Chereads / Kembalinya Masa Lalu / Chapter 6 - Chapter 6

Chapter 6 - Chapter 6

POV : Lidya

Halloween Night.

Sebenarnya, bagiku, acara itu kedengarannya cukup menyenangkan. Kalau saja aku hanya seorang mahasiswi biasa, aku pasti akan menikmati acara itu. Sayangnya, kenyataan tidak seperti itu. Aku punya kewajiban untuk tetap fokus pada misiku. Mungkin kalian akan berpikir bahwa aku bisa saja mencuri-curi kesempatan untuk menikmati hidup normal meskipun hanya untuk sementara, tapi kalian salah. Bahkan saat di kampus, aku selalu saja menemukan orang-orang yang dikirim Jai untuk mengawasiku.

Aku tidak pernah mengerti kenapa Jai harus melakukan itu. Maksudku, aku sudah setuju dengan rencana ini. Dan seharusnya dia tahu aku bukan tipe orang yang mengingkari janji. Mengirim orang-orang untuk mengawasiku hanya membuatku kesal saja.

Meskipun harus kuakui, aku menikmati waktu-waktuku bersama Calvin. Sikapnya selalu sopan dan penuh hormat, membuatku sedikit terpesona. Seandainya aku hanya cewek-cewek normal pada umumnya, bisa jadi dalam waktu dekat aku akan tertarik padanya. Tapi aku tahu yang lebih baik. Aku tahu bahwa aku tidak dapat menjalani hidup normal, jatuh cinta dengan cowok yang sempurna, dan hidup dengan tenang untuk seumur hidup. 

Awalnya, pada saat Jai pertama kali mengajakku dalam rencananya, aku tidak tahu bagaimana teknisnya aku harus mendekati Calvin. Untungnya, Jai berhasil menggali informasi dan mengatakan bahwa Calvin memiliki ketertarikan di bidang musik, jadi semenjak saat itu, Jai memaksaku untuk menggali minat yang sama. Padahal, seumur hidup aku belum pernah berlatih musik. Bahkan mendengarkan musik saja jarang, lantaran aku dan Jai harus berlatih setiap hari oleh Ayahku.

Untungnya, latihanku berhasil. Aku berhasil melatih suaraku sampai setidaknya layak didengar saat bernyanyi di depan orang banyak. Aku juga mulai belajar menikmati musik, jadi aku bisa memanfaatkannya untuk menghibur diri sendiri di saat aku sedang merasa pahit. Ini bisa dibilang satu-satunya hal baik yang muncul berkat berjalannya misiku ini.

Calvin, di sisi lain, kelihatannya memang terlahir seorang musisi. Dia bisa bernyanyi, memainkan beberapa jenis alat musik, dan bahkan membuat lagu sendiri. Meskipun masih amatir, lagu yang dia buat termasuk oke. Kalau dilatih terus, aku tidak ragu dia akan menjadi musisi terkenal.

Yah, tetapi sayangnya, hidupnya akan berubah dalam waktu dekat.

Malam itu aku berhasil menggunakan kesempatanku untuk pedekate dengan Calvin untuk yang kesekian kalinya. Setelah itu, dia mengantarku ke persimpangan dan aku pulang dengan berjalan kaki ke tempat tinggalku.

Kalau sebelumnya aku menemukan orang-orang kiriman Jai saat membuka pintu, kali ini, aku melihat Jai sendiri.

Aku terperanjat saat melihat sosoknya yang besar sedang berada di bagian dapur, sedang mengambil air minum. Melihat kedatanganku, dia tidak bergerak sedikitpun. Menoleh saja tidak.

Aku meletakkan tasku dengan hati berdebar. Tidak seperti biasanya Jai muncul sendiri. Ada apa ini?

Aku memandangi sosok Jai. Tubuhnya tinggi, lebih tinggi dibandingkan cowok-cowok pada umumnya. Rambutnya dibiarkan gondrong dan menutupi kedua matanya. Pakaiannya sangat sederhana, hanya kaos oblong tanpa lengan yang agak-agak transparan, menampilkan beberapa bekas luka yang ada di punggungnya. Meskipun sudah sering melihatnya, aku tetap saja bergidik. Bekas-bekas luka itu menunjukkan betapa kerasnya hidup kami. Aku sendiri memiliki beberapa bekas luka yang sama, hanya saja tidak sebanyak Jai.

