POV : Lisa
"Kak Brandon."
Hari minggu itu, aku sudah berada di rumah Kak Brandon pagi-pagi. Setahuku biasanya jam-jam segini Kak Brandon sudah bangun, tetapi sepertinya hari ini berbeda. Saat aku tiba, aku disambut oleh Kak Yuna yang langsung menawariku sandwich dan kopi yang baunya wangi sekali, sedangkan Kak Brandon kelihatannya masih berada di kamarnya.
Aku tertawa melihat Kak Brandon yang berbaring di atas tempat tidur, seolah-olah enggan untuk melepaskan diri dari tempat itu, sementara Chris, anaknya, berusaha membangunkan ayahnya dengan menarik-narik tangannya untuk turun dari tempat tidur. Lucu sekali. Aku dulu pernah melakukan hal yang sama pada Kak Brandon, di saat aku masih seumuran Chris dan Kak Brandon mungkin belum tamat kuliah.
Setelah beberapa menit kemudian, Chris akhirnya berhasil menggandeng Kak Brandon ke ruang tamu. Kak Brandon pun bersih-bersih sebentar dan duduk di sampingku sambil memangku anaknya.
"Jadi kenapa kamu pagi-pagi udah ke sini?" tanyanya sambil menyesap kopi yang dibuat oleh istrinya.
"Biasa, ada kerjaan," aku nyengir.
Kak Brandon melihatku tidak senang. "Ini kan hari Minggu."
Ya, tentu saja aku tahu ini hari Minggu. Sebenarnya aku juga ingin istirahat di rumah setelah bekerja dengan lebih selama satu minggu, ditambah sehari keluar bersama teman-temanku untuk membeli topeng untuk acara Halloween, namun ujung-ujungnya kami harus membuat topeng itu sendiri. Asal kalian tahu, membuat topeng, atau kerajinan tangan dalam bentuk apapun, itu tidaklah mudah. Contohnya saja, untuk memasukkan benang ke lubang jarum. Tangan kalian itu harus stabil layaknya ahli bedah dan pandangan tajam juga harus tajam layaknya elang.
Aku menghela nafas. "Aku tahu. Justru karena hari Minggu aku bisa bebas cari kalian. Kalau hari biasa, udah ketahuan dong sama anak-anak yang lain. Lagipula, cuma hari ini Kakak ada waktu kan?"
Kak Brandon mengetuk kepalaku dengan sendok kopi. "Kamu ini ya, setiap kali ke rumahku, selalu aja bawa kerjaan. Bukannya bawa kue atau buah-buahan. Emang kamu nggak tahu ya, kalau hari Minggu itu hari istirahat?"
Aku mengelus-elus kepalaku. "Tau," ucapku cemberut. "Sorry ya Kak udah ganggu waktu quality time kalian," ucapku pada Kak Yuna.
Kak Yuna tersenyum. "Nggak apa-apa kok, Lis. Kami seneng-seneng aja kamu ke sini, apalagi si bandel itu," katanya sambil menunjuk anaknya yang kini sudah duduk di pangkuanku.
"Jadi kamu butuh aku ngapain kali ini?" tanya Kak Brandon dari sampingku. Rupanya dia tahu juga alasan aku datang ke rumahnya pasti karena ada sesuatu yang penting.
"Aku butuh Kakak periksa asal usul seseorang."
"Siapa?"
"Lidya."
Kak Brandon menoleh. "Bukannya kita udah periksa dia sebelumnya?"
"Memang," jawabku. "Tapi belakangan ini gelagatnya agak aneh. Aku rasa ada sesuatu yang nggak beres."
Wajah Kak Brandon tampak mengeras. "Ya udah. Ayo, kita ke ruang officeku aja."
Aku menitipkan Chris kepada Kak Yuna, lalu menyusuli Kak Brandon. Kami memasuki ruangan office Kak Brandon yang, atau lebih tepatnya disebut home office. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi cukup leluasa untuk bergerak ke sana-kemari. Di dalamnya terdapat sebuah komputer dengan tiga layar monitor yang sama besarnya. Kak Brandon meletakkan diri di depan komputer dan jarinya mulai menari-nari di atas keyboard.
"Jadi kenapa kamu bilang gelagatnya aneh?" tanyanya saat kami berdua sudah di dalam.
