Chereads / Kembalinya Masa Lalu / Chapter 8 - Chapter 8

Chapter 8 - Chapter 8

POV : Lidya

Jai sudah gila. 

Hari itu hari Minggu. Aku sudah berencana dari kemarin untuk berbelanja bulanan di hari itu. Meskipun aku tidak bisa hidup normal layaknya anak muda pada umumnya, fisikku tetaplah manusia biasa. Aku tetap memerlukan bahan makanan untuk memasak agar bisa mendapatkan makanan, aku perlu membeli detergen untuk mencuci pakaianku yang kotor, dan aku juga perlu membeli perlengkapan khusus bagi wanita. 

Aku memesan ojek online untuk mengantarku ke pusat perbelanjaan terdekat. Aku tahu tempat tinggalku selalu diawasi oleh orang-orang suruhan Jai, dan setiap dari mereka pasti memiliki kendaraan roda dua yang mereka bawa. Kalau aku mau, aku bisa menyuruh, memaksa, memalak, atau bahkan mencuri motor-motor itu dari mereka, namun aku tidak mau. Lebih baik aku diantar oleh ojek-ojek yang akan menjamin keselamatanku sampai dengan tujuan daripada aku harus diantar atau menggunakan kendaraan mereka.

Namun, rasanya hari itu aku sudah membuat celaka salah satu ojek online itu. Saat motor yang kududuki sudah nyaris mencapai jalan utama, sebuah motor tiba-tiba menyenggol kami sampai ojek itu kehilangan keseimbangan. Kami pun terjatuh, pak ojek itu terluka, dan begitu juga aku. 

Aku sempat melihat sosok yang menyenggol kami. Meskipun tidak jelas, aku hampir yakin itu orang suruhan Jai. Untuk apa dia melakukan itu, aku tidak tahu. 

"Maaf, Neng. Neng nggak apa-apa?" tanya bapak itu dengan wajah bersalah. Dia benar-benar memprioritaskan aku sebagai penumpangnya terlebih dahulu dan merasa tidak enak lantaran kami terjatuh. Padahal, itu semua juga gara-gara aku, penumpang sialan ini. 

"Saya nggak apa-apa, Pak. Bapak sendiri?" tanyaku, menyadari beberapa bagian tubuhnya lecet. 

"Bapak baik-baik saja," jawab bapak itu. "Itu yang bawa motor tadi terlalu sembrono. Main nyenggol aja tanpa lihat kiri-kanan. Maaf sekali ya, Neng."

Aku menggeleng. Seharusnya aku yang minta maaf pada bapak ini. "Nggak apa-apa, Pak. Namanya juga kecelakaan."

Pada saat itu, sebuah pesan masuk ke ponselku. Tidak ada nama pengirimnya, namun aku sudah tahu itu dari siapa.

Telpon Calvin. Minta dia jemput.

Sial. Jadi ini tujuannya. Padahal kemarin Jai yang menyuruhku memikirkan sendiri bagaimana menjalankan rencana ini. Sekarang dia malah ikut campur.

Tidak kusangka dia akan membahayakan keselamatanku hanya untuk mempercepat rencanaku.

"Saya antar ke rumah sakit ya?" tawar bapak ojek itu baik hati, menyadarkanku kepada situasi saat ini.

"Oh, nggak apa-apa, Pak. Saya telpon teman saya aja," tolakku dengan seramah mungkin.

"Aduh, Neng. Tolong Bapak jangan dikomplain atau dikasih bintang satu ya," pinta bapak itu dengan wajah memelas. Aku benar-benar tidak enak hati. Bapak ini tidak bersalah dan hanya berusaha mencari nafkah, namun malah harus terluka gara-gara aku.

"Nggak bakal, Pak. Bapak tenang aja," jawabku, kemudian mengambil dua lembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Pak. Buat ke dokter, ya."

Bapak itu tidak enak dan berusaha menolak, tetapi aku bersikeras. Setidaknya, ini dapat mengurasi rasa bersalahku walaupun hanya sedikit. Setelah beberapa waktu, bapak ojek itu pergi bersama motornya yang untungnya baik-baik saja, meninggalkanku sendirian.

Dengan berat hati, aku pun menghubungi Calvin.

"Halo?" Suara Calvin yang berat terdengar dari ujung telepon.

"Halo. Vin, kamu lagi dimana?" tanyaku.

"Di rumah. Kenapa?" 

"Hmm," aku berusaha terdengar ragu. Tidak sulit, mengingat memang itu yang sedang kurasakan. "Aku barusan kecelakaan."

"Hah?" Calvin terdengar kaget berat. "Kok bisa? Kamu nggak apa-apa? Lagi dimana sekarang?"

Aku menyebutkan lokasiku, dan Calvin menyuruhku menunggu di sana dan tidak kemana-mana. Sambil menunggu Calvin, aku memperhatikan kondisiku sendiri. Sebenarnya aku baik-baik saja, hanya sedikit lecet, sama seperti bapak ojek tadi. Hanya saja, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku.

