POV : Lisa
Hari itu, hampir saja hubunganku dengan Brandon ketahuan.
Eits, jangan salah paham dulu. Aku bukan simpanan maupun selingkuhannya. Amit-amit. Aku dan Brandon, atau yang seharusnya kupanggil Kak Brandon, sudah saling mengenal enal sejak aku lahir. Dia sudah ada di sana saat aku pertama kali jatuh saat bermain dengan bocah-bocah di taman waktu aku berumur tiga atau empat tahun. Dia yang selalu memomongku untuk tidur setiap kali aku mimpi buruk saat aku masih kecil. Dia juga sudah entah berapa kali mengantarku pergi dan pulang sekolah mulai dari TK sampai dengan SD. Bahkan, luka bekas knalpot yang ada di betisku juga berasal dari motornya.
Kalau kalian mengira dia adalah kakakku, kalian hanya benar separuh. Kak Brandon adalah kakak angkatku. Alasan kami bisa menjadi saudara angkat, biarlah itu menjadi cerita di lain kesempatan. Intinya, aku sudah mengenal Kak Brandon selama sepanjang hidupku, dan kemungkinan besar untuk sisa umur hidupku pula.
Kak Brandon adalah seseorang yang sangat loyal dan selalu melindungi orang-orang terdekatnya. Aku tidak akan membicarakan bagaimana dia melindungi Kak Yuna yang sekarang ini menjadi istrinya saat hubungan mereka baru mulai serius nyaris satu dekade yang lalu, tapi ketahuilah bahwa kejadian itu sangat intens dan sekaligus membuktikan kepada semua orang bahwa Kak Brandon sangat mencintai istri dan anaknya dan akan selalu melindungi mereka.
Namun, bukan hanya istri dan anaknya yang Kak Brandon lindungi. Dia juga melindungiku, adik angkat yang sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengannya, dengan segenap nyawanya. Karenaku, dia bersedia menjalani misi untuk melindungi orang yang tidak ada hubungannya dengannya. Berkat misi itu pula, kami berdua harus berpura-pura tidak saling mengenal di depan orang lain. Terutama Calvin.
Sayangnya, orang dewasa seperti kami bisa berpura-pura, namun anak-anak tidak. Chris, anak dari Kak Brandon dan Kak Yuna langsung menghamburkan diri kepadaku begitu melihatku. Aku tahu kedekatanku dengan Chris akan mengundang pertanyaan bagi teman-temanku lantaran setahu mereka, kami tidak saling berhubungan dan intensitas interaksiku dengan Kak Brandon dan juga anaknya itu sama dengan mereka. Untung saja aku dan Kak Brandon merupakan orang yang jago improvisasi, jadi kami bisa menjawab rasa penasaran mereka dengan mudah.
Aku melirik Calvin dengan kesal saat dia mengatakan aku cewek separuh cowok. Sialan anak itu. Apa dia tidak tahu apa yang sudah kulakukan untuknya semenjak kami baru kenal dari SMA sampai dengan sekarang? Tega-teganya dia mengatakan hal seperti itu. Tapi ya sudahlah. Aku dan Calvin sudah cukup dekat untuk tidak mudah tersinggung setiap kami saling mengejek. Seperti yang sudah kubilang, kami sudah saling mengenal sejak SMA dan sudah melalui banyak peristiwa bersama, meskipun Calvin tidak mengingat sebagian besar peristiwa itu.
Yah, ada bagusnya juga sih dia tidak ingat. Sebagian dari peristiwa itu terlalu memilukan untuk tetap berada di kenangan seseorang.
Banyak orang yang mengira aku dan Calvin pacaran. Bahkan teman-temanku juga awalnya mengira begitu, sampai kenyataan membuktikan bahwa dugaan mereka salah. Tapi harus kuakui, aku dan Calvin terkadang memang terlalu dekat sampai-sampai orang bisa salah paham. Bahkan menurut beberapa gosip, ada beberapa orang yang ingin mendekatiku namun tidak jadi lantaran mengira aku sudah pacaran dengan Calvin. Yah, aku sih tidak menyalahkan siapa-siapa atas situasi ini. Aku dekat dengan Calvin karena aku ingin dan harus menjaganya. Itu adalah janji yang sudah kubuat untuk diri sendiri dan juga beberapa orang tertentu.
