Chereads / Kembalinya Masa Lalu / Chapter 16 - Chapter 16

Chapter 16 - Chapter 16

POV: King

Satu jam sebelumnya…

Sebenarnya, aku sendiri juga tidak terlalu menyukai ide untuk menyelenggarakan acara pada malam ini.

Ya, aku tahu ini hal yang kontradiktif untuk kuucapkan berhubung aku termasuk salah satu panitia acara ini. Tapi, seperti yang sudah pernah kujelaskan kepada teman-temanku, aku hanya kebagian menjadi seksi promosi untuk acara kali ini dan tidak terlibat dalam kegiatan operasionalnya. Sebenarnya, aku sama sekali tidak ingin terlibat dalam acara ini, bahkan, kalau bisa pun aku memilih tidak datang. 

Sebelum kalian mengira aku pemalas ataupun cowok kuper, sepertinya aku perlu menjelaskan sesuatu. Aku masih punya mindset yang sesuai dengan umurku. Maksudku, aku masih berminat dengan yang namanya acara kampus dan hang-out bareng teman-temanku yang lain. Aku bahkan sering bergabung dalam panitia yang menyelenggarakan acara-acara seperti itu. Aku termasuk mahasiswa kura-kura, alias kuliah-rapat kuliah rapat. Aku senang berorganisasi dan terlibat dalam beberapa organisasi yang aktif menyelenggarakan acara, baik di dalam kampus maupun di luar kampus.

Hanya saja, aku tidak suka objek dari acara malam hari ini. Aku tidak pernah suka Halloween, karena banyak orang suka berdandan yang aneh-aneh. Salah satu dandanan yang paling sering kutemui adalah badut, dan aku sangat membenci badut lantaran pernah dibuli menjadi badut saat aku masih kecil. Tapi bukan itu yang akan dibahas di sini.

Saat aku dan adikku, Queen, tiba di lingkungan kampus, aku kesulitan mencari teman-temanku yang lain. Sebenarnya kami sudah membahas akan datang ke acara ini bersama-sama dengan teman-temanku yang lain. Namun, Kei yang merupakan pemilik dari mobil yang bakal kami tumpangi baru bangun dari tidur siangnya di saat kami semua siap jalan. Kalau menunggunya, kami semua pasti terlambat. Karena itulah, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat sendiri-sendiri saja. 

Setelah beberapa lama berusaha mencari, akhirnya kami menemukan mereka. Untung saja malam ini panitia acara menganjurkan orang-orang yang datang mengenakan pakaian biasa saja, yaitu kemeja putih dan celana hitam bagi cowok, dan gaun buat cewek. Ini berarti aku tidak perlu berhadapan dengan orang-orang berpakaian aneh sepanjang malam. Kami hanya diminta untuk mengenakan topeng, dan kebetulan aku dan teman-temanku membuat topeng sendiri, jadi semuanya standar-standar saja. Setelah berkumpul, bersama-sama kami ke kantin kampus untuk makan. Aku punya rencana untuk berdiam di kantin saja sepanjang acara, berhubung di sana satu-satunya tempat dimana orang-orang akan melepaskan topeng mereka lantaran mereka tidak akan bisa makan atau minum dengan memakai topeng. Tapi aku tahu rencanaku itu akan ditolak mentah-mentah oleh yang lainnya.

Aku memesan seporsi nasi lemak langgananku dan kembali bergabung dengan teman-temanku. Saat pesananku datang, aku melahapnya tanpa ragu sama sekali. Aku tidak menduga tidak lama setelah aku mengosongkan piring itu, perutku mulai sakit. Aneh, aku jarang sekali sakit perut. Ini akan terdengar aneh, namun aku bukanlah orang yang terlalu higienis. Aku pernah langsung makan dengan tanganku setelah bermain pasir seharian. Seingatku aku juga tidak makan yang aneh-aneh seharian ini. Ibu penjual nasi lemak ini juga termasuk hopengku di kampus ini dan aku tahu dia selalu menjaga kebersihan makanan yang dia sajikan.

Ah, sial. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Anehnya juga, ini bukan sakit perut yang membuatku ingin ke toilet. Rasanya hanya… sakit.

Melihat kondisiku, teman-temanku akhirnya menyuruhku untuk beristirahat di klinik kampus. Ya, kampus kami memiliki klinik sendiri. Memang tidak besar, tapi cukup untuk menangani masalah medis setidaknya untuk sementara.

