POV : Lisa
Sehari sebelumnya…
Perkembangan yang dramatis.
Aku sudah tahu sosok Lidya ini mencurigakan, tapi aku tidak menduga bahwa dia adalah adik Jai. Aku juga tidak menduga bahwa Jai akan menggunakan siasat yang sama dengan yang sudah dia gunakan sebelumnya, yaitu berpura-pura menjadi teman Calvin lalu menyerangnya. Hanya saja, kali ini dia tidak mengerjakan tugas itu sendiri, melainkan menugaskannya pada adiknya.
Aneh. Aku tidak pernah tahu kalau Jai punya adik. Aku pernah mendengar dari Om Peter bahwa ibu Jai meninggal dalam keadaan hamil, bersama dengan anak yang dikandungnya. Karena itulah selama ini kukira adik Jai itu sudah meninggal. Tahu-tahunya dia masih hidup dan sudah memasuki kehidupan kami semua.
Kalian bisa membayangkan kekesalanku saat bertemu dengan Jai untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Dasar brengsek. Aku tidak akan pernah melupakan apa yang dia lakukan pada teman baikku saat SMA. Bukan hanya dibunuh, temanku itu juga diperkosa beramai-ramai alias gang-rape. Saat tubuh temanku itu tidak lagi mampu menahan tekanan seberat itu, akhirnya dia tewas. Memang bukan Jai sendiri yang mengambil nyawanya itu, namun teman kami masih akan hidup kalau bukan gara-gara Jai dan ayahnya. Aku tidak bisa membayangkan perasaan temanku itu pada saat semua terjadi padanya. Pasti dia merasa sakit, takut, dan pedih yang luar biasa.
Meskipun kejadiannya sudah terjadi lama sekali, mengingatnya saja sudah membuat dadaku sesak.
Menurut pengakuan Lidya yang membuka mulut setelah Jai pergi, sepanjang yang dia tahu, Calvin dan Om Peter yang membunuh ayah mereka beberapa tahun yang lalu. Tidak, bukan hanya mereka saja. Lidya juga menunjuk kami semua, termasuk aku, sebagai orang yang bersalah atas kematian ayahnya. Ya, aku akui, memang kami turut andil dalam menggagalkan rencana Jai dan ayahnya waktu itu, tapi kami tidak membunuhnya. Semuanya akan aman-aman saja seandainya mereka menyerah dengan baik. Hanya saja, ayah Jai yang saat itu sudah terlalu marah tidak bisa menerima kekalahannya dan berusaha kabur dengan menyerang salah satu aparat polisi. Karena tindakannya yang sudah di luar nalar, polisi menembak mati-nya saat itu juga.
Aku tidak berharap Lidya akan percaya padaku. Yah, biar bagaimanapun kami berada di posisi yang berlawanan. Ditambah lagi, otak dia sudah dicuci kering oleh kakaknya yang psikopat selama beberapa tahun terakhir.
Tapi aku bisa merasakan sesuatu dari Lidya. Aku rasa dia tidak ingin melakukan ini. Bahwa dia tidak ingin menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Setidaknya, itu yang dia katakan saat berargumen dengan kakaknya tadi.
Kalau apa yang dia ceritakan itu benar, aku mulai simpati padanya. Biar bagaimanapun juga, dia tidak ada urusannya dengan apa yang terjadi belasan tahun yang lalu sebelum dia dilahirkan. Pertikaian antara ayahnya dengan Om Peter meninggalkan efek yang sangat buruk. Ibunya meninggal saat melahirkannya, ayahnya dipenjara, dan semenjak kecil, dia dan Jai harus tinggal di panti asuhan. Saat ayah mereka bebas, bukannya hidup bertiga dengan damai bersama anak-anaknya, dia malah melatih mereka ala-ala preman yang hidup di Golden Triangle. Kabarnya, ayahnya begitu dingin terhadap mereka berdua sampai-sampai Lidya tidak pernah melihat senyum ayahnya sama sekali. Sial. Kalau memang itu yang terjadi sih, aku tidak heran Lidya kehilangan kewarasannya.