Asal tahu saja, aku masih belum melupakan hari itu saat Lidya mengobrak-abrik kamar Om Peter dan Tante Clara seolah-olah sedang mencari sesuatu. Memang setelah itu aku terus bersikap normal di depan orang yang kucurigai itu, tapi aku tidak pernah menurunkan rasa waspadaku. Tidak ada yang tahu bahwa aku juga sempat melirik Lidya saat Queenie sedang melatihnya ilmu bela diri basic. Tidak semua orang bisa melihatnya, tapi dari bahasa tubuhnya, aku tahu sebenarnya Lidya sudah pernah belajar bela diri. Itu artinya, dia tidak selemah yang terlihat. Dia hanya berusaha terlihat lemah, entah untuk apa tujuannya.
Kak Brandon terdiam lama setelah mendengar ceritaku yang panjang lebar. "Kamu yakin dengan apa yang kamu lihat waktu itu? Anak bernama Lidya itu berpura-pura kakinya terkilir?"
"Mungkin memang terkilir, tapi nggak separah yang dia katakan pada kami semua. Buktinya, dia bisa gerak ke sana-kemari di kamar orangtua Brandon dengan cepat," jawabku. "Aku sama sekali nggak tahu apa yang dia cari, apa maunya dan siapa dia sebenarnya. Gimana kalau dia datang untuk membahayakan kita semua?"
Kak Brandon menggeleng. "Jangan berpikir terlalu jauh. Kita coba cari tahu sebisanya dulu, baru setelah itu mengambil kesimpulan. Oke?"
Aku mengangguk, sementara Kak Brandon mulai bekerja.
Diam-diam, aku berterima kasih sekali kepada Kak Brandon. Setelah orangtuaku, Kak Brandon-lah orang dewasa yang paling peduli denganku. Meskipun aku tidak memiliki hubungan darah dengannya dan hanya menghabiskan beberapa tahun dari masa kecilku bersamanya, dia sudah menganggapku layaknya adiknya sendiri dan bersedia menjagaku sampai mati. Tidak hanya itu, dia juga bersedia menyanggupi pekerjaan sampingan yang saat ini sedang dia lakukan semata-mata hanya untuk memastikan aku tetap aman.
Aku masih ingat beberapa tahun yang lalu, saat aku pertama kali mengira hidupku akan berakhir begitu saja. Untung saja saat itu aku berhasil selamat berkat Calvin, target sebenarnya dari konflik yang kami hadapi waktu itu. Setelah kejadiannya selesai, kami semua menyadari konflik yang terjadi bukanlah akhir dan kemungkinan akan terjadi sesuatu lagi di masa depan. Kak Brandon yang saat itu sedang khawatir dengan keadaanku langsung mengajukan diri untuk mengemban tugas untuk menjagaku dan juga Calvin, meskipun hal itu beresiko menempatkannya pada situasi yang berbahaya.
"Kita udah pernah cek asal-usul anak ini. Lidya Anastasya, seorang yatim-piatu. Ayah dan Ibunya sudah tewas sejak lahir. Dia dibesarkan di sebuah panti asuhan di Kota Sura sampai umurnya 16 tahun. Setelah itu, dia sudah tinggal sendiri dan mencari nafkah sendiri, sebelum akhirnya pindah dan kuliah di kampus kalian," kata Kak Brandon, mengucapkan apa yang sudah kami ketahui sebelumnya mengenai Lidya. "Itu juga yang kamu dengar dari Queenie soal Lidya, kan?"
Aku mengangguk.
"Sekarang coba kita cari tahu lebih dalam lagi. Contohnya, panti asuhan tempat dia dibesarkan. Nama panti asuhannya adalah Panti Asuhan Malaikat Hati." Kak Brandon membuka database panti asuhan yang dia sebutkan itu.
"Aneh," ucapnya tiba-tiba.
Aku membulatkan mataku dan menghampirinya. "Apa yang aneh?"
"Panti asuhan ini punya semua foto dan daftar nama anak-anak yang diasuh, tapi nggak ada foto maupun nama Lidya sama sekali di sini," ucap Kak Brandon. "Biar aku coba sesuatu."
Oke, sebelum kalian bingung, sebenarnya Kak Brandon bukan ahli komputer. Dia berprofesi di bidang keuangan, bidang yang sama dengan istrinya dan sama juga denganku. Bahkan, sebenarnya pekerjaanku yang sekarang berasal dari kenalan dia juga. Alasan kenapa dia bisa mencari-cari informasi layaknya seorang hacker, adalah dia memiliki bantuan program AI yang canggih banget. Tidak secanggih program JARVIS yang ada di film Iron Man, tentu saja, tapi lumayan untuk mencari tahu hal-hal yang sengaja disembunyikan oleh orang-orang. Program itu juga bisa meng-hack ke alat-alat komunikasi yang menggunakan operating system tertentu, atau yang sudah dipasangi dengan program khusus. Emang agak ribet kalau kujelaskan begini, tapi singkatnya, kalau Kak Brandon mau, Kak Brandon bisa menggunakan program AI itu untuk menjadi orang kaya dalam semalam. Tapi berhubung Kak Brandon bukan orang curang, dia tidak bersedia melakukan itu.
