Aku terbangun dan mendapati suami ku tidak ada di sisi. Aku perhatikan dia juga tidak ada di kamar mandi yang ada di kamar kami. Tidak mungkin dia sudah turun karena biasanya aku akan terkejut duluan. Jadi kemungkinan dia meninggalkanku sangat rendah.
Aku turun dari tempat tidur dan menuju ke bawah. Sekali lagi, suasana yang sangat aneh terjadi. Aku sama sekali tidak melihat siapa pun di sana. Hanya ku. Kemana perginya semua orang?
Aku menuju ke dapur dan berharap Mba Puji ada disana. Tapi sekali lagi, tidak ada seorang pun di dapur. Sejauh yang Aku tahu, ada tiga pegawai di rumah ini tapi di mana mereka saat Aku mencari? Apa semua orang sedang pergi ke pasar?!
Aku pergi ke meja makan. Sepiring sambal ayam dan nasi goreng siap dihidangkan di meja. Disajikan pula secangkir teh panas di samping sepiring nasi goreng. Aku duduk dan hanya melihat makanannya.
"Tidak mengerang kepada siapa pun…menunggu cahaya kembali…" Syair lagu Cindai terulang kembali. Aku tahu suara yang menyanyikan nya. suara Si Gibran . Aku melihat sekeliling untuk melihat apakah dia ada di sana tetapi yang aku dengar hanyalah sebuah suara.
"Mas..."aku memanggil suamiku
Tiada jawapan yang didengari. Suara Gibran pun ikut menghilang.
"Mas...?"
Bahuku dipegang dari belakang. Aku pantas menoleh ke belakang. Aku melihat suamiku tersenyum memandangku.
"Sayang, kamu sudah makan?"
"Oh, aku ingin makan sekarang..."
Lalu dia mencium pipiku dengan lembut. Kelembutannya berbeda dan meninggalkan perasaan misterius di hati. Tangannya juga memegang tanganku dan mengusapnya dengan lembut.
"Mas, kenapa aneh ?"
"Apa yang aneh?"
"Ya, itu tiba-tiba."
Dia terus memeluk dan menggendongku dan membawaku ke sofa ruang tamu. Dia melemparkanku dengan lembut ke sofa dan terus mencium leher dan dadaku. Aku bersumpah aku merasakan suasana yang berbeda saat itu. Suasana menjadi sangat sensual dan hangat saat tubuhnya berpindah ke tubuhku.
Saat aku terhanyut dalam buaian nafsu, aku merasa tubuh fisik suamiku sedikit berubah. Lengannya menjadi sedikit lebih besar dan kuat. Bahunya juga seperti itu. Atau mungkin aku yang selama ini tidak terlalu perhatian sama tubuh suamiku.
Ciumannya begitu lembut dan sensual hingga aku merasa nafasku tidak konsisten lagi. Tangannya sudah masuk ke dalam rok pendekku, membuatku semakin tidak nyaman.
Entah kenapa, intuisiku memaksaku untuk melihat ke bawah sofa. Tatapanku mulai melihat seolah-olah ada noda darah di bajuku dan kemudian aku melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai. Ada pisau di belakang leher tubuh tersebut yang tidak lagi bergerak.
Seluruh tubuh itu adalah tubuh suamiku, Widad !
Aku melihat siapa pria yang dengan rakus meratah tubuh ku. 10 kali aku terkejut ketika wajah laki-laki itu adalah Gibran . Mungkin dia sadar kalau aku sudah tahu siapa dia, dia mengeluarkan pisau dari punggungnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"AAARRRGGGHHH!!!"
Aku membuka mataku dan bangkit dari tempat tidur. Aku berada di tempat tidur. Tempat tidur dimana Widad dan aku beradu. Aku melihat sekeliling. Tubuh Widad tidak ada di sana. Aku mulai sesak napas.
Aku mengenakan jubah mandiku dan berlari keluar kamar. Aku menarik napas dalam-dalam dan merasakan sakit di dadaku. Sepertinya mimpiku menjadi kenyataan. Aku berlari dengan kencang hingga menabrak Gibran . yang baru saja keluar dari kamarnya.
"Dasar Lo Monyet! Apa kamu gak punya mata?!"
"Maaf."
"Dasar orang gila !Suamimu mati?!"
Aku memandangnya dengan tatapan marah.Aku baru saja bermimpi dia membunuh suami ku dan sekarang dia ingin berbicara tentang suami ku meninggal?! Benar, dia gila!
"Di mana Widad ?"
"Masa gue tau sih urusan suami elo?Ga tau gue.
Aku melanjutkan langkahku namun dengan cepat dia menarik tanganku kembali. Cengkeramannya juga sakit.