Sepeninggalan kakaknya, Lidya melepaskan ikatan di tangan dan kakiku, membuatku bebas bergerak. Kalau mau, aku bisa saja langsung berduel dengannya sampai titik darah penghabisan lalu kabur dari sini. Namun, begitu melihat pasukan Jai yang bersenjata api sedang menungguku di luar, aku memutuskan untuk mencari kesempatan yang lebih baik.
Aku menunggu sampai tengah malam baru berusaha keluar dari tempat itu. Aku berusaha menyelinap dan berhasil melumpuhkan salah satu dari penjaga malam itu tanpa mengeluarkan suara, namun saat aku akan menyerang orang kedua, mendadak saja aku tersengat listrik yang sangat kuat, membuat tubuhku lemas dalam sekejap.
Rupanya pistol yang mereka pegang itu pistol listrik, bukan pistol sungguhan.
Lebih sialnya lagi, saat tubuhku sedang tidak berdaya, dua dari mereka mendekatiku sambil tertawa mesum. Mereka kemudian melepaskan ikat pinggang yang melilit di tubuh mereka. Tidak perlu orang pintar untuk tahu apa yang ingin mereka lakukan. Aku berusaha melawan, namun tubuhku hanya kejang-kejang karena kesetrum.
Saat mereka sudah mulai membuka baju, mendadak saja aku melihat Lidya mengambil sebuah rantai besi yang cukup berat dan mencambuk salah satu dari mereka di muka, membuatnya mengerang dengan kesakitan. Yang satunya lagi berusaha menghadapi Lidya namun langsung dihajar sampai babak belur. Aku jadi salut melihatnya berjuang melindungiku.
Sudah kuduga Lidya juga bisa bela diri.
Saat Lidya sedang menggebuki preman itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang dari belakangku.
"Cukup," ucapnya. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki yang berwajah familiar muncul. Sebentar, aku tahu orang ini. Bukankah dia sudah…?
"Dia ikut kami," katanya dengan nada otoriter seolah tidak ingin dibantah. Lidya protes, tapi cowok itu tidak menggubris.
Saat dia melilit tubuhku dengan rantai besi yang tadi Lidya gunakan, aku berusaha melawan. Tapi tidak ada gunanya. Cowok itu terlalu kuat untukku, dan juga untuk Lidya. Meskipun tidak senang, harus kuakui aku sedikit lebih tenang mengikuti pria ini. Bagaimanapun, aku tahu dia tidak mesum seperti konco-konconya yang lain. Ditambah lagi, dari dulu dia sudah setia banget pada Jai, yang kurasa tidak berminat dalam hal pemerkosaan atau sejenisnya. Jadi untuk sementara, aku aman.
Cowok itu menarikku dengan kurang ajar sambil berkata kepada Lidya, "Kalau lo mau dia bebas, tuntaskan pekerjaan lo secepatnya. Lo tahu sikap abang lo sendiri."
Setelah itu, cowok itu membawaku pergi.
Aku tidak tahu pasti, tapi kalau aku mengambil asumsi dari pengakuan Lidya, kurasa pekerjaan yang mereka maksud adalah tugas Lidya untuk mendekati Calvin kemudian mendapatkan bukti yang mereka perlukan untuk membuktikan bahwa keluarga Calvin bersalah atas tewasnya ayah Jai dan Lidya. Bisa kujamin, itu hal yang tidak mungkin. Sebab Calvin dan keluarganya memang tidak bersalah. Ditambah lagi, kurasa Lidya juga mulai naksir pada Calvin, makanya selama ini dia selalu mengulur pekerjaannya, sampai-sampai abangnya tidak tahan lagi dan turun tangan sendiri dengan menangkapku.
Aku dibawa ke sebuah bis berwarna hitam yang sudah buruk, dan begitu berada di dalam bus itu, kepalaku langsung ditutup dengan kain hitam. membuatku tidak dapat melihat apa-apa. Aku tidak tahu kemana arah orang-orang ini sedang membawaku, tapi aku tahu bahwa perjalanan yang kutempuh ini sangat jauh. Mungkin aku dibawa ke pinggiran kota atau semacamnya.
