Chereads / Kembalinya Masa Lalu / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

POV : Calvin

"Kalo mau cewek lo selamat, lo tahu harus kemana bersama siapa. Kalo nggak, jangan harap bisa nemuin cewek lo dengan keadaan utuh!"

"Vin, jangan kemari, Vin. Dia udah gila. Selamatin yang lainnya. Aku…!"

Apa-apaan ini? Aku ada dimana? Siapa yang sedang berbicara denganku?

Aku merasa kebingungan dan tanpa arah. Pijakan kakiku rasanya tidak stabil dan rasanya aku bisa pingsan kapan saja. Aku juga tidak tahu saat ini aku ada di mana. Tempat ini terlihat seperti sebuah gudang terbengkalai, tapi aku tidak yakin. Aku melihat tanganku yang saat ini sedang terluka dan berlumuran darah. Dan benda apa yang sedang kupegang? Ini kan tongkat baseball yang sudah dililit besi di sekelilingnya. Kalau sampai benda itu mengenai kepala seseorang, aku jamin orang itu pasti langsung tewas. Kenapa aku bisa memegang senjata seberbahaya ini?

Aku juga tidak tahu kemana aku sedang melangkah, tetapi kakiku menuntunku ke sebuah cewek yang sedang terlentang tidak sadarkan diri. Dari posisinya yang tidak wajar dan banyaknya darah yang menggenang di lantai, sepertinya cewek ini sudah tewas. Dan, oh Tuhan, sepertinya cewek ini juga dilecehkan, dilihat dari darah yang mengalir dari pahanya. 

Tunggu, kenapa cewek ini terasa familiar?

Kenapa semua ini rasanya begitu familiar?

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi hatiku terasa sakit, benar-benar sakit sampai aku tidak bisa bernafas. Aku bisa merasakan diriku berteriak dengan perih di detik berikutnya, begitu keras sampai segalanya terasa gelap.

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Saat ini aku sedang berada di kamarku yang tidak seberapa luas dan hanya ada aku, tidak ada siapa-siapa. Tidak ada cewek malang yang sepertinya sudah tewas dan diperkosa. Semuanya tampak tenang dan damai.

Tetapi hatiku tidak merasa seperti itu.

Hatiku berdebar dengan kencang mengingat mimpiku, yang saat ini pelan-pelan sudah memudar dari ingatanku. Aku berusaha mengingat sebisanya. Aneh. Kenapa aku bisa mimpi seperti itu? Benar-benar mimpi yang mengerikan. Aku sudah terbiasa mimpi yang aneh-aneh, seperti kilasan-kilasan film pendek yang tidak memiliki arti yang jelas. Malam ini pertama kalinya aku mengalami mimpi yang begitu terstruktur dan rasanya benar-benar… nyata. 

Aku jadi kepikiran. Jangan-jangan mimpi itu bagian dari masa laluku yang sudah kulupakan?

Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin hidupku sekompleks itu. Tidak mungkin aku bisa berhadapan dengan kondisi dimana aku menemukan cewek tidak bernyawa yang juga sudah diperkosa. Tidak mungkin. Mungkin aku hanya terlalu stres dan otakku sedang ingin bermain-main dengan imajinasiku.

Aku membuka ponselku yang sengaja kututup untuk menghemat baterai dan data. Sudah nyaris pagi. Aku menghembuskan nafas. Aku memang bukan orang yang terbiasa bangun pagi. Soalnya, kalau aku kurang tidur, kepalaku selalu pusing seharian. Tampaknya hari ini itulah yang akan terjadi.

Menyadari sudah terlalu mepet untuk kembali tidur, aku memutuskan untuk lari pagi, sesuatu yang sangat jarang kulakukan. Lampu jalanan masih menyinari jalan perumahan kami saat aku memulai langkahku. Semuanya masih terdengar sepi di sekitarku, sesuatu yang wajar berhubung semua orang masih tidur, kecuali sebagian kecil orang yang memang harus bangun pagi-pagi untuk bekerja, seperti tukang sayur di sekitaran pasar di dekat rumahku yang saat ini sudah tampak sibuk membawa barang dagangannya. 

Selain itu, tidak terlihat siapa-siapa di jalanan yang sepi ini.

