POV : Calvin
Hari itu, King tidak kelihatan sama sekali.
Kabarnya sih saat ini dia sedang sibuk menyiapkan acara Halloween Night itu. Untuk ukuran orang yang menentang acara itu, dia cukup aktif terlibat. Saat kami menanyakan dia ada dimana, dia hanya membalas dengan satu kata, yaitu sibuk, dibarengi dengan dua emoticon silang. Sialan. Terakhir kutanyai, kabarnya dia sudah berencana mengurangi aktifitas kampusnya dan mulai fokus pada rencana skripsinya. Tapi kurasa itu janji yang tidak akan dia tepati. Memang sudah minatnya seperti itu. Dia memang hobi berorganisasi ke sana ke mari, baik di dalam kampus maupun di luar kampus. Kabarnya dia juga bergabung di Klub Bumi Hijau yang bertugas membersihkan kota dua minggu sekali. Aku cukup yakin setiap organisasi yang dia gabung selalu menyambutnya dengan tangan terbuka, karena selain King memang hobi mengerjakan semuanya tanpa di suruh, badannya juga tinggi besar, jadi gampang kalau diminta angkat-angkat barang.
Kei, ajaibnya, sampai saat ini masih berada di kampus. Biasanya anak itu sudah traveling entah kemana, entah sendiri maupun bersama keluarganya. Mungkin dia benar-benar serius ingin memperbaiki nasibnya untuk bisa lulus tepat waktu, atau mungkin juga, sesuai perkataannya, dia sengaja tidak liburan kemana-mana hanya demi acara Halloween Night itu. Sebenarnya aku salut pada Kei. Entah bagaimana caranya, dia selalu tampak ceria. Oke, aku tahu dia berasal dari keluarga konglomerat, jadi anak itu tidak perlu bersusah payah demi mendapatkan apa yang dia mau. Dia bahkan tidak pernah mengerjakan apa-apa sama sekali, baik kerja di luar seperti kami, ataupun cuma sekedar magang saja. Bahkan, menurut pengakuannya, dia tidak tahu cara mencuci piring, tidak tahu cara membuat kopi instan sendiri, dan juga tidak bisa melipat baju sendiri. Oke, urusan melipat baju, memang tidak diutamakan oleh kami sebagian cowok. Kebanyakan dari kami hanya melempar pakaian kami ke dalam lemari alih-alih melipatnya dengan rapi, dan saat kami memerlukan pakaian itu, kami juga main asal tarik saja alih-alih mengangkat tumpukan pakaian dengan hati-hati. Intinya, kami cowok memang cenderung cuek, tapi level kecuekan Kei benar-benar berbeda.
Aku agak khawatir pada masa depan Kei. Harta kekayaan orangtuanya memang sangat besar dan tidak akan habis dengan cepat, kalau mereka tidak melakukan hal yang ekstrem seperti menggadaikan seluruh aset mereka hanya demi trading online. Tapi, yang namanya uang, pasti akan habis. Kalau Kei tidak belajar mandiri juga, dia tidak akan bisa menjaga dirinya sendiri.
"Eh, Kei." Queenie memanggil Kei yang sedari tadi hanya senyam senyum seorang diri. "Ngapain lo? Kok senyam senyum sendiri?"
"Hah?" Kei menoleh. "Nggak sendiri kok. Gue lagi senyum sama cewek itu," katanya sambil menatap seseorang dari jauh.
Lisa dan Queen ikut melihat ke arah yang sama. "Ngapain lo senyam senyum sama cewek orang? Ntar lo dikira psikopat gila, baru tahu rasa."
"Karena dia juga senyum sama gue dari tadi. Masa kalian nggak lihat?" Kei mendecak. "Gue yakin, tuh cewek pasti naksir gue," ucapnya pede.
Lisa langsung mendesis mendengarnya, sementara Queen menepuk kepala Kei. "Ini masih jam enam bro. Masih kepagian buat mimpi."
Kei langsung protes. "Jangan asal nampol dong. Bikin malu aja. Gue lagi sibuk tebar pesona sekarang."