Saat kami akhirnya sampai, aku tidak bisa mendengar apapun kecuali suara-suara kami sendiri. Ya, bukan hal yang mengherankan kalau mereka membawaku ke tempat yang tidak ada orangnya. Meskipun kota kami ini sudah kriminal banget, kumpulan cowok-cowok yang membawa cewek dalam keadaan kepala tertutup pasti akan menimbulkan pertanyaan yang tidak sedikit.
Aku kemudian dituntun untuk menaiki anak tangga masih dengan kondisi kepala tertutup. Tidak lama kemudian, aku didudukkan di atas kursi dan badanku kembali diikat. Barulah saat itu mereka melepaskan kain hitam itu dari wajahku.
Aku melihat sekeliling. Sepertinya saat ini aku berada di gedung yang sudah ditinggalkan setidaknya selama belasan tahun. Tempat ini kumuh dan cocok banget menjadi pusat kegiatan preman-preman tidak jelas. Saat aku kembali memperhatikan apa yang ada di depanku, barulah aku melihat wajah Jai yang psikopat banget.
"Seperti yang gue duga, lo emang bakal nyusahin rencana gue, Lis," ucapnya dingin. Wajahnya tidak memiliki ekspresi sama sekali, membuatku bergidik. Namun tetap saja, aku berusaha memasang tampang tidak takut mati.
"Dan seperti yang kami duga, lo bakal kembali buat nyari masalah dengan kami lagi," balasku dengan nada tak kalah dinginnya.
Jai menyeringai dengan ekspresi dingin. "Karena itulah kalian melibatkan Brandon Ong?"
Aku membeku mendengar itu. Bagaimana bisa dia tahu soal Kak Brandon?
"Nggak usah kaget gitu," kata Jai sambil beranjak dari kursinya. "Masa sampai sekarang kalian belum tahu seberapa hebatnya gue mencari informasi? Apa kalian udah lupa saking lamanya terpisah dengan gue?"
"Gue tahu soal cowok bernama Brandon dan historinya. Dia… punya pengalaman," ucap Jai sambil berjalan mengelilingiku. "Lucu juga dia sampe ngehancurin karir dan hidup seorang politikus muda hanya atas nama cinta. Dasar orang naif. Tapi udahlah, gue nggak pengen ngomongin orang nggak penting kayak dia. Terlalu gampang diurus buat gue bicarain terus menerus. Tapi ceweknya cakep, gue akui itu. Nggak heran Brandon tergila-gila sama dia."
"Jangan berani nyentuh mereka, bangsat! Kalau berani, hadapi gue langsung!" Aku mengerang.
"Kalau lo ngerasa lo bisa menghadapi gue, itu berarti lo terlalu percaya diri, Lisa. Atau bisa jadi karena saking naksirnya lo sama Calvin, lo jadi hilang akal sehat," Jai mendengus. "Nggak usah berusaha untuk nutupin perasaan lo kali, Lis. Orang bego juga tahu lo naksir sama Calvin. Gue rasa Calvin juga tahulah. Dia kan nggak bego. Bisa aja selama ini dia udah tahu gimana perasaan lo ke dia, dan dia cuma nggak tega nolak lo secara langsung doang."
"Jujur aja, Lis, gue mulai kasihan sama lo. Lo udah berkorban banyak banget cuma dia, tapi dia sama sekali nggak pernah nganggep lo ada. Bahkan dia lebih milih Lidya yang baru masuk ke kehidupan dia beberapa bulan daripada lo yang udah nemenin dia bertahun-tahun. Lo nggak kasihan sama diri lo sendiri?"
Bangsat. Aku tahu ini hanya permainan Jai, tapi kata-katanya memang benar adanya. Aku sudah berada di sisi Calvin semenjak semenjak dia sadar dari koma beberapa tahun yang lalu. Aku memang tidak berharap apa-apa, tapi kurasa akan wajar seandainya Calvin mulai merasakan kehadiranku dan memperhatikanku, walaupun hanya sedikit. Namun yang terjadi adalah, setelah semuanya, dia tetap menganggapku sebagai sahabat semata. Dia tidak pernah tertarik padaku. Dan ajaibnya lagi, begitu Lidya masuk ke kehidupannya, Calvin langsung memusatkan perhatian padanya.
Tunggu dulu. Apa-apaan ini?? Brengsek. Aku tidak boleh terpengaruh oleh kata-kata Jai.