Salah satu sohibku yang bernama Kei membawaku ke klinik itu dan meninggalkanku setelah memastikan ada dokter yang tersedia. Sialan, aku ditinggal sendirian begitu saja. Tapi ya sudahlah, aku juga tidak butuh ditemani hanya karena sakit perut. Toh ada bagusnya juga seperti ini. Paling tidak, aku tidak perlu terlibat banyak dengan apapun yang mereka lakukan di luar sana.

Sejujurnya ini pertama kali aku mengunjungi klinik kampus ini. Setelah menunggu beberapa lama, dokter yang berjaga malam itu datang. Dia mengenakan jas dokter, lengkap dengan stetoskop dan masker medis di wajahnya, membuatku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, apalagi dia juga mengenakan kacamata. Tapi dokter itu tidak terlihat seperti dokter yang hobi ramah tamah dengan pasiennya. Suster yang mendampinginya juga terlihat seperti itu.

"Baring," perintahnya singkat.

Aku tentu saja tidak senang dengan nada bicaranya, namun tidak berkata apa-apa lantaran aku yang pasien di sini. Aku menjelaskan kondisiku tanpa diminta, dan saat aku berbicara, mereka tidak memberikan reaksi apa-apa.

"Mungkin saya cuma perlu minum obat," kataku mengakhiri penjelasanku.

Mereka masih diam.

"Dokter?" aku memanggilnya sekali lagi, namun yang dipanggil tetap diam, juga susternya.

Oke, ini mulai terasa aneh.

"Dokter, bisa nggak kasih obat buat kondisi saya?" Aku mulai merasa kesal, namun rasa kesalku itu berangsur menjadi keraguan saat suster itu membawa jarum suntik yang tidak terlalu besar.

Apa-apaan ini? Sejak kapan sakit perut perlu disuntik obat?

"Jangan khawatir," suara dokter itu terdengar dingin, membuatku sedikit bergidik. "Kami tahu apa yang terjadi padamu."

"Sakit yang kamu rasakan sekarang itu adalah reaksi dari obat yang kami berikan padamu," tambahnya.

Hah? Aku mengernyitkan dahi. "Obat yang kalian berikan? Apa maksudnya? Dan untuk apa jarum suntik itu? Memangnya saya perlu disuntik hanya karena sakit perut?"

Namun, sebelum aku sempat protes lebih banyak lagi, suster itu sudah menahan kedua tanganku, memastikan aku tidak bergerak sama sekali. Asal tahu saja, aku bukan orang yang gampang dijatuhkan. Begini-begini, aku jago bela diri, bahkan pernah mewakili sekolahku ke pertandingan kota. Tentu saja aku berusaha melawan, tapi sial, berhubung kondisiku sedang tidak fit, usahaku tidak terlalu berhasil. Ditambah lagi, tenaga suster itu, meskipun dia cewek, tergolong cukup kuat. Lalu, tanpa keraguan sama sekali, detik berikutnya, dokter itu sudah menghujamkan jarum suntik itu di leherku dan memindahkan semua isinya ke dalam tubuhku. Tidak butuh waktu lama, aku bisa merasa tenagaku berkurang banyak dan aku merasa lelah sekali. Aku berusaha untuk tetap sadar, namun rasanya sangat sulit.

"Jangan khawatir," ucap dokter itu dengan nada yang sama, sebelum membuka maskernya dan menampakkan wajah yang tampak asing dan dingin. "Dibandingkan dengan teman-teman kamu yang lain, kamu yang berada di situasi paling menyenangkan. Bagaimanapun juga, target kami bukan kamu."

Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Apa artinya ini? Apa aku sengaja diracun untuk dibawa ke sini? Siapa orang-orang ini? Dan apa yang akan mereka lakukan pada teman-temanku yang lain?

Aku tidak bisa memikirkan apa-apa lagi saat tenagaku memudar. Sial, seharusnya memang kami tidak mengadakan acara ini.

***

Saat aku membuka mataku, yang kulihat hanyalah langit-langit yang berwarna putih. Aku berusaha untuk duduk, hanya untuk menyadari kedua kaki dan tanganku diikat pada tepi ranjang pasien. Oh ya, tadi kan aku sakit perut sehabis makan malam, lalu Kei mengantarku ke klinik ini sebelum dokter gila dengan susternya yang sudah tidak waras itu menyuntikku entah dengan apa, membuatku kehilangan kesadaranku.