Berhubung Kak Brandon bukan seorang genius IT, tentu saja bukan dia yang merancang program itu. Program itu kabarnya adalah buatan teman Om Peter, ayah Calvin. Om Peter menghibahkannya kepada Kak Brandon saat Kak Brandon bersedia menyanggupi misi untuk melindungi anaknya, meskipun sebenarnya yang ingin dilindungi Kak Brandon hanyalah aku. Lagipula, setelah kejadian terakhir, Om Peter dan Tante Clara menyadari mereka harus menjalani hidup low-profile dan menutupi identitas mereka, jadi mereka merasa tidak ada gunanya menyimpan program secanggih itu di gudang mereka.
Kak Brandon bekerja dengan cepat. Beberapa menit kemudian, dia mengangkat alisnya dengan heran.
"Jadi begitu," katanya terpekur. "Panti asuhan ini memang ada, tapi mereka memiliki dua set database yang berbeda. Yang satu adalah database resmi yang berisi data anak-anak yang terdaftar secara legal, dan yang lain adalah database tersembunyi yang berisi data anak-anak yang tidak ingin ditemukan oleh siapapun."
Aku mengernyitkan dahi. "Jadi Lidya ada di database tersembunyi itu?"
Wajah Kak Brandon mengeras. "Dia dan seorang anak laki-laki."
Dadaku terasa nyeri mendengarnya. Anak laki-laki? Jangan-jangan…
"Siapa nama anak laki-laki itu?" aku langsung menyeruak ke depan komputer. Namun, saat Kak Brandon berusaha membuka file anak laki-laki itu, tiba-tiba saja komputer canggih di depan kami itu tidak bisa bekerja sama sekali. Ketiga layar itu menjadi statis sebelum menghitam tanpa jejak.
"Apa-apaan ini?" Kak Brandon tampak shock. Dia berusaha membuka kembali komputernya, membuka database yang sama dan mencari data anak laki-laki itu, tapi lagi-lagi terjadi hal yang sama.
Beberapa lama kemudian, Kak Brandon membuka komputernya lagi, tapi kali ini dia tidak membuka data anak laki-laki itu. Dia hanya membuka data Lidya, dan kali ini, datanya bisa dibuka.
Kami menelusuri semua keterangan Lidya. Semuanya lengkap, kecuali data keluarga. Tidak ada nama ayah, ibu, maupun saudara. Kolom itu tidak diisi sama sekali dan dibiarkan kosong.
Namun, dari data itu kami berhasil mengetahui bahwa Lidya berbohong. Dia sudah keluar dari panti asuhan itu semenjak usianya sepuluh tahun, di saat yang sama dengan anak laki-laki yang tadi.
Setelah itu, Kak Brandon punya ide untuk menelusuri sinyal dari database panti asuhan itu, terutama yang berisi data anak laki-laki misterius tadi. Tapi, lagi-lagi kami menemui jalan buntu.
"Satu-satunya kemungkinan," kata Kak Brandon sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kerjanya, "ada orang yang menutupi data Lidya dan juga anak laki-laki itu. Terutama anak laki-laki itu. Siapapun anak itu, ada yang ingin menyembunyikan identitasnya rapat-rapat sampai-sampai mereka bisa melacak kembali siapa orang yang mencoba membongkar-bongkar informasi yang mereka simpan."
Oh, sial. Itukah yang terjadi?
"Kalau begitu, artinya mereka tahu kita lagi periksa mereka?" tanyaku khawatir.
"Tenang," kata Kak Brandon. "AI milik kita tadi udah berhasil menutupi jejak kita, karena itulah komputernya sampai padam sendiri dua kali," jelasnya. Oh, jadi begitu. "Tapi untung kita nggak coba untuk yang ketiga kalinya. Kalau tidak, kurasa program kita juga bakalan jebol."
Bulu kudukku merinding mendengarnya. Semuanya ini membuatku semakin bingung. Sebenarnya siapa yang sedang kami hadapi kali ini? Siapa anak laki-laki yang identitasnya disembunyikan itu? Apakah benar-benar dia?
