Jika hari terburuk terjadi dalam hidup aku, hari itu adalah hari ini.
Aku pergi ke taman pada sore itu sambil menunggu Widad pulang. Hanya ingin menikmati semilir angin sore. Lagi pula, kapan lagi aku akan berkeliling di kawasan perumahan kalau bukan sekarang?
Saat duduk di bangku semen, seorang perempuan menegur ku.
"Apakah kamu orang baru?"
"Oh, tidak. Oh tidak, ya baru. Suamiku tinggal di sini."
"Istri nya Dr. Widad ?"
"Ya, benar. Apakah kamu kenal suamiku?"
"Bagaimana aku tidak kenal Dr. Widad ?! Anak dari Pak ArwanKeano dan Bu CarissaPuspa. Oh iya, nama ku Saleha. Nama mu?"
"Lyssabelle. Li-ze-bel."
"Itu nama yang aneh. Tapi enak."
Aku hanya tersenyum. Aku melihat mba Saleha menemani ketiga anaknya bermain. Pengamatan ku, Mba Saleha mungkin berusia akhir 30-an atau 40-an. Aku teka anak tertuanya di kelas lima atau enam.
"Apakah adik Dr. Widad sudah keluar, Lyssabelle?"
" Ya udah... tunggu. Kok kamu kenal Gibran ?"
"Siapa yang gak kenal keluarga Pak Arwan, Lyssabelle? Apa lagi selepas Gibran jadi seperti itu."
"Oh, benarkah? Aku tidak tahu."
"Kasihan sekali dia ya? Dia cukup tampan, tapi jadi seperti itu."
Aku hanya tersenyum mendengar Mba Saleha mengatakan itu. Mereka yang tidak sekali pun duduk bersama Gibran memang akan bersimpati dengan keadaan yang dialaminya. Namun bagiku yang duduk di sebelahnya dan harus menghadapi segala kelakuan anehnya, rasanya seperti berada di neraka.
"ermm, bolehkah aku minta nomor teleponmu? Mungkin nanti, Kalo ada pesta,atau majlis, aku bisa mengundangmu."
Kami bertukar nomor telepon. Setelah itu, anak bungsunya merengek memaksanya untuk pulang. Aku pun memutuskan untuk pulang juga karena Widad mungkin sudah pulang kerja.
Sesampainya di rumah, aku tertegun dan kaget di depan pintu.
"KAMU HARUS SADAR YANG KAMU ITU UDAH GAK ADA GUNAKANNYA?! LO ITU GILA! GAK ADA YANG BERSEDIA MEMBELA MU!"
"KALO GITU.?! KENAPA KAMU AMBIL KU?! KARENA KAMU INGIN TUNJUKKAN KAMU BAIK?! KAMU INGIN TUNJUKKAN BAHWA KAMU KAKAK YANG BERTANGGUNG JAWAB!? KAMU INGIN ORANG-ORANG MEMUJIMU, ?!"
"OH KALO GITU?! KAMU INGIN SIAPA YANG MENGURUSMU?! LO BILANG DENGANKU?! SIAPA YANG AKAN MENGURUS ORANG GILA?! GAK ADA, BODOH!"
"HIDUP DI NERAKA LEBIH BAHAGIA DARIPADA TINGGAL BERSAMAMU! DARI DULUNYA, KAMU BENAR-BENAR INGIN ORANG MELIHAT KAMU BAIK! LO IRI!"
"DASAR BANGSAT! GUE ITU ABANG LO TAU?!"
"TAHU PULA KAMU INGIN MENGAKUINYA! SEJAK KAPAN KAMU MENGAKUI KAMU ADALAH ABANG KU?! MATI AJALAH WIDAD!"
Dia terus menghentakkan kakinya dan naik ke atas. Saat itu Aku perhatikan hanya ada dua bersaudara itu di rumah. Pelayan lainnya tidak ada di sana.
"Kemana kamu pergi?!"
"Aku sedang berjalan di dekat taman beberapa saat yang lalu. Apakah kamu sudah lama kembali?"
"Biarkan saja bocah gila itu sendirian di rumah." Tampaknya Widad benar-benar marah pada Gibran . Aku mencoba untuk tidak menambahkan api ke minyak. "Baiklah, ayo makan"
Kami menuju ke meja makan. Aku melihat hidangan disajikan dengan baik di sana. Aku juga bertanya-tanya, siapa yang memasak jika tidak ada Bibik di rumah.
'MATI AJALAH, WIDAD !'