Sambil menahan air mataku supaya tidak jatuh, aku menatapnya dalam-dalam. "Dan gue juga kasihan sama lo. Bisa-bisanya lo nyiasatin adik lo sendiri buat mencapai rencana lo? Mana pake cara yang sama persis lagi? Udah kehilangan kreativitas ya?"
Jai mengangkat bahu. "Ya, selama berhasil, kenapa nggak boleh dipake lagi? Buktinya si Calvin klepek-klepek kan sama adik gue. Ini artinya taktik gue emang bisa jalan."
Aku menyunggingkan senyum licik. "Nggak usah bangga. Kalo emang lo sejenius yang lo bilang, lo nggak bakal gagal tiga tahun yang lalu."
Sesuai ekspektasiku, emosi Jai terpengaruh. Dia mencengkeram ujung kursiku erat-erat dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Yah, mungkin lo benar. Karena itulah, kali ini gue bakal mastiin semuanya berjalan seperti yang gue mau."
Aku hanya diam saja dan menatapnya dalam-dalam, sebelum akhirnya Jai mengalihkan pandangannya ke anak buahnya. Tanpa dikomando lagi, seseorang langsung kembali menutup kepalaku dengan kain, membuatku tidak mampu melihat apa-apa.
***
Saat aku bangun, matahari sudah terbit. Kepalaku sudah terbebas dari kain hitam itu, dan kini aku melihat sekelilingku dengan bingung. Aku sudah tidak berada di bangunan telantar yang sebelumya, melainkan berada di ruang tertutup yang entah dimana. Melihat tempat ini yang tidak ada akses udara sama sekali, bisa jadi aku sedang disekap di sebuah ruang bawah tanah. Pencahayaan di ruangan itupun minum sekali, hanya ada lampu berwarna merah yang memberikan cahaya remang-remang, mengingatkanku pada ruang infrared atau sejenisnya.
Bukan hanya itu, aku juga tidak mendengar suara sama sekali. "Hoi! Ada orang nggak di situ?" teriakku tanpa basa-basi.
Tidak ada jawaban sama sekali. Oke, berarti tidak ada orang. Berarti aku bebas berbuat seenaknya, meskipun itu hanya berarti berusaha sebaik mungkin untuk mencari tahu aku ada di mana. Sial, tempat ini tertutup banget. Kalau aku tidak keluar dari tempat ini secepatnya, bisa-bisa aku kehabisan oksigen.
Pandanganku kembali mengelilingi ruangan itu dan aku menyipitkan mataku saat aku melihat sebuah tiang bendera, Mataku semakin menyipit lagi saat berusaha melihat lebih jelas logo yang ada pada bendera itu, dan betapa kagetnya aku saat menyadari bahwa logo itu adalah logo kampusku sendiri.
Apa-apaan ini? Apa aku saat ini sedang disekap di kampus? Bagian kampus mana yang memiliki ruangan tertutup seperti ini? Aku tidak pernah tahu. Lebih parahnya lagi, bagaimana Jai dan konco-konconya bisa memasuki lingkungan kampus tanpa ketahuan?
Tapi kalau saat ini aku benar-benar berada di lingkungan kampus, aku bisa saja mencoba peruntunganku untuk berteriak minta tolong. Toh saat ini tidak ada orang yang mengawasiku, dan aku sebenarnya memang tidak punya pilihan lain untuk membebaskan diri berhubung rantai brengsek yang sedang mengikatku sangat kuat.
Jadi, itulah yang kulakukan untuk beberapa jam kemudian.
Sial. Berbeda dengan Lidya, orang-orang suruhan Jai sama sekali tidak peduli dengan kondisiku. Aku dibiarkan berjam-jam tanpa makan dan minum, membuatku saat ini sangat kelaparan dan kehausan.
Saat tubuhku melemah dan nyaris pingsan, seseorang menendang kakiku dengan kasar.
"Bos bilang lo harus tetap sadar buat menyaksikan semua yang terjadi."
Aku mendongakkan kepalaku dan mendapati cowok yang membawaku dini hari kemarin sudah berada di depanku.
Aku menyunggingkan senyum dingin. "Lama nggak ketemu, Ketua OSIS."
