Chereads / Mimpi.Cinta.Dan Kegelapan / Chapter 11 - bab12

Chapter 11 - bab12

Aku terbangun pagi itu dengan rasa rindu yang sangat pada nenekku. Nenek ku membesarkan ky setelah seluruh keluarga ku tewas dalam kebakaran. Tapi ini takdirku, nenek juga meninggalkanku tahun lalu. Jadi sejak saat itu, satu sayap menghilang untuk ku pegang.

Terkadang, Aku sering menyalahkan takdir. Keluarga Ku meninggal. Nenek yang merawatku sejak aku kecil juga meninggalkanku sendirian. Suami ku yang baru aku nikahi dalam waktu dua bulan juga meninggalkan ku.

Adakah kebahagiaan di dunia ini atau hanya ilusi yang diciptakan untuk mengaburkan pandangan manusia? Mungkinkah arti bahagia itu sendiri sebenarnya subjektif untuk dideskripsikan? Itu tergantung pada master tubuh sendiri untuk menafsirkannya.

Aku turun ke bawah dan melihat Mba Puji dan tiga orang pembantu lainnya berdiri berbaris menghadap Gibran yang sedang makan goreng gorengan di meja kopi ruang tamu. Aku berjalan ke sana dan Gibran tersenyum padaku.

"Haa, monyetnya sudah turun! Kemarilah!"

"Gibran , What's going on here?"

"Baiklah, karena kakakku yang bodoh telah memberiku rumah ini, jadi aku berhak mengambil keputusan apapun mengenai rumah ini. Jadi mulai hari ini Mba Puji, Tatia, Livina dan Ashrin kalian semua dipecat."

Wajah Mba Puji berubah. Dia menatap wajahku seolah memohon.

"Mba tidak perlu melihatnya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini, inilah saatnya. Aku ingin kalian berempat keluar dari rumah ini. Mba Puji, aku akan menghantar Mba kembali ke desa nanti." ."

"Tapi, Gibran , Mba Puji sudah bekerja di sini sejak mendiang Papa muada di sini. Apa salah Mba?"

"Oh, bukan. Tidak ada yang salah. Baiklah, mungkin pak tua itu yang mengambil mu bekerja dulu it's a good thing. Bahkan Widad juga mengambil mu sebagai bibikarena saat itu rumah ini adalah rumahnya. Tapi sekarang, akulah yang menguasainya. Jadi , Jadi terserah Aku ya kan?"

"Gibran , kamu tidak boleh melakukan ini. Itu tidak benar!" Aku berusaha membela nasib Mba Puji dan para pembantu lainnya.

"Lo sendiri yang mendengar apa yang dibilang pria bodoh itu?! Dia memberiku rumah sialan ini. So now, I'm the master of the house jadi aku bisa seenaknya."

Sore itu, rumah menjadi sangat sunyi. Semua pelayan dipecat dan dipecat. Gibran berangkat mengantarkan Mba Puji ke terminal bus dan pembantu lainnya ke agensinya lagi. Aku mulai merasa tidak enak ketika sendirian di rumah. Gibran sepertinya punya rencana lain.

Untung saja tadi aku bisa mengambil nomor telepon Mba Puji. Khawatir juga kalau Gibran tiba-tiba jadi iblis, setidaknya aku bisa mengandalkannya. Tapi Aku tetap berharap Gibran tetap menjadi manusia.

Suara mesin mobil terdengar bersamaan dengan detak jantungku. Mendengar suara pintu mobil kembali ditutup, aku kembali menggigil. Entahlah, seperti menunggu hukuman mati. Atau mungkin aku sedang menunggu hukuman mati? Dan Gibran itu algojonya?

Dia membuka pintu. Wajahnya masamnya masih terpatri setia di sana. Namun entah mengapa naluri kewanitaan ku tetap memuji ketampanan hamba Tuhan yang satu ini. Padahal sikapnya sangat buruk.

"Monyet!"

Aku mendiamkan diri.

"Apakah kamu tuli?"

"Aku bukan monyet."

"Benarkah? Karena bagiku kamu terlihat seperti itu."

"Mengapa kamu begitu membenciku?"

Dia tersenyum licik padaku. Lalu dia duduk bersila di sofa sambil menatapku.

"Aku mendapat jawabannya tetapi Aku memilih untuk tidak mengatakannya."

"Serius, Gibran . Ada apa denganmu?!"

"I'm rotten to the heart. Stop asking those whys. Now, as my slave, ada beberapa syarat yang aku kamu lakuin. But first of all, cabut stokin ku ."

Aku memandangnya dengan tatapan tajam. Apa dia serius!? Tapi wajahnya yang serius membuatku takut. Aku hanya bisa akur. Aku menarik yang kiri dulu, lalu yang kanan. Aku memandangnya dan dia hanya mengangkat sebelah alisnya.