Kalimat itu bergema di kepalaku. Mungkinkah Gibran sebenarnya...
Astaghfirullahalazim, Lyssabelle! Kenapa kamu bisa memikirkan hal seperti ini? Bodoh sekali aku memikirkannya. Mungkin Mba Puji atau pelayan lainnya sudah memasak sebelum mereka menghilang. Tapi dimana mereka?
"Di mana Mba Puji dan yang lainnya?"
"Aku bilang pada mereka semua untuk keluar. Si Gibran itu dasar."
"Mengapa?"
"Ga tau dia. Tapi itu tidak masalah. Seperti kata ku, jika Widad tidak memperlakukan kita dengan baik dengannya, maka kita harus sedikit lebih keras kepala."
Masalahnya, Tadi itu sepertinya bukan berkeras. Udah kayak berperang. Aku sendiri ingin takut dibuatnya. Aku tidak mengira pertengkaran antara dua saudara laki-laki bisa begitu beracun.
"Mas...?"
"Apa?"
"Bukan maksudku aku tidak suka Gibran duduk bersama kita, tapi apa Mas gak rasa untuk kita yang baru membangun kehidupan sendiri, harus berhadapan dengannya lagi, itu hanya akan menjadi sebuah masalah.."
"Apa maksudmu sayang?"
"Aku tahu kalau dia butuh bantuan dalam hal dukungan moril dan apa yang tidak, tapi mas, bukankah menurutmu kita ini masih orang baru mau menerima kehadiran orang baru? Aku tahu dia adikmu, keluarga sedarahmu sendiri tapi dia masih asing bagiku. Aku takut..."
"Aku mengerti."
"Aku tidak ingin kamu berpikir kalau aku tidak bisa menerima keluargamu. Aku bisa, tapi tidak sekarang."
Dia memegang tanganku. "Aku tahu itu sayang. Tapi sayang, kamu harus ingat. Mas adalah satu-satunya anggota keluarga yang di miliki, yang bersedia menjaganya. Dia hanya punya Aku sayang."
"Aku hanya punya kamu dalam hidupku sekarang. Aku tidak punya keluarga. Yang ada hanya nenekku yang sudah tua. Kepada siapa lagi aku ingin mengadu tentang semua masalahku kalau bukan pada Mas."
"Sayang, jangan begini. Kalau kamu inginkan Gibran keluar, dia akan duduk bersama siapa? Rumah sakit sudah tidak bisa merawatnya lagi. Dia sudah sehat."
Aku setuju. Aku tahu bahwa Aku tidak dapat memutuskan hubungan dia dan adiknya. Seharusnya aku menyadari posisiku sebagai pendatang di rumah ini. Sebaik atau seburuk apapun Gibran , dia tetaplah adik iparku yang juga berarti adik suamiku.
"Sayang kamu baik-baik saja?"
"Oke."
"Lagipula, bukan aku gak ada. Kalau nanti aku tidak ada, siapa yang akan menjaga Gibran kalau bukan sayang?"
Aku kaget saat dia mengatakan itu. Tapi wajahnya serius ketika mengatakan itu yang membuatku merasa ini masalah serius.
"Apa maksudmu ketika kamu pergi? Kemana kamu pergi?"
"Lyssabelle, kita tidak akan pernah tahu apa yang mungkin terjadi di masa depan. Jadi, untuk saat ini, in case Mas gak ada, sayang jaga Gibran oke?"
"Tidak tidak!"
"Lissabelle...!"
Aku menyerah mendengarkan ayat itu. Widad membuatku merasa sangat tegang. Tak terbayang bagaimana jadinya hidupku jika harus duduk berhadapan dengan kata-kata Gibran yang satu itu. Gila!
Widad tersedak. Dia segera mengambil air dan meneguknya. Namun situasinya semakin buruk. Nasi yang ditelannya dimuntahkan kembali. Aku segera berdiri dan menepuk punggungnya. Tapi itu tidak membantu sama sekali.
Widad terjatuh dari kursi. Aku berteriak memanggil semua orang di rumah tapi pelayannya masih belum kembali, sedangkan Gibran , entahlah, bocah gila itu. Aku terus berteriak dan memanggil siapa pun yang ada di sini.
Gibran turun. Dia menatap kakaknya yang tercekik dan tersenyum kecil. Lalu dia naik ke kamarnya lagi dengan tatapan polos. Tinggal lah Aku satu-satunya yang berteriak seperti orang gila seperti nya.
Tepat setelah aku menelepon saluran darurat, Widad berhenti bernapas.