Calvin bilang dia dari rumah. Bagaimana caranya biar aku bisa memasuki rumah itu juga? Itu akan menjadi kesempatan yang bagus buatku untuk mencari apapun yang bisa menunjukkan bahwa keluarga Calvin bersalah terhadap Ayahku. Dengan begitu, aku bisa mengakhiri rencana ini secepat mungkin.

Aku melirik celana jeansku yang robek sedikit. Tanpa pikir panjang, aku meraih sobekan itu dan merobeknya lebih besar lagi, kemudian sengaja membuat kulit yang sedang lecet ku yang saat ini terpapar udara segar. Aku sengaja melakukan itu, supaya aku dapat mengatakan celanaku sobek dan aku butuh pakaian ganti secepatnya. Dengan begitu, semoga saja Calvin akan membawaku ke rumahnya dan mencarikan pakaian ganti, mungkin menggunakan pakaian ibu ataupun adiknya yang kini setahuku sudah SMA.

Calvin tiba tidak lama kemudian. Setahuku, rumahnya cukup jauh dari tempatku berada. Itu artinya dia ngebut untuk sampai ke sini secepat mungkin. Apakah sebegitu khawatirnya dia terhadapku?

Berbeda dengan hari-hari biasanya, Calvin membawa mobil hari itu. Oke, ini pengetahuan baru untukku. Setahuku, keluarga Calvin berekonomi pas-pasan lantaran usaha-usaha mereka selalu saja dikacaukan oleh pihak-pihak lain, jadi mereka tidak membeli mobil dan hanya memilih menggunakan motor untuk kegiatan sehari-hari.

Apa Jai juga tidak tahu soal ini, atau dia sengaja menutup informasi itu dariku?

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Calvin saat mendekatiku, lalu memindai tubuhku dari atas sampai bawah, depan sampai belakang. 

"Aku nggak apa-apa," jawabku sambil memamerkan senyum untuk membuktikan bahwa aku baik-baik saja. "Cuma lecet sana-sini. Celanaku juga sobek."

"Ya udah, kamu sini dulu," dia membawaku ke pinggiran jalan, lalu menyuruhku duduk di sebuah kursi yang berada di depan sebuah minimarket. "Kamu tunggu bentar ya."

Cowok itu kemudian masuk ke dalam minimarket itu, dan tidak lama kemudian muncul dengan sebuah kantung yang berisi air, betadine, dan kapas. "Luka-luka ini belum dicuci, kan?" tanyanya. Aku menggeleng, dan Calvin lalu meletakkan kakiku yang terluka di atas kedua kakinya. Dia menuangkan air dan mencuci lukaku dengan lembut. Meskipun begitu, aku tetap meringis saat merasa perih. Aku menatapnya yang sedang fokus dengan pekerjaannya. Hatiku sedikit tergerak melihat perhatiannya, namun aku jadi kepikiran dengan misiku.

Kalau misiku ini selesai, kemungkinan besar keluarga Calvin akan terpecah belah. Apa aku memiliki hati yang kuat untuk melakukan hal seperti itu pada orang yang mulai kusukai?

"Tahan bentar ya," katanya dengan nada perhatian. "Ini aku cuci dulu biar nggak infeksi. Nanti aku bawa kamu ke rumah buat diobati dengan benar."

Oke, dia akan membawaku ke rumahnya. Taktikku berhasil.

"Nggak usah," aku berpura-pura menolak. "Aku punya P3K di kosku sendiri."

"Jangan," Calvin bersikeras. "Tangan kamu juga terluka. Gerak-gerik kamu sendiri udah terbatas. Biar aku yang obatin aja."

Aku terdiam kata-kata Calvin yang tampaknya tidak ingin dibantah.

"Kok bisa jatuh?" tanyanya kemudian.

"Tadi ada motor lain yang ugal-ugalan. Biasalah, anak baru gede," jawabku berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan orang suruhan kakakku yang mencelakaiku, bukan?

"Kamu tadi pakai ojek online?"

"Iya."

"Terus ojeknya sendiri luka nggak?"

"Sedikit," jawabku. "Kasian juga bapak itu. Dia sampai minta aku jangan ngasih dia bintang satu."

Calvin mengangguk. "Wajar saja. Soalnya itu bakal pengaruh banget sama penghasilan mereka."

Aku mengangguk setuju. 

"Ini sobekan celana kamu lumayan gede," kata Calvin. "Nanti kamu ganti baju pakai pakaian adikku saja, ya. Tinggi kalian kurang lebih sama, jadi seharusnya cocok-cocok aja."

Sekali lagi, aku berpura-pura tidak enak, padahal ini berjalan sesuai rencanaku. "Yakin nggak ngerepotin?"

"Nggak sama sekali. Baju adikku udah kebanyakan. Kurasa dia juga nggak nyadar kalau kamu nyolong satu atau dua set pakaian dari lemarinya," jawab Calvin seenaknya.

Setelah selesai memberi pengobatan pertama pada lukaku, Calvin membimbingku berjalan dan mengernyitkan dahi saat mendengarku mengaduh.