"Tuh, tuh. Cewek itu mendekat. Pasti mau nyamperin gue. Duh, gue mesti gimana nih kalau dia confess?" Kei panik saat melihat cewek itu berjalan mendekat kemari, meskipun wajahnya tampak girang setengah mati.
Karena penasaran, aku jadi ikut melihat. Memang ada seorang cewek yang sedang berjalan ke arah kami. Cewek yang cantik dan imut-imut, nyaris sama seperti mayoritas mahasiswi yang mendaftar di sini. Namun, saat dia tiba di meja kami, alih-alih menyamperi Kei, dia malah mendekatiku.
"Ini, Kak," ucapnya sambil menyodoriku sebuah amplop, kemudian kabur begitu saja.
Sepeninggal cewek itu, Lisa dan Queen langsung tertawa terbahak-bahak, Kei tampak kecewa berat, sementara aku hanya bisa bengong.
"Rupanya cewek itu merhatiin Calvin dari tadi. Elo-nya yang kegeeran, coy," ucap Lisa dengan suara tertahan.
"Kasian banget. Mana tadi udah yakin banget," timpal Queenie.
Kei mendelik dengan sebal. "Bikin kecewa aja. Elo sih, Vin. Fans lo kebanyakan. Bagi-bagi sedikit kenapa."
Bagi-bagi? Emangnya dia kira permen?
"Sorry, bro. Gue juga nggak tahu ternyata gue yang diperhatiin dari tadi," ucapku. Meskipun harus kuakui, hal ini bukanlah hal yang baru bagiku. Berkat bakatku di bidang musik, aku bisa dibilang artis kecil-kecilan di kampus ini. Awalnya aku hanya tampil sesekali, saat kampus sedang acara atau live music di cafe milik Brandon, tapi saat aku bergabung ke klub musik, seseorang dengan iseng membuat akun YouTube dan mengunggah nyanyianku. Tidak disangka, banyak orang yang menonton dan mendengarnya, terutama dari kalangan kampus ini. Semenjak saat itu, orang-orang mulai mengenalku. Beberapa dari mereka juga kurasa mengidolakanku, sama halnya seperti cewek yang barusan itu. Berani kujamin cewek itu lebih muda daripada kami. Sebab, kalau dia setingkat dengan kami atau bahkan lebih tinggi, dia takkan sibuk-sibuk menghabiskan waktu untuk memberikan hadiah ke cowok yang ditaksirnya dan lebih memilih fokus pada tugas akhirnya supaya bisa cepat-cepat tamat dari kampus ini.
"Isinya apaan?" tanya Lisa kepo. "Makanan, ya?"
Aku mendecak. "Makanan aja yang lo pikirin."
"Yah, kalo nggak makan, mati dong, bro. Gitu aja nggak paham?"
Aku mengabaikan Lisa dan membuka plastik yang membungkus hadiah itu dengan rapi. Ternyata isinya benar-benar makanan, atau lebih tepatnya, coklat. Aku bersyukur yang aku terima bukan surat cinta, apalagi puisi cinta. Aku tahu sebagai seorang musisi, seharusnya aku tidak menjelek-jelekkan puisi, karena pada dasarnya, lagu adalah puisi yang diberi nada. Tapi setiap kali aku mendengar puisi, bulu kudukku selalu merinding. Karena itulah nilai Bahasa Indonesiaku selalu jelek.
"Coklat, lumayan, coy. Gue lagi dapet. Pas banget nih," ucap Lisa.
Aku meliriknya. "Yang begituan nggak perlu diumumin keras-keras juga, bro."
Lisa melambaikan tangannya. "Alah, kalian kan udah gede. Nggak usah pura-pura polos, deh."
"Tapi gue emang nggak ngerti," ucap Kei. "Emang apa hubungan dapet dengan coklat?"
"Nggak ada hubungan pastinya. Yang jelas coklat kan enak. Dan setiap orang butuh makanan enak, apalagi yang menderita kayak cewek-cewek seperti kami," Queenie yang menjawab.
"Kalau gitu, bagi juga dong. Gue juga lagi menderita nih," kata Kei sambil berusaha merebut coklat itu.
"Lo dapet juga?" cibir Queenie.
"Bukan. Maksudnya gue lagi menderita karena gue di-PHP-in sama cewek tadi itu."
