Chapter 13
POV : Calvin
Ternyata aku jauh lebih bodoh daripada yang kukira.
Seharusnya aku tidak perlu menanyai Lisa soal perasaannya kepadaku. Sudah kuduga, tidak mungkin anak itu menyukaiku. Kami sudah berteman begitu lama. Kalau dia benar-benar tertarik padaku, seharusnya aku sudah tahu dari dulu. Mana mungkin aku masih plonga-plongo begini?
Aku seharusnya tidak menanyai Lisa hari itu. Akibatnya, kata-kataku jadi melantur dan sepertinya aku sudah menyinggung cewek itu. Ah, dasar bodoh. Kenapa aku harus menanyai hal-hal yang sudah jelas kuketahui jawabannya dan membuat masalah yang tidak perlu? Mana waktu itu, cara aku mengatakannya, seolah-olah Lisa cewek yang dangkal yang bisa menjelek-jelekkan orang lain hanya karena cemburu. Sekali lagi, dasar bodoh. Aku sudah tahu jelas sifat Lisa. Dia tidak akan menjelek-jelekkan seseorang, tidak di depan maupun di belakang orang itu. Berbeda dengan cewek-cewek kebanyakan yang memilih mendiamkan orang yang lagi bermasalah dengannya, Lisa akan langsung menyelesaikan masalah itu dengan pihak terkait.
Mungkin saja aku terpengaruh oleh kata-kata Lidya waktu itu. Entah bagaimana caranya, Lisa mengira Lidya menyukaiku dan membuatku jadi kepikiran. Akhirnya mulutku yang gatal mengacaukan semuanya hari itu. Biasanya, Lisa nggak pernah bersikap seperti ini denganku. Maksudku, ya, dia pernah ngambek sekali dua kali, dan kami juga sering bertengkar mulut seolah-olah itu sudah makanan kami sehari-hari, tapi semua itu sudah sewajarnya bagi kami. Aku tidak pernah melihat wajahnya yang seperti ini, seperti orang yang kecewa berat karena dikhianati teman baiknya.
Semoga saja ini hanya perasaanku. Semoga semua baik-baik saja.
Bicara soal Lidya, aku agak galau karena cewek itu. Aku menyukai cewek itu, tapi aku tidak tahu apakah dia membalas perasaanku. Terkadang aku merasa perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, tetapi aku khawatir aku hanya kege-eran. Maksudku, kalau dia tidak menyukaiku, bagaimana bisa aku orang pertama yang dia telepon untuk dimintai bantuan saat dia kecelakaan? Untuk apa dia tampak malu-malu setiap kami diledek? Kenapa dia tampak penasaran sekali dengan hubunganku dengan Lisa?
Wajar saja kalau aku berasumsi dia juga menyukaiku, kan? Tapi tetap saja, aku tidak ingin kege-eran. Bisa-bisa cewek itu memang friendly dan lebih perhatian kepadaku lantaran selama ini aku yang menjadi ojek pribadinya saat pulang kampus.
Ah, sial. Aku jadi bingung. Inilah alasanku tidak ingin jatuh cinta. Bikin ribet saja.
Daripada pusing memikirkan asmaraku yang belum ada kejelasannya, lebih baik aku meminta maaf pada Lisa. Aku membuka pintu, berusaha mengejar anak itu. Biasanya, kalau sedang kesal, anak itu bakal kembali baik-baik saja asalkan ditraktir martabak mesir kesukaannya. Biasanya sih seperti itu. Semoga saja kali ini juga.
Aku menelusuri rute yang biasanya digunakan orang-orang untuk keluar-masuk komplek perumahanku, namun aku tidak melihat Lisa sama sekali. Aneh. Lisa kan tidak bawa kendaraan saat ke rumahku, dan dia juga tidak menggunakan kendaraan apapun saat pergi. Kalau dia berjalan kaki, seharusnya aku sudah menyusulnya. Aku memperhatikan sekelilingku yang dikelilingi pepohonan yang sudah tua. Ya, aku akui, jalanan di depan komplek perumahanku suram banget. Banyak pohon-pohon yang lebat berbaris dari kedua sisi jalan. Aku tahu kedengarannya rindang, dan memang pohon-pohon itu selalu melindungi pejalan kaki dari cahaya matahari yang terik, tapi masalahnya adalah pohon-pohon itu sudah tua banget dan tampak rapuh, seolah-olah dahannya akan patah kapan saja dan menimpa orang-orang yang ada di bawahnya. Akibat dari tidak ada cahaya matahari di jalanan itu, sering kali banyak preman-preman tidak jelas yang nongkrong di sana, tetapi hari ini tampaknya sedang tidak ada, jadi aku bisa membuang dugaan bahwa Lisa diganggu atau bahkan diculik oleh preman-preman itu. Lagipula, itu dugaan yang payah banget. Lisa jago boxing, dan kalau menghadapi preman-preman ini, aku yakin dia lebih unggul.
