Didalam kelas seperti terdengar seperti ada yang gaduh, aku tak tau pasti itu apa. Suara nya begitu kencang hingga kelas dikerumuni banyak orang. Di tengah keramaian itu, ada dua orang, Jasmine dan Ojan, yang terlibat dalam sebuah perdebatan memanas. Mereka berdua, dengan perasaan dan pandangan yang saling bertentangan. Jasmine merasa hatinya berdebar kencang, dihantui oleh kekhawatiran dan emosi yang berkecamuk. Dia tidak pernah berharap pertikaian seperti ini terjadi di kelas, apalagi dengan seseorang sepertinya yang begitu menyebalkan seperti Ojan. Namun, di balik ketegangan dan amarahnya, Jasmine tahu bahwa dia harus tetap tegar dan berani menghadapinya. Aku males meladeni orang seperti Ojan ini, dia kenapa selalu menghantui kelasku? Bisa tidak sih, ga bikin gaduh tiap hari. Males banget untuk berpikir.
Aku berjalan dengan langkah cepat menuju tempat duduk dengan melewati perdebatan memanas antara Jasmine dan Ojan. Dia merasa kesal dan jengkel dengan sikap Ojan yang selalu membuat onar di kelas.
"INI ORANGNYA ? INI KAN ? INI YANG LO CARI CARI CARI ? LEWAT JUGA DIDEPAN GW" Jasmine berkata dengan nada tinggi dan tegas.
Aku sontak kaget saat lewat didepan mereka, seperti menunjuk diriku. Langsung saja aku berjalan lebih cepat, mencoba menghindari perhatian Jasmine dan Ojan. Hatiku berdebar kencang, takut terlibat dalam perdebatan mereka yang semakin memanas. Aku ingin segera menyusul ke tempat dudukku, berharap tidak ada masalah yang akan terjadi.
Tapi, sepertinya takdir berkata lain. Ketika aku hampir mencapai tempat dudukku, Jasmine dengan tiba-tiba berdiri di depanku, menghadang jalanku. Wajahnya penuh dengan senyuman sinis, seakan menantangku.
"HEH LO, ENAK BANGET LO YA. DUDUK ASAL DUDUK. INI MASALAH LO DAN GW NIH. GW GABERCANDA APAPUN ITU."
Aku merasa terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan. Apa ini gara-gara kejadian pas itu? Apa sih gajelas.
Dengan sedikit keberanian, aku menatap Jasmine dengan tegas. Aku tidak ingin menunjukkan ketakutanku padanya. "Apa yang kamu inginkan? Apa? Aku gatau apa apa, aku dateng dan duduk disini. Tiba tiba ramai seperti ini, kenapa kalian bawa bawa aku? Aku gatau masalah apa apa tentang kalian. Anjir. Apa sih? Pengen cari masalah apa?" tanyaku dengan suara yang berusaha tetap tenang.
Jasmine tertawa kecil, seolah menikmati situasi ini. "Gw hanya ingin tahu mengapa lu selalu menghindar. Masalah ini dimulai dari lo tau ga" katanya dengan nada mengejek.
"Dimulai dari aku gimana sih? Aku gatau apa-apa tentang perdebatan kalian tiba tiba ramai begini. Aku ga mempermasalahkan apapun itu."
Ojan terlihat panik dengan situasi seperti ini, dia terlihat cemas. Ojan seperti tidak ada pikiran sama sekali, "Jasmine, udah jangan apa apain Jessica. Kalo lu apa apain dia, lu terima akibatnya,"
Aku merasa marah dan kesal. Aku tidak ingin terlibat dalam perdebatan ini, tapi aku juga tidak ingin terlihat lemah di hadapannya.
"Aku tidak takut padamu, Jasmine. Walau kau terlihat sangar sekalipun. Akan ku balas, dipikir yang serem kamu doang. Aku juga bisa saja melakukan ini semua tanpa pengawalan sabar. Tapi apa yang kau pikir, kamu itu bodoh Jasmine. Kamu menganggap dirimu pahlawan hah? Tidak, kau seperti layaknya jagoan didepan Ojan yang seperti Anjing itu? Aku tidak akan pernah takut sekalipun, jika lawannya temenku sendiri." jawabku dengan tegas.