"Pertanyaan kita yang paling besar sekarang adalah, siapa anak laki-laki misterius itu?" ucap Kak Brandon, mengatakan apa yang ada dipikiranku keras-keras. "Aku tidak ingin mengatakan ini, tapi aku rasa anak itu punya hubungan erat dengan Lidya. Bagaimanapun, hanya ada nama mereka berdua di database tersembunyi itu, dan mereka juga keluar dari panti asuhan itu di waktu yang sama,"
Ya, aku juga sudah menduga yang satu itu. Seingatku, pada konflik kami yang terakhir, dia berumur beberapa tahun di atas kami. Dan Lidya sekarang berusia sama dengan kami, meskipun berbeda semester. Kalau dihitung-hitung, masuk akal kalau aku mengambil asumsi liar bahwa Lidya dan dia merupakan kakak-adik.
Sial, kalau memang seperti itu kenyataannya, kami semua dalam bahaya besar.
"Kak, apa bisa kita coba telpon ke panti asuhannya?"
Kak Brandon menggeleng. "Panti asuhan itu sudah tutup beberapa tahun setelah Lidya meninggalkan tempat itu."
Aku jadi bingung. "Lalu kok bisa masih ada yang mencoba melacak kita yang membuka data-data mereka?"
Kak Brandon mengangkat bahu. "Tebakanku sih, sampai sekarang, masih ada pihak misterius yang sengaja menjaga data tersembunyi mereka agar tidak bocor."
Aku terdiam lama mendengarnya. Sial, kenapa kedengarannya semakin mencurigakan? Bagaimana kalau firasatku benar?
Kak Brandon menyentuh bahuku. "Kamu sepertinya nggak mungkin meninggalkan anak itu ya?"
Aku mengangkat kepalaku dan menatap Kak Brandon. "Nggak."
"Meskipun kamu harus menghadapi bahaya yang tidak jelas begini? Meskipun dia nggak membalas perasaanmu?"
Aku terkejut mendengar pertanyaannya yang terakhir. "Kak Brandon tahu?"
Kak Brandon tersenyum kecil. "Eh, Kecil, aku lihat kami tumbuh dari bayi sampai gede begini, Masa aku nggak tahu kamu cinta mati sama anak bernama Calvin itu?"
Aku cemberut. "Siapa bilang aku cinta mati?"
"Kalau kamu nggak cinta mati sama dia, nggak mungkin kamu rela terluka waktu itu untuk lindungin dia. Nggak mungkin kamu rela dampingin dia bertahun-tahun setelah dia hilang ingatan. Dan sekarang, meskipun ada kemungkinan yang sangat besar kalian harus menghadapi bahaya sekali lagi, aku yakin kamu nggak bakal ninggalin dia," balas Kak Brandon, membuatku terdiam.
Kak Brandon juga terdiam sebentar, lalu mengetuk kepalaku dengan pensil. "Dasar keras kepala. Sama kayak kakakmu yang satu ini," katanya membicarakan dia sendiri. "Karena itulah aku ngotot terima misi itu. Sudah kuduga kamu bakal berhadapan dengan bahaya sekali lagi."
Aku tersenyum dan memeluk Kak Brandon. Baru kusadari sudah lama sekali aku tidak memeluknya. Dulu, waktu aku masih kecil, aku sering memeluknya, lantaran dia satu-satunya sosok pria dewasa yang peduli padaku. Waktu aku kecil, ayahku masih belum berpikiran matang, dan dia lebih sering di luar rumah daripada di dalam rumah. Dia tidak pernah peduli pada ibuku dan juga aku. Jadi, saat aku sedang dijaga oleh keluarga Kak Brandon, Kak Brandon selalu menemaniku, mengobati rasa kangenku terhadap ayah sendiri. Untungnya, setelah aku beranjak dewasa, ayahku tersadar dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Kak Brandon.
Aku terdiam sebentar. Asal-usul Lidya memang mencurigakan, tapi kami masih belum memiliki bukti apa-apa untuk memojokkannya. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa pada Calvin, karena sampai saat ini ingatannya belum kembali. Belum lagi, sepertinya anak itu sedang kasmaran dengan Lidya, jadi aku ragu dia akan mendengarkan apa yang kukatakan.
Apa mungkin aku harus memberitahu Om Peter dan Tante Clara?
Ah, sial. Aku jadi bingung. Meskipun sudah menduga akan datangnya hari ini, aku tetap saja merasa tidak siap.
"Kayaknya aku harus kasih tahu orangtua Calvin soal ini. Bagaimanapun juga, penyebab utama dari konflik ini adalah mereka," jawabku.
Kak Brandon mengangguk. "Oke. Biar kuantar."