Mungkin karena semuanya terlalu senyap, aku menjadi sensitif dengan lingkungan sekitarku. Dari tadi aku terus merasa ada orang yang mengintaiku, tetapi di saat aku melihat sekeliling dengan seksama, termasuk di belakangku, aku tidak melihat siapa-siapa. Terus seperti itu untuk beberapa waktu lamanya, sampai akhirnya terlihat seseorang di belakangku. Orang itu juga sedang berlari kecil, tetapi dari penampilannya, terlihat sekali dia tidak berniat untuk berlari pagi. Maksudku, orang yang lari pagi biasanya akan memiliki celana olahraga, atau minimal celana kain yang nyaman dipakai untuk berlari ditambahkan dengan sepasang sepatu olahraga, bukannya menggunakan celana pendek yang terbuat dari jeans dan sandal sepit.

Jangan-jangan orang ini sengaja mengikutiku?

Aneh, Aku tidak merasa pernah melakukan apa-apa sampai harus diikuti. Mungkin orang ini cuma usil. Atau mungkin juga, memang dia sedang ingin lari pagi, cuma salah memilih kostum.

Namun, sepertinya dugaan terakhirku tidak benar. Saat aku memilih jalur yang sulit dilewati untuk kegiatan lari pagi, orang itu terus mengikutiku, meskipun dari jauh. Perasaanku semakin tidak benar saja. Karena itulah, di sebuah persimpangan, aku sengaja berhenti dan menunggu orang itu lewat. 

Aku berhasil melihat jelas sosok orang itu. Cowok, sedikit lebih tinggi dariku, berkulit gelap dan berambut gondrong. Karena masih gelap, plus dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya dan masker hitam yang dia pakai, aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. 

"Kenapa kamu ngikutin saya dari tadi?"

Cowok itu tampak terperanjat saat aku bersuara dari belakangnya. Dengan gerakan refleks, dia mengambil pisau lipat yang disimpan di saku celananya. Aku mengerutkan dahi. Siapa sebenarnya orang ini? Apa dia berniat merampok atau apa?

Yah, bukannya aku takut. Begini-begini, aku berlatih boxing dari waktu ke waktu. Aku cukup yakin bisa membela diri sendiri, apalagi saat ini aku baru selesai berolahraga, jadi adrenalinku sedang tinggi-tingginya.

Cowok itu mengayunkan pisaunya dan aku mengelak dengan mudah. Aku memiting pergelangan tangannya dan berhasil menekannya ke lantai. "Siapa kamu? Kamu mau apa?"

Cowok itu berusaha melepaskan diri, dan dengan tangannya yang memiliki sedikit ruang gerak, dia melempar pasir ke arahku, membuat penglihatanku menjadi tidak jelas. Untungnya aku sudah melempar pisaunya jauh-jauh, kalau tidak, bisa jadi dia mengambil kesempatan itu untuk menikamku atau apalah. Sebenarnya, meskipun tanpa pisaunya, dia bisa saja mengambil kesempatan dalam kesempitan dan menghajarku sampai babak belur. Tetapi, alih-alih melakukan itu, dia malah kabur. Mungkin karena takut dilihat oleh warga sekitar sini.

Heran. Sepertinya lingkungan di sekitar kami yang terkenal aman mulai rawan.

Aku kembali ke rumah sekitar jam enam. Saat aku sampai, Mamaku sudah bangun dan sibuk menyiapkan sarapan bagi kami. Suasana rumah kami selalu ramai setiap pagi, karena kami semua rata-rata harus bersiap-siap keluar rumah. Keluarga kami terdiri dari empat orang, yaitu kedua orangtuaku, aku, dan juga adikku, Susan. Di antara kami semua, hanya Papaku yang tampak santai-santai saja setiap pagi tanpa khawatir akan telat masuk kantor. Bukan karena dia tidak bekerja, melainkan karena pekerjaannya tidak memerlukannya pergi ke kantor dan bisa dilakukan dari rumah. 

