Chereads / Mimpi.Cinta.Dan Kegelapan / Chapter 5 - Bab 6

Chapter 5 - Bab 6

Gibran sebenarnya tidak seburuk itu.

Itu fakta. Fakta yang salah. Fakta yang digunakan Widad untuk membutakanku tentang Gibran padaku. Fakta yang digunakan Widad untuk menunjukkan kalau Adiknya baik tapi sebenarnya iblis.

Mungkin Aku belum pernah mengambil psikologi, tapi Aku belum pernah mendengar sindrom seperti yang dialami Gibran . Sindrom apa? Sebuah sindrom dimana sebagai pria dewasa berusia 32 tahun yang memiliki kelakuan seperti anak laki-laki berusia tujuh tahun. Aku bersumpah aku merasa seperti berada di neraka menghadapi kelakuannya.

Di rumah sakit, Aku menangani berbagai jenis pasien yang menderita berbagai jenis penyakit. Tapi Si Gibran ini, Aku sendiri tidak tahu apa masalahnya. Mungkin Aku belum pernah merawat orang yang sakit jiwa, tetapi dalam kasusnya, hal itu sudah keterlaluan.

Kenapa Aku bilang ekstrem? Berikut beberapa alasannya:

1) Saat itu, Aku ingin mengejutnya untuk sarapan. Katanya, dia tidak larat untuk turun ke meja makan. Oke, Aku juga percaya. Jadi dia memintaku untuk mengiriminya makanan. Aku fikir, apa salahnya, Tapi ketika Aku memberikannya, dia mengambilnya dan mulai makan. Saat aku hendak meninggalkan kamarnya, nampan berisi makanan terlempar ke sisiku. Sedikit teh panas mengenai bahuku. "GAK ENAK!"

2) Suatu hari, Widad sedang bekerja sementara Aku sedang menyiram bunga di halaman. Aku menjadikan berkebun sebagai hobi karena sangat menenangkan. Tapi hari itu, aku kehilangan kesabaran karena dia.

"Monyet...?"

Aku melihat ke belakang. Dia berdiri disana mengenakan kaos Doraemon dan celana pendek sambil memakan coklat Cadbury.

"Ya?"

"Oh, mengaku monyet. Kamu gak panas?"

"Tidak. Masuklah jika panas."

Dia menggeleng.

Aku pun biarkan aja.

"Baja ini terbuat dari kotoran kan?"

"Iya mungkin."

Aku baru saja menjawab pertanyaannya, Dan Aku bisa merasakan dia sudah melemparkan Bajanya ke arah ku. Tidak masalah karena bajuku sudah berbau busuk dan dia tertawa saat masuk ke dalam rumah.

Itu hanya sedikit dari apa yang aku sampaikan. Sebenarnya masih banyak hal lain yang membuatku jadi hantu bersamanya. Itu hanya hal biasa.

"Sayang…" Suamiku memelukku dari belakang saat aku sedang menyisir rambutku di meja rias sebelum tidur.

"Ya, ini aku."

"Gibran baik-baik saja,?"

"Ya, dia baik-baik saja. Kurasa."

"Kayak gak ok aja."

"Aku baik-baik saja. Maksudku, Mas mungkin benar. Dia butuh waktu, kan?"

"Terima kasih atas pengertiannya. Kata Dokter Farah, Dia mungkin bisa sembuh total jika mendapat kasih sayang yang cukup dari orang-orang disekitarnya. Bukankah itu yang kita semua inginkan, bukan?"

Mungkin akulah yang kurang sabar menghadapi kelakuan si Gibran. Aku harus menambahkan lebih banyak kesabaran . Tapi Aku juga berpikir, kalau dia masih butuh bimbingan, kenapa dia bisa pulang?

"Sayang! Di RS Sentosa mereka hanya memberi bantuan dalam hal pengobatan saja. Dari segi emosi, kitalah yang harus memberikan itu semua. Bukannya dia sudah tidak punya keluarga lagi. Mas ini Abang nya tau."pujuknya lembut.

"Aku tahu tapi..."

"Sayang, katamu, kamu mengerti.Sekarang Kenapa kamu seperti ini? Hari itu, Kamu itu bilang gak apa-apa." Nada suaranya berubah dan aku tahu itu pertanda buruk.

"Aku tahu dan aku baik-baik saja dengan itu. Aku hanya berpikir bahwa kamu jarang ada di rumah. Akulah yang harus menghadapinya. Kamu tidak tahu apa yang dia lakukan padaku ketika kamu tidak ada." . Apa kamu gak pikir?"

"Apa yang dia lakukan padamu sayang?"

Aku baru menyadari apa yang Aku bicarakan. Aku mulai memandangi wajahnya di cermin. Wajahnya memang menunjukkan bahwa dia sedang menahan amarah. Namun sepertinya ada yang aneh disini.

"Katakan padaku apa yang dia lakukan padamu sayang?!"

"Tidak apa-apa. Aku hanya tersalah bicara."

