananya tidak akan berakhir dengan baik, aku tidak menduga Ayah akan tewas. Aku berasumsi bahwa keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah Ayahku akan dipenjara lagi. Aku tidak pernah menyangka mereka akan sanggup membunuh Ayah.

Kakakku, Jai, berhasil lolos dari maut, meskipun menjadi buronan. Bukan masalah besar, lantaran Ayah kami sudah pernah mengajari kami bagaimana caranya mengganti identitas baru. Tidak butuh satu bulan untuk Jai hidup menggunakan nama dan identitas yang berbeda, membuatnya tidak terdeteksi oleh aparat manapun.

Sejak saat itu, Jai, mengambil tampuk kepemimpinan Ayah di keluarga kami, dan kembali melatihku, kali ini dengan lebih ekstrem sambil menyusun rencana untuk balas dendam. Hidupku terasa lebih buruk lagi, tetapi Jai selalu mengingatkan bahwa ini proses yang memang harus kami lewati jika kami ingin menuntut keadilan bagi Ayah dan juga Ibu. Terus terang, aku mulai setuju dengan pemikiran itu. Aku tidak pernah menyukai pembalasan dendam, tetapi kalau menuntut keadilan, berbeda ceritanya. Setelah apa yang mereka lakukan kepada kedua orangtuaku, mereka pantas diberi pelajaran. Lagipula, Jai sudah berjanji bahwa rencananya tidak akan menewaskan siapa-siapa, melainkan hanya membawa orang-orang yang bertanggungjawab ke depan meja hijau dan memastikan mereka menerima hukuman yang pantas. 

Karena itulah, aku setuju bergabung dengan rencananya.

Itulah yang membawaku ke sebuah tugas penyamaran. Yah, mungkin menyamar bukan pilihan kata yang tepat, berhubung aku memang sudah cukup usia untuk menempuh pendidikan universitas. Seperti yang kubilang di baris pertama, aku mengimpikan hidup seperti manusia biasa, termasuk berkuliah dengan normal. Ini bisa dibilang kesempatan bagiku, tetapi tetap saja, aku tidak bisa mengabaikan tugas utamaku berada di tempat ini.

Hari ini hari pertamaku di kampus ini. Gosipnya, kampus ini merupakan kampus terbaik di provinsi, sehingga menjadi incaran semua orang, baik anak-anak dari keluarga pas-pasan yang berharap bisa mengubah takdirnya dengan memiliki gelar sarjana dari kampus bergengsi, maupun anak-anak dari keluarga konglomerat yang berharap mempertahankan koneksinya. Sebagai tempat bagi orang-orang untuk mencapai impiannya, samar-samar aku merasakan aura yang penuh semangat begitu menginjakkan kaki di tempat ini. 

Seandainya aku dapat menjadi salah satu dari orang-orang normal seperti yang lainnya.

Aku berdeham, berusaha mengusir semua perasaan sentimental yang selalu berhasil menyelimuti hatiku. Seperti yang bisa kalian duga, alasan aku diberi misi di kampus ini adalah karena targetku ada di sini. Asal kalian tahu, aku sudah mempelajari targetku ini selama bertahun-tahun, terutama sejak Ayahku meninggal. Aku tahu dia berkuliah di sini, aku tahu dia mengambil jurusan apa dan semester berapa, aku tahu dia kerja dan tinggal di mana, aku tahu minatnya apa, dan aku bahkan dimana dia sering berlalu lalang di kampus ini.

Dan sekarang, orang yang sudah kupelajari selama bertahun-tahun itu sudah ada di depan mata. Sebenarnya, kalau begini, aku dapat menyelesaikan misi balas dendamku dalam sekejap mata. Aku tinggal mengambil sebilah pisau, berpura-pura mendekatinya, lalu menikamnya di jantung. Beres. Mau sekuat apapun, orang itu pasti akan mati seketika. Namun, kalau aku melakukan itu, seluruh kampus ini akan heboh, dan bahkan berita ini juga akan menyebar ke seluruh kota. Aku akan ditangkap dan dihukum seberat-beratnya, dan keluarga dari orang yang kubunuh tidak akan tahu kenapa putra mereka tiba-tiba tewas begitu saja.

Tidak. Itu rencana yang terlalu kacau dan sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan rencana kami.

Jadi, alih-alih melakukan tindak kriminal yang sempat ada di benakku, aku mendekati orang itu, dan berpura-pura menabraknya. Aku tahu orang itu sering mendengarkan musik saat dia sedang sendirian dengan earphonenya, dan kebetulan saat itu dia sedang sibuk dengan ponselnya. Kesempatan yang bagus untuk berpura-pura bertabrakan dengannya. 

Bruk!

Bahu kami saling bertabrakan dan buku-buku yang kudekap dari tadi jatuh dengan sukses. 