Aku tidak menyukai Calvin. Setidaknya, sekarang tidak lagi. Aku dulu pernah menyukainya saat SMA, namun hubungan itu bertepuk sebelah tangan lantaran saat itu dia sudah jatuh cinta dengan orang lain. Namun berhubung itu hanya cinta monyet biasa, aku berhasil move on dengan mudah. Meski harus kuakui terkadang aku masih sering deg-degan saat dia memboncengku kemana-mana beberapa waktu yang lalu, terkadang suka jealous kalau ada cewek-cewek yang pedekate dengannya, dan aku juga selalu mengkhawatirkan keberadaannya setiap kali kami tidak berada di satu tempat yang sama.
Sial, kenapa kedengarannya aku masih suka padanya?
Terserah, deh. Pokoknya, apapun perasaanku kepadanya, itu tidak penting. Yang paling penting sekarang adalah misiku bersama Kak Brandon, yaitu menjaga Calvin dari masa lalu yang aku yakin akan menghantuinya, entah sekarang ataupun di masa depan.
"Vin, nyanyi dong. Udah lama banget sejak kami denger suara lo." Karena bosan, aku menyikut lengan Calvin dan menyuruhnya bernyanyi. Sebenarnya lucu kalau dipikir-pikir. Saat masih SMA, sebelum mengalami peristiwa itu dan kehilangan ingatannya, Calvin tidak bisa bermusik ataupun bernyanyi sama sekali. Suaranya saat berbicara terdengar oke, tapi selalu cempreng setiap kali dia menyanyikan nada apapun. Selain itu, dia sendiri juga tidak pernah tertarik mempelajari musik. Bukan hanya musik. Dia tidak berminat terhadap kesenian sama sekali, mulai dari seni musik, seni rupa, seni tari, sampai seni teater. Nilainya di mata pelajaran itu selalu pas-pasan. Anehnya, setelah kehilangan ingatannya, tahu-tahu dia menjadi seorang genius musik yang bisa memainkan berbagai jenis alat musik, bisa bernyanyi, dan sekarang bahkan bisa membuat lagu sendiri.
Calvin melihat ke sekeliling cafe. "Gila. Di depan umum begini? No, thank you."
Aku mendecak, ingin menghasut Calvin lagi, tapi kelihatannya yang lain juga mendukung ideku. Queen ikut menambahkan, "Ayolah, Vin. Itung-itung lo buang stres. Udah sumpek kan lantaran belum nemu topik skripsi yang cocok?"
Dasar Queenie. Kenapa dia harus menyinggung topik yang menyebalkan itu?
Aku menggendong Chris yang berjalan dengan kakinya yang imut ke arahku. "Chris, mau denger Oom Calvin nyanyi?"
Calvin langsung protes. "Kenapa dia manggil lo 'Kak' tapi manggil gue 'Oom'?"
Aku mengangkat alis. "Yang begituan nggak perlu dijelasin kan, bro?"
Calvin mendecak kesal, sementara Chris mengangguk dengan semangat. "Mau!" Dia mengangkat kedua tangannya.
"Nah, tuh, yang ulang tahun udah minta loh. Cepeten nyanyi. Panggungnya ada di sebelah sono."
"Dia mau juga karena elo yang ngehasut," ucap Calvin sambil memelototiku. "Kalo dikasih mainan yang lain juga lupa."
"Sayangnya enggak," jawab Kak Yuna, istri Kak Brandon yang malam ini tampak cantik benar seraya mendekati kami. "Belakangan ini, kalau dia udah mau sesuatu, dia nggak bakal berhenti sampai dapat. Sepertinya kamu emang udah harus manggung hari ini, Calvin."
Calvin memandang kami semua dengan pandangan ragu, tetapi pandangan itu tampak menghilang saat Lidya berucap, "Mau duet sama aku?"
Calvin langsung tampak tertarik mendengarnya. "Serius?"
Lidya mengangguk dengan semangat. "Yeah."
"Memangnya mau lagu apa?"
"Lagu kita aja."
Lagu kita? Sejak kapan mereka punya lagu bersama?
Calvin tampak ragu sebentar, lalu mengangguk. "Oke."
Mereka berdua lalu berjalan mendekati panggung dan membuat gestur kepada Kak Brandon bahwa mereka ingin menggunakan pentas itu untuk beberapa waktu. Kak Brandon langsung setuju tanpa berpikir.