"Peraturan pertama, patuhi selalu kata-kataku. Ini rumah aku dan Widad dah mati. Sekarang ketahuilah tempatmu."

Aku hendak menjawab sebelum dia menambahkan.

"Dan aturan kedua, aku adalah tuanmu. Kamu tidak bisa berhenti sampai aku memecatmu."

"Tapi itu melanggar hakku..."

"Hak apa? Hak sebagai kakak iparku? Kamu delapan tahun lebih muda dariku. Apa yang kamu harapkan? Aku menghormatimu? Bisakah kamu berhenti berangan-angan? Kamu pikir kamu menikah dengan Gibran , hidupmu akan baik-baik saja." seperti Cinderella?! Kamu sekarang duduk di dunia kenyataan dan kenyataan tidak pernah menyenangkan."

Aku diam. Kasar! Harus Aku akui, Aku sungguh patah hati dengan perkataan Gibran . Sebelumnya, aku punya Widad yang mendukungku, tapi sekarang, aku tak punya siapa-siapa lagi. Aku sendiri.

"Aturan ketiga! Aku tidak mau kamu mempunyai hubungan apa pun dengan tetangga sekitar sini. Mereka semua adalah orang-orang yang suka ikut campur dan aku yakin kamu akan mengadu tentang aku kepadamu. Jika aku melihatmu menjalin hubungan denganmu, kamu pasti tahu caranya." langit tinggi dan rendah."

Aku diam lagi.

"Aturan keempat! Karena sekarang kita tidak punya pembantu rumah di rumah jelek yang akan runtuh ini, maka kamu akan menjadi pembantu. Jadi, kamu harus membeli semuanya, kan? Tapi ada batasannya. Hanya dua jam. Teleponmu , Aku akan melacaknya. Jika kamu melarikan diri, pahami apa yang terjadi."

Aku melihat wajahnya. Ada dua perasaan di hatiku saat ini. Antara memuja dan membenci. Bukan kombinasi yang bagus, haha.

"Aturan kelima! Itu ponselmu. Mulai hari ini, kamu boleh bermain tapi aku harus berada di sampingmu dan melihat apa yang kamu lakukan dengan ponselmu. Mengerti?!"

"Itu privasiku!"

"Kamu seorang hamba! Privasi apa yang kamu inginkan?!"

Aku menahan geram di dalam hati.

"Aturan keenam! Aku ingin semua jendela dan pintu terkunci setiap saat. Pergi dan mati tidak peduli apa kata orang di sekitar. Aku tidak ingin ada elemen luar yang memasuki rumah ini."

Permintaan yang semakin konyol di luar pemahaman ku. Benarkah Gibran sudah sembuh total dari penyakitnya?

"Rule terakhir, well for time being, is your bed. Aku bakal duduk dalam bilik mu dan suamimu yang udah mati itu. But, you will be there too."

"Maksudnya itu apa?"

Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sepasang borgol besi yang kemudian ia cium seperti itu adalah sesuatu yang ia sukai.

"You see this? Kamu akan tidur dengan ku dan tangan kita berdua akan aku gari bersama. Karena aku gak mau kamu lari. Mark my word, monyet! You are now my fucking slave!"

"Omong kosong!"

"Say what you want. That's who you are now."

Aku bangkit dan mulai menaiki tangga sebelum dia pergi.

"Tidak sadarkah kamu, kamu itu bodoh!? Kamu mengira dengan menikah dengan Widad , segalanya akan sempurna. Hidupmu akan menjadi yang terbaik. Itulah kamu, perempuan. Fikir untuk bersenang-senang ajá. Hidup itu banyak liku-likunya, monyet."

Entah apa tujuannya mengatakan semua itu. Aku bisa merasakan darah mendidih di tubuhku. Aku berbalik untuk melihatnya. Dia masih dengan tatapan malas di atas sofa.

"Kamu tahu, entah kenapa. Widad lebih dari layak untuk mati. Untung dia cepat mati."

"Lo Emang gila!"

"Well, please don't state something obvious. Aku ada medical evidence untuk benda tu."

"Setan apa dalam badan kamu hah?!"

"I'm rotten to the heart. Remember that? Kamu mau ikut suamimu mati sekali ya sekarang ni?!"

"Diam!"

"Well, jangan salahkan aku nanti."

Aku merasakan perasaan ngeri yang luar biasa ketika dia menyelesaikan kalimatnya. Sepertinya dia merencanakan kematian Widad . Seolah Hanya dia yang tahu apa yang terjadi sebelum kematian kakaknya.

Atau mungkin dialah yang memulai semuanya?