"Tumben pulang jam segini." Aku mendengar suara Jai yang kini terasa asing di telingaku. Suaranya terdengar berat seperti bapak-bapak. "Dari mana aja?" 

Meskipun sedang berbicara denganku, dia tidak menoleh padaku sama sekali.

"Emangnya aku perlu ngelapor?" aku balas bertanya, sambil berusaha mempertahankan ketenanganku.

Jai hanya terdiam beberapa saat sebelum dia menjawabku "Nggak juga."

"Gimana progres dengan target kita?" tanyanya kemudian.

"On process," jawabku singkat. "Yang seperti ini nggak bisa dipaksa."

Jai menatapku dengan dingin, seolah-olah tersinggung dengan jawabanku yang semena-mena. Tapi, di luar dugaanku, dia hanya menjawab, "Oke."

Dengan begitu saja, dia hendak pergi dari hadapanku.

"Kamu belum jelasin secara detail apa rencana kita," kataku, menghentikan langkahnya.

Jai berhenti tanpa membalikkan badannya. "Seperti yang sudah pernah kita bicarakan. Cari bukti mereka udah membunuh Ayah."

"Ya, tapi bagaimana teknisnya? Gimana caranya aku bisa mencari bukti itu?"

"Kamu pintar, Lidya. Pikirkan sendiri."

Aku mendengus mendengarnya. Sial, kalau sudah begitu, aku yang disuruh pikir sendiri. "Lalu, setelah itu apa? Apa selanjutnya setelah kita mendapatkan keadilan untuk Ayah dan Ibu?"

Lagi-lagi, Jai terdiam untuk beberapa saat.

"Setelah itu, kita bebas. Kita bisa melakukan apa saja," jawabnya dengan suara rendah. "Asalkan kamu bisa melakukan tugasmu."

Sial, kenapa rasanya hidup kami berdua terletak di tanganku seorang diri? "Kalau aku bisa menyelesaikan tugasku, kamu bisa melepas pekerjaanmu yang sekarang?" tanyaku dengan suara serak.

Ya, mungkin aku belum menceritakan sumber penghasilan kami. Jadi, setelah Ayahku bebas dari penjara saat aku berusia sepuluh tahun, dia hidup dari berbagai usaha ilegal yang didirikannya. Dia berurusan dengan bisnis obat-obatan ilegal, pemalakan, pembegalan, dan berbagai jenis premanisme lainnya. Dari situlah, dia berhasil mendapatkan uang yang cukup banyak untuk melatih kami dan membangun kekuatannya untuk melawan musuhnya, sebelum akhirnya dia kalah dan tewas.

Setelah kematiannya, Jai meneruskan kepemimpinannya. Bisnis-bisnis ilegalnya masih berjalan sampai dengan saat ini, bahkan mungkin sudah berkembang lebih besar lagi. Karena itulah aku dapat berkuliah di kampus yang tersohor itu. Meskipun sekarang aku sendiri juga bekerja, penghasilanku per bulan mungkin hanya sekian persen dari penghasilan Jai.

Tentu saja aku ingin melepaskan diri dari usaha-usaha ilegal itu, beserta dengan Jai juga. Karena itulah, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan misiku ini, supaya Jai juga dapat terbebas dari usaha ilegalnya itu.

Namun, alih-alih menjawabku, Jai malah melangkah pergi, membuatku ragu apa rencananya selanjutnya setelah ini.

***

Aku disuruh memikirkan bagaimana caranya mendapatkan bukti keluarga Calvin membunuh Ayahku. Sial, bagaimana caranya?

Apa aku harus menyandera salah satu dari mereka dan memaksa mereka mengaku?

Apa aku harus mencari cara untuk menghipnotis mereka dan menyimpan pengakuan mereka?

Apa aku harus membobol masuk ke rumah mereka untuk menemukan bukti yang dapat melawan mereka?

Sial, kenapa tidak ada satupun dari solusi di atas yang kedengarannya masuk akal?