Dan jadilah mereka benar-benar tampil sesuai ideku. Tampak semua orang menikmati performance mereka yang tiba-tiba. Lagu yang mereka nyanyikan, sama seperti ratusan juta lagu yang pernah diciptakan di dunia ini, bertemakan tentang cinta. Aku melihat Kak Brandon dan Kak Yuna menatap satu sama lain dengan penuh cinta saat mendengar lagu mereka, sama seperti sebagian pasangan yang datang ke tempat ini. Termasuk Calvin dan Lidya yang saat ini sedang ada di atas panggung, meskipun mereka bukan pasangan.
Sial, kenapa mereka tampak semakin dekat? Dan kenapa mereka tampak semakin serasi dari hari ke hari?
Memang aku yang menyuruh Calvin untuk bernyanyi tadi, tapi perkembangan situasi ini membuatku tidak nyaman.
***
Hubungan Calvin dan Lidya tampaknya semakin dekat belakangan ini. Ya, bukannya aku tidak menyadari itu sih. Aku menyadari Lidya lebih banyak berbicara kepada Calvin dibandingkan yang lainnya, dan Calvin juga tampak lebih banyak membuka mulut semenjak kedatangan Lidya. Kabarnya sih mereka sering menghabiskan waktu di minat mereka yang kebetulan sama, yaitu musik. Aku belakangan baru mengetahui bahwa Lidya juga membantu Calvin menyelesaikan lagunya. Pantas saja waktu itu di acara ulang tahun Chris, dia menyebutnya sebagai lagu mereka.
Sebenarnya mereka tampak serasi. Aku sudah bisa melihat itu dari hari pertama aku berkenalan dengan Lidya. Lidya tampak seperti cewek yang waras dan tidak aneh-aneh, sesuatu yang kurasa Calvin inginkan dari pujaan hatinya kelak. Aku juga sudah menyuruh Calvin mendekati Lidya di hari berikutnya dan waktu itu Calvin menolak mentah-mentah.
Namun, kurasa kalau saat ini aku menyuruhnya sekali lagi, dia tidak akan menolak lagi, melainkan hanya terdiam malu-malu.
Aku tidak akan malu mengakui ini, tetapi saat kami baru pertama kali mengenal Lidya, aku menaruh curiga padanya. Yah, sebenarnya bukan pada Lidya saja sih. Aku menaruh curiga yang sama pada orang-orang baru yang aku dan Calvin kenal. Orang-orang yang termasuk King, Queen, Kei, dan juga rekan-rekan kerja kami di kantor. Untunglah setelah diperiksa, mereka memang hanya anak-anak baru gede biasa. Kalian pasti merasa bingung kenapa aku harus melakukan ini, tapi kalau kalian harus maklum bahwa masa lalu Calvin agak-agak kelam. Baik aku maupun keluarga Calvin merasa bahwa terlepas dari apa yang sudah terjadi bertahun-tahun lalu, semuanya belum benar-benar selesai. Suatu saat nanti, pasti akan ada yang datang untuk membuat perhitungan dengan kami semua, termasuk aku.
Karena itulah aku benar-benar menjaga Calvin. Karena itulah aku selalu dekat dengannya di kampus dan bahkan bela-belain untuk bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Karena itulah aku selalu memastikan di lingkungan kami tidak ada orang-orang mencurigakan yang asal-usulnya tidak jelas.
Meskipun curiga pada kemunculan Lidya yang tiba-tiba, setelah aku menyuruh Kak Brandon memeriksanya, semuanya tampak baik-baik saja. Maksudku, sepertinya dia berasal dari keluarga yang cukup malang, dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Queenie yang merupakan kakak kelas sekaligus teman baiknya pada saat SMA dulu. Kabarnya, orangtua Lidya sudah meninggal sejak kecil dan semenjak itu dia tinggal di panti asuhan sampai cukup besar untuk mencari penghasilan sendiri. Karena yakin pada hasil investigasi Kak Brandon, aku tidak memikirkan terlalu banyak soal Lidya untuk beberapa waktu.
Sampai hari itu.
Waktu itu sedang hari Minggu. Karena tidak punya kerjaan, aku menemani Susan, adik Calvin yang sudah dekat denganku untuk shopping gaun untuk dikenakan pada acara perayaan Natal di sekolahnya. Aku tidak tahu bahwa sekolah zaman sekarang memiliki perayaan seperti itu dimana murid-muridnya sampai bela-belain beli gaun segala. Seingatku, pada zamanku dulu, untuk merayakan setiap hari raya, sekolah kami hanya menyelenggarakan pertandingan olahraga dari pagi sampai sore. Zaman memang sudah berbeda.