Tidak lama kemudian, kami sudah sampai di depan rumah Calvin. Kak Brandon sengaja hanya menurunkanku dan tidak masuk ke dalam, karena tidak ingin dicurigai oleh Calvin yang saat itu berada di rumah.
Sial. Ternyata hari itu Om Peter dan Tante Clara sedang nggak ada di rumah. Hanya ada Calvin sendirian.
"Eh, elo," kata Calvin saat membuka pintu. "Ngapain ke sini?"
"Biasa, cari makan gratis," candaku.
Calvin tertawa juga. "Kebetulan gue baru bikin indomie."
"Mantap. Bagi dong."
Calvin mendelik. "Enak aja. Bikin sendiri sana. Masih banyak di dapur."
Setelah beberapa menit kemudian, aku dan Calvin sudah duduk di meja makan. Aku tahu hari ini aku lebih banyak diam, lantaran aku sedang memikirkan siapa sebenarnya Lidya dan apa yang dia inginkan.
Sepertinya Calvin juga tahu aku sedang punya pikiran. "Kenape lo? Tiba-tiba diem begini," komentarnya.
Aku mengangkat wajah. "Emang biasanya gue berisik?"
"Emangnya mesti ditanya?"
Sial. Punya teman kayak begini, lama-lama aku emosi juga. "Gue bawelnya kan cuma sama elo. Sama yang lain sih biasa-biasa aja."
Calvin mengangkat alis. "Maksudnya apa nih?"
"Maksud gue," jawabku santai, "bisa jadi penyebab kebawelan gue ya elo, bukan karena gue."
Calvin mendesis. "Ya ampun, bisa-bisanya nyalahin aku dengan nada sesantai itu."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Gimana dengan Lidya?"
Calvin terdiam sebentar. "Apanya gimana?"
"Alah, nggak usah pura-pura bego. Orang lain mungkin bisa lo boongin, tapi gue gak bisa. Udah jelas-jelas lo naksir sama dia," ucapku, menyatakan sesuatu yang sebenarnya mengganggu perasaanku.
Aku berani bersumpah aku melihat wajah Calvin kemerahan saat dia tidak bisa menjawabku.
"Dia naksir lo juga nggak?" tanyaku, berusaha terlihat sesantai mungkin.
Calvin mengangkat bahu. "Nggak tahu."
"Emangnya nggak bisa nebak?"
Calvin terlihat berpikir untuk waktu yang lama. "Kalau nebak sih, mungkin iya. Tapi itukan cuma tebakan, bukan jawaban pasti."
Aku terdiam untuk waktu yang sangat lama sambil mengaduk-aduk mi instan yang ada di depanku. "Lo yakin dia cocok buat lo?"
Calvin mengerutkan dahi. "Bukannya kemarin lo yang bilang kami berdua cocok?"
Oh ya? Apa aku pernah mengatakan itu? Bodohnya aku, lupa pada perkataanku sendiri. "Yah, pendapat gue kan nggak penting. Yang paling penting, pendapat kalian sendiri," kilahku.
Calvin terdiam lagi. "Cocok-cocok aja, sih. Obrolan kami nggak ada habisnya. Kalau lagi berdua, rasanya jadi nggak fokus sama yang lain lagi."
Aku memelototinya. "Lagi bikin lirik lagu ya, bro?"
Calvin hanya cengengesan, sesuatu yang jarang sekali dia lakukan. "Tapi gue agak galau juga sebenarnya. Di satu sisi, gue emang naksir dia, Tapi di sisi lain, gue juga lagi males banget pacaran."
"Jadi lo mau gantungin anak orang?" protesku. "Nggak adab itu, bro. Hati cewek bukan untuk dipermainkan, man," seruku, membela saingan cintaku yang saat ini tidak jelas identitasnya bagiku.
"Nggak dong," ucap Calvin membela diri. "Gue cuma lagi pertimbangin aja, apakah mau pertahankan status jomblo gue, atau nyoba dengan Lidya? Soalnya jujur aja, gue ngerasa perasaan gue sama dia tiap hari tambah kuat aja."
Sial. Kenapa hatiku berdenyut mendengar kata-kata itu?
"Elo yakin dia orang yang baik?" tanyaku dalam bisikan, seolah-olah isi pikiranku terlepas tanpa bisa kukendalikan.
Calvin terdiam sebentar. "Kok lo bisa bilang gitu?"
"Yah," aku berusaha mencari alasan ataupun hal lainnya yang dapat menyelamatkanku dari situasi ini, "bisa jadi kan ternyata dia itu mata-mata negara yang menyamar dan ditugaskan untuk deketin lo?"
