Chereads / Mimpi.Cinta.Dan Kegelapan / Chapter 4 - Bab 5

Chapter 4 - Bab 5

Pagi itu, aku melihat Widad bangun sedikit lebih awal dari biasanya. Usai solat subuh, ia mengenakan kaos polo hitam dan celana khaki berwarna krem. Aku yang baru saja selesai mandi sebentar mencium wangi Dolce and Gabbana yang tersemprot ke sekujur tubuhnya.

" Pagi?"

Dia hanya tersenyum dengan teguranku.

"Sayang kamu mau ikut?"

"Tidak apa-apa. Kurasa aku akan duduk di rumah saja."

Dia menganggukkan kepalanya. Aneh. Biasanya kalau dia mau kemana-mana, dia pasti akan mengajakku pergi bersamanya. Tapi tidak hari ini. Dia sepertinya tidak membujukku. Memang benar kami baru menikah sebulan tapi rasanya agak aneh. Mungkin dia punya urusan di rumah sakit.

Pagi itu, Mba Puji memasakkan kami mihun goreng Singapura dan teh susu. Kami sarapan dulu sebelum Widad keluar.

"Kamu mau pergi ke mana?"

"Rumah Sakit Sentosa."

"Lihat Gibran ?"

"Pembetulan. Ambil Gibran . Aku sudah bilang kalau dia bisa bebas sekarang. Jadi aku ingin pergi dan membawanya."

"Oh baiklah..."

"Mengubah pikiran?"

"Tidak. Aku belum siap bertemu dengannya lagi. Mas aja Yang pergi ."

"Ada apa ini? Dia ingin duduk bersama kita nanti sayang."

Aku rasa Widad tidak serius dengan izinku untuk mengizinkan Gibran tinggal bersama kami. Aku tidak sepenuhnya setuju tapi... aku tidak tahu.

"Sayang..." Ucapannya membuatku tersentak karena terus melamun. "Apa yang kamu pikirkan?"

"Oh, tidak apa-apa."

"Sayang, Kamu tidak suka ya Gibran duduk bersama kita?"

Aku serba salah. Aku bingung antara mengatakan 'ya' atau 'tidak' padanya. Aku tahu dia adalah Adiknya tetapi ketika Aku berpikir bahwa Adiknya adalah mantan pasien sakit jiwa, tanpa sadar Aku menjadi skeptis. Bagaimana jika adiknya masih sakit dan membuat keributan di sini nanti? Aku memikirkan segalanya tentang hal itu.

"Sayang, dia adik ku lho. Aku harus menjaganya karena kita sama-sama sudah tidak punya ibu dan ayah lagi.Kamu juga sama kan. Jadi aku harap kamu mengerti."

Sampai saat itu, Aku terdiam. Tidak ada argumen yang lebih baik bagi ku untuk mengkritik apa yang disampaikan Widad . Aku harus lebih terbuka dalam berbagi kehidupan. Pernikahan adalah salah satu bentuk kemitraan.

"Aku baik-baik saja. Mas ambil aja dia."

"Terima kasih sayang. Malam ini sayang, kamu tidak perlu masak.sekalian itu bilang sama Mba Puji. Kita makan di luar saja ya."

"Apa kamu tidak bekerja hari ini?" Aku baru ingat untuk menanyakan pertanyaan itu padanya.

Dia menggeleng.

Setelah makan, dia mengambil kunci mobilnya sementara aku mengantarnya ke pintu. Saat itu, sekali lagi Aku dilanda oleh perasaan serba salah. Tapi aku tidak mengatakan apa pun pada Widad .

Aku menjabat tangannya dan dia masuk ke dalam mobil. Beberapa detik kemudian, mobil yang dikendarainya mulai menghilang dari pandangan. Aku masuk ke dalam rumah lagi.

Aku menghabiskan waktu yang Aku miliki dengan sedikit merapikan rumah. Aku tidak terlalu merapikannya, malah Aku hanya mengubah sedikit dekorasi yang ada di rumah. Sebagian besar furnitur di rumah ini bermotif vintage sehingga menurut Aku Bu CarissaPuspa pastilah orang yang menyukai hal-hal klasik.

Di ruang tamu rumah saja, banyak hal yang menarik perhatianku. Ada bunga yang terbuat dari kaca, bunga yang terbuat dari tisu, bahkan lukisan akrilik pada botol. Di atas meja di salah satu sudut ditempatkan bingkai kenangan keluarga. Aku melihat ke sana.

Aku melihat beberapa bingkai foto di atas meja di ruang tamu. Ada beberapa foto bersama seluruh keluarga ArwanKeano di dalamnya dan ada juga beberapa foto solo Widad dan Gibran di sana. Gibran menurut ku adalah pria yang sangat tampan. Tak terbayang betapa gantengnya Gibran yang satu ini di usianya yang sudah 32 tahun.

Tapi dimana foto mendiang istrinya?

"MbaPuji...! Ooh, Mba...!"

Mba Puji, pengurus rumah tangga keluarga ini, berusia awal 50-an atau akhir 40-an dan telah bekerja di sini sejak mendiang Pak ArwanKeano dan Bu Carissa Puspa masih hidup. Dia berlari dari dapur menuju ke arahku yang berada di ruang tamu.

"Ada apa, Lyssabelle?"

"Oh, aku mau tanya . Gibran pernah menikah kan?"

"Gibran...iya. Tapi itu saja, istrinya sudah meninggal."

"Ya, aku tahu. Tapi apa gak ada fotonya di sini , Mba Puji?"