Aku memang sudah dekat dengan adiknya Calvin. Sebenarnya bukan hanya adiknya, aku bahkan dekat dengan seluruh keluarganya. Papa Calvin bernama Om Peter dan mamanya bernama Tante Clara. Om Peter masih tergolong berkharisma untuk pria seusianya. Badannya yang besar ditambah dengan jenggotnya yang memutih sedikit mengingatkanku pada Sylvester Stallone, dan Tante Clara yang tingginya tidak kalah dari anaknya selalu tampak elegan dan berwibawa, mengingatkanku pada Angelina Jolie. Meskipun jarak usia diantaranya cukup jauh, sepertinya sekitar satu dekade lebih, mereka tetap tampak serasi.
Aku sendiri sudah sering main ke rumah mereka, bahkan tidak jarang juga makan malam bersama mereka. Seperti kebanyakan orang, mereka mengira dan juga menyuruh aku dan Calvin untuk berpasangan, meskipun ide itu selalu kami tolak mentah-mentah setiap kali. Aku juga sering main bareng Susan, adik Calvin yang pelan-pelan beranjak dewasa. Saat ini dia sedang puber dan mengalami masa-masa yang labil, jadi Tante Clara merekrutku untuk menjadi sekutunya dalam membimbing Susan melewati masa-masa yang tidak jelas ini. Kami sering bergosip mengenai banyak hal, mulai dari artis Korea, rasa es krim favorit, sampai bagaimana caranya mengatasi rasa sakit yang berlebihan saat haid. Diam-diam aku iri pada kepolosan Susan. Di antara keluarganya, dia satu-satunya yang tidak terganggu oleh masa lalu mereka. Yah, mungkin Calvin sekarang juga tidak terganggu, tapi itu kan karena dia hilang ingatan.
Tapi ada bagusnya seperti itu. Susan masih terlalu muda. Lebih baik dia menjalani hidup normal seperti anak-anak lainnya, dibandingkan harus melalui sesuatu yang sulit seperti apa yang terjadi pada kakaknya.
Setelah menghabiskan beberapa jam memilih gaun yang cocok, aku dan Susan kembali ke rumahnya. Aku mengira aku akan menjadi satu-satunya tamu hari itu, tapi aku salah.
Saat Susan membuka pintu, aku melihat Om Peter sedang duduk di ruang tamu sementara Tante Clara sedang berada di dapur. Aku menyapa Om Peter dan pergi ke dapur untuk menyapa dan membantu Tante Clara, sementara Susan sudah naik ke kamarnya yang berada di lantai dua untuk meletakkan belanjaannya.
"Hai, Tante."
Tante Clara melirikku. "Oh, hai, Lisa. Bagus deh kalian udah nyampe rumah. Kita bisa makan bareng-bareng," katanya ramah. "Calvin juga ada di rumah. Dia bawa temen kalian tuh."
Teman kami? Siapa?
"Siapa, Tan?" aku bertanya bingung.
Tante Clara mengernyit. "Siapa ya namanya tadi? Lidya, kalau tidak salah."
Lidya? Kok dia bisa ada di rumah Calvin juga?
"Kamu kenal dia juga, kan? Kayaknya dia lagi dekat sama Calvin tuh," tambah Tante Clara. "Hati-hati loh. Nanti Calvin direbut orang," ucapnya sambil tersenyum meledek.
Aku memaksakan senyum. "Ah, Tante ada-ada aja. Kayaknya mereka berdua emang lagi deket sih." Memang benar. Calvin dan Lidya memang sedang dekat, bahkan lebih dekat daripada yang kuduga.
Aku lalu permisi kepada Tante Clara untuk naik ke lantai dua, dimana aku yakin Calvin dan Lidya berada. Sial, membayangkan mereka berdua sudah membuatku panas-dingin.
Saat aku menaiki tangga, aku melihat Calvin dan Lidya sedang turun.
"Hi, Lisa," sapa Lidya kepadaku.
Aku mengangguk. "Hi. Kok bisa ada di sini?"
"Dia kecelakaan motor tadi," Calvin yang menjawab. "Dia lagi mau belanja bulanan dan ojek online yang dia tumpangi tiba-tiba oleng dan jatuh."