Aku berusaha melepaskan diri, tentu saja, namun tenagaku masih belum pulih sepenuhnya. Sial, apa yang sudah terjadi? Kenapa tahu-tahu aku jadi diculik begini? Siapa dokter dan suster yang tadi? Sudah jelas mereka bukanlah tenaga medis yang sebenarnya.

Awalnya aku mengira aku ditinggal sendirian di ruangan itu, tapi ternyata aku salah. Aku mendengar suara gerak-gerik yang berasal dari sisi lainnya kain pembatas itu, dan saat mereka mendekat, aku berpura-pura belum sadar untuk mendengar percakapan mereka. Siapa tahu, dengan begitu, aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa aku bisa menjadi korban penculikan begini.

"Yang ini dibiarin di sini aja?" Terdengar suara seorang cowok yang berat. Jelas bukan orang yang menyamar menjadi dokter tadi.

"Iya," terdengar suara yang lain menjawab. Cowok juga, jadi jelas juga bukan suster yang tadi. "Dia nggak bakal bangun dalam waktu dekat, kan?"

"Seharusnya nggak. Tapi, biar lebih aman," cowok itu berpikir sebentar, "mending kita kasih obat biusnya lagi."

Cowok yang satu lagi menyetujui. "Oke."

"Enak aja!" Tidak tahan lagi mendengar percakapan mereka, aku menyudahi sandiwaraku. Aku tidak sudi menjadi korban bius untuk yang kedua kalinya dalam satu malam. "Mau bius gue? Langkahi dulu mayat gue, bro!"

Kedua cowok itu saling bertatapan dengan bingung, kemudian salah satu dari mereka menyambar jarum suntik yang sama dengan sebelumnya dan mencoba menyuntikku lagi. Namun, kali ini gerakanku lebih cepat. Saat mereka mendekat, aku menggunakan kunci motorku yang untungnya gampang kuraih meskipun dengan kondisi terikat begini dan menusuk paha salah satu dari mereka. Orang itu langsung mengerang dan terjatuh sambil meratapi kondisi pahanya, sementara temannya mengambil jarum yang dijatuhkannya dan berusaha menyuntikku juga. Dengan kekuatan yang tidak kusangka-sangka, aku berhasil merobek ikatan tali di tangan kananku dan menahan serangan orang itu. Kemudian, saat orang itu kehilangan keseimbangan karena beradu kekuatan denganku, aku meraih gunting yang disimpan di kantong celananya dan memberinya jotosan di rahang. Berhubung posisiku kurang pas, orang itu hanya terjatuh bersama temannya, dan tidak butuh waktu lama baginya untuk berdiri lagi.

Untungnya, gerakanku termasuk cepat. Saat dia bangkit berdiri, aku sudah berhasil melepaskan diri dengan gunting yang kuambil dan bebas bergerak semaunya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung menerkam orang itu dan mendorongnya sampai dia membentur dinding.

"Woi, sini. Dia udah bangun!" teriaknya, sepertinya memanggil bala bantuan. 

Benar saja. Tidak lama kemudian, sekitar lima atau enam orang-orang yang berpakaian sama seperti mereka masuk dan mengerubungiku. Aku menyeringai. Tidak masalah. Aku sudah pernah menghadapi lawan yang lebih keras, baik saat pelatihan intensif maupun saat pertandingan. Yang begini seharusnya bukan masalah bagiku.

Aku melemparkan cowok yang berusaha menyerangku tadi ke sebelah ruangan, sementara aku menyambut lawan-lawan baruku. Gerakan mereka terbilang cukup cepat, meskipun tubuh mereka tampak kurus dan tidak berotot. Ditambah lagi, serangan mereka tidak berteknik dan asal menyerang saja, dan itu membuka banyak sekali peluang bagi atlet bela diri sepertiku untuk menyerang balik. 

Setiap serangan yang mereka lancarkan kepadaku, baik menggunakan senjata maupun tidak, berhasil kuelak dengan mudah. Setiap kali melihat peluang, aku memelintir pergelangan tangan lawanku, merebut senjatanya, lalu balik membuatnya pingsan dengan senjatanya sendiri. Tidak sedikit pula anak-anak ini yang kuberi tendangan, baik di kaki, di perut, sampai di muka mereka sendiri. 

"Jarumnya. Ambil jarum suntik itu!" teriak salah satu dari mereka.

