Malam itu, Aku diajak makan di sebuah restoran. Iyanya bukan restoran mewah tapi makanan yang dihidangkan di sini cukup mahal untuk orang seperti ku. Aku sendiri tidak tahu apa tujuan dia membawaku makan disana malam itu.
Dia memesan semua makanan dan minuman sementara aku hanya duduk disana. Sejujurnya aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan. Semuanya sudah terlalu acak untuk terjadi.
"Monyet. Coba lihat wanita di meja belakang. Di depannya ada pria bertopi."
Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya dan melihat seorang wanita berpakaian cukup seksi memperlihatkan bahunya dan mengenakan rok sedangkan pria di depannya mengenakan kaos putih dan celana panjang.
"Kenapa dengan mereka?"
"Apakah kamu pikir mereka benar-benar saling jatuh cinta?"
"Yah, pasti begitu. Kalau gak cinta, pria itu pasti tidak akan membawa wanita itu makan di sini."
"Kamu gak paham ya soalanya. Apa mereka benar-benar love each other?"
"Aku udah udah jawab kok. Karena laki-laki itu berusaha keras untuk membawa perempuan itu ke sini untuk makan."
"Salah! Bukan itu jawabannya."
Lalu apa itu?
Dia menyesap teh lemon nya sebelum bersandar di kursinya. Matanya menatapku tajam. menakutkan.
"Do I in love with you?" Dia bertanya padaku. Aku tertegun sejenak di hadapannya. "Gak perlu terlalu tersipu. Jawabannya adalah tidak."
"Jadi?"
"Jadi, pertanyaanku sekali lagi, apakah menurutmu lelaki itu benar-benar jatuh cinta pada perempuan itu?"
"Aku tidak yakin."
"Lihat? Kamu tidak yakin dengan jawabanmu namun kamu memiliki keberanian untuk menjawab."
"Kalau begitu katakan padaku apa maksudmu?"
"Aku tak butuh maksud. Akulah yang bertanya. Kenapa aku harus repot-repot peduli dengan maksudku? Aku ingin jawapan mu."
Aku semakin pusing dan bingung. Apakah semua pasien sakit jiwa seperti ini?
"Jadi, apakah pria itu jatuh cinta pada wanita itu?"
"Tidak tahu."
Dia tersenyum. Di balik senyumannya itu aku tahu yang dia memang sedang mengejek aku. Celaka!
"Apa arti cinta bagimu?"
"Hah?"
"Apa definisi cinta bagimu?"
"Ekspresi kasih sayang terhadap seseorang."
"Omong kosong!"
"Yah, itu pendapatku dan kamu tidak wajib ikut pun."
Dia mengangkat alisnya sebagai tantangan. Sejujurnya, Aku sedikit salting melihatnya melakukan itu. Hati ku berdetak. Dengan penampilannya yang sedikit berbeda saat mengenakan kacamata malam itu, hal itu seolah melengkapi dirinya.
"My answer is, that guy doesn't love her. Love is not from material."
"How did you know, then?"
"Easy. If you really into someone, all of this doesn't take place at all. You woman selalu fikir that love is based on those things, right?"
"Sorry tidak dimengerti."
"Itu karena kamu bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh, bodoh. Just few to be named."
"Gibran , apa masalah mu sebenarnya?"
"No, bukan aku yang bermasalah. It's you, monyet."
Aku mengangkat bahu dan mulai berjalan keluar restoran sebelum dia mencekik leherku dari belakang.
"Jangan pergi saat aku sedang berbicara denganmu!"
"Lepaskan, Gibran . Kita lagi di restoran."
"Apa?! Kamu ingin berteriak? Silakan!"
"Gibran , kumohon..."
Dia kemudian menarikku dengan kasar ke dalam mobil. Mulutku ditutup salotip dan tanganku diletakkan di pangkuannya sambil tangannya megenggam erat. Aku benar-benar merasa seperti sedang diculik.
Baru sampai di rumah, Aku didukung dan dilempar ke tempat tidur. Tanganku diborgol ke kepala tempat tidur. Aku sangat takut saat itu. Muka Gibran juga merah seperti udang bakar.
Dia membuka rokku hingga memperlihatkan celana dalam putihku. Aku telah kehilangan keberanian ku. Aku merasa tangan ku gemetar.
Dia melepas baju dan celananya. Sekarang dia hanya menatapku dengan celana dalamnya. Oke, Aku tidak dapat menyangkal bahwa dia sangat tampan tetapi pada saat itu, aku melihat setan, bukan manusia. Entahlah jin ifrit mana yang merasuki tubuh adik iparku.
Dia naik ke atas tubuhku dan mencium leherku dengan rakus. Tangan kiriku yang tidak terikat menampar bagian belakang tubuhnya dengan keras namun dia tidak memberikan refleksi apapun. Seperti kerasukan setan.
"Gibran , please..." Aku sudah menangis.
Entah kenapa, dia terbangun. Tanpa berkata apa-apa, dia pergi ke kamar mandi. Dia membiarkanku seperti itu untuk waktu yang lama. Lalu dia kembali dengan wajah basah. Dia melepaskan ikatanku dan memborgolku di tangannya. Lalu dia berbaring di sampingku.
Aku gila. Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Ia pun hanya berbaring menghadap langit-langit. Bahkan tidak menatapku.
"Jangan lakukan itu lagi." ucapku perlahan
Dia mengetap bibir. Melihat itu Aku semakin Merinding
"Gibran ..."
"Don't call me that."
"Then?"
"I want you to call me something more submissive. You are my servant right now, after all. Know your place."
"Gibran , I do anything but please... yeah. I will."
Dia tersenyum. Sebenarnya, aku punya dua perasaan saat ini. Takut. Takut dia akan melakukan apa pun untuk menyakitiku. Kedua, Aku menyukai situasi ini. Ketampanannya menghilangkan rasionalitas pikiranku yang berpikir.
"Call me baby. No, BabyGibran."
Aku memandangnya dengan tidak percaya. Seolah tak percaya kalau masalah serius itu dianggap sebagai lelucon. Tapi aku mengenal Gibran dengan baik, Selama ini dia Emang gak pernah serius denganku.
"Dan jangan jadi Marleena."
"Kenapa dengan dia?"
"FUUUCCCKKK!!! Kenapa aku sebut nama dia?!"
"Gibran , I mean BabyGibran. Jangan seperti ini. Widad sendiri yang bilang kalau kamu stres, kamu bisa..."
"Kamu sebut lagi nama jantan bajingan itu depan mata ku, lo gua bunuh, monyet!"
"Gibran ! Mengucap!"
"Persetan!" Dia terus berbaring menghadapku dan menutup matanya. Lima menit kemudian, Aku mendengar dengkuran darinya. Dia tertidur.
Aku melihat wajahnya. Wajahnya putih bersih. Itulah pertama kalinya aku berada cukup dekat dengan wajahnya. Jarak antara kami kurang dari satu inci. Walaupun dia sudah memaki-maki dan memarahiku, aku tahu ada hal lain dalam dirinya. Dia menyembunyikan sesuatu.
Aku tidak sadar kalau aku telah mencium pipinya. Aku tahu itu salah. Tapi kesalahan ini terasa benar. Aku tahu kedengarannya konyol tapi itu terjadi. Setelah aku mencium pipinya, dia memelukku. Dia pasti sedang bermimpi.
Dan kemudian, aku memikirkan sesuatu. Mungkinkah akan ada situasi dimana aku akan jatuh cinta padanya?