Chereads / Mimpi.Cinta.Dan Kegelapan / Chapter 9 - Bab10

Chapter 9 - Bab10

Suasana di Pemakaman Islam saat itu sedang sepi. Burung-burung berkicau seolah merasakan kesedihan yang sama seperti yang Aku alami. Memang kesedihanku saat ini gak terbendung. Saat ini kalau bisa aku sangat tidak mau, bahkan aku yakin tidak ada istri di dunia ini yang menginginkan hal seperti ini terjadi.

Widad , suami yang baru dua bulan kunikahi meninggalkanku sendirian. Aku yang tadinya bahagia karena akhirnya mendapat teman dalam hidupku, kini telah kehilangan orang yang selama ini aku mengadu masalah. Duniaku gelap tanpa dia.

Semua orang memang menyampaikan takziah dan menunjukkan simpati mereka kepada ku, tetapi hanya itu yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak berada di tempatku dan apa yang aku rasakan dan alami. Tapi Aku tidak memarahi mereka karena hal itu. Itulah hal yang paling kuinginkan saat ini.

Jenazah Widad dimakamkan di dekat makam kedua orangtuanya. Aku menyempatkan diri berziarah ke makam ayah dan ibu mertua ku.

ArwanKeano (1948-2003)

CarissaPuspa (1963-2003)

Al-fatihah untuk pasangan yang meninggal pada 17 Februari 2003 ini.

Sebenarnya, walaupun Aku tidak pernah mengenal ibu dan ayah mertua ku, Aku merasa punya ikatan dengan mereka. Ikatan yang menyatukan kami secara spiritual. Kedengarannya mistis tapi perasaannya begitu nyata.

Dua petugas polisi mendekati ku ketika Aku sedang berjalan kembali ke mobil setelah pemakaman. Aku mencoba menghindarinya tetapi sepertinya mereka terus mendatangi ku.

"Nona Lyssabelle, bolehkah kami mengajukan beberapa pertanyaan?" Salah satu petugas yang nametagnya bertuliskan 'Fitri' bertanya.

"Aku belum siap."

"Tetapi ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan kepadamu."

"Baiklah, jangan lama-lama. Apa?"

"Hasil post-mortem..."

"Masalah ini sudah diselesaikan." Aku memintas nya.

"Sabar ya Bu. Benar Pak Widad tersedak tapi ianya bukan disengajakan. Kasus Pak Widad kami gambarkan sebagai kecelakaan saja. Kecelakaan dalam rumah tangga."

Aku menelan air liur. Aku melihat Gibran di kereta hadapan memandangku dengan senyuman yang sinis terukir di wajahnya. Serius seram aku memandang wajahnya.

"Tetapi Aku tahu suami ku tidak meninggal karena hal itu."

"Apakah kamu punya informasi untuk diberikan?"

Aku menatap Gibran lagi. Dia hanya mengangkat alisnya dan masuk ke dalam mobil. Aku panik lagi.

"Merindukan...?"

"Aku minta diri dulu."

Aku masuk ke dalam mobil dan mobil itu dikemudikan oleh supirku, Hakimi. Aku minta jangan satu mobil dengan Gibran . Aku benar-benar meragukannya sekarang.

Aku melihat ke luar jendela. Mobil yang Gibran ada di dalamnya mendahului kami. Sakit hatiku melihat dia bisa menghadapi semua ini dengan begitu tenang. Ibarat orang mati adalah anak kucing yang ditinggalkan di pinggir jalan. Kematian yang tidak ada artinya.

Upacara tahlil malam itu berlangsung dengan penuh suka dan duka. Aku hampir tidak bisa mengendalikan emosi ku. Meski aku belum mengenal Gibran dalam waktu yang lama, namun menerima kenyataan suamiku meninggal sangat sulit untuk aku terima. Siapa yang rela menjanda setelah baru dua bulan menikah?

Semua orang menyampaikan takziah kepada ku dan Gibran . Gibran dengan wajah yang tidak menunjukkan kesedihan hanya tersenyum dan menerima ucapan tersebut. Aku terkejut olehnya. Dimana kemanusiaan dalam dirinya? Apakah dia manusia? Tidak menunjukkan perasaan sama sekali.

Aku didekati oleh seorang wanita berjubah hitam dan syal biru tua. Wajahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita berusia awal 50-an dan memiliki karir profesional. Aku belum siap untuk ini.

"Nona Lyssabelle, aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan. Bolehkah?"

Untung saja saat itu para tamu sudah berangsur pulang jadi aku udah siap.