"Sorry, sorry. Aku nggak sengaja. Kamu nggak pa-pa?"

Aku sudah mempelajari cowok ini untuk beberapa tahun terakhir, tetapi ini adalah kali pertama aku bertemu langsung dengannya. Wajahnya yang saat itu sedang tertutup masker hanya menyisakan sepasang mata yang tampak tidak berbahaya. Dia sedang mengenakan topi, dan sesuai dugaanku, dia tadinya sedang memasang earphone, yang saat ini sudah dia copot. Suara cowok itu terdengar ramah dan jujur saja, merdu. Tidak heran, karena setahuku dia memang hobi musik.

Cowok itu jongkok dan mengambilkan barang-barangku dan aku melakukan hal yang sama. 

"Maaf sekali lagi," ujar cowok itu sambil menyerahkan tumpukan buku yang langsung kuterima.

"It's okay. Thank you," jawabku, kemudian melangkah cepat meninggalkan cowok itu.

Oke, sebelum kalian bertanya, alasan aku harus repot-repot memalsukan pertemuan pertama kami adalah karena aku ingin menanamkan impression mengenaiku di benak cowok itu. Kemungkinan besar, setelah kejadian tadi, cowok itu akan mengingatku, atau setidaknya merasa familiar saat melihat wajahku di pertemuan kami berikutnya. Ini adalah salah satu taktik yang sudah kupelajari. 

Taktik yang sepertinya berhasil, mengingat dua jam kemudian, di saat kami bertemu, cowok itu mengingatku.

Aku melangkah ke sebuah ruang kelas di salah satu gedung besar milik kampus kami. Di dalam ruang itu, aku melihat beberapa wajah yang kukenal. Salah satu dari mereka tentu saja adalah si cowok yang tadi, yang satunya lagi adalah pasangan kakak beradik King dan Queenie.

Sebenarnya aku tidak terlalu mengenal King. Yang lebih dekat denganku adalah Queenie. Aku dan Queenie sudah saling mengenal sejak SMA, atau lebih tepatnya, sejak Ayahku meninggal dan Jai mulai menyusun rencana. Setelah lulus, Queenie memutuskan untuk masuk ke kampus dimana targetku akan berkuliah dan secara kebetulan, berteman dengan orang yang akan menjadi targetku. Mengetahui itu, Jai menyuruhku menggunakan Queenie sebagai tiket untuk berteman dengan kelompok mereka dan menarik perhatian sang target. Sebenarnya aku merasa tidak enak karena sudah memanfaatkan pertemananku dengan Queenie, tetapi sepertinya pertemanan yang tulus merupakan sebuah kemewahan yang tidak bisa kudapatkan. 

Queenie segera menyapaku dan ternyata dia juga sudah menyisakan tempat duduk untukku. Seperti yang kubilang, cowok itu mengingatku, terbukti dari kepalanya yang mengangguk sedikit. Aku juga melakukan hal yang sama, tidak ingin bersikap terlalu berlebihan.

Queenie hendak mengenalkan teman-temannya padaku, tetapi dosen yang mengajar sudah datang. Sebenarnya aku tidak butuh dikenali, karena aku sudah mengenal mereka semua lantaran mereka berteman dengan orang yang menjadi misi utamaku di sini. 

Ada seorang cowok yang bernama Kei. Dia merupakan anak satu-satunya dari pengusaha batu bata yang memonopoli seluruh pasar di kota, membuatnya menjadi anak paling kaya di antara teman-temannya. Sayangnya, karena merupakan anak satu-satunya, dia terlalu dimanja sehingga tidak pernah menganggapi apapun dengan serius. Dia sering traveling kemana-mana, membuat kelasnya sudah tertinggal jauh. Namun, untungnya, dia tidak termasuk anak orang kaya yang hobi membuli orang lain. Malahan, sebenarnya dia lebih cocok dibuli lantaran wajahnya selalu cengengesan, baik di saat yang tepat maupun tidak tepat.

King, kakak kembar Queenie, merupakan atlit bela diri yang cukup lihai. Orangnya agak-agak susah ditebak dan hobi berorganisasi. Dalam kurun waktu satu tahun, dia sudah menjadi anggota hampir semua organisasi yang dibentuk di kampus ini. Semua kegiatan itu menyita otak dan tenaganya, dan sekarang, berhubung dia sudah harus memikirkan rencana skripsi, kabarnya dia sudah mengurangi aktivitas sampingannya itu. 