Aku terus memikirkan beberapa skenario yang dapat kugunakan untuk menyelesaikan misiku secepat mungkin, namun kurasa hari itu aku benar-benar capek. Hari yang panjang, ditambah dengan berhadapan dengan Jai, membuat mataku nyaris tidak dapat terbuka lagi.

Aku langsung tertidur beberapa menit setelah menghempaskan diri ke kasur.

Hari berikutnya berjalan seperti biasanya. Aku mungkin tidak akan menyinggung pekerjaanku lantaran itu hanya menjadi salah satu hal yang harus kukerjakan untuk melewati waktu. Toh sebenarnya, pekerjaanku yang sebenarnya dimulai di malam hari, di kampus tempat aku seharusnya kuliah.

Sebenarnya waktu berjalan cukup cepat. Lebih cepat dari yang kusadari. Tidak terasa, sudah dua bulan sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini. Padahal rasanya semua baru saja terjadi kemarin. Aku harus mengakui, berperan sebagai mahasiswi sedikit membuatku terlena. Maksudku, ini adalah kehidupan yang aku mau. Aku ingin hidup normal seperti manusia biasa, dan saat ini aku sedang berpura-pura menjadi manusia biasa itu. Wajar saja kalau aku terlena, bukan? 

Meskipun begitu, aku selalu khawatir bahwa Jai akan merasa aku bertindak terlalu lambat. Sudah dua bulan, dan aku masih belum memberikannya progres yang signifikan. Aku tidak heran kalau saat ini dia mulai merasa gusar. Semoga saja dia tidak akan bertindak gegabah dan tetap berpegangan pada janjinya. 

Walaupun sebenarnya, aku sama sekali tidak percaya padanya bahwa rencana yang dia sampaikan.

Aku tidak yakin apakah Jai benar-benar hanya berencana untuk mencari bukti bahwa keluarga Calvin melakukan kesalahan, lalu menghukum mereka secara legal. Aku tumbuh besar bersamanya. Aku ingat betul bagaimana Ayah melatih kami berdua menjadi pembunuh yang tidak berperasaan, dan aku ingat bagaimana Jai betul-betul berlatih untuk menjadi anak yang Ayah kami inginkan. Aku ingat betapa bengis dan kejamnya Jai saat dia melakukan rencananya bertahun-tahun lalu, meskipun semuanya berakhir pada kekalahan. Aku ingat betapa sedih dan marahnya Jai saat menyadari bahwa Ayah kami sudah tewas.

Karena itu, aku yakin rencana Jai tidak sesederhana yang dia katakan kepadaku. Pasti ada sesuatu yang lain. Hanya saja, saat ini aku masih belum tahu apa-apa tentang itu.

***

Aku memperhatikan Calvin yang tampak sedang fokus pada tumpukan skripsi milik alumni kami. Dia tampak sedang komat-kamit saat membaca buku-buku yang tebalnya minta ampun itu dengan wajah yang tampak tidak mengerti apa yang sedang dia baca sama sekali. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan melihat sekeliling, mendapati semua orang sedang melakukan hal yang sama dengan ekspresi yang sama pula.

"Psst, Queen. Kalian lagi ngapain sih? Kok fokus banget?" bisikku pada Queenie.

Queenie mengangkat kepalanya dengan malas. "Kami udah disuruh mikirin topik buat skripsi."

Oh. Pantas saja mereka tampak stres berat. 

"Cepet banget. Kalian bukannya baru semester lima?"

"Kampus kita kan ngebet. Kalau bisa, semester satu udah langsung sidang skripsi," timpal King dengan wajah kesal.

"Muka kalian kelihatannya kusut banget," kataku melihat wajah-wajah mereka yang tampak seperti orang yang belum tidur berhari-hari. Baru mau susun skripsi saja sudah begini. Bagaimana jadinya kalau mereka beneran membuat skripsi itu?

"Emang. Gila, gue iri banget sama Kei. Bisa-bisanya dia pergi holiday di bulan-bulan kita lagi sibuk kuliah. Tuh orang nggak mau lulus apa?"

"Tuh anak kan emang banyak duit. Kuliah itu cuma buat ngisi waktu luangnya doang. Pekerjaan utamanya, ya traveling," ucap Calvin yang dari tadi diam saja, lalu menoleh kepadaku. "Kamu nggak ada kelas malam ini?"