"Alah. Itu mah lo bukan di-PHP-in. Lo yang kepedean."
"Apapun itu, gue butuh makanan. Bagi dong," rengek Kei, kembali pada tabiatnya untuk meminta makanan orang lain.
Di saat itulah, seseorang yang lain menghampiri meja kami. Orang memiliki sebuah kotak yang dibungkus dengan rapi, sama seperti cewek tadi, hanya saja dia cowok.
"Sori. Dengan Kak Queenie, ya?" tanya cowok itu kepada Queenie yang melongo.
"I… Iya. Ada apa ya?" tanya Queenie kaget.
"Ini buat Kakak. Ada hadiah buat Kakak. Enjoy," ucap cowok itu sambil menyerahkan kotak itu kepada Queenie yang menerimanya dengan ragu, kemudian berjalan pergi.
"Buset," cetus Kei. "Ini hari apaan? Kenapa semuanya pada dapet kado dari secret admirer begini?"
"Iya," Lisa juga protes. "Mana admirer gue? Kok nggak keliatan?"
"Mungkin takut ngeliat selera makan lo," ucapku terang-terangan. Lisa langsung protes, dan aku cepat-cepat menambahkan, "Maksud gue, penampilan lo lagi nggak banget. Mulut lo sampe comot ke sana kemari gara-gara coklat yang lo perebutkan sama Kei, belum lagi coklat yang di tangan lo udah meleleh dan mengotori tangan lo."
Mendengar perkataanku, Lisa buru-buru membersihkan tangan dan mulutnya.
"Kok gue takut ya?" cetus Queenie tiba-tiba.
"Kok takut?"
"Yah, maksudnya kotaknya gede begini. Gimana kalo isinya bom?"
Kami semua tergelak. Memang kotak yang dia terima agak kegedean untuk ukuran kado, tapi rasanya tebakan Queenie terlalu berlebihan. "Lo kebanyakan nonton film, Queen. Ngapain juga orang random begitu ngasih lo bom?"
Queenie mengangkat bahu. "Yah, siapa tahu dia emang niat ngebom kampus ini, cuma asal milih gue jadi perantara." Imajinasi yang hebat. "Kalo nggak, kenapa tahu-tahu ada yang ngasih gue hadiah? Sebelumnya kan nggak pernah."
"Itu artinya pesona lo udah mulai menyebar di kampus ini, sis. Nggak kayak gue. Pesona gue udah ketutup dari kapan-kapan karena terlalu sering sama cowok yang satu ini," kata Lisa sambil menunjukku.
"Lah, kok aku lagi yang kena?" protesku.
"Daripada mikir yang macem-macem, mending buka aja," kata Kei penasaran. "Tapi kalau isinya itu makanan, buat gue ya."
"Enak aja. Buat gue dong. Kan gue yang dikasih," Queenie mempertahankan barang miliknya.
"Yah, Queen. Pelit amat. Bagi dikit lah buat gue. Gue udah kelaparan nih. Belum makan dari lahir."
"Kalau lo belum makan dari lahir, saat ini lo yang udah jadi makanan buat bakteri dan sebagainya. Nggak mungkin lo bisa duduk di sini."
Baru kusadari, ternyata Queen dan Kei hobi banget berdebat.
Queenie akhirnya membuka kotak pemberian cowok itu, dan tebakan Kei terbukti benar. Isinya benar-benar makanan, dan yang lebih ajaibnya lagi, isinya juga coklat sama seperti yang diberikan cewek tadi. Kei dan Queenie akhirnya memperebutkan coklat itu sampai akhirnya Queenie yang menang dan Kei hanya dapat sebagian kecil.
"Eh, mana si Lidya? Tumben nggak kelihatan," ucap Kei.
Kami semua terdiam, sampai tiba-tiba saja aku menyadari semua sedang melihatku.
"Kok pada ngeliatin gue?" tanyaku.
"Karena elo yang lagi ditanya. Bukannya akhir-akhir ini kalian dekat banget?"