Queenie, sudah tidak perlu dibicarakan lagi. Aku mengenalnya sudah lama, dan aku tahu dia perempuan yang manis. Meskipun berusia di atasku, dia selalu menolak saat aku memanggilnya 'Kak'. Sama seperti King, Queenie juga berlatih bela diri, hanya saja tidak segiat kakakknya. Queenie termasuk cewek baik-baik yang masih agak polos. Kakaknya sering mengusilinya dan membuatnya cemberut, tetapi sepertinya itulah yang membuat hubungan mereka baik-baik saja. Diam-diam aku mengidamkan hubungan seperti itu dengan Jai, tetapi sepertinya tidak mungkin.

Ada juga cewek bernama Lisa. Lisa merupakan teman dari targetku ini sejak SMA. Dengan kata lain, dia tahu apa yang terjadi pada insiden yang mengakibatkan tewasnya Ayahku beberapa tahun yang lalu. Jai mengenal Lisa, tentu saja. Bahkan menurut pengakuan Jai, Lisa membantu mereka mengalahkannya dan Ayahku. Aku tidak tahu pasti ceritanya seperti apa, tetapi jelas cewek ini merupakan ancaman bagi rencanaku. Kabarnya dia juga sudah berlatih bela diri untuk berjaga-jaga atas kemungkinan munculnya masalah yang akan datang. Dengan kata lain, dia sudah menduga bahwa aku dan Jai akan kembali. Bahkan, bisa jadi itulah alasan kenapa dia berkuliah di tempat yang sama dengan targetku. Untuk menjaganya. 

Intinya, aku harus berhati-hati terhadap Lisa jika tidak ingin rencanaku gagal.

Yang terakhir, tentu saja adalah targetku. Targetku ini punya nama. Calvin, itulah namanya. Dia tampak seperti cowok-cowok pada umumnya. Wajahnya bisa dikategorikan cukup tampan, namun sepertinya dia orang yang pelit senyum dan juga pelit kata. Dia hobi bermusik, sering manggung ke sana ke mari dalam waktu beberapa tahun di kampus. Dia bahkan memiliki channel sendiri untuk mengunggah bakat musiknya dan berhasil menarik perhatian yang cukup banyak. Bisa dikatakan dia termasuk artis kecil-kecilan di kampus ini, karena satu dari lima orang pasti pernah mendengarnya menyanyi. Kalaupun mereka tidak mengenali wajahnya, mereka pasti mengenali suaranya.

Aku mendapatkan informasi dari Jai, bahwa setelah kejadian tiga tahun yang lalu, Calvin mengalami amnesia. Namun, yang namanya amnesia tidak bisa dibuktikan secara medis melalui CT Scan atau apalah, jadi bisa jadi Calvin hanya berpura-pura. Salah satu misiku di sini adalah untuk mencari tahu apakah dia benar-benar tidak mengingat apa yang terjadi. Kalau dia benar-benar berpura-pura, tidak akan butuh waktu lama bagiku untuk menciduknya. Tambahan informasi yang kudapat adalah Lisa juga sudah memaksa temannya ini untuk berlatih bela diri, kemungkinan dengan alasan yang sama bahwa suatu hari mungkin akan ada yang mencari masalah dengannya.

Sama seperti teman-temannya yang lain, Calvin termasuk salah satu dari ribuan mahasiswa-mahasiswi di kampus ini yang bekerja di siang hari dan kuliah di malam hari. Untuk menyeimbangkan jadwalku dengannya, aku terpaksa melakukan hal yang sama juga. Sebenarnya, berdasarkan apa yang kudengar selama ini, keluarga Calvin merupakan keluarga yang cukup berada. Setidaknya dulu. Namun, mungkin karena dosa masa lalu, mereka terus-menerus diganggu oleh berbagai pihak yang menuntut pembalasan, dan setelah itu mereka memutuskan untuk hidup sederhana saja. 

Meskipun aku sudah mengenal mereka semua, saat Queenie menyebutkan nama mereka satu per satu, aku berpura-pura bodoh seolah-olah baru melihat wajah mereka untuk pertama kali.

Kei, seperti yang tadi kudeskripsikan, merupakan orang yang paling girang di antara mereka. Jadi, tidak heran kalau dia mengajak kami untuk nongkrong-nongkrong di saat jam sudah menunjukkan jam sembilan malam. King menolak, lantaran bulan ini, menurut kepercayaannya, merupakan bulan hantu dan akan lebih baik kalau mereka semua pulang cepat. Lisa, orang yang harus kuwaspadai dalam rencanaku ini, memperlihatkan keluwesannya dalam berkata-kata dan mengajak kami semua ke cafe terdekat sudah mereka kenal pemiliknya.

Sementara itu, Calvin yang merupakan targetku malah tidak mengatakan apa-apa.

Dalam perjalanan ke cafe yang mereka sebut, aku mencuri-curi waktu dan berhasil berjalan berdampingan dengannya. Aku berhasil memancingnya mengobrol, meskipun hanya sepatah dua patah kata saja. Memang seperti itu rencanaku. Kalau aku bertindak terlalu cepat di hari pertama kami bertemu, justru akan terlihat aneh.