Kecelakaan? Aku memperhatikan Lidya dan mendapati badannya memang lecet-lecet sedikit.
"Serius? Tapi kamu nggak kenapa-napa, kan?"
Lidya menggeleng. "Aku nggak papa. Cuma luka-luka kecil. Untungnya Calvin berhasil dateng dalam waktu singkat."
Aku menoleh kepada Calvin yang menjawab, "Untungnya kamu cukup bijak untuk nelpon aku di saat-saat genting seperti itu."
Hmm, jadi hal pertama yang Lidya lakukan setelah kecelakaan adalah menelepon Calvin. Menarik juga.
"Aku sengaja bawa dia ke sini buat minjem bajunya Susan berhubung bajunya juga sobek sana-sini. Sesuai perkiraanku, ukuran baju mereka memang nggak beda jauh," Calvin memperjelas kepadaku.
Dari cara Lidya menuruni tangga, aku rasa kaki kirinya sedang terkilir.
"Apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter atau minimal tukang urut?" komentarku melihat kondisinya.
"Tuh kan." Calvin langsung menyahut dengan bersemangat seolah-olah mendapat sekutu baru dalam perang adu mulut. "Lisa yang biasanya sok keras aja bilang kamu seharusnya dibawa ke dokter."
"Hei," aku menyikutnya tidak senang. "Kenapa aku yang kena?"
"Sori, bro." Calvin menjawabku dengan cengengesan.
"Nggak papa, beneran. Aku bisa urut sendiri kok di kos nanti."
"Ternyata kamu lebih keras kepala dari Lisa," celetuk Calvin yang tentu saja kurespon dengan pelototan tidak senang.
"Ayo, semuanya makan dulu," ajak Tante Clara yang muncul dari belakang dapur sambil membawa semangkuk sup jagung. Aku spontan membantunya, dan aku melihat Lidya juga ingin membantu, hanya saja gerak-geriknya tidak nyaman dan Calvin menyuruhnya duduk manis saja.
Setelah menyiapkan semuanya di atas meja makan, semuanya, yaitu Om Peter, Tante Clara, Susan, Calvin, aku, dan Lidya duduk di meja makan rumah Calvin yang biasanya terasa lapang-lapang saja namun kini terasa agak sempit.
"Lisa ngekos di mana?" tanya Om Peter saat kami sedang makan.
"Saya di daerah Kamboja, Om," jawab Lidya sopan. "Agak jauh dari sini."
"Agak jauh juga dari kampus, ya," tambah Om Peter.
"Terus kamu pulang pergi kampus naik apa?" tanya Tante Clara.
"Terkadang pakai ojek online, Tante."
"Ah, ojek online terkadang agak berisiko," kata Tante Clara. "Buktinya aja kamu sekarang kecelakaan, kan?"
Lidya hanya tersenyum mendengarnya.
"Minta Calvin antar jemput aja," celetuk Om Peter tiba-tiba, membuat Lidya terdiam untuk beberapa saat. Sebenarnya aku juga, cuma aku berusaha tidak memperlihatkan reaksiku.
"Calvin udah sering antar jemput Lidya kok, Om," aku yang menjawab Om Peter, membuat semua orang menoleh kepadaku. "Biasa. Begitu ketemu cewek cakep, langsung dia nyari kesempatan."
Om Peter dan Tante Clara tertawa mendengar perkataanku, Lidya tersenyum malu-malu, Susan tersenyum kepadaku dengan penuh arti, dan Peter menatapku dengan pandangan kesal.
"Emangnya lo lupa? Pas pertama kali kita kenal sama Lidya, kamu juga yang nyuruh aku antar dia pulang," Calvin membela diri.
Aku mendecak. "Ah, siapa juga yang bisa maksa kamu kalau kamu nggak mau dari sananya?" ucapku dengan nada yang kuusahakan seriang mungkin.
Calvin terlihat ingin mendebat, tetapi mungkin dia merasa aku benar. Dasar. Aku kan sudah mengenal dia luar dalam. Memangnya bisa dia membohongiku?
"Oh ya. Setelah makan siang, Om dan Tante mau ke panti asuhan. Kalian jaga rumah, ya," kata Tante Clara.
Kami semua mengangguk dengan patuh. Setelah makan siang, aku menawarkan diri untuk beres-beres. Namun, meskipun aku sudah ke rumah itu entah berapa kali, menurut Tante Clara aku tetaplah tamu, dan menyuruh Susan untuk mengerjakannya juga.