"Kamu terkilir?" tanyanya melihat kaki kiriku yang tidak menyentuh tanah sepenuhnya. Kakiku memang terkilir, namun tidak terlalu parah. Aku masih bisa berjalan tanpa perlu dibantu, tetapi entah kenapa, aku berpura-pura bahwa aku membutuhkan bantuan cowok itu.

"Iya nih," aku tersenyum malu. 

"Sini kubantu." Calvin meletakkan tanganku di pundaknya. Sebenarnya dia hendak menggendongku layaknya di cowok di drama Korea, tetapi aku menolaknya mentah-mentah lantaran kami masih di tempat umum. Kalau kami berani berlagak seperti itu, bisa dipastikan kami langsung viral beberapa jam kemudian.

Aku menaiki mobil yang Calvin bawa. Oke, mungkin informasi yang kuperoleh memang tidak salah, hanya saja kurang update. Keluarga Calvin memang pas-pasan, terlihat dari mobilnya yang sudah cukup tua, mungkin keluaran belasan sampai dua puluh tahun yang lalu. Meskipun begitu, dalamnya masih tetap nyaman untuk diduduki.

"Makasih sudah dateng jemput," aku menyadari aku belum mengucapkan terima kasih dari tadi. Dimana sopan santunku? "Semoga nggak ngerepotin."

"Sama sekali nggak," Calvin menggeleng santai. "Aku senang kamu nyariin aku buat bantuan." Dia tersenyum kepadaku.

Aku membalas senyumnya. Tentu saja aku mencarinya untuk bantuan. Justru aku mengalami ini untuk menarik perhatiannya.

Saat aku tiba di rumah Calvin, aku terdiam sebentar untuk melihat dengan benar. Meskipun memiliki dua lantai, rumah itu benar-benar sederhana. Tidak ada pekarangan yang luas, tidak ada jalanan yang lebar, tidak ada apapun yang menunjukkan bahwa penghuninya adalah orang berada. Furniture yang ada di dalam rumah mereka juga sederhana saja, kecuali satu smart TV yang tampaknya baru dibeli.

"Ayo, masuk." Calvin mengundangku masuk ke rumah mereka, rumah tempat musuh-musuh keluarga kami tinggal. Seharusnya aku merasa marah, benci, dan penuh dendam saat menginjakkan kaki di rumah ini. Namun aku tidak merasakan apa-apa sama sekali, seolah rumah ini hanya rumah orang-orang biasa.

"Calvin? Kamu bawa tamu?" 

Aku mendengar suara perempuan paruh baya yang keluar dari dapur. Wanita itu adalah ibu Calvin, Clara Adestya. Meski sudah berkepala empat, dia masih terlihat elegan namun juga keibuan. 

"Iya. Ini teman yang kubilang kecelakaan tadi, Ma. Namanya Lidya." Calvin menoleh padaku. "Itu mamaku."

Aku menyalami wanita itu dengan berlagak sopan ibarat calon menantu yang masih malu-malu. Perempuan itu tersenyum ramah. "Senang bertemu denganmu, Lidya. Kamu nggak apa-apa?"

"Saya nggak apa-apa, Tante. Cuma lecet-lecet sedikit," jawabku sambil menyunggingkan senyum paling ramah.

Clara memperhatikan luka-luka di badanku dan mendecak. "Sepertinya bukan cuma sedikit. Kamu mau mandi dulu? Kamu bisa pakai pakaian Susan aja, berhubung pakaian kamu udah sobek sedikit. Setelah itu, kamu bantu obatin lukanya ya, Calvin?"

Aku pura-pura menggeleng. "Nggak usah, Tante. Saya bisa sendiri kok."

"Udah nggak usah bandel," aku mendengar suara Calvin dari sampingku. "Yang punya rumah udah ngasih ijin, kok. Nggak usah malu-malu."

"Papa dimana, Ma?" tanya Calvin pada ibunya.

"Di kamar. Lagi benerin kipas angin yang rusak," jawab Clara. "Kamu bawa Lidya ke kamar Susan dulu, gih. Bantu dia ya. Jalannya pasti susah, luka-luka begitu."

"Kakinya juga terkilir," celetuk Calvin.

"Oh ya?" Clara memperhatikan pergelangan kakiku yang sedikit membiru. "Benar juga. Yang beginian harus diurut. Kamu bisa nggak, Vin?"

Calvin mengangguk. "Bisa dong. Asal kamu bisa nahan sakitnya aja," dia menoleh padaku dan menatapku dalam-dalam.

Sial, kenapa aku jadi deg-degan?

"Udah yuk. Kita naik. Kamar Susan ada di atas," ajaknya kemudian.

Saat kami menaiki tangga, aku melihat seorang pria sedang turun. Pria itu hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong tanpa lengan, dan kacamata silinder. Tangannya memegang sebuah obeng dan beberapa sekrup. 

Sepertinya pria inilah ayahnya Calvin, Peter. Orang yang menyebabkan kematian Ayahku dan hancurnya keluargaku. Orang yang bertanggungjawab atas rusaknya masa kecilku dan Jai. Orang yang membuatku tidak akan bisa hidup damai layaknya manusia biasa. 