Aku terdiam. Ya, memang akhir-akhir ini aku dan Lidya semakin dekat. Setelah ke rumahku tempo hari, rasanya hubungan kami naik setingkat, dari teman biasa menjadi sejenis hubungan tanpa status. Kami sering chattingan sampai malam, dan bahkan juga video-call dalam beberapa kali kesempatan. Kami juga pernah beberapa kali nonton dan makan bareng, sampai saat ini aku sudah tahu makanan apa yang paling tidak disukainya dan apa rasa es krim favoritnya. Terkadang kami juga menghabiskan waktu dengan tidak melakukan apa-apa, melainkan nyantai di suatu tempat sambil mencari ide untuk membuat lagu lebih banyak lagi. Bahkan, sekarang ini pun kami sudah memiliki dua lagu utuh yang sudah jadi.
"Dia kelas jam delapan," jawabku akhirnya.
"Ciye, udah hafal," goda Lisa. "Kapan kalian jadian?"
Aku terdiam lagi. Ya, memang sempat terbersit pikiranku untuk mengajak Lidya pacaran, tapi niat itu kusimpan setiap kali kata-kata itu sudah berada di ujung mulut. Sebagai orang yang kaku, aku benar-benar tidak tahu bagaimana cara menyatakan perasaanku.
"Kapan-kapan," jawabku ambigu, tidak ingin mengundang kekepoan yang lebih panjang lagi.
"Jadi kalian udah mantep, ya?" tanya Queen. "Saran gue, Vin, kalau emang lo niat sama Lidya, lebih baik lo gerak cepet deh. Lo tahu kan cowok-cowok yang ganteng di kampus ini bukan cuma elo doang? Cewek keren macam Lidya begini mah dalam sekejap bakalan banyak cowok yang ngantre demi dia."
Oke, aku jadi wanti-wanti juga mendengar kata-kata Queenie. Memang masuk akal. Lidya cewek yang hebat. Tidak heran kalau banyak cowok yang ingin mendapatkan hatinya.
Saat aku masih terdiam memikirkan kata-kata Queen, tiba-tiba mengirim pesan ke grup kami.
King : Bad news. Acara Halloween Night besok nggak perlu make up yang norak-norak. Soalnya semua bakalan disuruh pake topeng.
Hah? Topeng?
Queenie langsung memprotes di grup tanpa basa-basi.
Queenie : Yah, mana kelihatan nanti gue cosplay jadi apaan kalo pake topeng. Kostum gue kan cuma jaket kulit sama celana panjang hitam doang. Satu-satunya yang bisa bikin penampilan gue menonjol, ya cuma make-up gue.
King : Soal itu, ada yang berita yang lebih buruk lagi. Semua orang disuruh pakai kostum yang sama. Dress buat cewek. Yang cowok, kemeja panjang + blazer/jas + celana hitam.
Jelas, berita itu mengagetkan kami semua. Sebenarnya bagiku sih, aku tidak terlalu peduli harus menggunakan kostum apa pada malam itu. Yang menjadi masalah adalah, kami semua sudah membeli kostum sendiri.
Queenie : Buset. Kok mendadak gitu pemberitahuannya? Kita semua kan udah beli kostum sendiri.
King : Peraturan terupdate dari ketua panitia.
Lisa : Siapa ketua panitia yang nggak becus itu? Copot aja orangnya.
King : Sori, tapi yang ketua panitia buat acara ini adalah ketua BEM yang kemarin lo bilang ganteng, Lis. Kecuali lo mau imej lo jelek di depan dia, gue bisa aja bilangin lo minta dia dicopot.
Lisa : Oh, dia ya? Nggak jadi deh.
Aku : Giliran cowok ganteng semangat banget.
Lisa memelototiku dari samping, tapi tetap membalasku lewat chat.
Lisa : Alah, elo juga semenjak ada Lidya, jadi lupain kami. Iya gak, guys?
Lah, kenapa jadi Lidya yang dibawa-bawa? Aku baru saja ingin mengetik, namun Lidya sudah membalas.
Lidya : Kok aku yang kena?
Kei : Karena Lisa jealous. Haha. Sebelum ini, kan dia yang paling sering digosipin sama Calvin.
Aku dan Lisa sama-sama memelototi Kei yang hanya cengengesan kepada kami.