Mba Puji membolak-balik rak sejenak sebelum mengangguk pelan. Kemudian dia membuka laci paling bawah lemari dan mengambil gambar dari dalam. Gambar tersebut adalah gambar seorang wanita berusia akhir 20-an menurut pandangan ku, rambut depannya dikeriting dengan warna coklat kayu dan wajahnya adalah 'restless bitch face'.

"Ini mendiang istri Gibran , Marleena. Dia orangnya cantik ya."

Aku hanya tersenyum mendengar pujian itu. Tapi tak bisa dipungkiri, dia adalah sosok yang sangat cantik jika dibandingkan denganku yang biasa-biasa saja. Entah kenapa aku merasa sedikit cemburu.

"Gibran mencintai istrinya. Marleena sebenarnya sedang hamil saat dia dibunuh, Lyssabelle."

"Mereka tinggal di mana waktu itu, Mba?"

"Saat itu mereka tinggal di Bandung.Kalau gak salah. Rumah mereka dirampok. Entah kenapa, Marleena terbunuh. Kasihan dia. Saat itu dia sedang hamil tujuh bulan."

Mataku terbelalak saat mendengarnya. Memikirkan betapa kejamnya pembunuhnya, dia tidak punya hati terhadap wanita hamil. Apa gak punya perasaan ?

"Mba, bolehkah aku menanyakan sesuatu padamu?"

"Apa , Lyssabelle?"

"Orang macam apa Gibran itu ya? Karena aku bahkan belum pernah tahu orangnya seperti apa."

Mba Puji tersenyum. Sepertinya dia sudah mengira aku akan menanyakan pertanyaan seperti itu.

"Gibran , hmm, dia orang baik. Dia anak yang baik, mudah diajak bicara. Dia tidak banyak bicara. Biasanya kalau mendiang Bapanya dan Mamanya menyuruhnya melakukan sesuatu, anak itu langsung pergi melakukannya. singkatnya, dia kelas A."

"Dia baik ya..."

"Hanya saja, waktu kecil…" Cerita Mba Puji terhenti saat mendengar bunyi klakson dari luar rumah. Mba Puji segera berlari membuka gerbang otomatis.

Aku mulai merasa senang bercampur ngeri. Apa yang terjadi saat Gibran masih kecil? Apakah perilakunya aneh? Apakah anak laki-laki itu pengganggu? Semua pertanyaan itu kembali bersarang di kotak kepala.

Mobil suamiku diparkir dengan baik di halaman rumah kami. Dia keluar dari mobil sambil tersenyum, sementara aku melihat pemuda di sebelahnya seolah-olah dia tidak senang untuk kembali ke rumahnya.

"Sayang, perkenalkan , Danial Gibran, Adikku!!!"

Pemuda itu turun dari mobil dan mulai berjalan ke arahku yang berdiri di dekat pintu. Dia mengenakan kaos putih tanpa kerah dan celana olahraga hitam. Rambutnya disisir ke kanan dan ditata rapi. Wajahnya masih masam tapi auranya tetap terjaga.

Dia tampan!!!

"Lyssabelle…" Aku mengulurkan tanganku untuk menyambutnya.

"Abang, kenapa menikah sama monyet?"

Aku tertegun sejenak saat mendengar dia memanggilku dengan nama itu. Darah pun naik ke kepala menahan amarah saat itu. Namun aku juga berusaha mengendalikan amarahku saat itu.

"Adik, kenapa kamu bicara seperti itu?! Itu kakak iparmu."

"Abang ku, manusia dilarang mengawini binatang. Lihat, wajahnya seperti monyet."

Aku masih mempertahankan senyuman palsu. Widad juga begitu, dengan wajah masamnya. Aku mencoba menambahkan sedikit keyakinan dan kesabaran.

"Gibran , salim..."

Dia memutar matanya dengan cemberut dan mengulurkan tangannya untuk menyambutku. Aku menerima sapaannya tetapi kurang dari tiga detik kemudian, dia menariknya kembali.

"Monyet!"

"Gibran !" Widad memarahinya.

"Tidak usah mas. Err, aku masuk dulu." Aku memasuki rumah dan naik ke atas. Aku mendengar langkah kaki di belakangku yang menandakan bahwa Widad juga mengejarku.

"Sayang..."

"Apa ?"

"Faham keadaan Gibran ya? Dia butuh bantuan dan kita harus membantunya."

Apakah Aku terlalu sensitif ataukah Widad yang sama sekali tidak memahami ku? Walaupun adiknya terang-terangan memanggilku 'monyet', dia bahkan tidak berusaha membelaku. Aku sedikit sakit hati memikirkan itu.

"Jika kamu bisa memahami keadaan Adikku sekarang, aku sangat berterima kasih, sayangku."

"Aku mengerti."

"Good. Sayang kamu gak marah sama kan Gibran ?"

Aku menggelengkan kepalaku. Kalau dia benar-benar ahli, pasti dia bisa mendeteksi kalau aku memang terasa sama dia dan adiknya. Tapi Widad , dia hanya tersenyum, mencium keningku lalu pergi. Tidak ada lagi upaya untuk membujuk istrinya. Mungkin hanya aku saja yang terlalu sensitif.

Namun melihat Gibran tadi, ada perasaan aneh di hatiku. Perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Perasaan yang Aku sendiri sering mempertanyakan keberadaannya. Tapi Aku harap tidak. Mungkin aku saja berlebihan.

Mungkin...