Kami sampai di cafe yang dituju. Aku tahu cafe itu. Cafe ini milik seorang cowok, atau mungkin lebih cocok kalau kusebut laki-laki, bernama Brandon. Usianya berbeda cukup jauh dengan kami, mungkin sudah di atas tiga puluh. Namun, wajahnya selalu tampak cerah dan ramah, membuat orang-orang merasa nyaman namun juga segan dengannya. Aku tidak tahu banyak tentang orang ini, selain bahwa dia sudah berkeluarga dan cafe ini merupakan usaha sampingannya. Seharusnya dia bukan masalah dan tidak akan mengganggu rencanaku.

Setelah menghabiskan waktu di cafe itu, kami semua siap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Awalnya aku juga sudah berniat mengakhiri kegiatanku untuk hari ini, dalam artian aku tidak perlu melakukan apa-apa lagi untuk menarik perhatian Calvin. Tapi, mungkin takdir juga menolongku, karena aku menjadi satu-satunya orang yang tidak memiliki kendaraan pulang dan Calvin menjadi satu-satunya orang yang dapat mengantarku. 

Baguslah. Anggap saja ini menjadi misiku yang terakhir untuk hari ini.

Aku membohongi semua ornag bahwa aku nge-kos di daerah yang agak jauh dari kampusku. Sebenarnya aku benar-benar tinggal di sekitar sini, hanya saja aku tidak tinggal di kos, melainkan di sebuah rumah terpencil terletak di belakang perumahan. Aku tinggal di sana sendirian, jauh dari Jai yang memilih tinggal di tempatnya bekerja.

Aku sengaja menyuruh Calvin memberhentikanku di simpang perumahan itu, dengan alasan bahwa kos yang kutempati melarang penyewanya pulang malam-malam diantar laki-laki. Calvin mempercayaiku, dan membiarkanku meneruskan perjalananku dengan berjalan kaki.

Butuh waktu sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke tempat tinggalku yang asli. Cewek-cewek biasa mungkin akan takut berjalan sendirian di malam hari, karena bisa jadi mereka diganggu, dicopet, bahkan diperkosa oleh preman-preman yang bersikap suka-suka. Namun, tidak bagiku. Aku tumbuh dengan menjadikan preman-preman seperti itu sebagai objek latihanku, dan meskipun dihadapi dengan jumlah yang banyak, aku yakin dapat mengalahkan mereka, jadi aku sama sekali tidak khawatir berjalan sendirian di tengah malam seperti ini. Malahan, kalau memang ada preman-preman di sekitar sini, kemungkinan mereka adalah orang-orang utusan Jai yang disuruh mengawasiku.

Saat aku sudah sampai di rumah, aku membuka kunci dan mendapati seseorang sudah duduk di dalamnya, menunggu kedatanganku. Dia menatapku dengan pandangan mata tajam, seolah-olah tujuan hidupnya adalah untuk mengawasiku. Aku sama sekali tidak terkejut keberadaannya di rumahku yang aku yakin sudah kunci pintunya tadi pagi.

"Gue nggak butuh diawasin," ucapku dengan wajah tidak senang sambil meletakkan barang-barangku seadanya di kursi.

"Butuh atau nggak, itu bukan urusan gue," jawab cowok yang sampai sekarang tidak kuketahui namanya itu. "Gue di sini cuma karena Boss yang nyuruh. Dia nggak mau elo bikin kesalahan lagi."

Lagi? Apa maksudnya?

"Dan gue juga nggak perlu ngelapor sama lo kerjaan gue setiap harinya," jawabku ketus. "Pulang sekarang. Gue sendiri yang bakal ngelapor sama Boss."

Cowok itu terdiam lama, sebelum akhirnya keluar dari rumahku. Aku menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya percuma saja. Kalaupun hari ini cowok itu pergi, besok-besok Jai pasti akan mengutusnya, atau mungkin orang-orang yang berbeda, untuk kembali mengawasiku. Jai memang memiliki lusinan orang-orang yang bisa dia utus ke sana ke mari.

Aku berusaha tidak memikirkan apa-apa lagi dan bersiap-siap tidur. Namun, setelah membersihkan diri dan meletakkan diriku sendiri di atas kasur, pikiranku kembali terbayang pada semua yang terjadi ada hidupku, mulai dari masa kecilku, kenyataan yang Ayahku ceritakan kepadaku, sampai misi yang sedang kujalani sekarang ini. Meskipun aku masih berkomitmen pada rencana ini, tetap saja, sebuah pertanyaan besar selalu ada di benakku. Apakah aku benar-benar dapat menyelesaikan misi ini sesuai rencana kami?

Ya Tuhan. Life sucks.