Mamaku sendiri sampai saat ini masih bekerja. Jarak usia antara Papa dan Mamaku tergolong cukup jauh, sepertinya sekitar sepuluh tahun. Meskipun begitu, mereka tampak cocok-cocok saja. Keduanya memiliki sifat yang sama, yaitu workaholic. Keduanya sama-sama suka bekerja, bahkan dulu gosipnya, mereka bertemu karena bekerja di tempat yang sama. 

"Sepertinya daerah sekitar sini makin nggak aman, ya," ujarku saat aku melangkah masuk.

Mamaku mengernyitkan dahi. "Kok kami bilang gitu?"

"Tadi sepertinya ada yang berusaha ngerampok aku gitu. Sampai bawa pisau segala," laporku. "Bahaya banget, kan."

Mamaku langsung memeriksa keadaanku. "Terus kamu nggak pa-pa?"

Aku menggeleng. "Aku nggak pa-pa. Orangnya udah kabur duluan sebelum sempat ngelakuin apa-apa. Yah, anggap aja kali ini aku beruntung."

Mamaku terdiam untuk beberapa lama. "Kalian harus hati-hati. Sepertinya keadaan makin nggak aman di luar sana."

Papaku yang baru keluar dari kamar bergabung dengan percakapan kami. "Apanya yang nggak aman?" tanyanya. "Kamu kenapa? Kok matanya merah gitu?"

"Tadi pas aku lagi lari pagi, ada orang usil yang kayaknya pengen rampok aku. Sampai bawa pisau, malah. Pas kami berdua lagi berlawanan, dia lempar pasir ke muka aku. Makanya mataku jadi merah begini," aku menjelaskan.

Aku memperhatikan Papa dan Mama saling bertatapan untuk beberapa saat, sebelum Papa berkata, "Mulai sekarang, kalian jangan jalan sendiri saat hari gelap. Terlalu berbahaya," katanya. "Kamu dengar, kan, Susan?"

Susan sedang mencermati pembicaraan kami mengangguk. "Iya. Susan juga udah standby semprotan lada setiap saat. Jadi harusnya aman."

Beberapa saat kemudian, kami semua sudah selesai sarapan. Papaku yang berada di rumah ditugaskan untuk membereskan semua piring dan lainnya, sedangkan kami semua mulai keluar rumah. Aku menggunakan motorku, dan Mama mengantar Susan ke sekolah dengan mobil keluarga kami.

Di saat aku dan Susan sedang berjalan keluar, aku melihat Papa dan Mama tampak sedang berbisik, membicarakan sesuatu yang serius.

"Mereka lagi bicara apaan tuh?" Ternyata Susan juga melihatnya.

Aku mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin lagi bahas kapan kamu gedenya. Udah lama kamu jadi bocil."

Susan memandangku sewot. "Atau mungkin lagi ngebahas kamu kapan ngenalin Kak Lisa sebagai calon menantu mereka."

Calon menantu? Aku menaikkan alis. "Yang bener aja, bro. Masa umur segini aku udah disuruh nikah?"

Susan cengengesan. "Lah, bisa aja kan."

Tapi yang Susan katakan bukannya tidak beralasan. Sudah untuk beberapa tahun lamanya kedua orangtuaku, juga adikku yang masih belum gede ini, menyuruh aku dan Lisa berpacaran saja, meskipun kami berdua sudah lebih dari satu kali menjelaskan bahwa kami berdua hanya berteman dan tidak mungkin akan menjadi pasangan. Yah, harus kuakui, hubungan aku dan Lisa memang berjalan baik. Lisa sering main ke rumahku, menjadi teman mengobrol yang baik bagi kedua orang tuaku sekaligus menjadi teman bergosip dengan Susan, sedangkan aku juga sering kali mampir ke warung minuman yang dimiliki oleh kedua orangtua Lisa. Aku tidak heran jika ada yang menyangka kami berpacaran.

Setelah itu, aku pergi ke kantor untuk bekerja seperti biasanya. Tidak ada yang menarik selain dari pekerjaan yang itu-itu saja. Aku sempat menceritakan soal kejadian tadi pagi kepada Lisa yang langsung mencak-mencak saat mendengarnya.

"Lo nggak lapor polisi?" protesnya.

Aku menggeleng. "Nggak. Toh gue nggak kenapa-napa. Gue laporin sama RT setempat doang."