"Dia pergi bekerja! Kamu itu harap aja istrinya, tapi kenapa kamu gak hantar suami mu untuk bekerja?! Bangun saat matahari sedang tinggi. Ibumu tidak mengajarimu bagaimana menjadi seorang istri?!"omelnya kayak emak emak.
Hatiku terasa panas saat dia memprovokasi seperti itu. Aku menarik tanganku dan dia menggenggamnya
"What's wrong with you, Gibran ?!"
Dia tersenyum tapi entah kenapa, hatiku terasa ingin melihat senyumannya. Rasanya seperti ada perasaan aneh yang membuat perutku terasa aneh setiap kali melihatnya tersenyum. Perasaan yang membuatku seperti ingin berada di ayunan sambil diayunkan oleh seseorang. Perasaan yang aneh.
"Monyet!" Dia menolak aku ke belakang dengan kuat.
Aku terus meninggalkan dia yang juga mengikutiku ke bawah. Aku bergegas ke dapur mencari Mba Puji.
"Mencari siapa, Bu?" Tatia, pembantu asal Filipina bertanya kepada ku yang sepertinya sedang mencari sesuatu.
"Dimana Mba Puji?"
"Oh, dia pergi ke pasar. Kenapa?" Dia menjawab dengan pertanyaan dengan aksen Filipina yang kental.
"Oh, tidak apa-apa. Jam berapa Mas Widad berangkat kerja?"
" jam tujuh seperti biasanya."
Aku melihat jam di dinding. Saat itu jam 11:30 pagi. Ya Allah, aku yang terburuk sebagai seorang istri.
"Apakah dia mengatakan sesuatu?"
"Tidak apa-apa. Dia hanya bilang tidak perlu membangunkanmu karena dia bilang kamu lelah."
Aku meraih telepon rumah dan memutar nomornya. Entah kenapa, mimpi itu rasanya terlalu sadis untuk aku hadapi. Aku merasa tidak enak karenanya. Aku merasa seram dan sangat mengganggu pikiran.
Lima detik pertama, Widad tidak menjawab panggilanku, membuat pikiranku nakal memikirkan bencana yang mungkin terjadi. Itu membuatku gugup juga. Untungnya panggilan keenam, dijawab.
"Sayang..."
"Mas! Kamu dimana? Kamu baik-baik saja?!"
"Sayang, aku, baik baik saja. Ini kenapa? Kok kamu ketakutan? Apa yang terjadi?"
Aku menangis dalam panggilan itu. Aku tidak tahu mengapa Aku lemah saat itu tetapi Aku sangat takut. Sepertinya aku tidak bisa menerima hal kejam seperti itu bisa terjadi. Persimpangan malaikat 44!
"Aku... Aku..." Aku masih tersedu-sedu.
"Lyssabelle, kamu baik-baik saja?"
"Aku takut..."
"Sayang, ayolah! Ada apa?!"
"Mas… kamu benar, kamu baik-baik saja?"
"Sayang, aku baik-baik saja. Begini, Mas pulang ya?."
Hatiku dipenuhi perasaan bersalah. Kasihan juga kalau pekerjaannya seperti itu terasa berat sekali jika ingin pulang karena ada urusan lain. Aku meninggalkannya di telepon untuk waktu yang lama sementara aku berpikir.
"Aku pulang ya kalo gitu?"
"Tidak apa-apa. Tapi, Mas, tolong telepon aku satu jam sekali ya?"
Widad tertawa di ujung telepon. Setan! Aku tidak tahu apa yang sebenarnya Aku takuti.
"Sayang, apakah kamu baik-baik saja?"
"Oke! Err, ya? Oke... err, aku tidak tahu... aku tidak tahu..."
Dia menghela nafas di ujung telepon. beruntung punya istri seperti ini.
"Maaf..."
"Tidak apa-apa. Sayang, bersabarlah ya. Aku akan mencoba untuk kembali lebih awal hari ini. Menurutku hari ini tidak terlalu sibuk. Janji terakhir adalah jam tiga sore. Mungkin aku akan kembali lebih awal."
"Oke, Mas! Terima kasih..."
"Pleasure, sayang!"
Aku meletakkan telepon dan sekali lagi Aku mengalami serangan jantung ringan ketika Aku berbalik. Gibran berdiri di situ sambil memegang gunting dan selembar kertas. Ya, gunting dan kertas!
"Mengadu ya."
"Kalau iya emang, kenapa?" Aku melawan kembali.
"Potong kertasnya sebentar. Mba Puji tidak mengizinkanku. Nanti kamu lapor ke suamimu."
Aku mengambil dua item dari tangannya. Dia terus naik ke kamarnya mungkin .karena dia menuju ke atas.
Bayangan mimpi semalam kembali muncul. Aku tidak tahu apakah Aku terlalu banyak berpikir atau sesuatu akan terjadi. Wajah tampan Gibran menyimpan terlalu banyak misteri. Aku terjebak.
Aku yang gila atau dia yang gila?!