Lisa : Udah bosan hidup ya?
Kei : Hihi. Maap-maap. Btw, fokus guys. Gimana dengan kostum-kostum yang udah kita beli itu?
King : Sepertinya kita terpaksa retur barang-barang itu semua deh.
Queenie : Aduh, pasti bakal repot banget. Belum tentu mereka mau terima retur.
Pertimbangan yang benar banget.
King : Sis, di antara kita semua, kayaknya cuma lo yang nggak perlu retur barang apapun. Seperti yang lo bilang, kostum lo itukan cuma jaket kulit sama celana hitam doang. Yang paling mencolok dengan tokoh yang pengen lo tiru itu cuma kontak lens merah yang sampai saat ini belum lo beli.
Lisa : Yang paling mampus itu gue. Dress gue yang merah itu badai banget. Nggak mungkin dipake di hari-hari biasanya.
Kei : Kalau gue sih, gue nggak mau jual kostumnya. Disimpen aja. Siapa tahu nanti kita bakal diundang ke acara yang beginian? Lumayan, gue bisa jadi badut di acara ulang tahun anak kecil.
Lisa : Mana ada anak kecil yang nge-fans sama Hulk?
Kei : Eh, sis. Anak kecil itu nge-fansnya nggak pandang bulu. Mau warnanya ijo, putih, kuning telur, ataupun oren sekalian, kalau tokohnya keren, mereka tetap suka.
Queen : Memangnya ada tokoh keren yang warna kulitnya oren?
Kei : Ada. Garfield.
Lisa : Itu kan kucing, pea.
Kei : Tapi kan warnanya memang oren.
King : Dilihat dari omongan kalian yang mulai gak serius, sepertinya kalian udah anteng soal masalah kostum ini.
Lisa : Ya jelas belum dong. Gue masih stres nih.
Aku : Nggak usah stres, bro. Gue yakin yang bikin acara beginian bukan cuma kampus kita doang. Kita coba jual aja kostum-kostum kita. Bisa jadi ada yang mau beli. Bukan gak mungkin pula kita dapet untung, karena biasanya, semakin perlu mereka, semakin rela mereka bayar mahal.
Kei : Nah, gitu dong. Dateng-dateng langsung bawa solusi yang bisa bikin cuan. Emang teman gue yang paling jenius. Cocok banget jadi pasangan hidupnya Lidya.
Aku memelototi Kei lagi, sementara yang dipelototi hanya nyengir.
Lidya : Kok aku yang kena lagi?
Kei : Iya, soalnya temen gue yang satu ini jomblonya udah kelamaan. Kudu gue promosiin terus.
Aku : Udah bosan hidup, ya?
Lisa : Nggak usah copas chat gue.
Aku : Gue nggak copas.
Queenie : Nggak usah denial, Vin. Udah jelas banget. Sampe ke titik komanya segala lagi.
Aku : Fine. Emang gue copas.
Kei : Hah, Calvin dikepret dua cewek sekaligus. Pertama kali ya, bro?
Lisa : Lo mau dikepret juga, Kei?
Kei : Nggak, makasih.
King : Pembicaraan kalian makin lama makin gak jelas. Hape gue geter terus sampe-sampe gue kira dia mau bunuh diri, tau.
Kei : Bisa jadi hape lo emang kerasukan, King. Kayak yang di film apa namanya itu. Soalnya hape kami semua baik-baik aja.
Queenie : Bisa jadi. Siapa tahu hapenya kerasukan lantaran stres berat gara-gara dipegang terus sama King setiap saat, bahkan saat ke WC.
King : Mesti banget ya itu dikasih tau ke semua orang?
Lidya : Sebenarnya, hapeku dari tadi juga bergetar hebat.
King : Nah, tuh. Gue ada yang belain. Mau apa kalian?
Kei : Woi, Vin. Cewek lo direbut sama teman sendiri tuh. Masa lo diem aja?
Aku : Mau dikepret sama gue, Kei?
King : Sebelum kalian ganti topik, gue tarik kesimpulan dulu. Jadi kita setuju jalanin idenya Calvin. Kita coba jual aja kostum-kostum kita, siapa tahu ada yang laku. Oke?