Sial, kenapa aku malah mengatakan sesuatu yang mirip-mirip dengan apa yang kucurigai? Ini sih bukan menyelamatkan, tapi menjerumuskan situasi ini bagiku.
"Hah?" Calvin tampak bingung. "Lo ngomong apaan sih?"
Aku mengibaskan tanganku. Pasti aku tampak seperti orang tidak jelas sekarang. "Udahlah, abaikan aja."
Kami berdua sama-sama terdiam untuk waktu yang cukup lama, sebelum Calvin tiba-tiba bersuara, "Lis, kalo gue jadian sama Lidya, lo nggak pa-pa?"
Aku terhenyak. Kenapa Calvin tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Maksud lo? Kenapa gue harus kenapa-napa?"
"Yah…" Calvin terdengar ragu untuk melanjutkan, "takutnya saking lamanya kita sahabatan, lo jadi naksir sama gue, dan …"
Oh, sial. Jadi Calvin juga berpikir aku menyukainya?
Otakku berputar lebih lambat dari yang seharusnya. Setelah beberapa lama memikirkan cara untuk menjawab Calvin supaya tidak awkward, aku tertawa. "Ge-er banget sih lo jadi orang. Siapa juga yang naksir sama lo?"
Calvin mengangguk. "Bagus deh kalo emang nggak. Gue cuma nggak pengen persahabatan kita terganggu. Takutnya gara-gara lo naksir gue, lo jadi jelek-jelekin Lidya."
Oke, kata-katanya yang terakhir menarik perhatianku lebih dari yang lain. "Kapan gue jelek-jelekin dia?"
"Tadi lo tanyain aku apa gue yakin dia orang yang baik," kata Calvin dengan wajah polos minta ditabok.
"Kamu kira aku tanyain itu gara-gara gue naksir sama lo?" Aku jadi merasa sangsi. "Emang gue sedangkal itu, jelek-jelekin cewek lain hanya karena gue suka sama lo?"
"Bukan gitu. Gue tahu maksud lo baik. Cuma, takutnya penilaian lo tertutup sama perasaan lo. Takutnya lo jadi salah menilai Lidya."
Sial, aku jadi emosi. Justru saat ini aku berusaha mencari tahu kebenaran dari cewek yang sedang ditaksir Calvin yang sedang dimabuk asmara. Meskipun aku belum tahu sebenarnya siapa Lidya, aku tahu asal usulnya tidak beres dan tujuannya mendekati kami, terutama Calvin, tidak sesederhana yang kelihatannya.
Justru yang sedang salah menilai Lidya itu Calvin, bukan aku.
Sialnya, meskipun aku sedang emosi begini, aku tidak bisa mengatakan isi pikiranku.
"Sorry kalau gue bikin lo salah paham. Tapi yang saat ini lagi kasmaran itu lo, bukan gue. Dan yang lagi salah menilai itupun lo, bukan gue. Gue lebih mentingin persahabatan daripada asmara," kataku sengit.
Calvin tampak terperangah dan speechless mendengar perkataanku. Jelas terlihat dia berusaha menjelaskan bahwa maksudnya tidak seperti itu, tapi aku sedang tidak ingin mendengarkan apapun.
"Gue balik dulu," ucapku sambil membalikkan badan. Aku kira Calvin akan menahanku pergi, tapi saat aku sudah membuka pintupun, tidak terdengar suaranya sama sekali. Aku tidak ingin dikasihani, jadi aku terus melangkah dan tidak terasa aku sudah beberapa blok jauhnya dari rumah Calvin.
Dasar Calvin bodoh. Bisa-bisanya dia mengira aku sedangkal itu? Aku kan sudah berteman lama dengannya. Masa dia belum mengerti sifatku?
Ya, mungkin sampai di titik ini, aku harus mengakui, aku memang menyukai Calvin. Aku berusaha menutupi perasaan itu, tapi kurasa aku tidak bisa membohongi diri sendiri lagi. Aku sudah menyukai cowok bodoh itu sejak pertama kali melihatnya saat SMA dulu. Karena itulah aku dengan terang-terangan mendekatinya. Tapi, sama seperti sekarang ini, saat itu dia hanya menganggapku seorang teman. Ya sudah, aku terima-terima saja walaupun di friendzone olehnya. Kemudian dia pacaran dengan teman masa kecilnya, cewek yang harus kuakui benar-benar baik dan sempurna untuknya. Aku tidak keberatan mereka berdua pacaran, karena mereka benar-benar saling melengkapi satu sama lain. Kadang-kadang aku merasa cemburu, tapi itu bukan masalah besar.
