Aku rasa ada yang janggal dengan surat ini. Aku tidak yakin bahwa surat ini benar-benar untuk aku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dan apa yang disembunyikan oleh Jasmine.
Aku menatap Jasmine dengan curiga, dan bertanya padanya. "Jasmine, ini surat buat kamu deh kayaknya. Seriusan, aku gaboong. Coba baca yang bener suratnya."
Jasmine terlihat gugup, dan menjawab dengan terbata-bata. "Eh, buat gw... Apa sih, enggak lah. Mana mungkin surat itu buat gw. Ngaco aja idup gw. Buat elu lah, bukan buat gw serius. Lu bisa liat aja inisialnya dibelakang surat itu."
Aku tidak percaya dengan jawaban Jasmine. Aku yakin dia berbohong. Aku meraih surat itu dari tangannya, dan membukanya. Aku terkejut saat melihat inisialnya. Bukan inisialku, tapi inisial Jasmine. Kalo inisial ku kan bisa ditebak sendiri, masalahnya yang ditulis itu "Just mine, you and mine." Bisa ditebak sendiri, ini semudah apa dibaca.
Surat itu berisi tentang seorang yang mengajak jalan-jalan sehabis pulang sekolah. Di surat ini juga menulis id linenya, dan meminta dihubungin sehabis ini.
Aku menoleh ke Jasmine, dan melihat ekspresinya berubah. Dia tampak ketakutan, dan malu. Dia mencoba merebut surat itu dari tanganku, tapi aku menolak.
"Jasmine, apa-apaan ini? Siapa yang ngirim surat ini? Ini sepertinya buat kamu deh. Bukan buat aku. Aku rasa ini bukan buat aku Jasmine. Coba deh pikir pikir dulu. Apa kamu bohong ama aku?" Aku menanyakan dengan nada tajam.
Jasmine menghela napas, dan menunduk. "Gw... Gw gatau Jess. Setiba gw masuk kelas, dan duduk. Ada surat di meja kita. Gw pikir surat buat elu kan. Makanya gw diemin, dan ga dibuka sama sekali suratnya. Tapi rasa ingin tahu gw bergejolak, gw buka la suratnya. Eh gw baca bagian belakangnya dulu dong bukan suratnya. Gw jga nebak sih itu gw Jess. Tapi gw pikir, ahh itu bukan gw gitu."
Aku tidak puas dengan penjelasan Jasmine. Aku yakin dia masih menyembunyikan sesuatu. Aku membaca surat itu dengan seksama, dan mencari tahu siapa yang mengirimnya. Yaudah lah, pada akhirnya aku merobek surat tersebut atas izinnya Jasmine. Aku tidak mau tahu siapa yang mengirimnya. Aku tidak mau tahu apa yang disembunyikan oleh Jasmine.
Aku menatap Jasmine dengan tatapan tegas. "Jasmine, lupakan surat itu. Sudah lupakan aja ya semuanya, anggap aja gada apa apa atau pesan dan kesan dari siapun yang ngasih dimeja kita ya. Anggap aja itu hal yang konyol oke."
Dia menatapku dengan wajah tersenyum. "Jess... makasih ya."
Guru masuk ke dalam kelas dengan senyuman hangat di wajahnya. Dia memberikan sapaan selamat pagi kepada kami, lalu memulai penjelasan terakhir sebelum ujian dimulai. Aku mendengarkan dengan seksama, mencatat poin-poin penting yang disampaikan.
Saat ujian dimulai, suasana di kelas menjadi hening. Hanya suara pena yang menggores kertas dan desahan pemikiran yang terdengar. Aku berfokus pada soal-soal di depanku, mengingat materi yang telah aku pelajari dan menerapkan strategi yang telah aku persiapkan. Waktu berjalan cepat, dan aku berusaha menjawab setiap pertanyaan dengan penuh konsentrasi. Tapi, Jasmine kenapa mukanya seperti tak bersemangat? Apa yang disembunyikannya ya. Ahh ini makin menambah pikiranku saja.
Setelah selesai ujian, aku merasa lega dan puas dengan usaha yang telah aku lakukan. Aku mengumpulkan lembar jawabanku ke meja guru, lalu kembali ke tempat dudukku. Aku melihat Jasmine yang masih sibuk dengan ujiannya. Dia tampak mudah mengerjakan, namun juga terlihat bingung. Dia sering menatap langit-langit kelas dengan ekspresi frustasi.