Cowok itu kelihatan tidak terganggu dengan nadaku yang penuh dengan sindiran itu. Dia membuka sebuah kantong plastik, yang dari baunya sudah pasti berisi makanan. Sial. Aku menjadi ngiler, apalagi saat dia membawa makanan itu ke depanku.
"Lo harus makan," katanya sambil berusaha menyuapiku.
"Thanks, lo baik banget," kataku, lagi-lagi bermaksud menyindir. Sialnya, cowok setengah robot ini sama sekali tidak bergeming dan hanya menatapku dengan kosong.
"Lo harus makan," ulangnya.
"Gue nggak butuh lo sok baik hati di sini. Lo nggak lupa gue ada di pihak lawan lo, kan?"
"Gue tahu. Dan gue sekarang cuma menjalankan perintah Bos gue. Lo harus makan."
Aku mendengus. "Perintah Bos lo? Si Jai brengsek itu? Kok lo nurut banget sih sama dia?"
"Karena dia Bos gue."
Aku semakin emosi saat menemui lawan bicara yang menjawabku sepotong-sepotong seperti ini. "Ya, lo ulangin aja terus sampai kiamat. Itu tetap nggak bakal ngejawab pertanyaan gue kenapa lo bisa setia banget sama keluarga Jai yang hancur banget itu."
Cowok yang kusapa Ketua OSIS ini terdiam lama. "Hutang budi. Keluarganya nyelametin keluarga gue. Udah sepatutnya gue ngabdi sama dia."
Aku menatap cowok itu. Aku mengenal cowok ini sejak lama, saat kami masih SMA. Saat itu dia menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi siswa kebanggaan sekolah, menjadi murid kesayangan guru, panutan bagi murid-murid cowok, dan pacar idaman bagi murid-murid cewek. Sikapnya selalu baik dan sopan, membuat siapapun merasa dia adalah salah satu anak paling berkualitas di dunia. Namun, siapa yang menyangka, dia orang yang membantu Jai untuk menyusup ke sekolah kami dan menjadi kaki tangan bagi Jai dan ayahnya untuk membuat kekacauan di sekolah kami waktu itu.
Kami semua kecewa dengan perbuatannya, namun sekarang, saat aku mendengar jawabannya, apalagi melihat matanya saat mengatakan itu, aku jadi merasa sebenarnya cowok ini juga tidak melakukan perbuatannya dengan sepenuh hati.
"Jangan membuat keputusan salah hanya karena rasa terima kasih, Herman," ucapku.
Ya, cowok ini punya nama. Herman Setiawan. Nama yang menurutku bagus banget. Dan kalau saja cowok ini tidak menjadi kaki tangan Jai, aku yakin dia akan memiliki masa depan yang cerah.
"Semua orang membuat keputusan sendiri. Sama halnya seperti lo memilih untuk tetap setia pada Calvin meskipun lo tahu suatu hari bakal terjadi hal yang tidak diinginkan," ucap cowok itu dingin. "Gue hanya melakukan apa yang menurut gue benar."
Cowok ini sepertinya sudah kelewat setia pada Jai untuk bisa kuajak bicara. "Gue tahu lo ngerasa apa yang selama ini udah Jai lakukan itu nggak benar," kataku. "Dan gue juga tahu adiknya, Lidya, punya perspektif yang sama."
Ya, meskipun aku benci mengakui ini, tapi berdasarkan percakapan antara Lidya dan Jai semalam, sepertinya Lidya tidak akur dengan saudaranya. Bukan hanya tidak akur, namun dia juga bersikeras untuk melakukan tugasnya dengan caranya sendiri, yaitu mencari bukti bahwa keluarga Calvin bersalah kemudian menyerahkan masalah ini kepada pihak berwajib tanpa melukai siapa-siapa. Sayangnya, perempuan bodoh itu belum memikirkan teknis rencananya dengan baik. Aku berani taruhan dengan nyawaku sendiri bahwa Jai tidak pernah menyetujui rencana itu. Kalaupun dia setuju, dia hanya berpura-pura supaya bisa memperalat adiknya, sementara dia menyiapkan rencananya sendiri.
