Chereads / Mimpi.Cinta.Dan Kegelapan / Chapter 7 - Bab8

Chapter 7 - Bab8

Biasanya di akhir pekan seperti ini, suamiku akan duduk di rumah sendirian. Tapi tidak pagi itu. Setelah Fajar, dia terus keluar. Katanya ke rumah sakit. Mungkin ada pasien emergency, tekaku.

Aku duduk menonton TV di ruang tamu. Apa saja yang bisa dibuat pagi itu di rumah sebesar itu? Menonton TV adalah pekerjaan ku.

Karena aku seorang perempuan, sangat tidak sopan jika aku duduk sendirian di ruang tamu. Jadi aku pergi ke dapur untuk membantu apa yang pantas. Saat itulah aku menyadari sesuatu yang aneh.

Gibran dimana?

Oke, bukannya aku merindukannya atau aku mengkhawatirkannya, tapi aku juga bertanya-tanya di mana dia saat ini? Biasanya di saat seperti itu dia sudah sibuk di dapur atau di ruang tamu.

"Mba Puji, Mba masak ya?"

"Oh,ini Mba potong ikan nya dulu. Lyssabelle, kamu mau aku masak apa hari ini?"

"Eh, Gakpapa. Terserah. Widad bilang dia akan kembali jam berapa?"

"Gak ada. Sama kamu dia gak bilang ?"

Aku menggelengkan kepalaku.

"Oh iya, Gibran dimana?"

"Gibran ...dia jogging kalau tidak salah. Haha, di mana anak beruntung itu? Sudah lama sekali dia jogging hari ini."

"Bisakah dia meninggalkan rumah? Maksudku, dia..."

Mba Puji tertawa kecil. "Aku paham. Kata Widad, dia harus aktif. Barulah dia bisa melupakan hal-hal yang memicu kepalanya. Menurutku itu bagus juga. Dia bisa melepaskan stres."

Aku hanya mengangguk sedikit. Lalu aku mendengar gerbang terbuka. Mba Puji memintaku membukakan pintu depan karena mengira mungkin itu Gibran yang baru pulang dari jogging.

Aku pergi ke pintu dengan perasaan takut. Sejak dua hari ini, Aku sering merasa takut jika bersama Gibran . Dia sepertinya memiliki aura yang sangat misterius untuk aku cerna.

Dan ya, itu adalah Gibran .

Aku membuka pintu dengan gemetar. Yang berdiri di depan pintu adalah adik ipar ku, Danial Gibran. Dia mengenakan tank top merah dan celana olahraga. Melihatnya seperti itu, hatiku tak henti-hentinya memuji ketampanan adik suamiku itu. Ditambah lagi dalam keadaannya yang berkeringat menambah keseksiannya.

"Ambil air!" Dia menyuruh ku dengan nada tinggi.

Aku pergi ke dapur dan mengambil segelas air dingin. Ketika Aku kembali ke ruang tamu, dia sudah pergi. Aku melihat sekeliling dan memperhatikan bahwa dia sudah berada di tepi kolam. Aku berjalan ke sana dan Aku mengalami serangan jantung ringan.

Gibran sedang tidak berbaju sedang melakukan beberapa workout ringan di situ. Di bawah terik matahari pagi, jelas kelihatan otot-ototnya bersinari dimandikan cahaya matahari. Tergugat seketika naluri kewanitaanku ketika itu.

Untuk waktu yang lama aku mengerutkan kening sampai aku menyadari bahwa dia sudah berdiri di depanku. Sekali lagi, Aku mengalami serangan jantung ringan.

"Monyet emang slow padahal cuman ambil air!" Dia mengutukku sambil mengambil gelas itu dari tanganku.

Tapi aku gak peduli dengan apa yang dia bilang .Aku kembali masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mandi. Aku bersandar di balik pintu dan memijat dadaku untuk bersabar. Memang apa yang ku lihat tadi memang sangat indah untuk terus dipandang.

. Aku memegang pangkal paha ku karena ku dek kerana nafsu yang teramat. Nafasku tiba-tiba terengah-engah. Rasanya seperti ada tangan yang merangkak ke belakang tubuhku saat itu.

Gibran , kenapa kamu harus membuatku mengubah perasaanku dalam sebentar?

Aku meninggalkan kamar mandi dan kembali ke ruang tamu. Aku berdoa dalam hati agar Gibran tidak lewat tanpa baju seperti tadi. Ada Aku pingsan dibuatnya . Tadi saja sudah cukup membuatku merasa ingin terbang sebentar.

Dia memasuki rumah lagi. Untungnya kali ini dia ingat untuk memakai kembali bajunya. Namun tank top tanpa lengan sudah cukup seksi untuk dikenakannya.

Lyssabelle, dia adik iparmu, Lyssabelle!

Sejujurnya, di mata ku sebagai seorang wanita,Gibran memang pria yang cukup tampan. Bentar, kurang tepat. Dia sangat tampan. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan seseorang yang sesempurna dia.