Lisa mengangguk pelan. "Setidaknya lo udah lapor sama pihak berwajib."

Aku mengangguk juga, lalu mengangkat ujung bibirku. "Untung aja lo narik gue belajar boxing. Kalo nggak, bisa berabe tuh tadi," kataku. "Tapi berhubung dia memilih nggak nyerang gue saat gue lagi lengah, mungkin aja dia cuma bocah yang lagi usil."

"Atau mungkin dia emang lagi ngetes kemampuan lo." Lisa mengucapkan kata-kata terakhir itu dengan suara rendah, seolah-olah sedang berbisik pada diri sendiri.

"Hah? Untuk apa?" Aku mengernyitkan dahi.

Lisa tampak terbangun dari lamunannya saat mendengarku. "Hah? Nggak, gue lagi ngelamun aja," dia menggelengkan kepalanya. "Yang penting lo baik-baik aja deh, Mungkin lo harus berlatih lebih rajin lagi bro, biar next time, kalau aja kejadian kayak begini, lo bisa penyetin orang itu saat itu juga."

"Penyetin?" Aku tertawa mendengar pilihan katanya. "Lo pikir mereka ayam?"

Lisa tertawa juga, namun kali ini tidak terdengar natural. Sebagai orang yang mengenalnya, aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Sama seperti kedua orangtuaku yang berbisik-bisik begitu mendengar ceritaku tadi pagi.

Oke. Ini rasanya aneh.

***

Hari demi hari berlalu dengan cepat.

Tidak terasa, kelas semester pendek kami sudah selesai, dan kami sudah memasuki semester baru. Ini artinya, tidak ada lagi hari libur dimana aku bisa bersantai-santai di ruang musik seperti yang tempo hari aku lakukan bersama dengan Lidya.

Omong-omong soal Lidya, belakangan ini kami menjadi dekat. Berkat hobi kami yang sama itu, kami jadi sering nongkrong di studio musik. Berkatnya, lirik laguku saat ini sudah nyaris selesai dan aku sedang mempertimbangkan apa yang akan aku lakukan dengannya saat selesai nanti. Apakah lebih baik aku jual saja atau aku coba nyanyikan sendiri?

Belakangan, kurasa berkat pengaruhku juga, Lidya tampaknya juga tertarik membuat lagu sendiri. Dia sudah menyusun beberapa konsepnya, meskipun sering bentrok dengan isi kepalanya sendiri, tampaknya dia cukup serius dengan minatnya itu.

"Kok kalian tahu-tahu jadi deket?"

Aku yang sedang fokus dengan pempek yang ada di hadapanku mendongakkan kepala dan mendapati teman-temanku, yang terdiri dari Kei, King, Queen, dan Lisa sedang menatapku dengan pandangan kepo. Aku menoleh ke samping dan melihat Lidya juga sedang menerima tatapan yang sama.

"Maksudnya?" Lidya tampak tidak mengerti apa maksud mereka, dan jujur saja, aku juga tidak.

"Lo sama Lidya. Kok tahu-tahu udah deket? Duduknya barengan. Makan dan minumnya pun sama."

Aku mengangkat alis. Yah, memang benar sih. Biasanya, setelah selesai di studio musik, aku dan Lidya bakal ke kantin buat makan malam. Entah bagaimana caranya, lama-kelamaan, kami jadi pesan menu yang sama. 

"Guys, yang pesen makanan dan minuman yang sama di seluruh kantin ini kan banyak. Nggak muluk-muluk gue deket sama mereka semua, kan?"

"Bukan cuma itu, bro," kata Kei. "Dari tadi kalian berdua cuma ngomong satu sama lain sementara kami berempat didiemin kayak kambing congek."

"Kalian nggak diem. Dari tadi kalian bahas soal drama korea yang baru tayang itu. Jangan kira gue nggak merhatiin ya," sergahku.

Kei terdiam, sementara Queen menyahut. "Yah, intinya kalian cuma fokus berdua saja sejak dari tadi kita ada di sini. Jangan-jangan, kalian udah pedekate diem-diem ya? Kok kami nggak tahu?"

Lidya mengibaskan tangan. "Nggak kok. Kami nggak pedekate," dia menyanggah secepat mungkin. "Kami cuma lagi ngomongin lagu kami aja."