Oh ya, sebelum kalian bingung, sebenarnya aku ini masih semester satu, sementara Calvin dan yang lainnya semester 5. Aku sengaja mengikuti kelas yang merasa ambil pada saat semester pendek waktu itu untuk sengaja mengatur pertemuan dengan Calvin. 

"Dosennya nggak dateng hari ini," jawabku. "Daripada nggak ada kerjaan, aku ikutan kalian aja."

"Ah, nggak seru kalau nongkrongnya di sini doang. Nongkrong tuh enaknya di tempat yang ada makanannya," kata Lisa. "Oh iya!" teriaknya tiba-tiba, seolah baru teringat akan sesuatu. Kami semua langsung menyuruhnya diam dengan kompak, lantaran saat ini kami sedang berada di perpustakaan dimana seharusnya tidak terdengar suara manusia berbicara sedikitpun.

Lisa langsung membuat gestur meminta maaf kepada semua orang yang ada di sana, sebelum kembali berbisik kepada kami. "Kita semua lupa. Hari ini Brandon pada ngundang kita semua ke cafenya, kan?"

Aku tidak mengingat pernah diundang, tetapi sepertinya yang lainnya baru mengingatnya. "Oh ya? Dia ngundang kita untuk apa?" tanyaku sebagai satu-satunya orang yang tidak mendengar saat diundang.

"Hari ini anaknya ulang tahun," bisik Lisa. "Kamu juga diundang, Lidya. Cuma waktu itu kamunya lagi nggak ada."

"Oh," aku mengangguk-angguk. Sudah kuduga cowok bernama Brandon itu sudah memiliki anak. "Jadi kita semua ke sana nih sekarang?" tanyaku melihat semuanya yang mulai beres-beres.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, kami semua sudah berada di cafe Brandon.

Cafe Brandon sebenarnya cukup luas, dan kalau diatur dengan tepat, bisa mencakup mungkin seratus orang. Saat kami sampai, tampak tempat itu sudah dirias dengan rapi dan cantik. Gantungan bergambar tokoh-tokoh Disney yang biasanya tidak ada terlihat dimana-mana, sementara orang-orang sudah ramai berdatangan. 

"Gila. Aku udah ngirain kalian pada nggak dateng," kata Brandon saat melihat kedatangan kami semua.

"Sorry, Bro," ucap Calvin mewakili kami semua. "Kelupaan gara-gara bingung skripsi."

Brandon tertawa sedikit mendengar jawaban Calvin. "Ah, aku udah lupa rasanya jadi anak kuliahan. Udah belasan tahun soalnya." Dia membawakan senampan minuman untuk kami. "Drinks?"

Kami semua yang sudah haus langsung mengambil gelas-gelas itu tanpa malu-malu.

"Kak Brandon." Di antara kami semua, hanya Lisa yang memanggil Brandon dengan sebutan 'Kak'. Aku selalu penasaran dengan alasannya. "Mana si kecil?"

Brandon tersenyum saat dia melirik ke belakang sedikit. "Udah nungguin kamu dari tadi."

Bersamaan dengan Brandon mengatakan itu, dari belakang cafe, datang seorang anak perempuan yang mungkin hanya berusia lima tahun sambil berlari-lari kecil. Anak itu imut sekali dengan bulu mata yang membuat semua cewek di dunia cemburu dan pipi yang gembul. Dia mengenakan gaun bertemakan putri hari ini, bahkan mengenakan mahkota di atas kepalanya. 

Oh Tuhan, aku ingin punya anak seperti itu. Tapi rasanya itu mimpi yang terlalu jauh.

"Kak Lica," dia berlari ke pelukan Lisa seolah-olah tidak melihat keberadaan kami semua. 

"Hi, Chris," Lisa langsung memeluk anak itu dengan gemas. "Happy birthday, sayang," katanya sambil mencium pipi anak itu.

"Kak Lica, mana hadiah buat Chris?" Belum apa-apa, anak itu sudah menagih hadiahnya. Lucu sekali.

"Waduh, baru dateng udah dimintai hadiah," Lisa tertawa. "Udah Kakak titip ke Papa kamu. Nanti minta aja sama Papa, oke?"

Anak perempuan yang bernama Chris itu mengangguk dengan semangat. 