Seharusnya aku merasakan kebencian yang amat sangat saat melihat orang ini. Namun, sama seperti saat aku memasuki rumah ini, aku tidak merasakan apa-apa. Maksudku, orang di depanku ini tidak terlihat seperti orang yang mampu melakukan apa-apa. Meskipun badannya tinggi besar, sedikit mengingatkanku pada King, dia sama sekali tampak tidak berbahaya.

"Ini siapa, Vin? Kenapa dia bisa luka-luka begini? Kamu apain dia?" tanya Peter saat melihat sosokku.

"Ah, belum apa-apa aku udah dituduh macem-macem," keluh Calvin. "Ini Lidya, teman kuliahku. Tadi dia kecelakaan motor pas naik ojek online, terus nelpon aku buat minta bantuan. Lid, ini Papaku."

Aku menyalami musuh keluargaku dengan ramah. Sebenarnya, kalau aku mau menyelesaikan misi dan membalas dendam keluargaku sekarang juga, aku bisa saja menarik Peter sampai jatuh ke bawah tangga, merampas obeng yang ada di tangannya, lalu menghujamkan benda tajam itu ke jantungnya. Semuanya akan selesai. 

Tapi aku tidak akan melakukan itu. Aku sudah berjanji tidak ingin membunuh siapa-siapa. Lagipula, meskipun tampak tidak berbahaya, belum tentu itu kenyataannya. Bisa saja sebelum aku sempat melakukan apa-apa, Peter sudah menancapkan obengnya ke leherku dan mengakhiri hidupku begitu saja.

"Halo, Om. Nama saya Lidya."

Peter menyambut uluran tanganku. "Halo. Sepertinya kamu harus membersihkan luka-lukamu dulu. Pakaian kamu juga sobek di beberapa tempat. Calvin, kamu bawa dia ke kamar Susan aja. Baju anak itu sudah kebanyakan. Tidak ada salahnya pinjamin satu atau dua pasang untuk teman kamu."

Calvin mengangguk setuju. "Siap."

Peter lalu menuruni tangga, melewati kami. Aku memperhatikan sosoknya yang perlahan-lahan menghilang sampai tidak kelihatan lagi.

"Ayo, Lid."

Kami pun memasuki kamar Susan, adik Calvin yang belum pernah kutemui itu. "Adik kamu kemana?" tanyaku.

"Katanya lagi shopping buat beli gaun untuk acara sekolahnya. Lisa lagi nemenin dia."

Lisa?

"Dia nggak keberatan kalau aku pinjem pakaiannya?" tanyaku.

"Nggak," jawab Calvin. "Tenang aja. Seperti yang kami bilang, bajunya udah kebanyakan. Kalau kamu colong satu atau dua pasang pun, aku rasa dia nggak bakal nyadar."

Aku mengangguk dan memilih sepasang T-shirt yang tampak nyaman dipadukan dengan celana pendek selutut. 

"Kamar mandinya di situ," kata Calvin saat menunjuk ke sebuah kamar kecil.

"Aku tunggu di kamarku. Kalau udah siap, panggil aja."

Aku mengangguk lagi dan masuk ke kamar mandi. Setelah membersihkan lukaku dengan sabun bersih, aku keluar dan menghampiri kamar Calvin. 

Calvin tidak menutup pintu kamarnya, jadi aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Kamarnya berukuran kecil, benar-benar pas hanya untuk sebuah tempat tidur dan lemari pakaian. Tidak ada banyak ruang lagi setelah itu.

"Eh, kamu udah siap," katanya saat melihatku berdiri di depan pintu. "Ayo, kita duduk." Dia membawaku ke sebuah kursi di luar kamar, lalu mulai mengurus luka-lukaku layaknya profesional. 

"Oke, sekarang pergelangan kaki kamu. Bakalan sakit dikit. Kamu tahan ya," katanya saat baru akan memulainya, namun aku sudah merasa geli di pergelangan kakiku.

Saat tangannya nyaris menyentuh kakiku, tahu-tahu saja kakiku sudah refleks menghindar.

"Kenapa?" Dia tertawa sedikit. "Takut ya?"

Aku sedikit mengangguk. "Tahan ya, Kalau nggak diurut, nggak bakal sembuh," ucapnya lembut.

Calvin lalu meraih pergelangan kakiku. Sebenarnya aku tidak terkilir parah-parah banget, cuma saat akan diurut, tidak urung aku merasa takut juga.

Dan sial, Calvin tidak bercanda saat dia mengatakan aku bakal merasa sakit. Aku memekik dua kali saat Calvin mulai mengurutku, lalu buru-buru menutup mulutku, membuat Calvin tertawa melihatnya.

Setelah beberapa menit, Calvin menurunkan kakiku ke lantai. "Oke, udah selesai. Pokoknya kamu dalam dua hari ini jangan banyak gerak dulu, oke?"

Aku mengangguk. "Thanks ya, Calvin," ucapku dengan tulus. Memang ini semua bagian dari rencanaku, namun cowok ini benar-benar mendatangiku saat aku perlu bantuan tanpa berpikir dua kali. Dia mengurusku dari awal hingga akhir, bahkan membawaku ke rumahnya. Seandainya kami tidak punya sejarah yang berat ini, sudah pasti aku akan mempertahankan seseorang seperti ini untuk seumur hidupku.