Aku merasa kasihan dan khawatir dengan Jasmine. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak bisa. Aku tidak boleh berbicara atau memberikan isyarat selama ujian berlangsung. Aku hanya bisa berdoa agar Jasmine bisa menyelesaikan ujiannya dengan baik.
Setelah bel berbunyi, guru mengambil lembar jawaban dari semua siswa, termasuk Jasmine. Aku segera mendekati Jasmine, dan menanyakan keadaannya.
"Jasmine, kamu gimana? Ujiannya gimana? Kamu bisa jawab semua soalnya?"
Jasmine menggeleng dengan lesu. "Sebenernya gampang sih Jess. Gw dah belajar dengan giat, dan dengan rajin. Tapi itu Jess. Gw... Gw... Ya masih kepikiran aja sih, surat dari siapa."
Aku terkejut mendengar jawaban Jasmine. "Yaudah lah Jasmine, Lupain aja tentang itu. Semoga nilai kita bagus ya, dan hasilnya memuaskan."
Jasmine menunduk, dan berkata dengan suara lirih. "Gw... gw nggak bisa konsen Jess. Gw... gw masih mikirin surat itu. Ya semoga aja hasilnya memuaskan ya Jess."
Aku menghela napas, dan memeluk Jasmine dengan erat. "Jasmine, surat itu udah berlalu. Surat itu udah kita robek. Surat itu udah nggak penting lagi. Kamu nggak usah mikirin surat itu lagi."
Kitapun berjalan keluar dari kelas, melewati lorong sekolah yang tenang. Karna ini waktu istirahat, matahari menyinari langit pertanda sudah siang. Itu mengingatkan kami bahwa di luar sana masih banyak hal indah yang menanti. Kita harus tetap melihat masa depan dengan harapan dan semangat.
Perlahan tapi pasti, Jasmine dan aku melupakan surat misterius tersebut. Jasmine meminta aku untuk duluan kekantin, karna dia mw pergi ketoilet terlebih dahulu. Aku hanya mengiyakan saja, dan lanjut berjalan menuju Kantin.

Aku mendengar suara seperti memanggilku.
"Suuttt. Suutt. Jess"
Aku segera menoleh ke arah suara tersebut, dan terkejut melihat orang itu. Itu seperti Fauzan Osis deh. Sepertinya tebakkanku tidak meleset. Aku heran, kenapa dia memanggilku? Apa yang dia mau dariku? Diapun berlari kencang, dan berdiri di sampingku. Dia tersenyum lebar, dan menatapku dengan mata berbinar. Dia tampak senang dan bersemangat.
Dia membuka mulutnya, dan berkata dengan suara lantang. "Jess, udah dikasih Jasmine belum suratnya? Apa jawaban dia? Tadi gw taro dimeja kalian soalnya. Apa jawabannya?"
Aku terkejut, dan merasa tebakkan ku benar. Aku sadar bahwa Fauzan adalah orang yang mengirim surat itu ke Jasmine. Soalnya, sudah berkali kali Fauzan ini mengirimi sesuatu di meja. Aku sudah tidak heran seperti mengirim coklat, terus pesan pesan. Kadang 2 kali seminggu aja ada sesuatu dimeja. Waktu dan harinya ga nentu, aku rasa sekitar 2kali seminggu deh. Tapi baru pertama kalinya Jasmine yang nerima surat ini, biasanya aku terus. Mungkin Jasmine agak syok kali ya.
Akupun tidak peduli dengan Fauzan ini, dan melanjutkan perjalananku menuju kantin. Aku memilih melewatkan pertanyaan Fauzan dan melanjutkan langkahku. Tidak ada rasa peduli bagi ku tentang Fauzan. Aku ingin fokus pada diriku sendiri dan menghindari potensi masalah yang mungkin timbul.
Fauzan memanggilku dengan nada yang keras,"Jesssss."
Aku mengabaikannya, dan berjalan lebih cepat. Aku tidak mau berbicara dengan Fauzan. Aku tidak mau mendengar apa yang dia katakan.
Fauzan tidak menyerah, dan berlari mengikutiku. Dia menarik lenganku, dan memaksa aku berhenti. Dia menatapku dengan tatapan marah dan kecewa.
Dia berkata dengan suara keras. "Jess, dikasih enggak? Apa jawabannya? Gw butuh kepastian dong. Udah berapa bulan Jess. Jess, ayolah."
Aku melepaskan lenganku dari genggamannya, dan menepis tangannya. Aku menatap Fauzan dengan tatapan dingin dan bosan. Kemudian meninggalkannya dengan raut wajah yang menyedihkan.