Mungkin saja dia menunggu di halte bus sambil memesan kendaraan online, makanya jejaknya sudah tidak kelihatan lagi. Dengan dugaan seperti itu, akhirnya aku menghubungi Lisa via chat.
Aku : Lis, lo dimana?
Tidak ada jawaban,
Aku : Sori kalo tadi tersinggung. Lo juga tahu gue ngomong suka nggak jelas, tapi maksud gue nggak aneh-aneh kok.
Masih tidak ada jawaban. Sial.
Aku : Kalo lo nggak jawab lagi, gue samperin ke rumah ya.
Nah, kali ini baru dia menjawab.
Lisa : Udah. Diem.
Oke, meskipun kedengarannya kasar, kalian jangan salah paham. Kalau Lisa sudah bersikap seperti ini, artinya semua sudah baik-baik saja. Karena itulah, aku tidak memikirkan apa-apa lagi mengenai apa yang terjadi hari itu.
Keesokan harinya, aku baru menyadari betapa salahnya aku.
***
Hari ini aku terbangun dengan mimpi buruk itu lagi. Ya, yang itu. Mimpi buruk dimana aku menemukan cewek malang yang sudah tidak bernyawa, bahkan sepertinya sudah dilecehkan pula. Akhir-akhir ini aku terus-terusan memimpikan cewek itu, meskipun aku tidak pernah bisa melihat wajahnya. Yang jelas, aku, atau setidaknya aku yang di dalam mimpi, mengenal cewek itu dengan amat sangat. Bahkan, kurasa aku mencintainya.
Aku tidak bisa membayangkan seandainya hal itu benar-benar terjadi. Kalau cewek yang kucintai dilecehkan oleh orang lain dan tewas setelah itu, aku tidak tahu hal gila apa yang akan kulakukan untuk memastikan pelakunya membayar harganya. Untung saja itu cuma mimpi. Meskipun harus kuakui, mimpi itu semakin lama semakin terasa nyata. Seolah-olah itu adalah ingatanku. Awalnya aku hanya memimpikan bayangan berdarah-darah, tetapi dekat-dekat ini, aku juga memimpikan masa-masa normal bersama cewek itu. Aku memimpikan kami bergandengan tangan bersama di tepi pantai yang memang ada di kotaku, aku memimpikan saat kami merayakan ulang tahun bersama, dan sebagainya. Sekali lagi, semua itu terasa begitu nyata sampai-sampai aku berencana ke psikiater untuk memastikan aku belum kehilangan kemampuanku untuk membedakan mimpi dan kenyataan.
Untungnya, mungkin karena sudah cukup sering, aku tidak lagi merasa sakit kepala setiap kali kurang tidur akibat mimpi itu. Aku berhasil berangkat ke kantor dengan kondisi baik-baik saja, namun mengernyitkan dahi saat melihat Lisa yang tidak kunjung sampai di kantor meskipun sudah jam sepuluh.
"Om," panggilku pada Om Sugeng yang merupakan team leadernya Lisa. Sebenarnya sih Om Sugeng tidak setua itu, tetapi dia lebih suka dipanggil Om. "Lisa nggak dateng?"
"Nggak dateng, Vin. Sakit katanya," jawab Om Sugeng. "Kok kamu bisa nggak tahu? Kalian lagi berantem ya?"
Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa aku dan Lisa berteman dekat, bahkan buat orang-orang kantor. Tidak jarang pula mereka mengira kami berpacaran. "Nggak kok, Om. Kami nggak chat setiap hari juga."
Aku berusaha terlihat sebiasa mungkin, tetapi tidak pelak aku menjadi kepikiran. Masa sih Lisa bisa sakit? Cewek itu kan bandel banget. Apa dia sengaja tidak datang ke kantor karena ingin menghindariku? Tapi dari cara chatnya kemarin malam, sepertinya semua sudah baik-baik saja.
Akhirnya aku memutuskan untuk chat Lisa lagi.
Aku : Lis. Lo kemana? Kata Om Sugeng lo sakit. Sakit apaan?
Tidak ada jawaban untuk beberapa menit.
Lisa : Gue lagi dapet hari ini. Urusan cewek. Yang nggak ngerti nggak usah banyak komen.
Buset, belum apa-apa sudah ngegas.
Aku : Bukannya mau komen. Cuma kaget aja tiba-tiba lo ngilang sejak semalem. Kalo emang lagi ga enak badan, ya udah. Perlu dikirimin makanan apa-apa nggak?