Namun, sayangnya, hidup kami tidak akan pernah berdampingan. Kami akan selalu berada di sisi yang berbeda dan saling melawan. Dan memikirkan bahwa rencanaku ini akan berakhir dengan hancurnya keluarga Calvin, membuatku merasa dilema.

Calvin tersenyum dan mengelus rambutku dengan lembut. "Sama-sama. Glad you called."

Aku berdeham sedikit sebelum bertanya, "Jadi, Lisa udah deket sama keluarga kamu, ya?"

Calvin menoleh kepadaku. "Maksudnya?"

"Tadi kamu bilang, Lisa lagi bareng adik kamu shopping."

"Oh." Calvin mengangguk. "Iya, dia udah cukup deket sama keluargaku. Nggak jarang sih dia main ke sini. Biasa, biar bisa ngegosip sama Susan."

Aku manggut-manggut mendengarnya. Sudah sedekat itukah mereka berdua?

"Kamu kenal sama dia udah lama?"

Calvin mengangguk lagi. "Sepanjang ingatanku, aku sudah berteman sama dia. Kabarnya sih aku dan dia sudah berteman sejak hari pertama masuk SMA. Jadi yah, mungkin sudah lima atau enam tahunan."

Aku hanya terdiam mendengar jawabannya.

Calvin melihat reaksiku dan tersenyum penuh arti. "Tenang. Seperti yang kubilang, Lisa itu cuma sahabatku. Kami bukan pasangan, bukan sekarang maupun nanti."

Aku menyadari wajahku memerah mendengarnya, namun aku tetap tidak berkata apa-apa.

"Turun yuk. Mama kamu sepertinya udah selesai masak," kataku, berusaha mengalihkan topik.

Calvin mengangguk untuk yang kesekian kalinya dan menuntunku turun. Saat menuruni tangga, kali ini aku melihat Lisa berada di depanku.

"Hi, Lisa," aku menyapanya.

Wajah Lisa terlihat kaget, namun dia berusaha tidak menunjukkannya. "Hi. Kok bisa ada di sini?"

Calvin yang menjelaskan apa yang terjadi padaku, sementara Lisa mendengarnya tanpa banyak komen. Aku tidak ingin mengatakan ini, tapi aku rasa Lisa agak-agak jealous melihat Calvin membawa cewek lain ke rumahnya. Bagaimanapun, meskipun Lisa benar-benar tidak merasakan apapun terhadap Calvin, belum pernah ada cewek yang Calvin bawa pulang ke rumah dan diperkenalkan ke orangtuanya, selain Lisa sendiri.

Mungkin dia merasa posisinya tergantikan.

Setelah pulangnya Susan dan Lisa, Peter dan Clara mengajak kami semua makan siang bersama. Mereka berdua berbasa-basi sedikit kepadaku, seperti menanyakan aku tinggal dimana dan sebagainya. Setelah sesi makan siang, mereka berdua pamit lantaran mau ke panti asuhan.

Aku sama sekali tidak mengerti untuk apa mereka mengunjungi panti asuhan. Mungkin untuk mengobati rasa bersalah mereka atas apa yang sudah mereka lakukan.

Sepeninggal kedua orangtua itu, kami berempat, aku, Calvin, Lisa, dan Susan tidak tahu harus berbuat apa dan akhirnya memutuskan untuk menonton TV saja.

Mendadak, sebuah ide terlintas di benakku. Mumpung saat ini aku sedang berada di rumah Calvin, aku harus melakukan atau mendapatkan sesuatu sebelum pergi dari sini. 

"Aku perlu ke toilet," kataku pura-pura.

"Oke. Aku bantuin," sahut Calvin yang tampak riang banget karena memiliki alasan untuk kabur dari tontonan drama Korea yang tidak disukainya.

Aku terdiam sebentar, berpikir bagaimana cara menolaknya, namun Lisa sudah mendahuluiku. "Dasar goblok. Dia kan cewek. Masa dibantuin sama cowok buat ke toilet?"

Calvin dan aku sama-sama terdiam saat Lisa berdiri dan mendekatiku. "Udah, aku aja. Kebetulan aku juga mesti ke toilet. Sakit perut nih."

Karena itulah, jadinya Lisa yang menemaniku ke lantai atas. Sebenarnya aku tidak ingin ditemani siapa-siapa, baik oleh Calvin maupun Lisa. Aku perlu waktu untuk melakukan misiku, dan aku tidak bisa melakukannya dengan adanya salah satu dari mereka. Meskipun Lisa bilang dia juga butuh ke toilet dan bahkan untuk waktu yang lama, aku tetap tidak yakin. Menurut informasi dari Jai, Lisa sahabat yang loyal terhadap Calvin, baik dulu maupun sekarang. Dan cewek itu juga sangat jeli, meskipun sikapnya sehari rada-rada pongah.