"Chris, kamu nggak bilang halo sama kakak-kakak yang lain?" ucap Brandon sambil mengelus rambut anaknya. Baru saat itu, anak itu baru menyadari Lisa tidak datang sendirian. Sepertinya dia malu-malu dengan kami semua, kecuali dengan Lisa. Aneh. "Halo semua…" katanya dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik.

Pada saat itu, dari arah Chris berlari tadi, muncul seorang perempuan yang mungkin berusia sepantaran dengan Brandon. Dan dia cakep banget. Tubuhnya yang ramping dibalut dengan gaun berwarna merah yang membuatnya tampak cerah dan menawan. Cara berjalannya menunjukkan kepercayaan diri dan pesona dewasa yang tidak tanggung-tanggung. Saat melihat kami, dia tersenyum dengan ramah.

"Sorry," ucapnya. "Chris kadang emang malu-malu kalau ketemu sama orang baru," katanya.

Tunggu. Dari cara bicaranya, apakah dia…

"Brandon, ini…"

"Yup." Brandon mengangguk dengan bangga sambil meraih tangan wanita itu. "Perkenalkan semuanya. Ini Yuna, istriku."

Wow. Selama ini aku sudah menduga Brandon sudah berkeluarga, tetapi aku tidak mengira istrinya cantik sekali seperti supermodel.

"Halo semuanya. Senang akhirnya bisa bertemu dengan kalian," ucap wanita itu dengan ramah.

Melihat kedatangan mamanya, Chris langsung minta digendong. Wanita yang bernama Yuna itu langsung meraih anaknya. 

"Makasih ya udah sering berkunjung ke cafe ini. Terutama kamu, Calvin. Kamu udah berhasil menarik banyak pengunjung di sini," katanya kemudian.

Brandon tampak kaget. "Kok Kakak bisa tahu namaku?" 

Yuna tersenyum. "Brandon sering cerita," dia melirik suaminya dengan manis. "Lagipula, siapa yang nggak kenal musisi kampus yang videonya udah mencapai puluhan ribu likes itu? Kalau nggak salah, waktu itu kamu duet sama seorang cewek yang namanya Lidya, yang omong-omong, kamu kan?"

Oke, tahu-tahu saja, Yuna sudah menatapku dengan tertarik.

"Eh, iya, Itu aku," jawabku agak grogi. Abisnya, pamor yang dipancarkan Yuna benar-benar membuatku merasa kecil dan inferior. Kurasa bukan hanya aku. Melainkan juga Queen dan Lisa. Maksudku, kami semua baru dari kampus dan capek karena sibuk bekerja seharian. Wajah kami pasti sudah kusam setengah mati. Wajar kalau kami merasa kalah telak dibandingkan dengan Yuna.

"Suara kamu juga bagus banget," puji Yuna dengan tulus. "Kamu punya chemistry yang kuat dengan Calvin."

Oke, sebelum kalian bertanya-tanya, aku sudah berhasil untuk semakin mendekati Calvin. Belakangan ini, Calvin akhirnya berhasil menyelesaikan lagunya, dan sesuai janjinya, dia menyanyikannya di depanku. Karena tidak ingin membuang kesempatan itu, aku langsung meminta duet dengan cowok itu, yang langsung setuju tanpa curiga banyak.

"Makasih," aku tersenyum. 

"Mereka emang cocok," ujar suaminya. "Kalau mereka mau berkarir jadi musisi duet, kurasa mereka bakalan laku."

"Iya. Siapa tahu mereka juga berjodoh dan jadi pasangan," timpal Queenie entah dari mana.

Calvin langsung menoleh dengan protes ke arah Queenie, sementara aku hanya tersipu-sipu malu.

"Ah, kalian masih muda. Jalanin saja dulu. Masa depan tidak ada yang tahu," kata Yuna dengan ringan. "Ayo, semuanya duduk dulu. Aku ambilin makanan buat kalian, ya."

Saat kami mencari tempat duduk dan Brandon bergabung dengan kami, aku melihat Queenie tidak dapat menahan diri untuk bertanya. "Eh, Brandon. Itu beneran bini lu?" 

Brandon tampak geli dengan pertanyaan Queenie. "Iya dong, Masa bini boongan?"