Dasar bodoh. Aku kan ada di sana. Begitu aku mendengar itu, tentu saja yang pertama kali kulakukan adalah menendang jarum suntik keparat itu jauh-jauh, sementara aku kembali meladeni mereka yang berusaha berdiri. Setelah menghadiahi mereka dengan beberapa jurus MMAku dan membuat mereka terpelanting ke sana kemari, kulihat semuanya sudah selesai. 

Atau mungkin tidak, karena tiba-tiba saja salah satu dari mereka melompat ke punggungku dan berusaha mati-matian untuk kembali membiusku untuk yang kedua kalinya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kondisiku sudah fit, sehingga aku bisa melawan dengan baik. Aku mendorong orang itu sehingga dia membentur dinding, kemudian merebut jarum itu dan balas menyuntiknya. Rasakan itu!

Sesuatu menetes dari kepalaku. Darah. Mungkin luka saat salah satu dari mereka dengan ganasnya melemparkan lampu kaca ke kepalaku. Saat semuanya sudah benar-benar tumbang, aku baru menyadari sesuatu. Aku masih belum tahu apa yang terjadi di sini. Dasar bodoh. Seharusnya aku menginterogasi setidaknya salah satu mereka sebelum aku membuat mereka pingsan begitu saja.

Meskipun belum tahu apa yang sedang terjadi, aku tahu situasi saat ini sangat berbahaya. Aku memang atlet bela diri, tapi aku bukan manusia super. Kalau aku sombong dan meremehkan situasi, bisa-bisa aku terluka, atau lebih buruk lagi, tewas tanpa alasan yang jelas. Tentu saja aku tidak mau hal itu terjadi. Bisa-bisa nanti aku malah jadi hantu gentayangan.

Karena itulah, aku meraih salah satu tongkat besi yang lawan-lawanku bawa untuk menyerangku sebelum melangkah keluar dari ruangan klinik itu.

Dan betapa kagetnya aku saat melihat kampus yang kusayangi ini sudah menjadi reruntuhan gedung yang hancur berantakan. Aku sangat terperanjat sampai tidak bisa berkata-kata, sementara otakku diisi dengan ribuan pertanyaan. Apa-apaan ini? Apa kampus kami baru saja dibom oleh teroris? Dimana teman-temanku? Apakah mereka selamat? Apa Queenie selamat?

Aku melirik jam tanganku. Saat ini sudah jam delapan malam. Artinya, kurang lebih sudah dua jam berlalu semenjak aku dibius dan disekap di klinik. Dan dalam dua jam itu, telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada kampusku ini. Sial. Obat bius apa yang orang-orang ini berikan kepadaku sampai-sampai aku tidak sadar meskipun kampus sedang dibom?

Aku membuka ponselku untuk menghubungi teman-temanku, namun aku tidak menangkap sinyal sedikitpun. Jangankan sinyal internet. Sinyal telepon pun tidak ada. Dasar sialan.

Aku melirik sekelilingku yang tampak sunyi senyap. Aku benar-benar tidak melihat seorangpun dalam kegelapan malam ini lantaran seluruh lampu sudah mati total. Aneh. Jelas-jelas tadi banyak sekali orang yang datang untuk mengikuti acara kami. Kenapa sekarang bisa satu orangpun tidak ada? Apakah mereka semua sudah kabur dan menyelamatkan diri masing-masing? Atau kemungkinan yang lebih buruk lagi, mereka bisa saja sedang ditahan oleh kelompok teroris yang melakukan ini dan dijadikan sandera sampai keinginan mereka terpenuhi. Biasa di film-film kan seperti itu.

Aku memperhatikan gerbang kampus kami yang tampak sepi. Aneh. Dengan kekacauan seperti ini, seharusnya kampus kami sudah dikelilingi polisi, tim Gegana, paramedis, dan bahkan jurnalis. Tapi kenapa ini satu orangpun tidak ada?

Sial, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak mungkin aku kabur seorang diri dari situasi ini tanpa mengetahui keselamatan teman-temanku. 

Karena itulah, aku memutuskan untuk mencari teman-temanku terlebih dahulu. Kalau aku sudah yakin mereka sudah keluar dari tempat ini, barulah aku akan pergi.

Aku memulai pencarianku dengan lantai dasar tempat aku berdiri sekarang. Di lantai ini, mayoritas gedung digunakan untuk keperluan administrasi dibandingkan dengan ruang kelas. Mulai dari kantor administrasi yang melayani segala keperluan pendaftaran mahasiswa-mahasiswi baru, kantor keuangan yang mengurus pembayaran biaya kuliah, kantor IT, kantor desain, sampai kantor para rektor. Dan tentu saja, termasuk ruangan klinik kampus yang baru saja kutinggalkan. Namun, setelah aku mencari di seluruh ruangan-ruangan itu, aku tidak menemukan seorangpun. Oke, lantai satu clear. Selanjutnya, lantai dua.