Saat Lisa berada di toilet dan aku berada di luar sendirian, aku mulai ragu. Maksudku, kemungkinan aku tidak akan punya kesempatan yang sama lagi untuk menggeledah rumah ini dan mencari bukti-bukti yang dapat membantuku, namun aku harus berhati-hati pada Lisa.

Setelah bergejolak sejenak, akhirnya aku mengambil resiko. Aku mendekati kamar Peter dan Clara, bersyukur karena pintu kamar itu tidak dikunci, dan masuk ke dalamnya. Aku tidak terlalu yakin apa yang sedang kucari, tapi kurasa apa saja bisa, asalkan benda itu dapat menunjukkan bahwa keluarga Calvin bersalah terhadap keluargaku. Mungkin Peter atau Clara punya kebiasaan membuat diary atau sejenisnya yang dapat kugunakan, atau mungkin juga rekaman pengakuan dosa yang mereka buat tapi tidak pernah diedarkan. Pokoknya, aku harus mendapatkan sesuatu hari ini.

Aku terus mencari sambil memasang telingaku lebar-lebar. Sesekali aku menoleh ke belakang untuk memastikan Lisa masih berada di dalam toilet dan tidak melihat tingkahku yang mirip maling ini. Aku menemukan sebuah brankas kecil yang terkunci di samping lemari pakaian. Tentu saja, brankas itu terkunci dan sebenarnya aku bisa-bisa saja membuka brankas itu. Hanya saja, saat itu juga, aku mendengar suara pintu toilet yang terbuka. Dengan gerakan secepat kilat, aku segera menutup pintu kamar itu dan berdiri di dekat toilet seolah-olah aku tidak melakukan apa-apa.

"Sorry, lama," Lisa meminta maaf begitu keluar dari toilet. "Kayaknya emang beneran kebanyakan makan."

Aku menggeleng. "Nggak pa-pa. Ayo, kita turun."

Aku memperhatikan gerak-gerik dan ekspresi Lisa. Dari luar sih dia kelihatan agak-agak pucat. Masuk akal kalau tadi dia disibukkan dengan keperluannya di toilet dan tidak tahu apa yang kuperbuat di luar.

Semoga saja begitu.

Calvin menoleh saat melihat kami berdua turun. "Tampang lo kok kacau bener?"

"Berisik, ah. Udah, gandeng aja cewek lo ini. Gue perlu bongkar-bongkar kulkas lo dulu. Bantu ijinin ke Tante dan Om ya," halau Lisa.

Aku dan Calvin sama-sama membeku saat mendengar Lisa memanggilku sebagai ceweknya Calvin, tetapi kami berdua tidak mengatakan apa-apa.

"Ngapain lo tiba-tiba bongkar kulkas gue?" tanya Calvin.

"Gue perlu coklat. Banyak coklat. Ngerti?" 

Calvin terdiam lagi, seolah terlihat sedang berpikir. Beberapa detik kemudian, dia baru mengangguk. "Ok. Ambil aja yang kamu mau. Teh sama air hangat udah ada. Nggak usah malu-malu."

"Sejak kapan gue tahu malu?" sahut Lisa pongah. 

"Nggak pernah juga, sih," cetus Calvin dengan kepongahan yang sama. Dia lalu menoleh kepadaku. "Kamu capek? Mau pulang dulu?"

Aku menimbang-nimbang. Sebenarnya aku sudah bertekad untuk mendapatkan sesuatu dari hasil kerjaku hari ini. Bagaimanapun, aku sampai luka-luka gara-gara ini, dan membuat seorang bapak-bapak malang ikut terluka. Namun sepertinya kesempatanku hari ini sudah ludes. Tidak mungkin aku mencari-cari alasan untuk kembali ke lantai dua tanpa diikuti orang lain, kan?

Aku mengangguk. "Oke. Aku pesan ojek online dulu."

"Ngapain?" protes Calvin. "Aku aja yang antar kamu pulang."

Tidak boleh. Calvin kan tidak boleh tahu dimana tempat tinggalku sebenarnya. Selama ini, aku selalu menyuruhnya berhenti di persimpangan yang agak jauh dari gubuk tempat aku tinggal. Namun, dengan kondisiku sekarang ini, aku yakin Calvin akan bersikeras mengantarku sampai ke 'kos'-ku.

Sial. Bagaimana ini?

Aku hanya terdiam sambil memutar otak. Tanpa kusadari, tiba-tiba saja aku sudah berada di mobil.

Kurasa di saat-saat seperti inilah aku membutuhkan bantuan Jai. Bagaimanapun juga, dia yang menyebabkan aku berada di situasi ini. Dia juga harus bertanggung jawab.

"Vin, sori, kayaknya aku mesti singgah ke supermarket, deh." Aku teringat pada rencana awalku untuk ke membeli belanja bulanan. "Agendaku hari ini emang mau belanja bulanan."

"Oke." Calvin mengangguk. "Di depan ada supermarket yang lumayan lengkap. Ke sana aja oke?"

Aku mengangguk juga.

"Tapi berhubung kamu lagi nggak nyaman gerak, biar aku aja yang belanja, ya. Kamu duduk manis aja di mobil."