"Lagu kalian? Sejak kapan kalian nulis lagu bareng-bareng?" Lisa tampak kepo.

"Kami sempat ketemu beberapa kali di ruang musik pas lagi nggak ada kelas semester pendek," jawabku santai. "Ini kenapa semuanya jadi pada kepo ya?"

"Bukannya kepo, tapi perhatian," King yang sedari diam saja juga ikut-ikutan. "Siapa tahu lo akhirnya berhasil mematahkan kutukan itu."

"Kutukan apa?" Lidya tampak bingung.

"Kutukan jomblo seumur hidup," Kei nyengir. "Ini anak kabarnya nggak pernah pacaran semenjak lahir."

Lidya tampak terkejut. "Serius?"

Sial, kenapa jadi aku yang dibahas seperti ini? "Nggak tahu. Kata anak ini sih nggak pernah," aku menunjuk Lisa.

"Lah, kok malah nunjuk-nunjuk gue?" Lisa protes.

"Kan elo sahabat gue dari jaman purba. Dan elo sendiri yang bilang gue belum pernah pacaran dari kecil sampai sekarang."

Lidya tampak semakin kebingungan. "Kenapa Lisa bisa tahu kamu sudah pernah pacaran atau nggak? Memangnya kamu sendiri nggak tahu?"

"Nggak." Aku menggeleng. "Pas aku SMA, aku mengalami kecelakaan dan amnesia. Aku nggak ingat semua yang terjadi sebelum kecelakaan itu. Karena Lisa ini udah temenan sama aku sejak SMA, jadi, sumber informasiku ya si manusia ini."

"Kamu amnesia?" Mata Lidya membulat. "Serius?"

"Memang kok." Keempat orang yang berada di depanku mengangguk dengan kompak. "Memangnya kamu nggak tahu?"

Lidya hanya menggeleng dalam diam.

"Jadi kamu bener-bener nggak ingat kejadian sebelum kecelakaan itu?" tanyanya padaku.

"Nggak sama sekali," aku menggeleng. "Aku aja nggak tahu gimana bisa kecelakaan. Katanya sih kecelakaan motor."

Lidya hanya menatapku tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, seolah-olah tidak menyangka yang namanya amnesia itu beneran ada, dan saat ini penderitanya berada di depan matanya.

"Udah, nggak usah syok gitu. Emang kedengarannya heboh, tapi biasa aja kok. Buktinya aku masih sehat-sehat aja sampai sekarang. Aku bahkan bisa lulus SMA tepat waktu," kataku berusaha menenangkan situasi.

"Jangan lupa itu berkat siapa." Lisa membusungkan dadanya dengan bangga. "Jangan lupakan siapa yang paling rajin ngasih kamu pelajaran tambahan setiap hari setelah pulang sekolah."

Aku tertawa kecil. "Iya, iya. Nggak bakal lupa deh. Pokoknya gue berhutang nyawa sama lo."

"Wah, berhutang nyawa kayaknya terlalu berat. Berhutang Starbucks seumur hidup kedengarannya lebih oke," jawab Lisa pongah. 

"Mau diabetes lo?"

"Kan nggak tiap hari kali gue minumnya. Seminggu tiga kali masih oke."

"Pantesan lo latihan. Kebanyakan gula bisa bikin gemuk. Kalo nggak rajin olahraga, bisa-bisa lemak lo jadi bertumpuk," celetuk Kei tiba-tiba.

"Tapi King nggak suka gula, tetep aja latihan kayak nggak ada hari esok," aku menyahut. 

"Lah, kok jadi gue ikut-ikutan?" King protes. "By the way, gue emang nggak suka gula, juga nggak suka kopi. Minuman favorit gue itu teh tawar. Selain murah meriah, teh paling ampuh buat nenangin diri. Teh itu minuman yang punya unsur Zen yang paling kuat."

"Ngiklan, bro?" Aku menaikkan alis.

King nyengir. "Iya, lagi latihan. Lagi disuruh bikin campaign buat event kampus yang berikutnya, soalnya."

"Kampus kita mau ngadain event lagi?"

"Iya," jawab King. "Event untuk Halloween night."