Dan kini, dengan menyekapku di lingkungan kampus, aku semakin merasa rencana Jai itu berkaitan dengan menghancurkan gedung kampus kami sana-sini, sama seperti yang dia lakukan pada sekolahku tiga tahun yang lalu.
Oh ya. Malam ini kan kampus akan menyelenggarakan acara Halloween Night yang sudah dibicarakan berbulan-bulan itu. Akan banyak sekali orang yang datang, baik warga kampus maupun warga umum. Kalau Jai beraksi pada saat itu, sesuatu yang kurasa akan dia lakukan, akan banyak orang tidak bersalah yang akan terluka.
"Memangnya, apa yang Jai rencanakan, Herman?" tanyaku dengan nada was-was kepada cowok itu.
Cowok itu menelengkan kepalanya kepadaku. "Dia akan menghancurkan kalian, Lis. Dan juga semua orang yang berusaha menghalanginya."
Oh, sial.
***
Entah sudah berapa lama aku disekap di ruangan tertutup ini. Kuperkirakan sudah seharian aku berada di sini, termasuk setelah Herman mengunjungiku tadi. Ini berarti, acara Halloween Night akan dimulai tidak lama lagi.
Ah, brengsek. Aku ingin sekali memberitahu orang-orang yang ada di luar sana untuk pulang ke rumah saja dan lupakan soal menikmati acara malam ini. Dengan adanya Jai di dekat sini, tidak ada satupun warga kampus yang dapat dijamin bebas dari bahaya. Dia pernah menghancurkan sebuah bangunan sekolah tiga tahun yang lalu, dan aku sama sekali tidak ragu dia mampu melakukan hal yang sama.
Lebih brengsek lagi, tepat saat aku berpikir seperti itu, terdengar suara dentuman yang keras dari atasku. Sebagai orang yang pernah terjebak di bangunan yang dibom sebelumnya, aku tahu bahwa itulah yang sedang terjadi sekarang ini. Dentuman itu terdengar sampai tiga kali, satu kali di antaranya terdengar lebih samar dibandingkan yang lainnya.
Dasar Jai gila. Bisa-bisanya dia meledakkan bangunan kampus. Memangnya dia kira orang luar tidak akan melihatnya? Sudah pasti segera setelah ledakan ini terjadi, orang-orang akan menelepon polisi dan ambulans yang langsung akan mendobrak masuk ke kampus ini untuk menyelamatkan semua orang.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Jai bukanlah orang yang sebodoh itu. Dia pasti akan memperkirakan bahwa tindakannya itu akan menarik perhatian polisi. Dan karena dia sudah berani meledakkan kampus ini, bisa jadi dia sudah mempersiapkan hal lain yang dapat digunakan untuk mencegah polisi memasuki lingkungan kampus.
Pertanyaannya adalah, apa hal yang sudah dia siapkan itu?
Di saat aku sedang mencak-mencak karena bangunan kampus sedang dibom dan teman-temanku entah selamat atau tidak sementara aku hanya disekap di sini tanpa dapat melakukan apa-apa, pintu ruangan itu terbuka.
Kali ini, Jai yang datang dan dia tidak sendiri.
Dia sedang membawa Lidya yang tampak tidak sadarkan diri. Penampilannya terlihat ruwet. Gaun yang dipakainya untuk malam ini sudah acak-acakan dan sobek sana-sini, memamerkan kulitnya yang sepertinya mulus-mulus saja kalau tidak sedang berdarah seperti sekarang ini. Mulutnya ditutup dengan lakban dan dia diikat di sebuah kursi tepat di depanku.
Aku memelototi Jai, tapi dia mengacuhkanku seolah-olah aku tidak ada di sana. Setelah sekitar lima belas menit kemudian, barulah Lidya sadar. Dia melihat sekelilingnya, berusaha untuk mencari tahu dia ada dimana. Dia kaget saat melihatku ada di depannya, dan juga kaget saat melihat Jai ada di tengah-tengah kami.
"Brengsek lo!" Tidak kuduga, itulah yang pertama kali Lidya ucapkan kepada abangnya sendiri. "Ngapain lo pake acara bom kampus segala? Banyak orang yang terluka gara-gara lo, tau. Udah gue bilang, gue nggak mau ada yang terluka hanya karena masalah kita."