Aku menyadari ini sebenarnya akan memakan waktu yang sangat lama, karena aku harus mencari setiap lantai gedung dengan teliti, dan kampus kami memiliki dua gedung, belum lagi ditambah dengan sports hall dan gedung asrama yang saat ini sedang dibangun. Kalau aku melakukan semua ini sendirian, bisa-bisa aku baru selesai di esok pagi.

Saat aku menaiki tangga darurat menuju lantai dua, lampu di sekitarku mulai menyala. Yah, sebenarnya belum bisa dibilang menyala juga, karena sepertinya mereka menggunakan listrik cadangan, sehingga lampu hanya bisa menyala dengan redup dan membuat kampus ini menjadi seperti rumah hantu.

Aku mulai mencari-cari ruangan di lantai dua sama halnya dengan yang kulakukan di lantai satu, namun sepertinya kali ini aku tidak seberuntung itu. Saat aku membuka salah satu ruangan, aku ketahuan oleh preman-preman yang sedang berkumpul di ruangan itu, yang mungkin jumlahnya ada dua puluhan. Karena aku masih sayang dengan nyawaku, spontan aku pontang-panting lari secepat mungkin.

Sial, preman-preman ini mengejarku seperti zombie yang mengejar mangsanya. Kalau aku lari terus, rasanya ini tidak ada habisnya. Karena itulah, aku berhenti berlari untuk mempertahankan jarak yang cukup dengan mereka agar bisa mengambil ancang-ancang yang mantap.

Saat yang pertama dari kerumunan itu mendekat, aku langsung mengayunkan tongkat saktiku pada kakinya, membuat orang itu terpental. Untuk beberapa saat, kurasa benar-benar tampak seperti Kera Sakti yang sedang bertarung, sampai salah satu dari orang-orang itu meraih tongkatku dan melemparkannya. Sial, aku kehilangan senjataku.

Terpaksa aku bertarung dengan tangan kosong. Asal tahu saja, mau sehebat apapun seseorang, kalau dia tangan kosong dan melawan puluhan orang, pasti bakal bonyok juga. Itulah yang terjadi padaku. Aku terpaksa menerima serangan kiri-kanan sambil terus berusaha menumbangkan lawanku satu per satu. Untunglah, latihan bertahun-tahun terbukti tidak sia-sia. Saat orang-orang itu mengerubungiku, aku menerkam salah satu dari mereka dan melemparkannya ke sisi lainnya, sekaligus untuk mendapatkan ruang untuk bergerak bebas. Saat mereka kembali melawanku, aku juga tidak mundur. Meskipun sedang terluka, aku tetap melawan dengan semua tenaga yang kumiliki. Aku berhasil menumbangkan empat, mungkin lima dari dua puluh lawanku itu, dan jujur aku mulai capek saat aku berusaha menumbangkan yang keenam dan ketujuh dengan menjotos wajah mereka sampai tidak berbentuk. 

Untunglah, di saat itu, bala bantuan untukku datang.

"Hei!" teriak Calvin dari sisi lainnya. Lawan-lawanku menoleh ke arahnya, dan entah kenapa, dari wajah mereka, sepertinya mereka mengenal Calvin. 

"Itu dia. Hajar!" teriak salah satu dari mereka, memimpin sebagian kawanan untuk menyerang Calvin dan menyisakan tiga orang untuk mengurusku. Calvin juga berlari menghadapi lawan-lawannya tanpa gentar sama sekali, dan saat dia melompat dan mengayunkan tongkat kayunya yang sudah dipasang paku di ujungnya, terlihat lawan-lawannya mulai takut dan malah berlari menghindari Calvin.

Sementara aku? Yah, untuk melawan tiga orang sih, aku masih kuat-kuat saja. Aku meraih wajah salah satu anak malang itu dan membenturkannya ke kaca mading kampus, membuatnya pingsan seketika. Lalu aku meraih sikut orang yang berusaha menyerangku, mengangkat seluruh badannya, dan melemparkannya ke lantai seperti pedagang yang biasa melempar karung beras. Sedangkan lawan terakhirku, aku membuatnya pingsan dengan tendangan kuat sampai-sampai benturannya membuat retak pintu ruangan.