"Izinkan Aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Aku Sharifah Jasmine dari Jasmine Khan Co. dan Aku pengacara tetap keluarga Pak Arwan Keano dan Nona Carissa Puspa. Aku mempunyai beberapa amanah yang diberikan oleh almarhum Dr. Widad untuk disampaikan kepada Nona dan Gibran ."

"Apa harus malam ini? Karena aku memang belum siap menghadapi semua ini lagi."

"Bukan. Bukan malam ini. Tujuan ku malam ini adalah untuk mendapat persetujuan agar kira-kira kapan kita bisa mengadakan malam pembacaan wasiat dan amanat mendiang Dr. Widad ? Beliau pernah berpesan harus dalam waktu dua minggu setelah sidang hari kematiannya."

Aku menatap Gibran lagi. Entah kenapa, pandanganku berubah persepsi. Aku tidak lagi memandangnya dengan kebencian. Mengenakan kemeja berwarna hitam, ia terlihat sangat tampan dengan rambut disisir ke kanan. Senyuman yang ia tunjukkan kepada para tamu yang datang, entah kenapa, meruntun jiwa gadisku.

"Nona…" Sharifah Jasmine menyadarkanku dari lamunanku.

"Ya, benar. Maaf, aku sedang melamun."

"Tidak apa-apa. Aku mengerti sulit bagimu menghadapi situasi ini. Sekali lagi aku turut mengucapkan takziah. Jadi Bagaimana?"

"Apakah Gibran mengatakan sesuatu?"

"Oh, aku bertanya padanya sebelumnya dan dia menyerahkan segalanya padamu."

Aku berpikir sejenak. Lalu aku memberinya senyuman tipis dan menjawab, "tahlilan terakhir dua malam lagi. Malam ketiga oke?"

"Ya Bu."

Aku pergi ke kamar tidur malam itu dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan aneh dan sedih datang berkunjung. Aku merasa hampa dan kesepian. Bagian dimana seharusnya tubuh Widad berada kini kosong dan tidak terisi. Begitu pula dengan ruang kosong di hatiku.

Aku teringat kalimat yang diucapkan Gibran kepada Widad sebelumnya. Aku merasa merinding ketika mengingat ayat itu. Rambutku merinding memikirkan hal itu.

"MATI AJA, WIDAD !"

Saya diserang sesak nafas. Tanganku gemetar. Bibirku bergetar. Aku tahu kalau suamiku meninggal dalam keadaan yang sangat misterius tapi tidak mungkin itu penyebabnya. Bukan karena itu.

Aku keluar kamar dan menuju kamar Gibran . Aku menekup telingaku dari luar pintu. Aku mencoba menguping apa yang terjadi di dalam tetapi ternyata Aku tidak mendapatkan apa pun.

Aku mengetuk pintu kamarnya. Ketiga kalinya Aku mengetuk, dia keluar. Sekali lagi, Aku mengalami serangan jantung ringan melihatnya hanya mengenakan singlet hitam dan celana boxer. Wajahnya kemudian tampak seperti sedang menahan tawa.

"Apa yang kamu inginkan, monyet?"

Aku mendengar suara kartun di kamarnya. Aku melirik sekilas dan aku melihat layar televisinya memutar kartun Doraemon. Aku memandangnya dengan aneh.

"Apa?!Gak pernah liat manusia?!"

"Mas Widad baru saja meninggal dan kamu..."

"Itu saja?! Kamu Gak punya kerja ya?! Kamu itu orang luar."

"Kamu gak sedih ya, Gibran ?"

" Lagian Dia udah mati?! Kamu menangis, apa dia bangkit dari kubur!? Apa dia bangun dan bilang padamu 'Gakpapa sayang' bla bla bla?! Udah mati ya mati aja! !!"

"Di Mana hati dan perasaan mu?"

"Bilang sama aku, fungsinya apa kamu mau bersedih? Dia udah mati tau? Dia sudah mati! Dia tidak akan hidup kembali. Sama seperti papa dan mama. Jadi, kenapa aku ingin bersedih? Rugi !bikin air mata kering"

"Dan kamu melihat Doraemon?"

"Terus?! Apa yang kamu ingin aku lakukan?! Orang jorok sepertimu?!"

"Kenapa kamu sangat membenci Widad ?!"

"Apakah aku mengatakan sesuatu!? Jangan mengatakan hal-hal yang tidak kamu ketahui, oke, monyet?!Sadar level mu itu rendah. Kapan saja aku bisa mengusirmu dari rumah ini! Now,fuck off"

Dia membanting pintu dan meninggalkanku di luar yang sedang menangis. Aku bingung dan curiga.

Ada sesuatu yang tidak kena dengan Gibran ...