Kemudian, tragedi itu terjadi. Tragedi yang melibatkan masa lalu orang tua Calvin dan orangtua dari seseorang yang saat ini kucurigai memiliki hubungan erat dengan Lidya. Tragedi itu menewaskan pacar Calvin dengan cara yang sangat mengerikan bagi seorang wanita. Aku sendiri juga terluka gara-gara kejadian itu, tapi untungnya aku baik-baik saja. Lukaku tidak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi pada gadis malang itu. Hatiku sakit setiap kali mengingat apa yang terjadi pada pacar Calvin, dan aku tidak heran bahwa alam bawah sadar Calvin memilih untuk melupakan kejadian memilukan itu, mengingat betapa hancurnya Calvin saat menemui kekasihnya yang sudah tidak bernyawa.
Setelah kejadian itu, kami semua berusaha move on. Calvin berhasil move on lebih cepat dibandingkan semuanya, karena dia benar-benar tidak bisa mengingat apa-apa, sampai dengan detik ini. Selain dirinya, aku, orangtua Calvin, dan beberapa teman SMA kami, kami membutuhkan waktu lebih lama untuk memulihkan diri. Meskipun begitu, aku tidak pernah meninggalkan Calvin. Aku selalu mendampinginya saat dia dihadapkan dengan dunia yang sudah mengenalnya, namun tampak asing baginya. Aku selalu membantunya belajar keras supaya tidak perlu mengulang kelas. Aku yang selalu ada untuknya.
Bahkan, karena aku, Kak Brandon bersedia menerima misi itu untuk menjaga keselamatan Brandon selama dia kuliah. Karena itulah Kak Brandon sengaja membuka cafe di samping kampus, yang dengan suksesnya menarik perhatian Calvin. Karena aku juga, Kak Brandon mengatur supaya Calvin bisa ditempatkan untuk bekerja pada perusahaan milik rekanannya yang terpercaya, dan mengatur supaya aku bekerja di tempat yang sama.
Intinya, kami berdua sudah sahabatan begitu lama, sehidup-semati. Seharusnya, dia mengenalku lebih baik dari sekedar cewek lemah yang buta karena cinta, kan?
Sial, aku jadi sakit hati.
Benakku penuh dengan isi pikiranku sendiri dan aku tidak sadar bahwa saat ini aku sudah mendekati jalan raya dekat komplek rumah Calvin. Namun, sebelum jalan raya itu, terdapat sebuah jalanan yang lebih kecil yang harus aku lewati lebih dulu. Jalanan itu lebih gelap dan muram, mungkin disebabkan oleh pohon-pohon tua yang belum juga ditebang meskipun sudah mencapai puluhan tahun. Moodku yang sudah buruk menurunkan level kewaspadaanku yang biasanya tinggi. Aku tidak menyadari aku sedang diikuti oleh beberapa kendaraan roda dua yang dikendarai oleh cowok-cowok yang menutupi wajahku dengan masker.
Saat aku sudah sadar, sepertinya semua sudah terlambat. Mereka sudah terlalu dekat denganku, dan jumlah mereka juga semakin banyak. Motor-motor yang mereka kendarai semuanya sudah usang dan buruk, belum lagi mereka sengaja menggebor-gebor mesinnya untuk menciptakan suara dan asap yang mengganggu. Aku berhasil memperhatikan sebagian dari mereka. Meskipun wajahnya tidak jelas, sepertinya mereka masih muda atau mungkin seumuran denganku. Tubuh mereka juga kurus-kurus dan sama sekali tidak mengintimidasi.
Awalnya aku mengira mereka hanya ingin mengerjaiku seorang cewek yang sedang berjalan sendirian. Atau mungkin juga mereka ingin merampok tasku. Yah, bukannya aku takut. Begini-begini aku jago boxing, dan aku rasa aku bisa mempertahankan diriku di depan orang-orang yang tampak lemah ini. Ditambah pula, saat ini suasana hatiku sedang buruk dan aku butuh pelampiasan. Orang-orang ini benar-benar sial sudah mencari gara-gara denganku di hari ini.
Dugaanku bahwa mereka hanya ingin mengerjai atau merampokku ternyata salah. Saat melihat salah satu dari mereka melewatiku lalu memutar kembali ke arahku sambil mengayunkan tongkat baseball, aku tahu niat mereka lebih dari itu. Aku hanya bisa menduga bahwa mereka memang sudah mengincar aku sejak lama. Aku tidak tahu pasti, tapi aku rasa aku tahu siapa yang menyuruh orang-orang ini untuk beraksi.