Memang aku mencintai Widad sebagai seorang suami, tapi di saat yang sama, aku merasa ada sesuatu dalam diri Gibran yang membuatku selalu bertanya-tanya. Misterinya membuatnya sangat unik. Dan itu sangat menarik.

"Sayang..." Kepalaku membayangkan suara serak Gibran memanggilku seperti itu. Aku tahu Aku melakukan sesuatu yang salah tetapi Aku tidak bisa berhenti melakukannya.

Dan saat makan malam, hampir mustahil bagiku untuk berhenti membayangkannya.

"Sayang, berikan sup sayurnya?"minta Widad .

Aku mengambil semangkuk sup sayur dan memberikannya pada Gibran , dan bukan Widad . Gibran menatapku dengan aneh sebelum menunjuk ke arah Widad . Widad hanya tersenyum.

"Dia ganteng ya.Sampe Lupakan suamimu sendiri ya?"

"Tidak. Aku bingung."

Selama kami makan, Aku kesulitan fokus. Karena, aku perhatikan tatapan mata Gibran sering tertuju padaku. Tapi saat aku mengangkat wajahku, dia membuang muka.

"Dik, you getting better?"

"Since when you care?"

"Ayolah, aku hanya bertanya."

"Aku tahu dan aku mengerti. Bukan berarti aku harus menjawabnya kan?"

Wajah Widad memerah. Di sana aku tahu suasananya akan tegang dan Aku mulai merasa tidak seharusnya berada di sana. Aku mulai merasa suasananya mulai canggung.

"You don't start..."

"Why should I bother starting when I'm always the one who has to end it?"

"Can you just shut up?"

"You ask me first?"

"Oke, sekarang diamlah! Bolehkah?"

Gibran terdiam. Matanya lalu menatapku. Aku sudah mulai merasa horror kembali. Wajah tampannya berubah menjadi sesuatu yang menakutkan.

"Why did you marry him?"

"It's none of your business, Gibran ."

"Really? Then why my marriage is your business??"

"We won't talk about that anymore and there's a promise about that."

"Persetan dengan janjinya! Sejak kapan kamu pandai membuat perjanjian seperti ini?"

"Apa masalahmu sekarang?!"

"Ayolah, ini tidak normal, kan?"

Widad menepuk meja sekuat tenaga. Aku kaget dan memegangi dadaku tapi Gibran sama sekali tidak terlihat terkejut dengan apa yang terjadi. Dia bersikap seolah dia sudah terbiasa dengan semua ini.

"Bilang sama Abang, Apa masalahmu sekarang?!"

"LOL... sejak kapan kamu pandai berabang ? Dasar ngeri!"

Aku mulai bertanya-tanya tentang Widad . Dulunya dia yang suruh aku bersikap dewasa sama Gibran , tapi kenapa sekarang malah sebaliknya? Tidak mungkin karena dia tidak tahan marah karena aku lebih kurang sabar dibandingkan dia.

"Aku berusaha menjadi Abang yang berguna. Aku harap kamu..."

"Serius?! Kenapa? Kamu ingin aku bersikap normal agar orang tidak tahu kalau adikmu gila? Seperti itu?"

"Gibran , it's not like that. Aku abang mu."

"Salah. Kamu melakukan semua ini karena ingin menunjukkan kepada istrimu bahwa kamu berfungsi sebagai kakakku. Begini, jika benar kamu menganggapku sebagai adikmu, kenapa baru sekarang kamu mengakui bahwa aku adalah adikmu? Menjaga ku bagai? Di mana kamu saat aku perlu kamu bersamaku? Karena saat itu aku tidak penting, kan?"

Widad terus bangkit dan menampar Gibran hingga adiknya terjatuh. Aku segera berdiri dan memeluk Widad untuk menenangkannya. Aku mengusap dadanya yang marah untuk menenangkannya.

"Mas, bersabarlah."

"Aku membelamu saat tak ada yang menginginkanmu. Kamu pikirkan kembali, Gibran ! Seharusnya kamu bersyukur karena aku bersedia menerimamu kembali, apa kamu mengerti?! Sekarang kamu sadar, kamu sedang duduk di rumahku, Gibran !"

"Iya, rumah ayah dan ibu. Tapi ayah menyayangimu ? Maka kamulah yang mendapatkannya."

Widad ingin memukul adiknya lagi tapi aku segera menenangkannya. Gibran memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari menuju kamarnya. Aku hanya diam saja.

"Kamu tunggu Widad ! What goes around comes around...!"

Rambutku kusut saat mendengar dia mengatakan itu. Widad duduk kembali. Aku mencoba untuk tidak menanyakan apa pun, tetapi rasa ingin tahu ini memaksaku untuk bertanya juga.

"Mas, apa kamu baik-baik saja sama Gibran ?"

Widad tidak menjawab.