"Kalau lo percaya bahwa gue setuju dengan pendapat lo yang sok baik itu, itu artinya lo lebih bodoh yang gue kira," ucap Jai dingin. "Gue nggak peduli berapa orang yang terluka atau bahkan mati asalkan rencana gue berhasil."
"Rencana yang goblok, omong-omong." ucapku dengan nada tidak takut mati. "Lo ngebom kampus sana-sini, emangnya lo kira orang-orang pada nggak liat? Ini kampus paling terkenal seprovinsi, bro. Kebakaran aja udah masuk koran, apalagi dibom begini. Sekarang di atas sana pasti udah ada polisi, paramedis, bahkan tim Gegana yang datang buat ngeciduk lo."
Mendengar kata-kataku, Jai hanya menyunggingkan senyum tipis. "Soal itu, nggak usah khawatir. Mereka saat ini sedang disibukkan dengan hal lain."
Dugaanku benar. Jai sudah mempersiapkan sesuatu untuk mengalihkan semua pihak berwajib yang dibutuhkan. Dengan kata lain, saat ini kami sendirian.
"Untuk sekarang ini, kalian diam di sini aja. Gue masih ada hal yang harus dilakukan di atas sana," ucap Jai sebelum akhirnya meninggalkan kami.
Aku dan Lidya hanya berdiam-diaman untuk sementara. Diam yang mencekam namun juga terasa canggung.
"Jadi, gimana keadaan di luar sana?" tanyaku kemudian.
Lidya terdiam lama. "Bangunan kampus masih berdiri, meskipun udah nggak utuh. Sepenglihatan gue sih, jumlah korban nggak terlalu banyak. Sepertinya mereka berhasil kabur dengan cepat."
"Terus temen-temen gue gimana?" desakku.
Lidya terdiam lagi. "Sorry," ucapnya dengan nada bersalah. "Kami terpisah dan sekarang gue nggak tahu mereka dimana."
"Terpisah?" Aku yang sudah kesal semakin kesal mendengarnya. "Kok bisa terpisah? Apa itu taktik lo untuk memisahkan mereka supaya gampang diincar?"
Wajah Lidya tampak pasrah. "Udah gue bilang baik sama lo maupun sama Jai entah yang keberapa kalinya, gue nggak pernah mau ada yang terluka hanya gara-gara dendam keluarga gue. Terserah lo mau percaya atau nggak."
Jujur saja, aku juga ragu apakah aku seharusnya percaya pada cewek di depanku ini. "Gimana dengan Calvin? Dia terpisah juga?"
Lidya menggeleng. "Nggak. Calvin tetep sama gue sampai akhirnya gue dibawa sama Jai. Meskipun begitu, keadaannya nggak begitu baik."
Aku bisa merasakan wajahku memucat. "Maksud lo?"
"Segera setelah bom-bom itu meledak, Jai berbicara pada Calvin melalui speaker. Dia nggak ceritain semuanya, tapi cukup untuk membuat Calvin bertanya-tanya soal masa lalunya dan juga… soal gue," aku bisa mendengar nada kecewa dari kata-katanya. "Saat kami lagi mau nyari temen-temen yang lain, orang-orang Jai datang untuk berhentiin kami. Kami bisa saja menang, tapi si Herman malah muncul dan menawanku. Pas aku sudah mau dibawa pergi, Calvin memberontak sebelum akhirnya…" Lidya tampak pucat juga, "kepalanya dihantam dengan tongkat besi."
"Tongkat besi?" Aku nyaris berdiri saking kagetnya, namun tidak bisa karena badanku masih terikat. "Yang bener aja? Kalau dihantam sama tongkat besi di bagian kepala, bisa-bisa dia udah tewas, kali."
Lidya mengangkat kepalanya. "Itu juga yang kukhawatirkan, tapi kalau dipikir-pikir, Jai nggak mungkin ngebiarin konflik ini selesai begitu aja. Dia pasti mau showdown sama Calvin untuk membalaskan kemarahannya selama ini."
Aku mendengus dingin. "Nyadar juga ya kalo lo punya keluarga psikopat."
"Kalau lo pengen bikin gue kesel, sori, itu nggak bakal berhasil. Gue lebih rela ngabisin waktu gue untuk berusaha keluar dari tempat ini daripada dibikin kesel sama orang nggak jelas."