"Dia cakep banget, cuy. Bahkan bagi kami sesama wanita. Iya nggak, Lid?" Queen bertanya padaku yang langsung mengangguk dengan penuh persetujuan. "Dia mantan supermodel ya?"

Brandon tertawa kecil. "Ya, istriku emang cantik banget. Tapi dia bukan supermodel ataupun sejenis selebriti lainnya."

"Tapi lo dan istri lo emang cocok banget sih," ujar King yang tampak jujur. "Cuma gue heran. Kenapa setelah sekian lama, lo baru ngenalin istri lo ke kami sekarang?"

"Nggak kenapa-napa," Brandon mengangkat bahu. "Cuma kalian biasa ke sini kan pas malem. Itu waktunya Yuna buat momongin Chris tidur."

Oh, benar juga. Kehidupan berumah tangga memang berbeda.

"Ngomongin soal Chris," kata King lagi. "Gue juga heran. Kok kayaknya dia deket banget sama Lisa, padahal tiap kali Lisa ke sini, kami juga ikutan." 

"Itu karena gue punya jiwa muda yang disukai anak-anak," kata Lisa yang entah kapan sudah berada di dekat kami. "Jangan ngiri, bro."

"Bukannya ngiri," jawab Calvin seenaknya. "Cuma penasaran aja, kenapa cewek separuh cowok kayak kamu bisa dideketin dengan sukarela sama anak kecil seimut Chris." 

Lisa langsung memprotes dengan memberi Calvin tamparan di lengannya.

"Yeah, soal itu, kadang Chris sering bilang Lisa mirip mamanya. Mungkin karena itu mereka jadi dekat," kata Brandon asal.

Lisa dan Yuna. Aku melirik mereka berdua. Meskipun mereka sama-sama cantik, wajah mereka jelas tidak mirip.

Yuna kembali dengan membawa nampan berisi beberapa makanan ringan. "Ini makanannya ya. Please enjoy. Kalau kurang, silahkan ambil," ucapnya kepada kami yang tidak malu-malu lagi karena sedang kelaparan. "Beb, tamu-tamu kita yang lain udah dateng," dia melirik suaminya.

Brandon mengangguk. "Kami tinggal dulu ya. Kalian makan aja sampai kenyang, oke?"

Itu sih permintaan yang jelas akan kami penuhi.

Aku melirik kepergian Brandon, Yuna, dan anaknya. Mereka bertiga tampak seperti keluarga yang harmonis. Brandon dan Yuna sangat serasi, dan kehadiran anak perempuan mereka yang imut menyempurnakan segalanya. Mereka menghampiri dua pasangan yang ada di depan mereka. Ada seorang pria yang tampaknya berumur beberapa tahun lebih tua daripada Brandon yang disapa dengan hormat, datang bersama istrinya. Ada juga seorang wanita yang tampaknya berusia sama dengan Brandon, datang membawa suaminya dan sedang cipika-cipiki dengan Yuna. Mereka semua tampak berteman dekat sejak dulu.

"Kenapa?" tanya Calvin yang sepertinya menyadari aku melihat Brandon dan Yuna sejak tadi.

"Oh," aku tersadar dari lamunanku. "Cuma lagi perhatiin mereka. Serasi banget ya. Yuna cantik banget," ucapku menerawang.

Calvin juga melirik ke arah yang sama, lalu berkomentar dengan muka datar. "Kamu juga cantik."

Apa?

Aku menoleh kepada Calvin yang sudah melirik ke arah lain. Ekspresinya tampak datar, sampai-sampai aku mengira aku salah mendengarnya.

Tentu saja aku berharap aku tidak salah dengar. Itu artinya rencanaku sudah mulai berhasil. Calvin mulai memiliki kesan terhadap keberadaanku, dan itu adalah tahap pertama dari rencanaku. Aku akan mendekatinya dan juga keluarganya, lalu mencari kesempatan, entah bagaimana caranya untuk menemukan bukti bahwa mereka bersalah. Ya, itu yang akan kulakukan. Aku tidak akan membiarkan siapapun atau apapun menghentikan rencanaku ini.

Termasuk perasaanku yang perlahan mulai timbul terhadap Calvin.