Aku menoleh padanya. "Jangan dong. Kan aku yang mau belanja."

"Kamu mau kaki kamu makin parah?" tanya Calvin yang langsung membungkamku. Melihat ekspresiku, Calvin tersenyum penuh kemenangan. 

"Biar aku aja yang beliin. Tenang, sama sekali nggak ngerepotin, kok," katanya dengan suara yang lembut. "Kamu mau beli apa aja?"

Aku mengambil sebuah kertas yang sudah lecek dari kantong celanaku dan menyerahkannya pada Calvin. "Yang ini nggak usah, ya," kataku sambil menunjuk ke daftar barang ketiga dari bawah.

"Emangnya itu apa?" tanya Calvin penasaran.

"Pembalut."

Berani sumpah aku melihat wajah Calvin memerah seketika. Mau nggak mau, aku jadi menahan tawa melihatnya.

"Oh, sori," ucapnya malu-malu. "Tapi yakin nggak mau sekalian?" tanyanya malu-malu.

Aku menggeleng. Gila. Tidak mungkin aku menyuruh cowok yang seharusnya menjadi musuhku membelikan sesuatu yang begitu personal untukku?

"Oke." Calvin mengangguk. "Tunggu di sini ya."

Setelah Calvin pergi membelikan barang belanjaanku, aku mengambil kesempatan ini untuk menghubungi Jai. Aku mengirim pesan pada nomor tidak terdaftar tadi.

Calvin ngotot nganterin aku pulang. Gimana?

Setelah beberapa lama, aku menerima pesan berupa gambar sebuah rumah yang tampak familiar. Rumah itukan tidak jauh dari tempat tinggalku.

Jai hanya mengirim gambar itu dan tidak memberi pesan apa-apa. Meskipun aku punya perkiraan apa maksudnya, aku tetap tidak yakin.

Tidak lama kemudian Calvin kembali dengan dua kantong besar. 

"Kayaknya ini pertama kali aku nganterin kamu pulang sampai depan kos," Calvin tersenyum. Namun, melihat reaksiku yang diam saja, dia langsung menambahkan, "Kamu nggak ngira aku bakal biarin kamu jalan pulang ke kos sendiri dengan kondisi kamu yang seperti itu, kan?"

Aku tersenyum kecil. "Nggak. Aku udah tahu kamu bakal tetap ngotot meski aku bilang gitu."

Calvin mengangguk puas. "Baguslah kalo kamu tahu. Sekarang, untuk sampai ke kosmu, aku harus belok kemana?"

Aku membimbing Calvin menuju rumah yang Jai perlihatkan kepadaku. Rumah itu besar dan memiliki dua lantai, tipe-tipe rumah yang cocok dijadikan tempas kos. Namun, aku tidak tinggal di sana dan aku tidak tahu siapa yang tinggal di sana. 

"Ternyata kos kamu besar juga ya," ucap Calvin saat kami berada di depan rumah itu. Sebenarnya, saat ini aku merasa was-was. Bagaimana kalau ternyata pemilik rumah ini yang asli datang dan bilang bahwa dia tidak mengenalku sama sekali? Bisa-bisa penyamaranku terbongkar.

"Iya. Kamu mending pulang dulu deh. Aku nggak enak kalo sampe diliat ibu kos," kataku, mengusirnya secara halus. Semakin cepat Calvin pergi, semakin baik.

Namun sepertinya aku terlambat. Saat aku baru turun dari mobil, seseorang sudah membuka pintu rumah itu. Awalnya aku mengira orang itu adalah penghuni rumah itu, tetapi sepertinya aku salah.

Orang yang muncul di balik pintu adalah seorang pria yang tampaknya seperti pria paruh baya yang baru bangun dari tidur siang. Dia mengenakan kaos oblong compang-camping, bahkan hanya mengenakan sarung. Tangannya memegang sebuah kipas anyaman yang sudah lapuk. Pokoknya, orang yang melihatnya pasti akan mengira dia hanya babe-babe biasa.

Namun tidak bagiku. Aku mengenali orang ini, meskipun penampilannya jauh berbeda hari ini. Orang itu aslinya berumur jauh lebih muda daripada yang terlihat sekarang. Aku tidak tahu bagaimana caranya melakukannya, namun wajahnya sekarang berbeda, agak lebih gemuk dari hari-hari biasanya, dan sepertinya dia mengenakan wig. Otot-otot yang dia miliki juga tidak terlihat sama sekali, entah bagaimana caranya menyembunyikannya. Dia adalah salah satu orang suruhan Jai yang paling setia.

Aku memandang orang itu dengan penasaran dan penuh kewaspadaan, tetapi orang itu menyapaku layaknya aku adalah salah satu kerabat dekatnya.

"Dek Lidya, kamu darimana?" tanyanya dengan suara yang jelas berbeda dari suara aslinya. "Kok kamu bisa luka-luka gini? Jatuh ya?"

Aku hanya terdiam sementara Calvin sudah turun sambil membawakan barang belanjaanku.

"Ini siapa?" tanya orang itu, padahal jelas-jelas dia mengenal Calvin sebagai target kami bersama.