Secara tiba-tiba, Jasmine mendorongku dengan keras hingga tubuhku terhuyung ke belakang. Aku tidak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari sahabat baikku sendiri. Rasa sakit dan kebingungan menyelimuti diriku, aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Teman-teman sekelas lainnya terkejut melihat insiden ini, beberapa di antaranya berusaha meredakan situasi, sementara yang lain hanya diam memperhatikan.
Dengan penuh amarah, Jasmine menatapku dengan tatapan tajam. "Lu benar-benar goblok, Jess! Berani-beraninya lu berbicara seperti itu, lu mau nantang gw berkelahi? Lu gatau, gw ini ikut pencaksilat dari kecil untuk bela diri. Gw diajari untuk tidak takut sama siapapun orangnya, meskipun orang yang sok cantik kek elu tai," bentaknya dengan suara lantang.
Seketika, atmosfer di kelas semakin tegang. Para siswa mulai berbisik-bisik dan menatap kami dengan perasaan campur aduk. Beberapa teman mencoba mendekati kami untuk meredakan situasi, sementara yang lain hanya mengamati dari kejauhan.
Aku merasa marah dan kesal. Aku tidak ingin terlibat dalam perdebatan ini, tapi aku juga tidak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku berusaha bangkit dari lantai, tapi Jasmine tidak memberiku kesempatan. Dia menarik bajuku dengan kasar, membuat kepalaku terasa nyeri. Dia membentakku dengan marah.
"Jangan sok berani sama gw, Jessica. Lu pikir lu siapa? Lu pikir lu lebih baik dari gw? Lu pikir lu bisa ngambil Ojan dari gw? Lu salah besar, Jessica. Ojan itu milik gw, cuma gw yang bisa punya dia. Lu cuma sampah yang nggak pantas buat dia."
Aku mencoba menahan diri agar tidak menanggapi dengan amarah. Tetapi, kata-kata Jasmine telah melampaui batas dan membuat emosiku meledak.
"Diam, Jasmine! Jangan pernah bicara seperti itu tentangku atau tentang siapa pun. Tidak ada yang memiliki seseorang secara eksklusif, termasuk Ojan. Kita semua adalah individu dengan hak dan perasaan masing-masing," kataku dengan suara gemetar
Tentu saja, ucapan itu hanya menambah api kemarahan di mata Jasmine. Tanpa ragu, dia melayangkan pukulan ke arahku. Meskipun aku berhasil menghindarinya, perasaanku semakin terluka oleh perangai sahabatku yang seolah-olah telah berubah menjadi orang yang asing bagiku.
"Jasmine, kamu gila ya?"tanyaku dengan nada sedih.
Aku merasa lelah dan frustasi dengan sikap Jasmine. Aku tidak mengerti mengapa dia begitu membenciku. Aku tidak pernah berbuat salah padanya. Aku tidak pernah menginginkan Ojan darinya. Aku tidak pernah mengganggu hubungan mereka.
Dalam kebingunganku, aku mencoba mencari dukungan dari teman-teman sekelas yang lain. Beberapa di antaranya berusaha menenangkan situasi, sementara yang lain mencoba meredam emosi Jasmine. Namun, tampaknya Jasmine tidak ingin mendengarkan siapa pun. Dia terus mengeluarkan kata-kata kasar dan ancaman ke arahku.
Perasaan sedih dan kecewa memenuhi hatiku. Aku tidak pernah berpikir bahwa persahabatan kami bisa berubah menjadi konflik yang begitu besar seperti ini. Aku merenung, mencoba mencari akar masalah yang membuat Jasmine begitu marah padaku. Namun, tidak ada jawaban yang jelas.
Dalam keheningan yang tegang, tiba-tiba terdengar suara Ojan yang mencoba menghentikan situasi. "Jasmine, berhenti! Kita tidak boleh bertengkar seperti ini. Jessica bukan musuh kita. Ayo kita bicarakan masalah ini dengan kepala dingin," pinta Ojan dengan nada lembut.
Namun, Jasmine sepertinya tidak menghiraukan kata-kata Ojan. Dia masih memandangiku dengan penuh amarah dan keseriusan. Kegelisahan mulai menyelimuti diriku. Aku merasa tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
Tiba-tiba, salah satu guru kelas kami yang bernama Ibu Dessi datang dan memisahkan kami berdua. Wajahnya tampak serius dan marah melihat kekacauan yang terjadi di kelas. Dia memanggil kami berdua untuk berbicara di ruang guru.