Lisa : Makasih, tapi nggak usah. Gue masih kuat ngadepin ini semua sendiri. Udah, gue lagi mules. Udahan, ya.
Begitulah akhirnya Lisa mengakhiri chat kami. Meskipun agak kesal karena dijutekin begitu saja, setidaknya aku merasa lebih tenang karena dari gaya bicara Lisa, dia memang sedang baik-baik saja meskipun sedang tidak enak badan.
Saat jam sudah menunjukkan pukul lima, akhirnya aku kembali ke rumahku untuk bersiap-siap. Melihat betapa rapinya pakaianku, orangtuaku langsung kaget, mengira aku akan ke kondangan atau sejenisnya. Sejujurnya, aku sendiri juga kaget. Kenapa untuk acara Halloween saja harus pakai serapi ini? Kalau ini acara prom night atau sejenisnya, aku masih bisa paham. Tapi untuk ukuran acara Halloween, sepertinya terlalu berlebihan.
Aku tiba di kampus sekitar jam enam. Seperti biasanya, kampus mulai ramai di waktu-waktu seperti itu, tapi kali ini sepertinya lebih ramai daripada biasanya. Sepertinya antusiasme mahasiswa-mahasiswi terhadap acara ini cukup tinggi.
Aku berusaha menghubungi teman-temanku yang lain, namun sama seperti biasanya, aku yang tiba lebih dulu. Aku akhirnya menunggu di kursi di depan aula sambil melihat lalu-lalang puluhan, atau mungkin ratusan anak-anak kuliahan yang tidak akan berkuliah untuk malam ini. Semuanya berpakaian sama, terutama yang cowok. Yang cewek sih masih lebih oke, karena dress mereka bisa berbeda warna ataupun berbeda desain. Namun, anak-anak cowok pakaiannya benar-benar seragam, yaitu celana panjang, kemeja putih yang ditutupi jas ataupun blazer berwarna hitam.
Keseragaman itu membuatku sedikit kesulitan mengenali teman-temanku. Kalau bukan karena masker yang kami buat bersama waktu itu, mungkin aku tidak akan tahu saat King dan Queen sudah mendekatiku.
"Buset. Ini pertama kalinya gue ngeliat kampus serame ini," komentar Queen sambil duduk di sampingku dan melepaskan topengnya.
"Kelihatan jelas orang-orang zaman sekarang demen banget sama acara beginian," timpal King.
"Lo nggak sibuk malam ini, King?" tanyaku saat melihat King yang tampak santai-santai saja, malah kelihatan bete setengah mati.
"Nggak. Urusan gue udah selesai. Tinggal duduk diam doang sampe acara ini selesai," jawab King. "Tapi sumpah, gue kok kayak malas banget ya mau ikutan?"
Kei yang entah muncul dari mana menyahut, "Kalau menurut gue sih, itu karena pengaruh usia. Kan banyak orang-orang tua yang udah nggak demen sama acara anak muda lagi."
King langsung mempelototi Kei yang tampak sedang cengar-cengir tidak jelas. Yang bersangkutan melepas topengnya, mungkin karena gerah, atau mungkin juga karena ingin memamerkan riasan yang ada di wajahnya.
"Lah, kok lo bisa ada riasan beginian? Bukannya kita udah deal nggak pake make-up hari ini?" protes Queen sambil menunjuk ke wajah Kei yang sudah dirias ala-ala Joker dari DC Universe.
"Buat jaga-jaga aja. Seandainya ada situasi dimana gue harus ngelepasin topeng ini, setidaknya gue masih kelihatan beken," jawab Kei, tampak bangga sekali dengan penampilannya hari itu.
Aku tidak memperhatikan lagi perdebatan Queen dan Kei saat Lidya datang mendekati kami. Dia mengenakan dress yang terlihat nyaman, tidak berlebihan seperti yang dipakai ke kondangan namun juga tidak malu-maluin kalau harus ketemu orang. Dia tersenyum padaku. "Hai."
"Hai." Aku juga tersenyum.
"Tinggal siapa aja nih yang belum?" tanya King. "Si Lisa kemana?"
Aku baru saja ingin menjawab, tapi Lisa sudah mendahuluiku. "Katanya dia nggak bisa dateng hari ini."
"Lah, kok gitu?"
"Iya. Katanya lagi nggak enak badan," jawab Lidya.
"Ya ampun, tuh anak. Padahal dia yang paling ngebet buat ikut acara ini loh. Sayang banget nggak bisa dateng. Emangnya dia sakit apa?" Kei tampak kepo.
"Hmm…" Lidya terdengar ragu. "Biasa. Masalah cewek."
Tampak Kei dan King langsung salah tingkah, sementara Queen langsung mengangguk-angguk dengan penuh pengertian. "Kalau itu sih gue paham. Kalian cowok-cowok nggak bakal ngerti deh sakitnya gimana."