Sialan, aku dipanggil orang nggak jelas. Tapi biarlah. Toh dia ada benarnya. Di saat seperti ini, tidak ada gunanya aku melampiaskan kekesalanku. Lebih baik aku mencari cara untuk membebaskan diri dari rantai besi yang tidak bergeming dari tadi ini.
"Eh," aku memanggilnya tanpa sopan santun sedikitpun. "Lo bisa bebasin diri sendiri nggak? Katanya udah dilatih sama abang lo itu bertahun-tahun. Harusnya bisa dong."
Cewek itu mendelik ke arahku, kemudian melepaskan ikatan di tangannya dengan mudah seolah-olah dia hanya diikat dengan seutas benang. Setelah membebaskan ikatan di kakinya juga, dia menghampiriku.
"Rupanya lo diiket pake rantai besi. Pantesan nggak bisa gerak dari tadi," ucapnya.
Aku memelototinya. "Udah bacotnya? Bisa lepasin gue sekarang?"
Sebenarnya, aku juga tahu untuk membuka rantaian itu tidaklah mudah. Kalau saja di ruangan ini ada kapak atau sejenisnya, mungkin saja Lidya bisa menggunakannya untuk menghancurkan rantai ini. Namun, berhubung ruangan ini benar-benar kosong selain dua kursi kayu, dia juga tampak kebingungan harus berbuat apa.
Tanpa kuduga, Lidya mengambil sebuah jepit rambut dari sakunya dan mulai mempreteli gembok yang mengunci rantai besi keparat ini. Tidak butuh waktu lama sampai tangan dan kakiku akhirnya bebas bergerak. Ternyata cewek ini juga tahu jurus yang keren itu.
"Terus sekarang gimana?" tanyanya.
Dasar. Memangnya perlu ditanya? "Tentu saja keluar dari sini dan cari teman-teman kita, lalu keluar dari tempat ini dan nyuruh polisi ciduk abang lo, terserah mau dipenjara atau disekap di rumah sakit jiwa.
"Lo pikir di sisi lainnya dari pintu ini nggak bakal ada yang ngejagain? Asal lo tahu, orang-orang ini ada yang bawa senjata api. Kalo lo nyelonong begitu aja tanpa mikir, bisa-bisa lo yang mati," sergah cewek itu.
"Terserah lo mau bilang apa," kataku. "Biar gimanapun, gue tetep mau nyelametin teman-teman gue dan bakal ngabisin semua yang menghalangi gue. Termasuk lo," ucapku tajam.
Cewek itu terdiam lama. "Yaudah. Gue pretelin dulu pintu ini."
"Nggak usah repot-repot," ucapku kemudian mengangkat kursi yang masih panas karena kududuki selama berjam-jam, lalu menghancurkannya pada pintu keparat di depanku ini. Alhasil, gagangnya langsung lepas dalam sekejap. "Selesai kan?"
Cewek itu tidak menjawab dan membiarkanku berjalan lebih dulu. Tidak seperti yang dia katakan, tidak ada orang yang menyambut kedatangan kami. Eh, sorry, ternyata ada. Ada dua orang yang sedang duduk agak jauh dari tempat kami dan sedang bermain kartu, mungkin karena mengira kami tidak akan berusaha untuk kabur. Aneh juga. Memangnya mereka tidak mendengar suara benturan pintu barusan yang keras banget itu?
Salah satu dari mereka melihatku dan berteriak, "Brengsek. Mereka mau kabur!"
Bagus. Akhirnya, setelah sekian lama disekap, aku punya kesempatan untuk melampiaskan kekesalanku. Saat salah satu dari mereka berusaha menggapaiku, aku meraih tangannya dan membantingnya ke tanah. Sementara itu, yang satunya lagi kuberi tendangan di dada, saking kerasnya sampai dia membentur dinding dan pingsan seketika.
Setelah mereka pingsan, aku menaiki tangga untuk keluar dari ruang bawah tanah yang sumpek itu. Saat aku membuka pintu, kulihat ada belasan orang yang menodongkan senjata mereka padaku dan Lidya, dan Jai duduk dengan tenang di tengah-tengah mereka.
Brengsek.