"Mas akan tanya sama dia!"jerit Suamiku

"Tidak! Tidak perlu bertanya padanya. Aku..."

"Sayang apa?!"

"Aku… jangan khawatir. Ini hanya masalah kecil."

Widad segera bangkit dan menuju kamar adiknya yang bersebelahan dengan kamar kami. Aku mengejarnya namun terlambat dan Widad sudah mengunci pintu kamar dari dalam. Aku sudah merasa salah dan takut dengan apa yang akan dia lakukan.

Widad lama sekali berada di kamar SiGibran . Cukup lama hingga rasa bersalah menghantui seluruh tubuhku. Aku khawatir atau takut, keduanya tetap meninggalkan perasaan negatif.

Gibran keluar dari kamar dan membanting pintu. Dia berhenti berjalan dan menatapku dengan tatapan marah. Haa pasti mengira kalau aku sudah mengadu ke suamiku segala macam hal.

"MONYET!"

Aku terdorong mundur oleh kerasnya suaranya. Aku masih terpempan dan terkesima dengan tindakannya. Tenggorokanku sakit. Dadaku terasa naik-turun.

Widad keluar kamar dengan keringat di kening. Dia tampak menahan luapan amarah dan itu terlihat di wajahnya. Aku ingin bertanya apa yang terjadi namun tak keluar dari mulutku untuk bertanya.

"Baiklah, ayo pergi! Aku sudah memberitahunya."

"Apa yang kamu katakan padanya?"

"Kamu tidak perlu tahu. Setelah ini dia tidak akan membuat kekacauan sayang."

"Aku tanya pada Mas apa yang mas katakan? Aku harus tahu."gesaku

"Mas suruh dia jaga sikapnya. Dia harus ingat bahwa kamu adalah kakak ipar nya dan bukan laki-laki."

Aku menganggukkan kepalaku. Sedikit ragu tapi sebagai seorang istri, aku menaruh kepercayaanku pada suamiku sendiri. Kalau bukan aku yang harus percaya, lalu siapa lagi?

Malam itu, Aku tidak bisa tidur. Puas, Aku berpindah dari kanan ke kiri tetapi tidak berhasil. Widad , cukup menundukkan kepalanya dan dia tertidur dalam waktu kurang dari dua menit. Saat tangannya mulai memelukku, entah kenapa aku merasa tidak nyaman.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mulai berjalan menuju jendela. Jendelanya terbuka dan Anda dapat melihat dengan jelas halaman rumah ini. Terdapat kolam renang dan lapangan tenis di area tersebut. Indah diterangi oleh banyaknya lampu hias di area tersebut.

Tenggorokanku terasa kering. Aku meninggalkan ruangan dan menuju ke bawah. Aku berhenti sejenak di depan pintu kamar Gibran dan menempelkan telingaku ke dinding. Tidak ada suara yang keluar dari ruangan. Mungkin dia sudah terlena di dalam.

Aku melanjutkan ke tangga lalu ke dapur. Aku mengambil segelas air dan meminumnya. Tenggorokanku terasa sedikit lega bila bisa dibasahi dengan air dingin. Setelah mencuci kaca, Aku menuju ke ruang tamu.

Aku terdengar suara orang berbisik ketika aku hendak menaiki tangga. Bunyi itu datang dari ruang tamu. Bisikan kayak orang menyanyi. Aku pantas mengecam yang itu adalah suara Gibran .

Aku berjalan ke ruang tamu dan melihatnya menulis sesuatu dengan membelakangi nya. Mulutnya masih bernyanyi dan menurut pendengaranku, dia sedang menyanyikan lagu Cindai . Dih bukan main ya elo?

Setelah selesai menulis, dia berhenti dan berdiri di tengah rumah. Dia juga berdiri lama sebelum meninggalkan rumah menuju halaman sambil memegang buku catatan. Aku mengikutinya dari belakang.

Dia berjalan mengitari kolam dan kemudian kembali ke dalam rumah. Aku segera bersembunyi di balik sofa. Dia melemparkan buku catatan itu ke meja kopi dan melanjutkan ke atas.

Aku memberanikan diri aku memandang ke arah buku tersebut. Penuh helaian tersebut ditulis dengan puisi kayak nya.

Analogi

Hidup ini bosan...

Bosan... bosan... bosan....

Hari ini kau hidup, esok kau mati

Hari ini kau senyum, esok kau muram

Hari ini kau makan, esok kau makan lagi

Ulang dan ulang

Apa maksud sebenar ini?

Ya, bosan

Mati ajalah sial!

Habis sahaja aku membaca puisi yang entah benar apa enggak itu, Menggigil aku membacanya. Aku letakkan kembali buku tersebut ke atas meja dan berlari naik ke bilik.

Aku naik ke atas katil dan memeluk erat tubuh suamiku. Dia terjaga dan pantas mengelus rambutku.

"Sayang, are you okay?"

"Well, seems like it."

Walaupun aku tahu, aku sebenarnya tidak okey dan Gibran masih memerlukan bantuan. Persoalannya sekarang bagaimana hendak aku mulakan?