"Iya, iya. Kami cowok-cowok emang hoki," kata King pasrah. "Ya udah, kita ke kantin dulu yuk. Gue laper nih, belum makan dari tadi siang," ajaknya.
Semuanya pun bersama-sama menuju kantin. King langsung memesan satu porsi nasi lemak langganannya dan melahapnya sampai habis tanpa ragu, sementara Kei dan Queen tidak memesan banyak, karena mereka yakin bakal ada banyak snack yang dijual pada saat acara nanti. Aku dan Lidya sendiri juga masing-masing memesan seporsi empek-empek. Jujur saja, ada satu hal yang membuatku penasaran. Kenapa Lisa bisa tahu Lidya tidak bisa datang? Rasanya kurang meyakinkan kalau Lisa menghubungi Lidya dan bukan Queenie. Maksudku bukan apa-apa. Biar bagaimanapun, Lisa lebih dekat dengan Queenie karena sudah berteman lebih lama. Dan lagipula, entah cuma perasaanku atau tidak. Lisa dan Lidya kelihatannya tidak terlalu cocok.
Di saat kami semua sudah siap makan, terlihat wajah King yang tiba-tiba saja tampak pucat. Sesuatu yang mengherankan, berhubung cowok ini kulitnya rada gelap sampai ke wajahnya. Ditambah lagi, King seorang atlet yang selalu menjaga kesehatannya. Dia tipe orang yang akan menjaga dietnya lebih ketat daripada dia menjaga penampilannya. Belum lagi ototnya yang tersebar dari ujung kepala sampai ujung kaki, sampai-sampai kurasa segala jenis bakteri dan kuman pun akan mental melihatnya. Intinya, melihat King tampak pucat pasi adalah sesuatu yang sangat jarang terjadi.
Namun, saat ini memang itulah yang terjadi. Saat kami semua sedang menuju gedung B tempat diselenggarakannya acara, Kei tampak memegangi perutnya dan berjalan tertatih-tatih.
"Oi, King. Lo kenapa?" tanyaku.
King menyandarkan diri di dinding. "Nggak tahu. Perut gue… sakit banget."
"Lo salah makan kali," kata Queen yang tampak khawatir. "Jangan-jangan nasi lemak ibu itu bermasalah."
"Tapi rasanya nggak mungkin," kataku. "Ibu itu udah jualan di sini jauh sebelum zaman kita. King sendiri udah langganan sama ibu itu. Nggak pernah ada masalah."
"Ke toilet aja. Buang apa yang perlu dibuang," ucap Kei dengan nada ringan.
Kei memelototinya. "Ini bukan sakit yang perlu ke toilet. Lebih kayak sakit pas gue kena usus buntu dulu."
"Apa sebaiknya kamu istirahat di klinik aja?" usul Lidya. Ya, memang sepertinya itu ide yang paling baik. Dengan kondisi seperti ini, King tidak akan bisa ngapa-ngapain untuk malam itu.
"Ya udah, biar gue yang antarin," Kei dengan semangatnya menawarkan diri. "Itung-itungan sebagai bentuk terimakasih karena udah adain acara sehebat ini."
"Gue cuma bagian promosi kali," jawab King meskipun sedang kesakitan. "Sisanya orang lain yang kerjain."
"Ya udah, Kei, lo bawa King ke klinik kampus deh. Kami mesti ke kelas dulu buat ngisi absen," kataku setelah membaca pesan dari grup kelas. Ternyata, meskipun sedang ada acara kampus, absensi kami tetap diperhitungkan. "Nanti lo nyusul ke atas. Absensi King biar gue yang ngurus."
Kei mengacungkan jempol seraya membawa King pergi, sementara aku, Lidya, dan Queen mulai menaiki tangga menuju lantai empat dimana kelas kami berada. Yah, kami semua, kecuali Lidya berhubung dia masih semester satu. Tapi katanya dia sendiri tidak memiliki kelas pada jam itu, jadi tidak perlu repot-repot mengabsen seperti kami.
Aku melihat kerumunan yang tampak semakin ramai. Sekali lagi, semuanya mengenakan kostum yang kurang lebih sama. Di tepi lapangan, banyak orang yang menyediakan cat, kuas, dan cermin bagi orang-orang yang tertarik untuk menghiasi wajah mereka, sama seperti yang dilakukan Kei. Aku tersenyum melihat begitu semangatnya semua orang hari itu. Semuanya tampak senang dan bangga sekali dengan penampilan mereka. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku relate dengan mereka, tapi harus kuakui, melihat betapa semangatnya mereka, aku menjadi ikut bersemangat.
Sepertinya ini akan menjadi malam yang seru.