Aku bangun awal pagi dengan harapan Gibran tidak mengomel karena aku bangun kesiangan. Tapi ya, dia tetap mengomel. Hanya saja kali ini tidak terus kepada aku. Dan sebenarnya, Aku bangun pun bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
Dia sudah memasang sekuat kuatnya album System Of A Down di dalam rumah. Tahukah kamu kalau lagu Aerials itu keras dan aku ingin bilang kalau aku bisa jadi gila seperti dia jika mendengarkan lagu itu kuat kuat.
"Gibran !"
Dia tidak menjawab.
"BabiGibran!!!"
Baru setelah itu dia mematikan suara tersebut. Dia menatapku sambil tersenyum. Dadaku naik turun saat itu karena kerasnya suara pengeras suara.
"Apa yang salah denganmu?!"
"Salah Apa?!"
"Mainkan musik keras di pagi hari seperti ini?!"
"Aku harus cergas di pagi hari! Tidak seperti mu. Tidur saja yang kamu tahu."
"Tapi ini bukan cara untuk menjadi cergas, oke?!"
"Apa yang kamu tahu?! Kamu hanya seorang perawat, bukan dokter! Gak usah nasihatiku."
"Okay fine kamu menang"
"Apakah aku pernah kalah, bodoh? Kamu aja. Monyet mana bisa menang melawan manusia. Sila sadar diri ya, Bu?! Ups, monyet."
Aku turun dan mencari makanan di dapur. Aku mengambil sekaleng sardin dan memanaskannya di atas kompor. Niat ku memakannya dengan roti untuk sarapan.
Lagunya masih diputar di lantai atas. Aku tidak tahu bagaimana telinga nya bisa berfungsi . Tulikah dia sehingga harus memutar musik sekeras mungkin agar bisa mendengarnya? Dasar gila!
Setelah makan, aku sedikit merapikan dapur untuk melarikan diri dari kebisingan lagu metal di lantai atas. Semakin aku berteriak, semakin buruk dia mengutukku nanti.
Tak lama setelah itu, musik dimatikan. Aku naik ke atas untuk melihat apa yang terjadi. Tapi tenang saja. Seperti tidak terjadi apa-apa. Khawatir akan hal negatif apa pun yang mungkin terjadi, aku naik ke atas.
Gibran tidak ada di kamarku dan Widad yang kini harus aku sekamar dengannya. Aku mulai khawatir ke mana dia pergi. Mana tahu Sadar Sadar udah mati kejung dalam rumah? Atau tiba-tiba mengalami kejang? Hisy, Semoga enggak.
"Apakah ibu marah adik?" Aku mendengar suara samar dari kamar sebelah. Kamar lama Gibran .
Aku berjalan perlahan keluar dari kamar dan menuju ke kamar itu. Pintunya terbuka sedikit dan aku melihatnya terbaring di tempat tidur sambil memandang sebuah gambar. Dia sepertinya sedang mengadu kepada seseorang di sana.
"Mama tahukah kamu, adik merasa kesepian dan gila. Nah, dulu kalau mama ada di sini, Mama selalu mendengarkan adik bicara. Sekarang adik keseorangan . Bahkan Kakak juga gak mau dengar omongan ku lagi. Dia juga meninggalkan ku seperti ibu."
Aku rasa sedih dengan dirinya.
"Kenapa kalian semua meninggal kan ku ya? Apa salah, ku? Menurutku, Aku tidak terlalu jahat pada kalian, tapi kenapa kalian membiarkan ku sendirian. Kamu tahu kan?! Mama, jawab pertanyaan ku ini."
Air mata mengalir di pipiku. Selama ini aku selalu membayangkan nasibku yang kurang beruntung. Tapi sebenarnya ada yang lebih malang dariku. Gibran , dia memang tidak punya siapa-siapa saat ini.
"Baiklah, nanti kita ngobrol lagi ya? Bu, kalau ibu ada waktu luang, ayo temui ku. Tapi jangan bilang pada ayah. Ayah akan marah, adik. Adik tidak ingin ayah marah."
Hatiku tersentuh oleh perasaan yang tidak tahu nama apa. Dari cara bicaranya, Gibran seperti anak kecil yang sangat merindukan ibunya.
"Bu, kalau ketemu ibu, mau peluk ibu? Adik mau peluk ibu erat-erat. Seperti ibu memeluk kusebelumnya"
Setelah itu terjadi jeda sejenak. Aku melihatnya meletakkan foto itu ke samping dan bangkit dari tempat tidurnya. Dia menuju ke balkon dan melakukan beberapa peregangan sebelum masuk ke dalam dan menuju pintu. Perlahan aku bersembunyi di balik pintu.
"Oi, monyet! Aku mau keluar sebentar. Beli perlengkapan dapur. Mau kirim sesuatu?"
"Gak ada mungkin."
"Bilang aja! Mau mati ya tanpa makanan sama sekali?!"
"Beli apa yang kamu mau! Gak usah marah ku. As if aku itu..."