"Saya teman Lidya," jawab Calvin dengan sopan. "Bapak pemilik kos ini?"

"Ah, bukan saya pemiliknya. Istri saya yang punya rumah ini. Jaman sekarang kan perempuan sudah lebih hebat daripada laki-laki," canda orang itu, membuatnya terlihat seperti orang yang tidak berbahaya sama sekali.

Calvin tersenyum dan mengangguk pada orang itu, lalu menoleh padaku. "Mau kubantu bawa naik ke dalam?"

Orang itu yang menjawab. "Sori, dek, tapi cowok nggak boleh masuk ke kos ini," katanya, mendukung cerita yang selama ini kureka. "Nanti biar anakku yang perempuan aja yang bantuin angkat ke atas barang-barang ini," katanya meyakinkan.

Calvin kemudian menyerahkan kedua kantong besar itu pada orang itu. "Kalau begitu, makasih ya Pak." Dia menoleh padaku. "Aku pergi dulu ya. Kamu hati-hati. Kalau perlu apa-apa, telepon aku saat itu juga."

Aku tersenyum dan mengangguk. "Oke."

"Janji ya?" Calvin kelihatannya masih belum yakin penuh.

Mau tidak mau, aku tertawa kecil. "Iya, janji. Kamu makin lama makin bawel, kayak emak-emak."

Calvin tertawa mendengar kata-kataku, kemudian melambai pergi.

Setelah kepergiannya, orang di depanku itu langsung menjatuhkan kedua kantong di tangannya di lantai begitu saja. Dia masuk ke dalam rumah yang belum pernah kumasuki itu, lalu hanya dalam beberapa detik, dia sudah kembali ke penampilannya yang biasa. Wajahnya kembali sangar dan tidak bulat seperti bapak-bapak seperti tadi. Sarungnya sudah berganti menjadi celana kucel yang tampaknya sudah tidak dicuci berminggu-minggu. Wig-nya yang berambut putih sudah dilepas, memperlihatkan rambutnya yang sebenarnya gondrong. Dia masih mengenakan kaos oblong compang-camping, namun kali ini kaos itu tampak kekecilan lantaran otot-ototnya sudah menggembung.

Di dalam rumah itu, kami tidak hanya berdua. Masih ada banyak orang-orang sepertinya yang berkeliaran ke sana kemari seolah sedang sibuk akan sesuatu, semua dengan penampilan yang hampir mirip dengannya minus otot-otot yang kebanyakan itu, 

"Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanyaku dingin kepada cowok itu.

Aku mendengar jawaban dari pertanyaanku itu dari lantai dua. "Aku yang nyuruh."

Jai menuruni tangga dengan langkah yang pelan namun mencekam. Saat aku melihat wajahnya, dia tampak tidak memiliki perasaan apapun, sama seperti biasanya. "Kamu butuh bantuanku dua kali hari ini."

Aku meletakkan barang-barangku dengan berang dan melabraknya dengan gerakan yang secepat mungkin. "Kamu nyaris membuatku celaka, sialan!"

Jai tampak tidak terintimidasi sedikitpun saat dia berkata, "Kamu terlalu lambat. Aku masih belum menerima hasil apapun dari rencanamu itu," katanya. "Lagipula, kamu baik-baik saja, kan? Nggak perlu permasalahkan hal yang nggak penting."

Aku berusaha menahan emosiku. Dasar bejat. Bisa-bisanya dia menganggap aku terluka itu hal yang tidak penting?

"Apa hasil kerjamu hari ini?" tanyanya dingin, seolah-olah yang dia pentingkan dariku adalah hasil kerjaku.

"Sayangnya, aku nggak dapet apa-apa. Waktunya terlalu mepet," jawabku sangsi.

Jai menatapku dalam-dalam. Setelah diam sejenak, suara terdengar seperti menggeram saat dia mengatakan, "Kamu sudah memiliki kesempatanmu, Lidya. Jangan salahkan siapa-siapa atas kegagalanmu."

Entah kenapa, aku menjadi merinding mendengar kata-katanya.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Maksudku adalah, aku sudah kehilangan kesabaranku. Cepat selesaikan tugasmu, atau aku yang akan menyelesaikannya untukmu."

Sial. Apa-apaan ini? Apa Jai bermaksud membuang rencana kami dan melakukan rencananya sendiri? Aku tidak tahu apa rencananya, tapi aku yakin itu pasti akan membuat kekacauan yang besar.

"Tunggu dulu. Aku masih bisa menyelesaikan ini," kataku, berusaha mempertahankan rencana awal.

Jai mengerling. "Kalau begitu, cepat lakukan. Waktumu tinggal sedikt."

Setelah mengatakan itu, Jai berbalik dan kembali ke lantai atas. Aku tidak tahu ada apa di sana, dan aku juga tidak berniat tahu. Yang jelas, saat ini Jai sudah mencapai batas kesabarannya, dan ini artinya aku harus segera menyelesaikan rencanaku. Kalau tidak, aku tidak tahu hal ekstrem apa yang akan Jai lakukan.