"Terus sekarang kita ngapain?" tanya Susan saat sudah selesai mencuci piring dan kami berempat hanya plonga plongo tanpa melakukan apa-apa.
"Nonton film? Mumpung sekarang kita udah punya smart-TV," usul Calvin. Mungkin bagi sebagian orang, smart-TV merupakan hal yang wajar untuk dimiliki. Namun, berhubung aku sudah dekat dengan Calvin dan keluarganya sejak lama dan tahu histori mereka, aku tahu, bagi mereka, untuk memiliki benda elektronik yang cukup mahal seperti smart-TV ini, mereka harus menabung setidaknya untuk beberapa bulan.
"Boleh aja. Aku yang pilih." Susan langsung meraih remotenya seolah tidak ingin kalah.
Sesuai dugaanku, Susan memilih tontonan salah satu drama Korea kesukaannya. Aku sih fine-fine saja dengan drama Korea, tapi aku tahu Calvin tidak terlalu berminat dengan itu. Namun, karena tidak ingin banyak omong, dia diam saja dan hanya duduk manis di depan televisi.
Setelah sekitar tiga puluh menit menonton, tiba-tiba Lidya bilang dia harus ke toilet. Berhubung satu-satunya toilet yang bisa digunakan ada di lantai dua, Calvin menawarkannya tanpa banyak mikir.
"Oke, aku bantuin," ucapnya bego.
"Dasar goblok," ejekku tanpa basa-basi. "Dia kan cewek. Masa dibantuin sama cowok buat ke toilet?"
Calvin sepertinya baru menyadari kebodohannya sendiri dan hanya terdiam.
"Udah, aku aja. Kebetulan aku juga mesti ke toilet. Sakit perut nih," tawarku.
Calvin menyengir lebar. "Gara-gara kebanyakan makan, ya?"
Aku mengerling kepadanya dan dia langsung terdiam. Setelah itu, aku memapah Lidya menuju tangga dengan pelan berhubung yang bersangkutan memiliki pergerakan yang terbatas.
"Mau kamu dulu aja, Lis?" tanya Lidya.
"Kamu aja deh. Aku bakalan lama. Ditambah kamu gak bakal bisa nahan baunya nanti."
Lidya tersenyum sedikit mendengar jawabanku yang ceplas-ceplos itu dan masuk ke dalam toilet tanpa banyak cincong.
Setelah beberapa lama, aku pun juga sudah selesai dengan urusanku di toilet. Aku membuka pintu tanpa suara, kebiasaan yang kadang bikin orang jantungan, dan melihat sesuatu yang tidak kuduga-duga.
Aku melihat Lidya sedang berada di dalam kamar Om Peter dan Tante Clara. Dia tampak sibuk mencari-cari sesuatu, dan dari gelagatnya, dia sendiri tidak terlalu yakin apa yang harus dicari. Yang lebih parah lagi, gerakannya juga luwes, menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak terluka berat.
Aku menutup pintu toilet hingga menyisakan celah kecil untuk dapat mengamati Lidya yang masih saja mencari. Cewek itu cukup cekatan dan berhati-hati untuk tidak mengacaukan benda-benda atau tempat-tempat yang dia sentuh. Dia tampak kesal karena tidak menemukan apa-apa sebelum menutup pintu kamar orangtua Calvin yang memang tidak dikunci, mungkin karena lupa.
Aku cepat-cepat menutup pintu kamar mandi, berpura-pura tidak melihat Lidya sama sekali. Apa-apaan ini? Kenapa Lidya membongkar-bongkar kamar orangtua Calvin? Apa yang dia cari? Kenapa dia harus berbohong soal luka di kakinya? Apa dia sengaja memalsukan kecelakaan motor itu supaya bisa masuk ke rumah Calvin?
Aneh. Aku sebelumnya sudah pernah meminta Kak Brandon untuk mencari tahu asal usul Lidya, tapi kami tidak menemukan apa-apa. Benakku dipenuhi ratusan pertanyaan yang tidak kumiliki jawabannya. Atau lebih tepatnya, belum. Tapi tidak apa-apa. Aku akan mencari tahu lagi, dan aku akan mendapatkan jawabannya.
Siapapun Lidya dan apapun maunya, aku tidak akan memberinya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang buruk.