"Kamu apa?! Haa sadar pula di mana harga dirimu?! Bodoh sekali kalau berpikir!? Udahlah, aku ingin keluar!"
Aku sedikit bingung dengannya sekarang. Dalam dua jam, dia telah melalui tiga mood yang berbeda. Hal ini membuat ku bertanya-tanya apakah semua perawat dan dokter di Rumah Sakit Sentosa benar-benar gila karena membiarkan orang gila ini keluar dari sana.
Setelah aku yakin dia sudah keluar rumah, aku menyelinap masuk ke kamarnya. Kamarnya dicat hitam dan merah dan di dinding di atas tempat tidur ada gambar Marilyn Monroe yang sedang tersenyum ke arah kamera.
Aku masuk dan dunia ku seakan berubah. Ruangan itu sangat berbau deodoran pria. Gibran ini mandi deodoran ya?! Namun baunya justru menyenangkan dengan aromanya tersendiri.
Di tempat tidurnya ada kaos hitam yang dia kenakan tadi. Aku memegang kaos kosong dan bau badannya masih menempel di kaos tersebut. Aku memegang dan mencium baju itu dengan perasaan campur aduk.
Aku menaruhnya kembali dan aku pergi ke laci meja di samping tempat tidurnya. Aku membukanya dan aku melihat potongan gambar yang dia pegang tadi. Aku mengenal wanita di gambar tetapi Aku belum pernah bertemu dengannya. Foto mendiang BuCarissa, ibu mertuaku.
Wajahnya lembut, sama seperti wajah . Wajar aja Gibran ganteng karena mungkin dia mewarisi kecantikan mendiang ibunya. Aku mengembalikan foto itu dan saat itulah Aku melihat sesuatu yang mencurigakan di laci.
Ada botol kecil yang didalamnya terdapat bubuk berwarna putih dan bentuknya cukup kasar. Kelihatannya seperti garam tapi Aku yakin bukan. Aku coba membukanya namun tertutup rapat dengan selotape karena aku gak ingin Gibran curiga kalau aku menyentuh barang-barangnya. Maafkan aku karena melakukannya nanti!
Aku memegang kaosnya lagi. Aroma keringat bercampur deodoran bagaikan bau yang sangat menyenangkan bagiku. Aku akui, dia terlihat sangat tampan dengan memakai kaos hitam itu tadi. Tapi dia sudah tampan tanpa usaha apapun.
Meski usianya sudah 32 tahun, sejujurnya Aku bisa bilang dia sama sekali tidak terlihat seperti itu. Jika Anda mengatakan bahwa dia berusia 19 tahun, Juga aku percaya. Dia memang terlihat sangat muda.
Lyssabelle, kenapa kamu terlalu memujinya?!
Aku menuju ke meja yang ada disana. Di dalamnya terdapat beberapa buku fiksi seperti Sad Girls, The Fault In Our Stars, The Marble Collector, Where Rainbow Ends, Critical Eleven dan juga Salina dari A. Buku nonfiksi tersebut adalah The Secret Life of Marilyn Monroe, Like A Virgin dan beberapa buku yang berhubungan dengan filsafat. Aku bingung dengan Gibran aslinya. Dia sangat tertarik membaca tapi Gibran gal pernah membuka nya dihadapan ku waima satu kali pun.
Di meja yang sama aku juga melihat foto seorang wanita. Aku yakin dan yakin itu bukan Marleena. Gadis itu masih sangat muda, mengenakan ikat kepala merah dan kaos merah muda. sangat lucu. Tapi aku lagi cantik, tolong dimengerti.
Aku melihat tidak ada satu pun foto Marleena di ruangan ini. Sekalipun Gibran move on, Gak mungkin tidak merindukan istrimu sendiri.
Di meja belajar juga terdapat beberapa foto Gibran saat masih kecil dan saat remaja. Aku tersenyum sendiri melihat foto-foto itu. Ada yang berpenampilan imut, ganteng bahkan macho. Terutama foto kelulusan SMA-nya.
Aku bingung. Aku tahu membenci nya aku dan sebagian diriku juga membencinya. Tapi sebagian diriku masih mempunyai perasaan lain padanya. Perasaan yang sangat sulit untuk dikatakan. Anehnya. Perasaan yang biasanya sulit dipercaya sekaligus.
Apakah aku diam-diam menyukainya?
Aku mencium bajunya lagi. Saat aku bersama Widad sebelumnya, aku tidak pernah begini. Ini adalah hal yang buruk bagi ku. Gak mungkin aku bisa...
Gaklah ! Aku mengembalikannya untuk kesekian kalinya dan menoleh ke tumpukan buku. Laki-laki yang menulis puisi dan laki-laki yang membaca. Sangat seksi dan macho di mataku. Aku juga mengambil buku harian yang terkunci di sana dan membuka kuncinya yang ada di toples di meja yang sama.
"Woi!!!"
aku terkesiap. Buku harian itu jatuh. Gibran berdiri di depan pintu dengan wajah seperti elang. Maafkan aku!