Aku menunduk dan menyelamatkan diri dari serangan tongkat itu, dan mengambil kesempatan untuk menendang motor mereka sampai mereka terjatuh dan menyenggol beberapa motor lainnya. Aku langsung lari secepat mungkin dari mereka. Yang lainnya langsung menyerbu dengan motor mereka, sementara yang terjatuh tadi langsung menyusul.
Untung saja hari itu aku sedang mengenakan celana dan juga sepatu olahraga, jadi gerakanku terhitung leluasa. Sambil berlari, mataku mencari senjata yang bisa kugunakan untuk melawan mereka. Aku melihat sebuah tongkat yang tergeletak di sebuah tong sampah, dan meskipun itu kotor, aku tidak ragu-ragu untuk meraih benda itu. Sambil memegang tongkat itu erat-erat, aku berhenti mendadak dari larianku, membuat kedua motor yang saat ini mengejarku kehilangan keseimbangan. Tanpa pikir dua kali, aku langsung mengayunkan tongkat itu kepada mereka, membuat mereka terjatuh.
Saat aku menarik kembali tongkat itu, kulihat tertancap sebuah paku yang kini berlumuran darah. Rupanya tongkat ini sudah berpaku dari sananya dan kini sudah melukai salah satu dari lawanku. Sudah kubilang, mereka sial harus berhadapan denganku hari ini.
Aku berdiri dengan mantap, menjaga jarak yang aman dari dua penyerang yang terluka. Dengan mata yang tajam, aku memperhatikan gerakan mereka dengan seksama. Mereka berdua tampak tidak terlalu yakin setelah mendapatkan pukulan-pukulan keras dariku.
Saat salah satu mereka mencoba untuk mendekatiku, aku mulai melakukan gerakan jab. Tendanganku terhitung cepat mengarah ke ke wajahnya dan diikuti oleh pukulan yang kuat yang mengenai rahang temannya. Seranganku berhasil ini membuat mereka terjatuh kembali ke atas tanah.
Sementara itu, teman-teman mereka yang lain berusaha mendekat, namun sepertinya mereka agak takut. Mereka mencoba untuk menjaga jarak, namun aku tidak memberi mereka kesempatan. Aku terus meluncurkan serangan berturut-turut, menggabungkan pukulan-pukulan hook dan uppercut. Pukulan hook mengenai sisi wajah mereka, sementara uppercut mematikan mengenai bagian perut. Mereka berusaha melawan, tentu saja, tapi hanya sebagian yang mengenaiku. Memang saat ini wajahku sudah acak-acakan, apalagi rambutku yang saat ini seperti kapal terjang, tapi semua itu tidak seberapa. Aku sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini pada saat latihan, dan kemampuan orang-orang benar-benar tidak seberapa dibandingkan denganku yang sudah berlatih keras untuk waktu yang lama.
Saat aku sedang sibuk melumpuhkan lawan-lawanku, aku merasa seseorang meraihku dari belakang. Aku meraih tangan orang itu dan berusaha mempelintir pergelangan tangannya, tapi aku terkejut menyadari tangan itu begitu besar dan keras. Aku tidak bisa menggerakkan tangannya sama sekali saat orang itu mencekikku dari belakang dengan sikunya.
"Kamu lebih kuat sekarang," ucap seorang pria dengan suara yang berat. Jelas, yang ini berbeda dengan yang lain, baik dari segi kekuatannya maupun usianya. Dia juga rasanya lebih tinggi minimal sepuluh centimeter dariku. "Tapi sayang, perjuanganmu berhenti di sini."
Aku memekik saat orang itu menghujamkan sesuatu ke tubuhku. Bukan pisau ataupun benda tajam lainnya, melainkan sebuah jarum suntik yang kini telah kosong, menandakan apapun yang ada di dalamnya, kini sudah berada sepenuhnya di dalam tubuhku. Aku mulai berpikir macam-macam, memikirkan siapa orang-orang ini, apakah mereka cuma predator seks yang hobi menculik lalu memperkosa cewek-cewek, atau mungkin mereka anggota dari organisasi perdagangan manusia dan aku akan dijual ke antah-berantah. Atau, kemungkinan yang lebih besar, mereka adalah orang-orang yang menjadi penyebab aku berlatih bela diri sekeras ini untuk beberapa tahun terakhir.
Saat tubuhku lunglai dan aku terbujur di atas tanah, aku melihat wajah itu. Wajah yang terlihat familier. Aku berusaha mengingatnya. Dan setelah aku ingat, aku menyadari bahwa tebakan terakhirku memang benar.
Sial, kali ini masa lalu benar-benar sudah mendatangi kami semua.