Lisa : Oke.
Queen : Oke.
Aku : Oke.
Lidya : Oke.
Kei : Oke, beb.
King : Kei, ingatin gue buat nabok lo entar. Sebelum hape gue mati beneran, gue out dulu. Udah dipelototin sama cinta bertepuk sebelah tangannya sih Lisa. Dah.
Lisa : Siapa yang lo sebut bertepuk sebelah tangan?
Aku melirik Lisa. "Telat. Udah cabut orangnya," kataku.
Queenie menarik nafas. "Berarti kita selain mesti jual kostum yang udah kita beli, kita mesti cari topeng lagi, dong?"
Lisa mengangguk. "Sebaiknya sih. Gue nggak mau deh pake topeng dari kertas mika gitu. Kayaknya kurang cocok aja."
Kei tertawa. "Kalau gue sih, sepertinya pake topeng dari kertas mika fine-fine aja. Tinggal gunting lalu tempel. Selesai. Kayak kelas kerajinan pas SD gitu."
Sejujurnya, aku juga berpikiran begitu.
"Coy, jangan ingatin gue pas kerajinan tangan dong. Gue paling jelek soal begituan," protes Lisa. "Udah, kita beli aja topengnya. Acaranya berapa lama lagi?"
"Semingguan lagi," jawabku. "Tapi berhubung kita pada sibuk kerja dan kuliah, kita cuma bisa nyari di hari Sabtu dan Minggu."
"Berarti hari Sabtu aja, biar Minggunya kita bisa tidur sepuasnya. Acaranya hari Senin, kan?"
Aku mengangguk lagi. Aku tidak tahu harus kemana mencari topeng-topeng untuk acara itu, tapi sepertinya yang lainnya lebih tahu daripada aku, jadi aku membiarkan masalah ini kepada mereka. Sebenarnya aku sendiri juga tidak setuju dengan penggunaan topeng pada acara Halloween Night nanti. Anggaplah aku overthinking, tapi bisa saja kan ada orang luar yang bukan merupakan warga kampus yang menyelinap ke acara itu berhubung tidak ada yang bisa mengenali satu sama lain lantaran wajah mereka tertutup topeng? Kalau niat orang-orang itu hanyalah ikut pesta gratisan, okelah, tidak masalah. Tapi bagaimana kalau orang-orang itu datang dengan niat jahat? Untuk merampok, misalnya? Aku yakin pada malam itu semua orang akan sibuk bersenang-senang dan menurunkan kewaspadaan mereka pada level terendah.
Saat aku mengungkapkan kekhawatiranku itu kepada teman-temanku di hari-hari berikutnya, mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa dugaanku konyol sekali.
"Lo sering bilang kami keseringan nonton drama Korea, padaha lo sendiri diem-diem juga nonton, kan?" Queen tertawa. "Imajinasi lo hebat banget."
Sesuai dugaanku, King membelaku. "Eh, itu hal yang mungkin aja terjadi loh. Makanya gue nentang banget soal pake topeng beginian.
"Terus kenapa masih aja dijalanin?" tanya Kei.
King menghela nafas pasrah. "Biasa, kalah suara. Yang lain malah ngirain itu ide yang jenius."
Aku melirik Lisa. Tumben-tumbennya anak itu diam saja. Biasanya dia sudah menggunakan kesempatan ini untuk mengejekku, tapi kali ini dia diam saja. Malahan dia tampak seperti menyetujui pemikiranku.
Aku juga melirik Lidya. Berbeda dengan Lisa, wajah Lidya tampak tegang, seolah khawatir apa yang aku katakan akan benar-benar terjadi. Bahwa akan ada orang yang membuat kerusuhan di acara itu.
"Jangan khawatir," kataku, berusaha mengakali kata-kataku sendiri. "Itu cuma dugaan, kok. Seharusnya nggak bakalan ada orang iseng yang macam-macam. Anak-anak kayak kita seharusnya nggak buat musuh dimana-mana, kan?"
Sekarang aku baru menyadari betapa bodohnya kata-kataku waktu itu.
Lidya mengangkat kepalanya dan tersenyum kepadaku. "Ya. Pokoknya kita hati-hati saja."