Aku melihat Calvin yang masih sibuk dengan lawannya, meskipun yang tersisa tidak banyak. Gerakan Calvin sudah berbeda jauh dengan teknik boxing yang dia pelajari selama beberapa tahun belakangan. Yah, semuanya itu tidak penting. Yang penting adalah lawan-lawan Calvin saat ini sudah tumbang semuanya sementara Calvin masih tampak baik-baik saja.

Atau mungkin tidak. Saat aku berjalan mendekatinya, aku baru menyadari kepalanya mengalirkan darah yang banyak sekali. Dengan kondisi seperti itu, berjalan saja sudah mujizat, apalagi bertarung. Meskipun begitu, saat ini dia tampak bengis banget, dengan tubuh yang dipenuhi darah, tangan kanannya yang saat ini dilengkapi dengan senjata yang kukenali sebagai brass-knuckles, dan sesuatu yang terselip di celananya yang kukenali sebagai pistol. 

"Oi, Vin. Lu nggak apa-apa? Wajah lo udah merah darah begini," tegurku saat melihatnya. "Itu pistol asli?"

Calvin menggeleng. "Nggak, pistol kejut doang kok. Nggak bakal bikin orang mati." Oh. "Lo sendiri nggak apa-apa?"

Aku mengangguk. "Aman-aman aja. Buset. Ini apa-apaan sih? Kok kampus kita jadi reruntuhan gedung begini? Dan preman-preman ini datangnya dari mana?"

Calvin terdiam lama. "Ini semua gara-gara gue."

"Hah?" Aku bingung. "Kok gara-gara lo?"

"Ceritanya panjang, tapi intinya gara-gara gue," kata Calvin. "Gue yang udah menyebabkan kekacauan ini, King."

Tunggu dulu. Saat ini aku benar-benar kebingungan. "Lo ngomong apaan sih, Vin? Jelasin baik-baik. Apa yang sedang terjadi dan kenapa semua ini bisa jadi salah lo?"

Calvin menghela nafas. "Ceritanya panjang, King. Kalau gue ceritain, bisa-bisa teman-teman kita yang lainnya semakin terancam bahaya."

"Sekarang mereka ini ada dimana?"

"Gue nggak tahu. Tapi sekarang, misi gue adalah menyelamatkan kalian semua. Sekarang gue udah ketemu lo. Mendingan lo cepet-cepet pergi dari tempat terkutuk ini deh."

Enak aja. "Nggak. Nggak mungkin gue kabur sendirian sementara berdasarkan yang gue denger dari lo barusan, temen-temen kita yang lain masih belum jelas keadaannya."

Wajah Calvin tampak stres banget. "Please, King. Ini bukan waktunya jadi pahlawan. Ini waktunya menyelamatkan diri."

"Jadi pahlawan apanya? Gue nggak pernah minat jadi pahlawan atau sejenisnya. Yang gue tahu, gue mesti nyelametin teman-teman kita, terutama adik gue. Sebelum gue nemuin Queenie, gue nggak bakal pergi dari tempat ini," jawabku tegas.

Calvin akhirnya mendengarkanku. Mungkin dia juga tahu aku tidak bakalan sudi disuruh pergi begitu saja meskipun kami berdebat sampai pagi. "Oke. Kalau gitu kita bagi tugas aja. Lo lanjutin cari di gedung ini. Gue cari di gedung B."

Dia kemudian merogoh dua lawan kami yang sudah tumbang. "Kita masing-masing pegang dua interkom. Satu buat saling komunikasi, satu lagi buat nguping mereka ngomong apaan."

"Oke." Aku mengangguk.

"Sori banget soal ini, King. Setelah ini semua selesai, gue janji, gue bakal ceritain semuanya sama kalian. Tapi lo harus janji sama gue, begitu lo nemuin teman-teman kita, terutama Queenie, lo langsung cabut dari tempat ini. Nggak perlu nungguin gue, oke?"

Sebenarnya aku masih sangat penasaran dengan apa yang Calvin maksud dengan semua ini adalah kesalahannya dan kenapa dia tampak berusaha menanggung misi penyelamatan ini sendirian, tetapi aku cukup tahu diri untuk menyimpan rasa penasaranku di saat kami semua sudah selamat. Kalau Calvin benar-benar menjelaskan, itu akan memakan waktu yang sangat lama. Dan sayangnya, waktulah yang tidak kami miliki untuk saat ini.